Share

Bab 7 - Hasil Mencuri Dengar

“Sa-saya, Tuan?” Sasmi tergagap. Ia menunduk dalam-dalam. Sorot mata Dirga begitu tajam dan menusuk, membuatnya ciut.

“Aku tidak suka mengulangi kata-kataku.” Dirga langsung berbalik dan menghampiri Kana setelahnya, tanpa memedulikan Sasmi yang membungkuk hormat sebelum undur diri, kembali ke dapur.

“Sudah tidak apa-apa?” tanya pria itu kemudian sembari menyodorkan segelas air putih pada istri keduanya. Berbeda ketika ia bicara dengan Sasmi tadi, nada suara Dirga terdengar lebih lembut dan hangat. Sorot matanya juga lebih ramah.

Dengan ragu, Kana menurunkan tangan yang menutupi hidung dan mulutnya sejak tadi. Perasaan mualnya menghilang begitu saja. Dengan tenang, perempuan itu meneguk air putih yang disodorkan Dirga sementara dengan tangannya yang bebas, suaminya tersebut merapikan anak rambut Kana dengan hati-hati.

Tepat seperti dugaan Dirga, Sasmilah penyebab Kana merasa mual sebelumnya. Beruntung tadi Dirga mampu menghubungkan kondisi istri keduanya tersebut dengan informasi yang ia dapatkan dari dokter kemarin; bahwa indra ibu hamil lebih sensitif, terutama indra perasa dan penciumannya.

“... Masih tidak mau ke rumah sakit?” tanya pria itu kemudian.

Tanpa menunggu tanggapan dari Kana, Barra mengalihkan fokusnya pada Dirga. “Kakakku sedang sakit?” tanyanya.

Dirga balas menatap Barra selama beberapa saat sebelum bibirnya mengucapkan tiga kata singkat.

“Kana sedang hamil.”

Sepasang mata Barra membesar, tampak terkejut dengan perkembangan terbaru ini. Entah kenapa, dia seperti merasa sesuatu meremas hatinya.

Dalam kurang lebih lima jam terakhir, Barra terus saja mendapatkan informasi mengejutkan. Diawali dari pernikahan sang kakak, lalu sekarang dengan kehamilan wanita itu. Semua hal ini membuatnya berpikir bahwa kembali ke Nusantara seakan-akan menjadi ejekan takdir baginya.

Sementara itu, Dirga justru merasa terhibur melihat perubahan ekspresi pria asing di hadapannya tersebut, entah kenapa.

“Aku lihat kondisi Kak Kana tidak terlihat baik. Sebaiknya, aku pulang,” ujar Barra dengan sebuah senyuman yang terlihat dipaksakan.

Dirga terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi dirinya didahului oleh Kana yang langsung berkata, “Tunggu, jangan pulang dulu. Kamu baru tiba.” Dia tersenyum tipis. “Masih banyak yang harus kita bicarakan.”

Mendengar ucapan Kana, ekspresi cerah Dirga sekejap kembali menggelap. Dia menatap Barra yang membalas ucapan kakaknya dengan sebuah senyuman.

Barra tidak bisa menolak, tapi dia perlu waktu sebentar untuk memproses segala informasi. Demikian, dia pun meminta izin untuk menggunakan toilet.

“Silakan ke arah yang dituju Sasmi,” kata Dirga, tidak berniat menunjukkan jalan lebih lanjut.

Barra mengangguk dan berlalu dari ruang tamu. Kepalanya dipenuhi peristiwa-peristiwa yang berfokus pada kakaknya.

Kana telah menikah dengan Dirga Dewantara sebagai istri kedua dan kini tinggal bersama suami beserta istri pertama pria itu saja sudah merupakan sebuah kejutan bagi Barra. Kini ditambah kakaknya telah mengandung, padahal keduanya baru dua bulan menikah?

Tak elak Barra akui, dirinya diselimuti sebuah perasaan aneh memikirkan hal tersebut. Meskipun memang ia mengkhawatirkan kakak perempuan satu-satunya itu, tapi ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya.

“Baru saja hamil muda, sudah menyusahkan. Bagaimana kalau setelah melahirkan?”

Langkah Barra terhenti ketika mendengar kata-kata itu. Ia berhenti tepat sebelum kelokan menuju dapur. Keningnya berkerut mendapati dua kalimat singkat tersebut dikatakan dengan nada gusar dan penuh kebencian, serta diiringi isakan dari lawan bicaranya. Siapa–

“Tuan Dirga sudah be-berubah banyak, Nyonya.”

Barra mengenali suara si asisten rumah tangga yang tadi mengantarkan minuman ke ruang tamu, diikuti oleh isakan-isakan kecil. Sepertinya, wanita tersebut merasa sakit hati setelah diusir Dirga tadi.

Lalu, apakah sosok yang dipanggil ‘nyonya’ itu adalah istri pertama Dirga?

Ingin mendengarkan lebih jauh, Barra menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan kedua tangan berada di dalam saku celana. Meskipun awalnya tidak berniat mencuri dengar, tetapi Barra penasaran dengan apa yang akan mereka ocehkan tentang kakaknya dan mengapa kedua orang itu terdengar tidak suka dengan Kana.

“Ya, aku bisa lihat,” sahut sang nyonya. Suara wanita itu terdengar angkuh, meskipun Barra menemukan kegelisahan dalam kata-katanya.

“Saya tidak menyangka di balik wajah polosnya, Arkana cukup licik, Nyonya Helena.”

Barra sedikit menoleh mendengar penuturan si asisten rumah tangga. Siapa tadi namanya? Sasti? Sasmi?

Tidak penting, yang jelas … Barra tidak menyukai perempuan yang baru saja menghina kakaknya itu.

“Perempuan itu pasti akan menggunakan kehamilannya lebih jauh lagi untuk mengambil perhatian Tuan Dirga,” imbuh Sasmi.

Wanita yang dipanggil ‘Helena’ itu mendengus. "Perhatian hanyalah perhatian, Sasmi. Perempuan itu tidak akan mampu merebut cinta Dirga," ucap Helena.

Mendengar hal itu, raut wajah Barra terlihat buruk. Sebelumnya Dirga mengatakan bahwa Kana diperlakukan dengan baik di sini. Namun, kenyataannya, dalam waktu setengah jam ia bertamu, Barra sudah menemukan dua orang yang kurang menyukai keberadaan Kana di sini.

Tidak bisa dicegah, Barra kembali khawatir tentang sang kakak.

"Meskipun, memang, Dirga menjadi agak berlebihan karena kehamilan Arkana." Helena kembali melanjutkan.

Ah, baik. Barra mengangguk. Mungkin memang sebaiknya Barra mulai memercayai kakak iparnya itu. Dari cara bicara Helena, kentara bahwa Dirga memang memperhatikan Kana … betapapun Barra merasa terganggu dengan kenyataan itu.

Namun, bukan masalah. Yang paling penting adalah kebahagiaan Kana.

"Semoga hal itu tidak berlangsung terlalu lama ya, Nyonya."

Barra mendengar Helena tertawa kecil menanggapi ucapan Sasmi. "Hanya selama kehamilannya saja. Ingat, Sasmi. Dirga akan menceraikan Arkana begitu ia mendapatkan anak dari perempuan itu."

***

"Merasa lebih baik?"

Kana mengangguk, tersenyum lebih lebar pada suaminya, membuat sudut-sudut bibir Dirga membentuk senyum kecil ketika melihat betapa polosnya wajah sang istri. Meskipun sorot mata pria itu masih saja tampak serius.

“Aku akan mengambil kesimpulan kalau kamu tidak terganggu dengan bau tubuhku, kalau begitu,” ucap Dirga kemudian.

“Tentu saja tidak!” balas Kana segera. Sebaliknya, perempuan itu justru menyukai aroma tubuh Dirga, yang merupakan perpaduan bau tubuh asli pria itu dan wangi woody, menciptakan kesan maskulin yang digemari Kana. “Tapi aku tidak menyangka kalau aku akan bereaksi sensitif seperti ini.”

“Sudah kubilang. Harusnya kita ke rumah sakit,” Dirga menyahut. Namun, selanjutnya pria itu tampak berpikir dengan usulnya dan meralat, “Tidak. Lebih baik aku mencari ahli gizi khusus ibu hamil dan dokter pribadi untukmu.”

Kana menghela napas. Ini memang kehamilan pertamanya dan ia benar-benar tidak memiliki pengetahuan dasar. Kana tidak tahu apa yang harus dan tidak boleh ia lakukan, apa yang baiknya ia hindari, maupun apa saja yang baik untuk dirinya dan si buah hati.

Tidak hanya itu, Kana juga tidak memiliki tempat bertanya. Ia tidak mungkin menghubungi Nyonya Mahendra untuk hal ini. Perempuan ini tidak memiliki figur ibu atau sosok wanita lebih tua dan lebih berpengalaman untuk ditanyai.

Tanpa sadar, wajah ceria Kana perlahan menjadi suram lantaran memikirkan hal tersebut. Untungnya, Dirga menyadari hal ini. Dengan lembut, pria itu menyentuh tangan Kana dan membawanya ke pangkuan dan menepuk punggung tangan istrinya pelan.

“Jangan terlalu memikirkan hal ini sendirian,” ucap Dirga dengan suara rendahnya. “Bayi itu bukan hanya anakmu, Kana.”

Kana mengangkat kepala untuk memandang wajah suaminya. Mungkin ini juga merupakan pengaruh hormon, tetapi ia benar-benar merasa terharu dengan kata-kata Dirga.

Benar. Janin di dalam perutnya ini adalah anak mereka berdua.

Melihat sang istri tampak seperti ingin menangis, Dirga mencoba menenangkan Kana dengan memasang senyum lebih lebar sembari membelai rambut Kana. Perlahan, sorot mata Dirga berubah lembut.

Ia tidak tahu berapa lama mereka ada dalam posisi itu. Namun, Dirga baru menyadari bahwa wajah mereka berdua hanya berjarak beberapa senti dan keduanya nyaris berciuman ketika tiba-tiba Dirga mendengar suara dehaman.

"Aku tidak bisa menemukan kamar kecil." Detik berikutnya, suara Barra terdengar.

Dirga langsung menoleh ke arah adik angkat Kana tersebut dan sorot mata kedua pria tersebut bertemu, tampak dingin dan kaku.

"Sebenarnya letaknya tidak begitu sulit," ucap Kana, menyembunyikan sikap canggungnya dengan berbicara meskipun wajahnya memerah. Ia bangkit berdiri. "Ayo kuantar, Bar."

Kana merutuki dirinya sendiri karena telalu terbawa suasana. Beruntung bukan Helena yang datang. Ia benar-benar tidak ingin memicu konflik atau emosi apa pun dari kakak madunya tersebut.

"Tidak perlu, Kak." Barra langsung menolak. Pria itu kembali duduk di hadapan Dirga dan Kana. "Ayo lanjut mengobrol saja."

Kana kembali duduk di samping suaminya, meskipun ia merasa heran.

'Kenapa Barra memasang wajah yang begitu serius?' batin perempuan itu.

Tepat ketika Kana memikirkan hal tersebut, Barra pun mengalihkan perhatiannya kepada Dirga. "Dirga, apa kamu menikahi kakakku hanya untuk mendapatkan keturunan?"

Mata Kana melebar, merasa terkejut. Namun, perempuan itu lantas menanggapinya dengan tertawa kecil.

“Yang benar saja, Bar,” ucap Kana. Apakah adiknya itu mencoba mencairkan suasana dengan candaan seperti biasanya? Ia mengulum senyum dan menoleh pada Dirga.

Melihat Dirga hanya terdiam dan tidak merespons, senyuman di wajah Kana menghilang. Ditambah kepala Dirga perlahan menunduk dan seakan berpikir keras untuk memberikan sebuah jawaban, dada Kana merasa sesak.

Dengan alis bertaut, Kana pun berujar, “Dirga?”

Guardiangel

Waduh, kok reaksinya Dirga begitu. Kira-kira Dirga bakal gimana ya setelah "ditembak"?

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status