Dira dan Tomi berada di kafe Tjikini yang ada di Jakarta Pusat. Duduk tenang di sudut ruang sambil menikmati teh hangat. Suasana terasa sepi dengan Dira yang begitu betah berdiam diri. Berbeda dengan Tomi yang terkesan hangat dan ramah, hingga ia begitu banyak bicara.
“Terima kasih, Mba,” ucap Tomi kepada seorang pelayan wanita.
Meja yang kosong pun kini telah berisi dengan beragam macam menu. Lontong cap gomeh, nasi goreng belacan dan tape bakar.
“Silakan makan,” ucap Tomi kepada Dira. Ia menyeringai lebar merasa yakin kalau diantara pilihannya pasti ada yang Dira suka.
“Kamu nyuruh aku habisin semua?” tanya Dira dengan kedua mata menyala. Tak henti-hentinya Dira menatap satu demi satu menu yang ada. sesungguhnya, ia begitu ingin mencoba semuanya. Terlihat menggairahkan, terlebih masih dalam keadaan panas. Terutama menu lontong yang kembali mengingatkan Dira akan keadaan kampung halamannya.
“Boleh kalau mampu,” tantang Tomi dengan tatapan teduh.
“Siapa takut?” ucap Dira yang tanpa malu meraih lontong dan mulai menyantapnya. Terdiam sesaat mencoba menikmati sulangan pertamanya, Dira tersenyum lalu mengangguk. Ternyata rasa makanan ini cukup diterima baik oleh lidahnya. Tanpa babibu, Dira menyantap habis semangkuk lontong pesanan Tomi.
“Kak!” ucap Dira dengan logat Medannya, membuat semua mata memandang ke arahnya.
Seketika aura kafe berubah, Dira yang masih mengangkat tinggi tangannya pun hanya bisa mematung melihat sekitaran. Risih, ia begitu tak senang jika menjadi bahan perhatian. Syukurnya keadaan segera kembali normal setelah salah satu pelayan wanita menghampirinya.
“Bisa tolong masukkan jeruk nipis ke sini?” tanya Dira yang membuat pelayan itu mengernyitkan dahi.
“Airnya lah, bukan jeruknya,” sambung Dira yang mendadak kesal setelah menjadi tontonan banyak orang.
“Oh ...,” ucap si pelayan diikuti anggukan kecil berulang kali.
“Itu namanya lemon tea, Dir. Kenapa enggak bilang dari awal,” ucap Tomi yang sedari tadi sudah menahan tawa melihat tingkah Dira.
“Sukakmu lah. Lemon tea apa jeruk nipis tea,” celetuk Dira dengan bibir memonyong. “Yakin nih, aku habisin semuanya?” tanya Dira kembali.
“Iya ... saya bisa pesan lagi kok,” jawab Tomi tegas yang merasa hanya digertak saja. Namun, apa yang terjadi sungguhlah di luar dugaan. Tak butuh waktu lama untuk Dira menyantap habis semua makanan yang sudah Tomi pesan. Tomi hanya bisa menelan ludah melihat tingkah Dira, terlebih dengan tubuh Dira yang begitu kurus.
“Warkkk!”
Dira kekenyangan, hingga mengeluarkan beberapa udara dari lambung melalui mulutnya. Sontak saja penghuni yang berada di kiri kanan meja Dira menatap kaget setelah mendengar suara itu.
“Mayanlah, bisalah ketelan,” ucap Dira yang kini mulai menyandarkan tubuh di sandaran kursi, dengan tanpa rasa bersalah ia mengelus perutnya yang mulai terlihat membuncit.
“Kenapa?” tanya Dira kepada Tomi dan beberapa pengunjung lain, matanya terbelalak dengan gigi merapat. Sedangkan Tomi hanya bisa tersenyum dan terus menggelengkan kepala.
“Cantik, jago kelahi, pemberani,baru ketemu semua sifatnya udah kebaca. Unik banget nih orang,” gerutu Tomi yang justru merasa senang mengenal Dira. Baginya sebuah keberuntungan diminta menjemput Dira hingga ia berharap bisa berteman baik dengannya.
“Mikirin apa? Kok gitu kali senyummu itu?” ujar Dira dengan alis mata kanan naik sebelah.
Tomi gelagepan, bingung harus menjawab apa. Ia tak mungkin jujur jika saat ini ia sedang memikirkan tingkah Dira.
“Heh? Ditanyak kok malah diam,” ucap Dira kembali.
Tomi masih terdiam dengan mata bergerak tak karuan. Hanya bisa sedikit merunduk untuk menutupi keraguan hatinya.
“Brak!”
Terlihat seorang pria yang menghempas kuat meja dengan kepalan tangannya. Mengalihkan perhatian Dira yang sedari tadi terasa mengintimidasi Tomi.
“Wanita murahan!” ucap pria itu dengan tangan mengepal tinggi seakan hendak menghantam wanita yang ada di hadapannya.
“Woi!”
Teriak Dira yang kini sudah berdiri tegak dan lantang. Tak sedikitpun ia menunjukkan rasa takut akan sosok pria yang kini menjadi lawannya. Bahkan tidak hanya Tomi yang terkaget akan aksi nekad Dira.
Pria tegap dengan beberapa tato di tangan itu terlihat kesal akan keikut campuran Dira. Ia pun dengan kasar menarik tangan gadis yang ada di hadapannya berniat pergi meninggalkan kafe.
“Enggak bisa dibiarin ni anak!” ucap Dira yang segera berlari menghampiri pria bertubuh besar tadi.
“Jangan pergi!” ucap Dira sambil menahan tangan pria itu.
Semakin kesal, pria itu berusaha melepaskan genggman Dira. Namun sayang, genggaman itu begitu kuat hingga tak mudah terlepas.
“Kurang ajar!” teriak pria itu kembali. Kali ini marahnya memuncak. Ia dengan kasar melepas tangan wanitanya dan menggenggam tangan Dira dengan tangan yang lainnya.
Dira mulai kesakitan akibat genggamannya. Ia pun menguatkan kembali genggamannya dan bersiap menggunakan kaki untuk menendang bagian kaki pria itu. Namun, kaki pria itu begitu kokoh hingga tendangan Dira tak berhasil membuatnya rubuh.
Pria itu semakin tertantang, senyuman mengembang pertanda ia siap meladeni Dira. Kini Dira nyaris terbaring di tanah karena gagal melakukan tendangan. Pria bertubuh besar itu bersiap menjatuhkan Dira dan meninju wajahnya.
“Bug!”
“Aduh!”
Pukulan melayang diikuti suara meringis dari seorang pria. Dira yang sedari tadi mengalihkan pandangan dan menutup mata pun perlahan kembali membuka matanya. Betapa kagetnya ia melihat Daffin berada di hadapannya untuk melindungi dirinya.
“Kau?” ucapnya seakan tak percaya akan keberadaan Daffin.
Dira lebih dulu pulang bersama Bibi, sedangkan Daffin bersama kru lainnya. Rasa tak ingin berpisah itu hadir, namun Daffin tahan. Terlebih setelah melihat wajah jutek Dira. Bayang indahnya perjalanan pulang jika ia lalui bersama pun segera pudar setelah Sofia memanggil dirinya.“Bi, hati-hati ya. Jangan lupa untuk selalui kabari Daffin. Oke,” ucap pria tampan itu. Tatapan tulus serta kecupan penuh kasih ia layangkann pada wanita yang ada di hadapannya.“Ya sayang, Bibi tunggu di rumah.”Sesungguhnya Daffin ingin mengatakan sesuatu kepada Dira, tetapi sepertinya gadis itu menghindar dan memilih untuk pergi terlebih dahulu. Daffin hanya bisa menghela napas berat dari mulutnya. Ia pun mengantarkan Bibi menuju parkiran mobil.Sepanjang jalan Daffin terus tersenyum dalam diam. Sontak kejadian ini membuat banyak mata yang menaruh curiga.“Ehem, ada apa nih. Kok ada yang lain. Apa ada yang tau?” ledek salah satu kru.“Tanya Sofia gih. Kan dia yang paling dekat. Ngomong-ngomong cewek tadi sia
Salah seorang kru mengetahui kabar kecelakaan yang dialami mobil Daffin. Ia pun segera menyampaikan kepada Leo selaku manajernya Daffin.“Mas Leo, aku dapat kabar kalau sopir mas Daffin kecelakaan,” ucapnya dengan tatapan cemas.“Apa?” tanya Leo dengan nada yang begitu kuat. Hingga membuat banyak mata memandang ke arahnya seketika. Tak terkecuali Daffin yang saat ini sibuk pemotretan.“Sebentar ya,” ucap Daffin meminta izin untuk menghentikan pemotretan sementara. Ia pun segera menghampiri Leo guna menanyakan apa yang telah terjadi.“Sopir lu kecelakaan!” jelas Leo dengan raut wajah cemas.“Emang dia kemana?” tanya Daffin yang tak mengetahui alasan sopirnya pergi.Leo pun menjelaskan, bahwa ia telah menyuruh si sopir mencari sesuatu di daerah kota. Untuk menjaga keamanan, ia menyuruhnya pergi dengan mengendarai mobil pribadi milik Daffin.Setidikitpun Daffin tak menaruh curiga. Ia justru sangat menghawatirkan keadaan pemuda yang menjadi sopir barunya. Sopir muda yang sengaja ia utus u
Belaian lembut di kepalanya membuat Dira tersadar akan kantuknya. Wangi yang tak asing berhasil menggelitik hidungnya. Sadar betul akan sosok yang kini duduk memandanginya Dira, perlahan membuka matanya. Meski kabur, Dira tahu benar bahwa Daffin kini duduk tersenyum menatapnya.“Kau?” ucapnya menatap tak percaya.Memutuskan untuk bangkit dan segera memeluk Daffin. Tersenyum penuh haru kebahagiaan, Dira merasa senang sekali saat ini. Terisak, ia melampiaskan semua kekacauan hatinya. Memeluk kian erat, hingga membuat kerutan pada sebahagian kemeja Daffin.Sepertinya tidak hanya Dira, melainkan Daffin pun menunjukkan tatapan yang sama. Keduanya terhanyut dalam hangatannya pelukan rindu. Seling memeluk erat seakan tak ingin kembali dipisahkan.Semua ini terasa begitu nyata, hingga akhirnya tatapan Dira yang sedari tadi bersembunyi di dada Daffin kini beralih pada Devi. Senyum penuh syukur yang terlihat pada wajah wanita tua itu memberi isyarat bahwa semua ini nyata.Masih tak menyadari da
Dira masih saja menatap bingung ke arah pemuda itu. Pemuda yang begitu mirip dengan rekannya Tomi.“Kau kok bisa di sini, Tom?” tanya Dira dengan nyolotnya.“Maaf, salah orang. Saya bukan Tomi,” ucapnya sembari menunjukkan senyuman. Lalu memutuskan pergi. Namun, baru saja tubuhnya berbalik, Dira lebih dulu menahan pundaknya dengan tangan.“Enggak usah main-main kau! Ngapain kau di sini?” tanya Dira kembali. Perasaan curiga mendadak hadir. Tepatnya semenjak kemarin, dimana mereka harus menangkap pengedar di bar.“Le, Cepat sini! Malah kenalan sama cewek,” ucap relawan lain. Ia melambaikan tangan ke arah pria yang diduga Tomi.“Maaf, Mba. Sekali lagi saya bilang, saya bukan Tomi. Mungkin kami hanya mirip,” ungkapnya menolak halus. Tangannya dengan lembut melepaskan tangan Dira dari pundaknya.“Enggak, kau pasti Tomi!” ungkap Dira. Kali ini ia bertindak nekad dengan menepis tangan kemeja pria itu. Terlihat ada tato kecil bergambar bintang di sana. Memperjelas kalau dia bukanlah Tomi yang
Terik cuaca tak lantas membuat Dira menyerah. Perut yang belum sempat terisi tak menunjukkan gejala lapar. Yang ada dalam benak Dira saat ini hanyalah ingin segera menemukan Daffin. Terus melangkah dan mencoba memasang telinga, Dira berharap bisa mendengar kata tolong dari seseorang. Bayang wajah Daffin yang tengah kesakitan pun membuat Dira semakin cemas.“Woy! Kemari!” teriak salah satu relawan.Dira dan timnya pun turut mendekati asal suara. Ternyata mereka menemukan tas berisi uang tunai yang tak sedikit jumlahnya. Tas kecil berupa koper itu bewarna putih. Sesaat Dira sadar akan penjelasan aparat kemarin.“Jangan bilang yang dilihat supir truk itu koper ini. Bukannya orang,” gumam Dira yang mulai mencemaskan akan keberadaan Daffin saat ini.Kini hari mendekati siang, suasana semakin panas meski ada banyak pohon yang melindungi mereka. Lelah, kaki Dira mulai gemetar. Tak dapat dipungkiri jika saat ini tubuhnya terasa lemas sekali. “Mba, ini minum dulu! Wajah Mba pucat banget,” uca
“Daffin!” teriakan Dira menggema. Sebuah tepukan di pundaknya membuka matanya.“Kamu enggak kenapa-kenapa, Nak? Minum teh dulu!” pinta Devi dengan wajah sembabnya.Dira tersadar dan seketika merasa malu. Ternyata apa yang baru saja ia lamai hanyalah sebuah mimpi.“Kamu mimpiin Daffin ya?” tanya Devi sembari mendekap tubuh Dira.Tangis yang sedari pagi ia tahan pun meledak. Dira menangis terisak berharap sesak didadanya berkurang. Ia terus menangis sambil membayangkan wajah Daffin yang ia lihat di dalam mimpi. Ia tak bisa membayangkan jika penampakan Daffin yang ia temui adalah keadaan nyata yang Daffin alami. Bisa saja darah yang ada pada tangan dan kaki Daffin itu nyata dan kini Daffin masih terbaring kesakitan menanti ajal di tengah hutan belantara.Tangis Dira sungguh sulit dikontrol, meski ia merasa malu dalam keadaan seperti ini. Namun, hatinya tak mampu membohongi diri. Pilu jika Daffin benar pergi untuk selamanya, sedangkan ia mulai menyadari bahwa telah jatuh hati.“Kita doaka
Malam itu mobil putih pintu geser yang sering Daffin gunakan untuk bekerja itu melaju kencang di tengah jalan sepi. Jalan lintas yang berjarak sempit dan cukup berkelok sedikit menyeramkan karena lampu penerangan jalan yang sangat minim. Seakan tak takut akan hal buruk yang mungkin terjadi, mobil putih itu terus melaju kencang seirama dengan musik DJ yang begitu deras.Sopir pribadi Daffin terus tertawa riang, bahkan sesekali ia bergoyang menikmati alunan nada. Bersorak dan ikut bernyanyi, ia begitu menikmati perjalanannya. Mungkin itu cara untuknya agar bisa terus melakukan perjalanan meski sudah tengah malam.Meski tak banyak kendaraan yang melintas, namun tak jarang mobil truk pengangkut barang berat melintas di tengah malam. Mereka sengaja bepergian di jam sepi, saat tak banyak kendaraan pribadi.Seakan memiliki nyawa cadangan, sopir itu terus saja melaju kencang meski sudah beberapa kali melewati mobil besar pengangkut barang berat. Langit malam itu terlihat lebih gelap, tanpa bi
Suasana berubah haru diikuti wajah kebingungan. Terdengar kabar bahwa mobil yang dikendarai Daffin mengalami kecelakaan fatal di salah satu tol. Berita ini disampaikan langsung oleh pihak kepolisian yang bertugas dan Devi selaku pihak keluarga diminta untuk datang ke kantor kepolisian sekitar.“Kenapa, Bu?” tanya Minah yang segera menghampiri nyonya pemilik rumah.Devi semakin syok setelah melihat foto yang berisi mobil Daffin yang penyot dibagian depan dan samping kiri. Dira yang sedari tadi diam pun turut menghampiri Devi. Saat ini sudah pukul setengah sebelas malam, tak mungkin mereka memaksakan diri untuk datang. Dira memutuskan untuk berangkat esok pagi bersama Devi dan sopir pribadinya.Malam ini terasa kacau. Pikiran Dira sungguh tak tenang. Waktu menunjukkan pukul satu malam, namun matanya masih enggan terpejam. Berulang kali mengubah gaya tidur, tak lantas membuatnya terlelap. Pikirannya dipenuhi dengan keadaan Daffin. Bayang wajah Daffin yang kini terbaring di atas ranjang d
Tomi lebih dulu masuk ke ruangan, memaksa Dira mengikuti rencana dadakannya. Melangkah masuk dengan gemuruh di dada Dira siap melakukan bela diri untuk menangkap salah satu bandar yang sedang berada di sana.Tetapi hal mengejutkan terjadi. Ruang yang Dira masuki terlihat kosong. Meninggalkan seorang pelayan yang tengah berbenah.“Kemana semua tamunya?” tanya Dira bingung.“Udah pada pulang, Mba. Emangnya Mba cari siapa ya?” tanya si pelayan bar yang tak kalah bingungnya. Menyadari Dira bisa masuk dengan mudah ke dalam ruangan, pelayan itu sadar jika Dira bukan orang sembarang. Jika bukan karena memiliki kenalan orang dalam, setidaknya ia pejabat negara.“Jadi, para pejabat sialan itu udah pada kabur?” tanya Dira kesal. Giginya saling beradu hingga menimbulkan bunyi.“Pejabat? Bukan Mba. Tapi anak muda biasa kok. Enggak ada anak pejabat juga pun,” ungkap si pelayan sambil menunjukkan wajah tengah berpikir keras.“Arrgh! Ini pasti kerjaan Tomi. Dia mau angkat telor rupanya,” gumam Dira