Jantung Dira berdenyut kencang dengan nada yang lembut, aneh dan membingungkan. Keadaan ini bermula saat ia kembali bertemu Daffin. Kedatangan Daffin yang begitu mendadak membuat Dira terus teringat pada dirinya. Terlebih saat tangan Daffin menyentuh lembut wajahnya. Jarak pandang yang begitu dekat sungguh membuat Dira tak nyaman.
Kulit kecokelatan dan hidung yang mancung itu terlihat jelas olehnya. Bulu-bulu halus yang tumbuh sekitar pipi dan dagu tertata begitu rapi. Meskipun Daffin menggunakan kacamata, namun Dira dapat melihat dengan jelas matanya yang menatap tajam ke arah dirinya. Tatapan penuh rasa hawatir hingga membuat Daffin nekad mengorbankan diri demi melindungi Dira.
Jeritan, “Aduh!” nya saja hingga kini masih terngiang di telinga Dira. Hembusan napas dan aroma tubuhnya juga melekat erat dalam ingatan.
“Argh ... katanya Jakarta luas, kenapa pulak aku bisa jumpa dia lagi?” gerutu Dira dengan gigi merapat. Ia begitu kesal hingga nyaris melayangkan tinjunya, namun semua itu tertahan. Jauh di dalam hatinya berbisik, “Kok bisa jumpa ya? Apa ini yang dinamakan jodoh?”
“Argh! Bodoh, bodoh, bodoh!” ucap Dira sambil terus memukul-mukul kepalanya.
“Hei, hei, hei. Ada apa? Kok pakai acara mukul-mukul kepala segala?” tanya Tomi yang ternyata sedari tadi memperhatikan tingkah laku Dira. Lebih banyak diam dengan raut wajah yang berubah-ubah membuat Tomi terus menerka akan apa yang sedang Dira pikirkan.
“Bukan urusan kau, Wak!” ucap Dira lantang.
“Ups, sorry!” sambung Tomi yang kini kembali mengunci mulut, namun tetap saja matanya tak bisa berhenti mencuri pandang ke arah Dira.
“Kamu enggak apa-apa kan?” tanya Daffin sambil meringis kesakitan.
“Apanya kau?” ungkap Dira kesal. Ia pun segera melepaskan diri dari genggaman Daffin. Sedangkan pria yang memukul Daffin segera pergi karena keadaan semakin ramai.
“Kamu enggak terluka kan?” tanya Daffin kembali. Tangan kanannya sibuk membelai pipi yang kini mulai memerah.
“Udah, kau urus aja lukak kau itu. Enggak pande berantam, sok jadi pahlawan pulak kau!” ucap Dira yang kemudian memilih kembali ke meja untuk mengambil koper miliknya.
“Cabut ta!” pinta Dira tanpa b**a-basi kepada Tomi.
Tomi yang sedari tadi menjadi penonton pun hanya bisa pelanga-pelongo melihat Dira dan Daffin.
“Bukannya itu artis yah? Kok Dira bisa kenal artis? Bukannya dia baru beberapa jam tiba di Jakarta? Lah aku yang udah bertahun-tahun di Jakarta aja enggak punya kenalan artis,” gumamnya dengan kepala yang terus menggeleng.
“Dir! Boleh nanya?” ucap Tomi yang merasa sangat penasaran akan sosok gadis di sampingnya.
“Hm!”
Dira terkesan malas untuk meladeni Tomi, namun sesungguhnya tidak demikian, karena dengan berbincang Dira berharap bisa melupakan Daffin dan mengembalikan keadaan hatinya.
“Kok kamu berani banget sih? Main ikut campur aja gitu?”
Mata Dira mendelik, dengan gigi merapat dan bibir atas terangkat sebahagian Dira menjawab, “Kau ini polisi apa bukan? Masak kau diam aja lihat orang ditindas? Cemananya kau ini?”
“Bu, bukan gitu maksudnya,” jawab Tomi yang berusaha menjelaskan.
“Alah! Enggak usah pakek ngeleslah kau. Apa kau gerak tunggu cewek itu dibal-bal sama cowoknya? Enggak cocok kali bah.”
“Huh! Payah yah, jangankan menang, imbang pun sulit kalau ngomong dengan Dira,” gumam Tomi yang kali ini kembali menutup rapat mulutnya dan membiarkan Dira menikmati lamunannya.
Kembali teringat akan kejadian sepuluh tahun silam. Dimana Dira kecil harus menghadapi hidup yang pahit. Ditinggal mati ibunya, Dira berusaha menjadi kakak yang baik untuk kedua adik perempuannya.
Kesedihan ditinggal istri membuat sang ayah menghabiskan banyak waktu di kedai tuak. Minum dan main kartu bersama teman-temannya. Hampir setiap malam Dira mengayuh sepeda untuk menjemput ayahnya. Jalanan yang jelek menjadi berlumpur dan licin kala hujan datang. Meskipun begitu tak pantang surut bagi Dira untuk membawa ayahnya pulang.
Kedai kecil berdinding tepas itu dipenuhi dengan banyak asap. Begitu banyaknya, hingga nyaris tak bisa bernapas bila berada di sana. Belum lagi suara lagu yang begitu kencang seperti ada pesta nikahan. Suara hentakan kartu dan omongan kasar pun turut mewarnai kedai itu. Suara dentingan gelas berisi minuman terdengar di mana-mana. Tawa menggelegak dan tingkah yang aneh pun didapati di sana. Namun, satu hal yang membuat Dira sangat membenci tempat itu, yaitu ucapan mereka yang begitu merendahkan seorang istri. Hati Dira mendadak panas dan dengan penuh dendam ia bersumpah untuk menghajar mereka jika berani melakukan itu di hadapannya lagi.
Ingatan ini kembali membawa Dira akan bayang wajah sang ayah. Kesedihan pun kembali hadir membuat hatinya ketir, ingin mengusir, namun terlalu sulit untuk melawan takdir.
“Dir, Dira!” tegur Tomi sambil menggerakkan tangannya tepat di depan mata Dira.
“Apa?” tanya Dira lantang.
“Udah sampai. Ini rumah tempat inap kamu selama di Jakarta,” jelas Tomi sambil menunjuk ke sebuah rumah yang berada di dalam komplek kepolisian.
“Oh, makasih!”
Dira berlalu begitu saja, tak lupa meraih koper yang sedari tadi berada di kursi belakang. Ia meninggalkan Tomi yang hanya bisa menatap bingung ke arahnya. Dengan perasaan kecewa Tomi kembali menyalakan mobil meninggalkan asrama polisi. Tanpa ia sadari sebuah mobil berhenti di seberang jalan. Mobil itu berisi dua orang pria yang ternyata sedari tadi mengikuti mereka.
Dira lebih dulu pulang bersama Bibi, sedangkan Daffin bersama kru lainnya. Rasa tak ingin berpisah itu hadir, namun Daffin tahan. Terlebih setelah melihat wajah jutek Dira. Bayang indahnya perjalanan pulang jika ia lalui bersama pun segera pudar setelah Sofia memanggil dirinya.“Bi, hati-hati ya. Jangan lupa untuk selalui kabari Daffin. Oke,” ucap pria tampan itu. Tatapan tulus serta kecupan penuh kasih ia layangkann pada wanita yang ada di hadapannya.“Ya sayang, Bibi tunggu di rumah.”Sesungguhnya Daffin ingin mengatakan sesuatu kepada Dira, tetapi sepertinya gadis itu menghindar dan memilih untuk pergi terlebih dahulu. Daffin hanya bisa menghela napas berat dari mulutnya. Ia pun mengantarkan Bibi menuju parkiran mobil.Sepanjang jalan Daffin terus tersenyum dalam diam. Sontak kejadian ini membuat banyak mata yang menaruh curiga.“Ehem, ada apa nih. Kok ada yang lain. Apa ada yang tau?” ledek salah satu kru.“Tanya Sofia gih. Kan dia yang paling dekat. Ngomong-ngomong cewek tadi sia
Salah seorang kru mengetahui kabar kecelakaan yang dialami mobil Daffin. Ia pun segera menyampaikan kepada Leo selaku manajernya Daffin.“Mas Leo, aku dapat kabar kalau sopir mas Daffin kecelakaan,” ucapnya dengan tatapan cemas.“Apa?” tanya Leo dengan nada yang begitu kuat. Hingga membuat banyak mata memandang ke arahnya seketika. Tak terkecuali Daffin yang saat ini sibuk pemotretan.“Sebentar ya,” ucap Daffin meminta izin untuk menghentikan pemotretan sementara. Ia pun segera menghampiri Leo guna menanyakan apa yang telah terjadi.“Sopir lu kecelakaan!” jelas Leo dengan raut wajah cemas.“Emang dia kemana?” tanya Daffin yang tak mengetahui alasan sopirnya pergi.Leo pun menjelaskan, bahwa ia telah menyuruh si sopir mencari sesuatu di daerah kota. Untuk menjaga keamanan, ia menyuruhnya pergi dengan mengendarai mobil pribadi milik Daffin.Setidikitpun Daffin tak menaruh curiga. Ia justru sangat menghawatirkan keadaan pemuda yang menjadi sopir barunya. Sopir muda yang sengaja ia utus u
Belaian lembut di kepalanya membuat Dira tersadar akan kantuknya. Wangi yang tak asing berhasil menggelitik hidungnya. Sadar betul akan sosok yang kini duduk memandanginya Dira, perlahan membuka matanya. Meski kabur, Dira tahu benar bahwa Daffin kini duduk tersenyum menatapnya.“Kau?” ucapnya menatap tak percaya.Memutuskan untuk bangkit dan segera memeluk Daffin. Tersenyum penuh haru kebahagiaan, Dira merasa senang sekali saat ini. Terisak, ia melampiaskan semua kekacauan hatinya. Memeluk kian erat, hingga membuat kerutan pada sebahagian kemeja Daffin.Sepertinya tidak hanya Dira, melainkan Daffin pun menunjukkan tatapan yang sama. Keduanya terhanyut dalam hangatannya pelukan rindu. Seling memeluk erat seakan tak ingin kembali dipisahkan.Semua ini terasa begitu nyata, hingga akhirnya tatapan Dira yang sedari tadi bersembunyi di dada Daffin kini beralih pada Devi. Senyum penuh syukur yang terlihat pada wajah wanita tua itu memberi isyarat bahwa semua ini nyata.Masih tak menyadari da
Dira masih saja menatap bingung ke arah pemuda itu. Pemuda yang begitu mirip dengan rekannya Tomi.“Kau kok bisa di sini, Tom?” tanya Dira dengan nyolotnya.“Maaf, salah orang. Saya bukan Tomi,” ucapnya sembari menunjukkan senyuman. Lalu memutuskan pergi. Namun, baru saja tubuhnya berbalik, Dira lebih dulu menahan pundaknya dengan tangan.“Enggak usah main-main kau! Ngapain kau di sini?” tanya Dira kembali. Perasaan curiga mendadak hadir. Tepatnya semenjak kemarin, dimana mereka harus menangkap pengedar di bar.“Le, Cepat sini! Malah kenalan sama cewek,” ucap relawan lain. Ia melambaikan tangan ke arah pria yang diduga Tomi.“Maaf, Mba. Sekali lagi saya bilang, saya bukan Tomi. Mungkin kami hanya mirip,” ungkapnya menolak halus. Tangannya dengan lembut melepaskan tangan Dira dari pundaknya.“Enggak, kau pasti Tomi!” ungkap Dira. Kali ini ia bertindak nekad dengan menepis tangan kemeja pria itu. Terlihat ada tato kecil bergambar bintang di sana. Memperjelas kalau dia bukanlah Tomi yang
Terik cuaca tak lantas membuat Dira menyerah. Perut yang belum sempat terisi tak menunjukkan gejala lapar. Yang ada dalam benak Dira saat ini hanyalah ingin segera menemukan Daffin. Terus melangkah dan mencoba memasang telinga, Dira berharap bisa mendengar kata tolong dari seseorang. Bayang wajah Daffin yang tengah kesakitan pun membuat Dira semakin cemas.“Woy! Kemari!” teriak salah satu relawan.Dira dan timnya pun turut mendekati asal suara. Ternyata mereka menemukan tas berisi uang tunai yang tak sedikit jumlahnya. Tas kecil berupa koper itu bewarna putih. Sesaat Dira sadar akan penjelasan aparat kemarin.“Jangan bilang yang dilihat supir truk itu koper ini. Bukannya orang,” gumam Dira yang mulai mencemaskan akan keberadaan Daffin saat ini.Kini hari mendekati siang, suasana semakin panas meski ada banyak pohon yang melindungi mereka. Lelah, kaki Dira mulai gemetar. Tak dapat dipungkiri jika saat ini tubuhnya terasa lemas sekali. “Mba, ini minum dulu! Wajah Mba pucat banget,” uca
“Daffin!” teriakan Dira menggema. Sebuah tepukan di pundaknya membuka matanya.“Kamu enggak kenapa-kenapa, Nak? Minum teh dulu!” pinta Devi dengan wajah sembabnya.Dira tersadar dan seketika merasa malu. Ternyata apa yang baru saja ia lamai hanyalah sebuah mimpi.“Kamu mimpiin Daffin ya?” tanya Devi sembari mendekap tubuh Dira.Tangis yang sedari pagi ia tahan pun meledak. Dira menangis terisak berharap sesak didadanya berkurang. Ia terus menangis sambil membayangkan wajah Daffin yang ia lihat di dalam mimpi. Ia tak bisa membayangkan jika penampakan Daffin yang ia temui adalah keadaan nyata yang Daffin alami. Bisa saja darah yang ada pada tangan dan kaki Daffin itu nyata dan kini Daffin masih terbaring kesakitan menanti ajal di tengah hutan belantara.Tangis Dira sungguh sulit dikontrol, meski ia merasa malu dalam keadaan seperti ini. Namun, hatinya tak mampu membohongi diri. Pilu jika Daffin benar pergi untuk selamanya, sedangkan ia mulai menyadari bahwa telah jatuh hati.“Kita doaka
Malam itu mobil putih pintu geser yang sering Daffin gunakan untuk bekerja itu melaju kencang di tengah jalan sepi. Jalan lintas yang berjarak sempit dan cukup berkelok sedikit menyeramkan karena lampu penerangan jalan yang sangat minim. Seakan tak takut akan hal buruk yang mungkin terjadi, mobil putih itu terus melaju kencang seirama dengan musik DJ yang begitu deras.Sopir pribadi Daffin terus tertawa riang, bahkan sesekali ia bergoyang menikmati alunan nada. Bersorak dan ikut bernyanyi, ia begitu menikmati perjalanannya. Mungkin itu cara untuknya agar bisa terus melakukan perjalanan meski sudah tengah malam.Meski tak banyak kendaraan yang melintas, namun tak jarang mobil truk pengangkut barang berat melintas di tengah malam. Mereka sengaja bepergian di jam sepi, saat tak banyak kendaraan pribadi.Seakan memiliki nyawa cadangan, sopir itu terus saja melaju kencang meski sudah beberapa kali melewati mobil besar pengangkut barang berat. Langit malam itu terlihat lebih gelap, tanpa bi
Suasana berubah haru diikuti wajah kebingungan. Terdengar kabar bahwa mobil yang dikendarai Daffin mengalami kecelakaan fatal di salah satu tol. Berita ini disampaikan langsung oleh pihak kepolisian yang bertugas dan Devi selaku pihak keluarga diminta untuk datang ke kantor kepolisian sekitar.“Kenapa, Bu?” tanya Minah yang segera menghampiri nyonya pemilik rumah.Devi semakin syok setelah melihat foto yang berisi mobil Daffin yang penyot dibagian depan dan samping kiri. Dira yang sedari tadi diam pun turut menghampiri Devi. Saat ini sudah pukul setengah sebelas malam, tak mungkin mereka memaksakan diri untuk datang. Dira memutuskan untuk berangkat esok pagi bersama Devi dan sopir pribadinya.Malam ini terasa kacau. Pikiran Dira sungguh tak tenang. Waktu menunjukkan pukul satu malam, namun matanya masih enggan terpejam. Berulang kali mengubah gaya tidur, tak lantas membuatnya terlelap. Pikirannya dipenuhi dengan keadaan Daffin. Bayang wajah Daffin yang kini terbaring di atas ranjang d
Tomi lebih dulu masuk ke ruangan, memaksa Dira mengikuti rencana dadakannya. Melangkah masuk dengan gemuruh di dada Dira siap melakukan bela diri untuk menangkap salah satu bandar yang sedang berada di sana.Tetapi hal mengejutkan terjadi. Ruang yang Dira masuki terlihat kosong. Meninggalkan seorang pelayan yang tengah berbenah.“Kemana semua tamunya?” tanya Dira bingung.“Udah pada pulang, Mba. Emangnya Mba cari siapa ya?” tanya si pelayan bar yang tak kalah bingungnya. Menyadari Dira bisa masuk dengan mudah ke dalam ruangan, pelayan itu sadar jika Dira bukan orang sembarang. Jika bukan karena memiliki kenalan orang dalam, setidaknya ia pejabat negara.“Jadi, para pejabat sialan itu udah pada kabur?” tanya Dira kesal. Giginya saling beradu hingga menimbulkan bunyi.“Pejabat? Bukan Mba. Tapi anak muda biasa kok. Enggak ada anak pejabat juga pun,” ungkap si pelayan sambil menunjukkan wajah tengah berpikir keras.“Arrgh! Ini pasti kerjaan Tomi. Dia mau angkat telor rupanya,” gumam Dira