“Apanya yang pemerintahan. Lihat tuh artis-artis yang pada datang. Hah! Palak kali ah kalok kek gini terus. Lama-lama jadi artis jugak aku. Ih, amit-amit! Yang penting jangan sampek anak sebijik itu datang jugak ke sini. Bisa repot aku nantinya,” gerutu Dira setelah tiba di sebuah hotel mewah.Kehadiran Dira di sana tak lain untuk sebuah pengawalan keamanan acara, karena akan dipenuhi oleh banyak pejabat negara. Tak terkecuali presiden. Acara penting ini akan berlangsung selama tiga hari dua malam. Tidak hanya pejabat, artis serta turis asing yang terdiri dari pejabat dan pengusaha hebat pun turut hadir. Pembukaan tempat wisata ini didasari oleh hampir seluruh kawasan Asia terutama bagian tenggara. Tak heran jika ada banyak patung dan tampilan yang menggambarkan khas sebuah negara. Seperti Jepang yang terkenal akan bentuk bangunan serta pohon sakuranya. Australia hewan kanggurunya hingga diletakkan sebuah kangguru asli yang telah dikeraskan. Indonesia dengan beragam baju dan makanan t
Menyadari ada keributan di bagian resepsionis, Dira segera menghampiri guna menanyakan apa yang terjadi.“Itu, Mba. Ibu yang ada di kamar 303 jatuh pingsan. Kami sedang menghubungi Dokter ini,” jelas salah satu petugas hotel tempat dimana Dira dan banyak tamu lainnya menginap.“Buk Devi!” seru Dira yang segera berlari menaiki lift menuju lantai tiga. Namun, sayang lift penuh dan kini masih berada di lantai tujuh. Tak ingin membuang waktu Dira segera berlari menuju lantai darurat. Tanpa mengenap lelah ia melangkahkan kaki melewati tiap anak tangga yang akan membawanya ke lantai tiga.Terlihat dari kejauhan kamar 303 dipenuhi beberapa orang karyawan. Dira menerobos masuk untuk melihat keadaan wanita tua yang baru ia kenal tadi malam.“Maaf, Mba dilarang masuk!” ucap salah satu karyawan hotel yang sedari tadi berdiri di pintu.“Kekmana keadaan Ibuk itu? Aku mau lihat!” seru Dira bernada kesal. Ingin rasanya ia memperlihatkan kartu identitas kepolisiannya, namun ia tahan. Saat ini ia tak
“Dir, bukannya enggak setuju kalau kamu nemani Ibu itu. Tapi malam ini tugas kamu jaga loh. Kalau enggak gini aja, kamu temani Ibu itu. Biar aku yang gantiin kamu malam. Tapi besok kamu yang jaga ya, biar aku tidur,” tawar Ria diakhiri dengan kedipan mata.“Oke deh! Setuju,” ucap Dira diikuti sambutan tangan. Saling bersalaman dan tersenyum, perjanjian pun berlaku. Dira bisa tenang menemani Bu Devi tanpa harus berjaga penuh. Meskipun begitu, ia meminta Ria segera menghubunginya jika terjadi sesuatu yang mencurigakan.Kembali ke kamar, Dira mendapati Bu Devi tengah terbaring dengan keadaan selimut terseret turun ke bagian kaki. Dengan penuh senyum bahagia, Dira menyelimuti wanita tua itu seraya berkata dalam hati, “Makasih udah mengobati rasa rinduku!”Meski sudah dibebas tugaskan, Dira tetap saja tak bisa tidur. Duduk di balkon menatap bulan, Dira merasa kecewa akan dirinya sendiri. Misi khusus selama di Jakarta belum mendapat perkembangan. Bahkan tak ada informasi baru yang ia temuka
Ria seketika lenyap bersama hilangnya sirine ambulans. Luka parah yang ditemukan di kaki Ria pastinya bukan sembarang pisau.“Gimana, gimana?” tanya beberapa pekerja kepada dua petugas keamanan dan seorang pelayan hotel yang baru tiba.“Enggak dapet orangnya. Kami udah kejar,” jawab mereka dengan napas yang terengah-engah.“Siapa yang tau kejadian sebetulnya?” tanya Dira. Amarah memenuhi dadanya. Kesal dan segera ingin menghajar, Dira tak kuasa untuk mendapatkan pelaku yang berani menyakiti rekannya Ria.“Saya Mba!” sahut si pelayan hotel. Ia pun mulai menceritakan kejadian yang ia alami.“Tadi saya ke lantai empat mau nganterin pesanan. Saya lihat teman Mba tadi ngikutin seseorang. Awalnya saya pikir dianya lagi mata-matai cowoknya. Nah, pas saya keluar kamar tamu saya lihat teman Mba lari gitu sambil minta bantuan untuk ngejar. Nah, saya bantu ngejar juga. Cowok yang dikejar masuk lift, sedangkan teman Mba naik tangga darurat. Kebeneran saya ikut juga dari belakang. Tapi lari teman
Langkah kaki terdengar, Dira yang merasa tersudut memilih untuk menuju balkon dan berdiri di sudut ruang. Tak lupa ia menutup pintu, namun keburu ketahuan jika harus menutup rapat. Tiada yang bisa ia lakukan, kecuali menahan napas yang terasa menyesakkan. Tak henti-hentinya Dira memaki dalam hati.“Sial, sial, sial! Dia pulak orangnya. Argh ... kenapa harus dia. Kalok tau dia ponakan Ibuk tau, enggak mau aku kawani malam ini. Aduh ... kalok udah kekgini cemana ya?” Dira terus menghardik dirinya sendiri. Ia merasa kesal karena tak percaya pada pendengaran. Sudah sedari awal ia sadar kalau suara pria itu sama dengan Daffin. Namun, tetap saja ia menepisnya. Hingga hari ini datang, Dira melihat sendiri Daffin menghampiri Bu Devi yang kini masih terbaring lemas.“Bibi, Daffin datang!” ucapnya sembari membelai lembut kepala wanita tua. “Daffin!” seru Devi yang tak menyangka akan kehadiran Daffin. Ucapan ini pun dibalas dengan kecupan di dahinya.“Bibi minum obat dulu ya. Maaf ... Daffin t
Senyum Daffin mengembang hingga sulit dikendalikan. Hatinya terlalu bahagia seakan Tuhan telah mengabulkan doanya. Terus berjalan tenang hingga lupa menyembunyikan wajahnya, Daffin mengabaikan tatapan banyak orang terhadap dirinya. Meski gosip miring terus saja datang, namun tak sedikit dari penggemarnya yang masih setia kepadanya.Wajah bahagia ini pun terbaca oleh sang Bibi yang kini terlihat lebih baik setelah meneguk obat.“Kamu bilang apa?” tanya sang Bibi.“Ah, Bibi bilang apa?” tanyanya yang ternyata tak menangkap apa yang dipertanyakan.Devi hanya bisa menggeleng dengan senyum bahagia.“Kamu pasti ketemu Dira kan?” tanya Bibi kembali.“Akhirnya Bi, akhirnya Daffin ketemu dia juga! huh! Bahagianya ... Daffin jadi menyesal baru bisa datang ke sini sekarang,” ungkapnya sembari membaringkan tubuh di atas ranjang. Bermanja ria meletakkan kepala di atas pangkuan sang Bibi.“Ehm, jadi kamu ke sini bukan untuk Bibi?” ucap Devi meledek. Tangannya terus saja membelai lembut rambut hitam
Selaku aparat, Ria mendapat perawatan yang mumpuni. Ia diminta beristirahat selama dua minggu lamanya. Terbaring tanpa harus melakukan apapun pastinya sangat membosankan. Namun, tidak dengan yang terlihat. Wajah Ria terlihat baik-baik saja saat ini. Ia menikmati istirahatnya dengan membaca banyak buku dan novel. Ditemani siaran TV dan makanan bergizi.“Hei! Berasa nginap di hotel ya? Ceria kali mukakmu itu. Yang aku pikirlah kau bosan terpenjara di sini. Ini lagi, buku dari mana semua ini. Apa sempat kau borong mall beli buku untuk dibaca di sini?” ledek Dira. Matanya menyolot sembari melirik ke arah Ria. Tak ketinggalan bibir yang menanjak tinggi karena dimonyongkan.“Hehehe, Dira. Makasih loh, udah mau datang! Kamu bawa apa itu?” jawab Ria. Ia terus saja melirik ke arah bungkusan yang dibawa Dira.“Alah, lupa pulak aku bawa makanan. Habisnya aku langsung ke sini. Baru nyampek tadi pagi pun,” ucap Dira sembari menepuk dahinya.“Oh ... jadi belum pulang ke mes?”“Belum. Oh ya ... aku
Baru kemarin Dira datang ke rumah mewah ini. Kali ini ia harus kembali datang dengan membawa satu tas penuh berisi baju miliknya.“Paok, emang paok kalilah kau, Dir! Kenapa pakek acara salah ngomong. Sok kebaekan mau ngawani Ibuk ini segala. Kalok udah gini kan, enggak mungkin jilat ludah. Huh! Tapi kenapa hatiku enggak sepenuhnya nolak ya. Jangan bilang karena aku pengen lihat anak sebijik itu lagi. Bukan, bukan, ini karena Ria dipindah tugaskan. Jadi daripada sendirian di rumah, mending aku tinggal di sini. Lah, emang kenapa kalok aku sendirian. Aku enggak cemen kali. Jangankan penjahat, setan jugak aku tangkap,” gerutu Dira sembari berdiri mematung di depan pagar.“Tapi tenang, kan aku di sini sementara. Cuman tiga bulan, itupun selama anak itu keluar kota. Seenggaknya selama di sini aku enggak ketemu dia. Ini semua karena aku enggak bisa nolak permintaan Buk Devi.”“Hai, selamat datang. Mari masuk!” pinta Daffin dengan senyum kebahagiaan.“Loh, bukannya kau ....”“Biar gua bantu b