Share

Rekaman Kamar Hotel Daffin

Daffin terbaring di atas ranjang klinik sahabat. Klinik kecil yang berada di tengah pajak petisah, tepat di seberang carefour. Wajahnya terlihat pucat dengan bibir yang bewarna merah alami. Masih dalam keadaan terpejam, Daffin mengigau menyebutkan sesuatu yang tidak dimengerti Dira. Igauan itu membuat wajah Daffin mendadak bersedih dengan air mata yang mengalir deras dari kedua sudutnya.

Tidak ada yang bisa Dira lakukan, kecuali menatap wajah Daffin dengan dahi mengernyit. Hatinya merasa lega mengetahui keadaan Daffin yang baik-baik saja. Namun, ia tetap merasa kesal akan tingkah Daffin saat ini. Kekesalannya terus bertambah dan kain menumpuk. Hanya ada kebencian setiap kali ia menatap wajah Daffin.

“Gara-gara kau ini, hampir aja jabatanku terancam. Aneh-aneh ajalah tingkah manusia jaman sekarang. Sikit-sikit bunuh diri, pikirnya yang enggak dituntutnya setelah mati. Huh! Udah jadi model terkenal pun goyang kali mentalnya. Enggak cocok kau disebut jantan,” gerutu Dira dengan tatapan kebencian. Bagi Dira, wajah tampan Daffin tidak lebih baik dari seekor kambing yang berpakaian rapi.

“Syukur kau jatoh di atas bak kardus. Kalau enggak? End betol hidup kau. End juga hidupku kalau kau mati. Lihatlah! Mati aja pun kau, nyusahkan aku loh. Cukuplah aku berurusan dengan artis. Asal kau tau, cukup kau ajalah artis pertama dan terakhir yang berhubungan denganku. Amit-amit cabang baik ...,” ujar Dira sembari mengepalkan tangan lalu memukul tiga kali ke arah besi ranjang dan kemudian di arahkan ke dahinya. Beginilah cara jampi-jampi agar tak kembali sial.

“Drrt, drrt, drrt ....”

Suara getaran gawai terdengar, mata Dira terus mengusik mencari asal suara. Hingga akhirnya ia tersadar getaran itu berasal dari gawai Daffin yang berada di saku celana.

“Ah, biarin ajalah. Segan pula aku rogoh-rogoh kantong celananya. Yang dipikir pula aku cewek mesum.”

Getaran kembali terdengar, namun kali ini dari gawai Dira.

“Apa, Yak? Yang lagi tugasnya aku ini.”

“Besok ada yang mau datang, bisanya kau pulang?”

“Enggak tau juga, Yak. Ada keadaan darurat pula ini. Nantilah Dira kabarkan.”

“Usahakan ya, enggak enak Ayak. Udah Ayak yang nyuruh orang tu datang.”

“Hm ...!” jawabnya dengan kedua gigi merapat. Dira benar-benar kesal, wajahnya seketika terlihat menakutkan. Kembali menyimpan gawai ke dalam saku celana, lalu menghempaskan tubuh ke atas kursi, Dira terus menggerutu.

“Jangan bilang yang mau datang itu cowok.”

“Saya di mana?” tanya Daffin dengan suara yang terbata-bata.

“Di klinik. Misi bunuh diri kau gagal. Cemana? Menyesalnya kau masih hidup?” ledek Dira dengan senyuman yang menyungging di sudut bibirnya.

“Saya mau balik hotel, saya mau istirahat!” pinta Daffin sambil memaksakan diri untuk duduk.

“Oke, tapi kau janji. Jangan pula kau lanjutkan niat bunuh dirimu di hotel. Udah cukuplah kau nyusahkan aku,” ucap Dira dengan hidung yang bergoyang saat berbicara.

Kini mereka berdua sudah berada di dalam taksi menuju hotel Antares. Keduanya duduk berjauhan, Dira di samping sopir dan Daffin berada di belakang. Wajah Daffin terlihat masih pucat dan hanya duduk sambil bersandar lemas. Sedangkan Dira terlihat tidak perduli, namun terus mencuri pandang ke arah cermin untuk melihat keadaan Daffin.

Gawai kembali bergetar, ternyata itu panggilan masuk dari gawai Daffin.

“Halo, Bi. Enggak kenapa-kenapa kok. Ini Daffin udah mau balik ke hotel. Bibi mau dibawain apa?” ucapnya dengan nada suara yang dibuat tegar.

Baru saja menutup panggilan masuk dari Bibinya, Daffin harus kembali menerima panggilan masuk dari Leo-manajernya.

“Gua udah di taksi mau balik ke hotel. Lu kapan sampai?” tanya Daffin dengan suara yang terbata-bata karena menahan sesak dadanya.

“Gua baik-baik aja. Usahakan malam lu udah sampai yah,” jelas Daffin yang kemudian terpejam cukup lama. Dira yang merasa cemas terus saja menatap wajah Daffin melalui cermin, namun perasaannya mendadak kaget bercampur malu ketika Daffin terbangun dan menatap ke arah cermin hingga keduanya saling bertatapan.

“Sial! Ni anak udah macam setan aja. Tadi merem tiba-tiba melek, pakai lihat cermin lagi. Ke gep jadinya kan.”

Taksi berhenti di depan pintu masuk hotel. Dira lebih dulu keluar, sedangkan Daffin masih merasa lemas hingga duduk terdiam dengan tangan yang mengurut dahi.

“Bisa turun sendiri enggak?” tanya Dira dengan nada nyolot. Ia sepertinya merasa sangat sial hari ini, hatinya tak henti-hentinya menggerutu akan sosok Daffin. Begitu bencinya, hingga ia enggan membantu Daffin yang kesulitan turun dari taksi.

Berusaha keluar, Daffin melangkah memasuki hotel dengan mata yang nyaris tertutup. Kakinya tertatih dengan mulut yang meringis. Entah bagian mana yang sakit, namun Dira sedikitpun terlihat tak perduli dan tak berniat untuk bertanya.

Tubuh atletis dengan bentuk fisik yang proposional tak lantas membuat Dira memuji sosok Daffin. Malah dengan penuh rasa jijik Dira kembali menggerutu, “Casing aja yang bagus. Isinya sih, sampah!” ujarnya sambil menggerakkan kaki kanannya lebih maju saat berjalan, gerakannya ini seakan hendak berniat menendang Daffin dari belakang.

Berdiri dan siap membuka pintu seketika tubuh Daffin terjatuh, Dira bergerak cepat menampung tubuh Daffin dan membiarkan tangan kanan Daffin bergelanyut di pundaknya. Kejadian ini membuat topi Dira terbuka hingga melepas ikatan rambutnya yang kini jatuh terurai. Dengan sedikit kesulitan, Dira berhasil membawa masuk tubuh Daffin. Namun, tanpa Dira sadari ada seseorang yang menggunakan hoodie tengah merekam keduanya.

“Huh! Berat juga tubuh Om satu ini. Oalah, kapanlah penderitaan ini berakhir,” gerutu Dira yang sudah berhasil membaringkan tubuh Daffin di atas ranjang.

Merasa resah jika harus menemani Daffin di dalam kamar, Dira memutuskan berdiri di depan pintu. Layaknya bodyguard wanita, Dira berdiri siaga di sana.

Waktu terus berjalan, hingga malam pun tiba. Dira yang merasa lelah berdiri kini memutuskan duduk dan bersandar pada dinding. Keadaannya saat ini tak lebih seperti pengemis jalanan.

Merasa sangat lelah karena sudah memasuki tengah malam, Dira tidak mungkin meninggalkan Daffin sendirian. Mau tidak mau, ia harus masuk dan tidur sambil duduk di sofa dalam kamar Daffin.

***

Leo tiba di hotel ditemani dengan dua kru pelaksana acara. Mereka menunjukkan wajah cemas karena kamar Daffin yang tak kunjung dibuka meski sudah digedor berulang kali. Dengan segera salah satu kru meminta petugas hotel untuk membantu membukakan pintu kamar Daffin.

Tergesa-gesa merisaukan keadaan Daffin, Leo beranjak masuk dan melihat Daffin yang sedang berbalut handuk putih menutupi tubuh bagian bawah. Sepertinya ia baru saja selesai mandi, terlihat dari rambutnya yang basah dan disudut ruang ada seorang gadis berbaring di atas ranjang dengan tubuh berselimut. Keadaan ini tanpa sengaja terekam oleh salah satu kru yang sedang melakukan live igram melalui gawainya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status