Share

Takut Kawin
Takut Kawin
Penulis: Be Maryam

Tragedi di Mall Medan

“Kenapa wajah kau merengut aja? Enggak senang kau sama tugas kali ini?” tanya seorang pria yang mengenakan setelan rapi berlapis jaket dan topi. Tatapannya terlihat senang akan wajah kecut wanita di depannya.

“Cak kelen pikir, apa ada polisi disuruh jadi baby sitter?” gerutu Dira dengan bibir depan yang naik sebahagian. Matanya menatap tajam, menciutkan nyali lawan bicaranya.

“Tugas kita itu jaga keamanan. Ya udah, keamanan semua oranglah. Apa yang salah?” sambung teman yang lainnya yang sedari tadi duduk di kursi belakang mobil.

“Cakap kau enggak salah, yang salah pribadi polwan sebijik ini. Anti kali sama cowok ganteng. Kenapa, apa kau takut jatuh cinta terus cinta kau enggak terbalas?” ledek mereka diikuti tawa.

“Ah, banyak kali cakap kelen pun. Aku mau nugas dulu, awas kelen enggak bertugas ya?” ancam Dira sembari mengepalkan tangan ke arah dua temannya. Membuka pintu mobil lalu melangkah turun menuju mall dan hilang dalam keramaian.

“Eh, enggak curiga si Dira?”

“Entahlah. Keknya enggak,” ujarnya sembari mengangkat kedua bahu.

***

Dira melangkah dengan gagah memasuki mall, bunyi hak menapak lantai terdengar lantang. Tegap dan siaga, wajahnya menatap berani ke arah depan. Berbalut jaket dengan rambut diikat lalu disembunyikan kedalam topi, Dira nyaris seperti seorang pria.

Di tengah keramaian pengunjung, mata Dira hanya bertumpu pada seorang pria yang tengah berada di atas panggung. Pria berwajah India dengan berewok tipis menghiasi senyumnya. Dia Daffin-model yang tengah naik daun.

“Jika bukan karena tugas, yang malasan aku berurusan dengan artis,” gerutu Dira dengan penuh kekesalan, giginya merapat dengan tatapan mata hendak menerkam mangsanya. Meski merasa enggan, namun langkah kaki Dira terus saja bergerak mendekati panggung.

“Daffin Gay! Kami enggak sudi menerima gay di kota ini!” teriakan kencang dari seorang pria yang berada di ujung panggung.

Seketika semua mata berpaling ke arah pria itu, tatapan kaget sekaligus geram terlihat dari wajah para penggemar Daffin.

“Turun! Turun! Turun!” teriak beberapa orang dari tempat yang berjarak. Mereka cukup ramai, teriakan mereka menggema memenuhi mall. Tidak hanya dari lantai satu, bahkan para pengunjung di lantai lainnya ikut mengintip dari bibir pembatas. Tatapan demi tatapan yang dilayangkan membuat Daffin semakin tertekan. Suara yang meminta ia turun pun semakin lama, semakin terdengar deras.

Para kru sibuk meminta mereka untung tenang, sebahagian yang lainnya mencoba menyadarkan Daffin dari bawah panggung. Namun, Daffin terlalu takut Terlihat dari pupil matanya terus saja bergerak ke kanan kiri dengan cepat. Bergemuruh, dadanya bergerak kencang diikuti detak jantung yang bekejar-kejaran. Daffin begitu tertekan.

Kesal, Dira menatap kesekitaran mencari asal suara. Namun, ia kesulitan karena ada banyak orang yang terus berteriak meminta Daffin turun. Sesaat Dira tersadar akan sosok Daffin yang kini masih berdiri kaku di atas panggung. Kulit kecokelatannya mendadak pucat dengan tubuh yang sulit digerakkan.

“Sialan! Masalah lagi,” gerutu Dira yang semakin mempercepat langkahnya.

Dira terus berusaha melewati ratusan pengunjung. Para kru sibuk menenangkan keributan, namun tidak berhasil. Ditengah kekacauan yang ada, seorang kru meminta Daffin kembali ke belakang panggung. Namun yang terjadi, Daffin justru memilih untuk berlari jauh meninggalkan semua orang. Tubuhnya gemetar takut. Teriakan yang menggema mengembalikan masa traumanya. Dengan mata yang berkaca-kaca dan hati yang dipenuhi rasa takut, bergemuruh dengan pikiran yang kalud. Resah dan tertekan akibat harus menanggung malu. Ia benar-benar tidak menyangka mendapat perlakuan seperti ini.

Kakinya terus saja berlari, meski tak tahu kemana hendak pergi. Tanpa memperdulikan pengunjung yang ada di hadapannya, Daffin terus saja mengelak dan melewati mereka semua. Pintu lift terbuka, tak terlihat seorang pun di dalam dan tanpa meragu, ia masuk lalu menangis sejadi-jadinya di sana. Terduduk meringkuk di sudut ruang, Daffin menangis terisak dengan tangan yang terus menjambak.

Jauh di belakang, terlihat Dira juga berlari mengikuti Daffin. Gelar pelari tercepat yang ia miliki kini tak berarti, karena ada banyak pengunjung yang menghalangi. Tak kehilangan akal, Dira mengejar Daffin melalui tangga darurat setelah menyadari Daffin menaiki lift.

Seakan dikejar waktu, kaki Dira bergerak menaiki anak tangga dengan lincahnya. Mulai merasa sesak, langkah Dira terhenti kala melihat sosok Daffin berada di balkon mall yang ada di lantai tiga.

“Mau ngapain kau!” teriak Dira sembari mengontrol napas.

“Siapa kamu?” tanya Daffin dengan wajah takut, tubuh gemetar dan tangan yang memegang erat bagian besi pembatas. Kini dirinya sudah berdiri di atas pinggiran batu dan bersiap untuk terjun.

“Aku? Bukan siapa-siapa,” jawab Dira tenang, diikuti tatapan merendahkan sambil bersandar dengan kedua tangan berlipat di dada. Sedikitpun Dira tak memperlihatkan wajah hawatir seperti kebanyakan orang. Ia justru menunjukkan sikap acuh.

“Kau mau bunuh diri ya?” sambungnya dengan nada yang benar-benar tenang.

“Bukan urusanmu!” ucap Daffin dengan mata memerah dan wajah penuh kesedihan.

“Cuman nanya kok. Kalau mau bunuh diri juga silakan,” tantang Dira dengan nada yang tegas. Senyum disudut bibirnya menunjukkan keyakinan, keyakinan kuat kalau ia akan berhasil menghalangi keinginan Daffin untuk mengakhiri hidupnya.

Daffin terdiam, niatnya melemah. Seakan tersadar, ia mulai menunjukkan wajah meragu.

“Kok enggak jadi? Enggak serulah ceritanya,” ledek Dira yang kemudian mendengkus sebal.

Daffin semakin bingung akan sikap Dira yang justru mendukung tindakan bodohnya. Ia menatap Dira tajam dengan pikiran yang berkecamuk. Hanya seorang diri tanpa manajer di sisinya, Daffin merasa sangat kacau saat ini. Rasa tertekan ini membuat semangat hidupnya kian melemah, tepatnya semenjak kematian ibunya.

“Kau pikir dengan bunuh diri masalah selesai, hah?” tanya Dira dengan nada menyungut. Perlahan Dira melangkah mendekat ke arah Daffin.

“Lompatlah! Sukur-sukur mati, kalau setengah mati, apa enggak nambah beban. Cak kau pikir dulu,” suara lantang yang keluar dari mulut Dira membuat Daffin menelan ludah.

Ia hanya merunduk, karena kini niatan hendak melompat mendadak berselimut rasa takut. Omongan Dira benar-benar membuat dia berpikir berkali-kali untuk kembali melakukannya.

“Kalau enggak jadi bunuh diri, balek aja kemari. Jangan pula niat udah hilang, eh malah kepeleset terus jatuh betulan.”

Tersenyum bangga, trik Dira dalam menyelamatkan orang yang hendak bunuh diri kali ini kembali berhasil. Dengan penuh keangkuhan sembari menghitung dalam hati, Dira menatap tajam wajah Daffin.

“Satu, dua, ti ....”

Seketika terdengar suara yang sangat keras, “Ton, ton ...,” klakson sebuah truk pengangkat barang mengejutkan mereka. Tangan Daffin terlepas dari pegangan dan, “Brak!” suara benda jatuh pun terdengar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status