Share

Daffin Diserang

Dira terbangun di atas ranjang, wajahnya terlihat bingung. Sambil menahan rasa sakit di kepalanya, Dira segera membuka selimut yang ternyata tubuhnya masih mengenakan pakaian lengkap.

“Sialan! Aku pikir dia ngapa-ngapain aku. Untungnya enggak,” gerutu Dira yang segera bangkit dan meraih jaket miliknya, Dira bersiap pulang. Dirinya benar-benar merasa lelah saat ini, meski tidak menghabiskan banyak tenaga, namun kurang tidur cukup membuat wajahnya terlihat lemas.

“Eh, Mbanya mau kemana?” tanya Leo dengan senyum terkembang.

“Mau pulang!” jawab Dira cuek, wajahnya terlihat tak senang sambil melirik tajam ke arah Daffin.

“Mba tugasnya belum selesai. Mba harus temani kami selama di Medan,” jelas Leo dengan tubuh sedikit merunduk. Sepertinya ia takut sekaligus heran melihat tingkah kasar Dira yang awalnya ia kira gadis baik karena berwajah kalem. Namun, ternyata ia salah. Dira jauh lebih menakutkan dari seorang preman.

“Enggak bisa! Aku harus pulang. Nanti datang polisi lain yang akan nemani kalian!” ungkapnya kasar sembari merapikan rambut ke dalam topi. Lalu berlalu pergi begitu saja meninggalkan dua pria dengan wajah kebingungan.

Tetapi, baru beberapa langkah ia keluar dari kamar, gawainya berdering.

“Ya Komandan!” jawab Dira dengan nada tegas, sigap, layaknya abdi negara.

Sebuah kalimat dilontarkan, hingga membuat Dira berucap, “Apa?!” teriak Dira dengan wajah kesal. Dahinya mengernyit dengan mulut yang ternganga lebar. Dengan sangat terpaksa ia memutar balik badan dan kembali ke dalam kamar hotel. Kakinya menghentak-hentak kuat sehingga membuat kebisingan area lorong.

Pintu terbuka, terlihat Leo tersenyum menyengir ke arahnya. Tangan Leo masih menggenggam gawai dengan layar menyala.

“Arghhh! Pasti bujang sebijik ini yang melapor. Awas saja kalian berani macam-macam, kubogem baru tau!”

Dira mengeram dengan gigi yang merapat. Matanya menatap tajam ke arah keduanya. Leo memilih mengalihkan pandangan, sedangkan Daffin hanya menatap bingung karena tak tahu menahu akan apa yang terjadi.

***

Daffin dan Leo menganga saat melihat Dira keluar dari ruang ganti. Keduanya saling bertatapan dengan kedua bahu yang diangkat tinggi.

“Kenapa pakai jaket? Kan jadi aneh?” tanya Leo sambil terus menatap ke arah Dira.

“Punggungku panuan!” jawab Dira ketus.

“Topinya dilepas aja. Biar rambutnya terurai. Rambut kamu bagus kok,” pinta Leo kembali.

“Rambutku ketombean.”

“Sepatunya-.”

“Sstt!” ujar Dira segera mematahkan ucapan Leo. “Mau dikawal apa enggak?”

Mata terbelalak dibalik wajah dingin Dira membuat Leo ciut. Mulutnya tertutup rapat dan kemudian melanjutkan langkah menuju mobil.

“Mau ngawal orang aja repot kale. Harus pakai beginian segala,” gerutu Dira yang kini duduk di samping sopir. “Dari awalkan aku udah bilang, enggak mau ngawal artis. Buat repot!”

Mobil melaju kencang tanpa suara. Semuanya mengunci mulut dengan rapat karena ancaman dari Dira. Mereka menuju sebuah kafe yang hendak melakukan grand opening dan Daffin diundang untuk memeriahkan acara. Di sana Daffin akan menunjukkan keahliannya, yaitu memasak. Serta memotong pita bersama-sama pemilik kafe. 

Seketika Dira terpesona akan keahlian Daffin saat memasak. Ia dengan ahlinya menggunakan pisau dan memotong buah dengan beragam bentuk. Selayaknya chef handal, Daffin berhasil menghidangkan makanan yang lezat dengan hiasan buah berbentuk bunga di sekitarnya. Mata Dira tak berkedip memandangnya, rasa kagum seketika hadir dan membuat ia lupa betapa bencinya dia akan sosok Daffin.

Di tengah keramaian pengunjung, Dira menyadari keberadaan seseorang yang terus mengikutinya. Meski tidak tahu siapa orangnya, namun Dira yakin dengan perasaannya. Matanya melirik ke sekitaran, tidak ada yang bisa ia curigai karena semua orang asik menatap Daffin dengan tangan menggenggam gawai.

Pakaian Dira yang nyentrik dengan gaun berlapis jaket dan topi, serta mengenakan sepatu dinas berhasil menjadi sorotan banyak orang. Terlebih keberadaannya yang selalu ada di samping Daffin, menyebabkan banyak mata menatap curiga akan siapa dirinya. Tak ingin menjadi incaran masa, Dira menurunkan topinya hingga menutupi sebahagian wajahnya.

Acara selesai, Daffin, Leo dan Dira diminta memasuki ruangan khusus untuk beristirahat. Dira sengaja berjalan lambat dan memilih bersembunyi dibalik pot besar yang bisa menutupi tubuhnya. Dirinya bersiap siaga mengincar sosok yang mungkin kembali mengikuti mereka.

“Bug!” 

Kaki panjang Dira melayang tepat di perut seorang pria yang berusaha mengikuti Daffin. Pria itu tersungkur hingga terlentang di atas lantai. Tanpa buang waktu Dira segera menangkap pria itu. Namun, ia cukup kuat dan berhasil dengan mudah menghindari pegangan Dira.

Aksi kejar-kejaran pun terjadi. Ditengah lorong panjang yang sepi, Dira terus berlari cepat. Kecepatan berlarinya berhasil membuat pria itu kembali tertangkap. Tak ingin kembali kehilangan. Dira dengan segera mengunci tangan pria itu, lalu membanting tubuhnya ke atas lantai.

“Aw!”

Jeritnya dengan wajah meringis. Pria bertubuh gemuk dengan mata sipit itu terlihat takut. 

“Ada apa ini?” tanya salah satu karyawan kafe.

“Dia menguntit kami!” jawab Dira tegas dengan wajah penuh bangga. Tatapan percaya diri Dira terlihat aneh bagi para karyawan, terlebih dengan pakaian yang tengah digunakan Dira. Namun, bukan Dira namanya jika ia tidak mengenakan celana di bagian dalam. Sebagai polisi, Dira selalu siap sedia melaksanakan tugasnya. Kapanpun dan dimanapun, karena inilah cita-citanya sedari kecil.

Sesuai saran pemilik kafe, pria itu diikat dalam sebuah ruangan sembari menunggu pihak kepolisian datang. Daffin dan Leo terlihat bingung dengan keadaan yang ada. Mereka tidak menyangka, keterlambatan Dira ternyata karena menangkap pria penguntit.

“Kok bisa sih? Bukannya dia pakai gaun?” bisik Leo ke telinga Daffin.

Daffin hanya mengangkat bahu, sambil melirik takut ke arah Dira yang kini sedang menatap tajam ke arahnya.

Suara sirine mobil kepolisian tidak terdengar, namun tiba-tiba saja beberapa polisi masuk ke ruangan mereka.

“Dir, kau yang ditugaskan jaga ya?” tanya salah seorang polisi.

“Yuhu,” jawab Dira dengan angkuhnya, sembari menaik turunkan alis mata kanan.

“Mari, Pak!” pinta salah satu karyawan yang kemudian membukakan kunci pintu ruang tempat pria penguntit itu diikat.

“Apa?” teriak Dira dengan kedua mata terbelalak, diikuti dahi yang mengernyit. Wajah berang pun kembali diperlihatkan Dira.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status