Aku masih belum pergi dari tempat mesin ATM itu dan menunggu balasan dari Gandhy. Aku dengan cepat membukanya ketika dia membalasnya beberapa menit kemudian. Jawabannya semakin membuatku jengkel.Gandhy: 'Lagi sepi. Nanti aku transfer lagi kalau udah ada. Tapi tolong kirimin photo dan video Fuchsia dulu.'Aku: 'Photo dan video? Ini maksudnya kamu nggak akan mau kirimin uang kalau aku nggak mau kasih photo dan video Fuchsia?'Gandhy: 'Mikir jelek aja terus.'Kekesalanku sedang berada di ubun-ubun padahal jelas-jelas aku berkali-kali melihat status miliknya yang seringkali dia pergi ke luar untuk makan. Kalau dia saja masih bisa bersenang-senang di luar rumah, kenapa dia tidak bisa mengirim anaknya uang dengan jumlah yang cukup?Aku semakin tak bisa menahan rasa kesalku terhadap pria yang telah membuatku mulai membencinya itu."Astaga, kenapa dia sangat brengsek sekali? Ya Tuhan, kenapa aku dulu bisa bertemu dengan manusia semacam dia?" gumamku.Namun, setelah tersadar jika ucapanku itu
"Nggak ah, Al. Aku membayangkannya saja ngeri," ucapku.Alea berkata, "Loh, kenapa malah kamu yang ngeri? Kan kamu senang kalau misalnya dia mendapatkan balasan dari apa yang dia perbuat? Tahu nggak sih, Ra. Sanksi sosial itu memang harus diberikan pada orang-orang macam perebut suami ataupun istri orang lain."Aku memikirkan ucapan Alea tetapi tetap saja aku rasanya tidak akan mungkin bisa melakukan hal semacam itu."Aku nggak bisa, Al," ucapku.Kudengar Alea mendesah, "Kenapa nggak bisa? Mereka itu harus dikasih pelajaran dan salah satu pelajaran yang bisa kita kasih ke mereka itu ya dengan cara ini. Biar saja semua orang tahu."Aku menatap sahabatku itu lalu berujar, "Al, kalau aku viralin kasus ini dan semua orang tahu, aku juga yang akan malu.""Loh, kok jadi kamu yang malu? Kan mereka yang salah. Mereka yang sudah berani menjalin hubungan di belakang kamu. Mereka dong yang harus malu. Kamu nggak salah apa-apa kok," ujar Alea.Aku menggelengkan kepalaku, "Iya, tapi apa kamu itu lu
"Nggak sih, sebenarnya bisa dibilang mungkin aku yang lebay aja, Ra," ucap Alea lalu dia menghapus air matanya.Aku menaikkan alisku heran. Teman baikku yang satu itu benar-benar luar biasa aneh. Beberapa detik yang lalu dia baru saja menangis tersedu-sedu sampai aku langsung cemas, tetapi sekarang ini dia kembali tersenyum konyol. "Kamu ini gimana sih?" ucapku mulai sebal.Alea tertawa kecil, "Uh, itu hanya masalah Mas Rangga yang sering banget maksain keinginan dia.""Maksain keinginan dia gimana?"tanyaku lagi.Alea mengerucutkan bibirnya, "Dia nyuruh aku buat manjangin rambutku tetapi aku nggak mau. Kesel banget aku itu. Aku mau potong rambut di salon yang baru aja buka di salah satu mall gitu, eh dia nggak mau nganterin. Kan bikin jengkel dia."Aku menatap tak percaya setelah mendengar ocehan Alea."Astaga, Ra. Kamu ini, aku kira apaan tahu nggak sih?" ucapku sambil menggelengkan kepalaku.Alea tertawa kecil."Omong-omong kamu tadi ke sini diantar sama suami kamu?" tanyaku yang sa
"Mbak, Mbak. Sudah bawa persyaratannya?" tanya seorang petugas di bagian pendaftaran.Aku baru saja tersadar dari lamunanku."Oh, syarat? Saya belum membawanya, Pak. Saya ke sini mau tanya tentang persyaratan dan juga biayanya dulu, Pak," ujarku."Oh, begitu. Sebentar kalau begitu," ucap petugas yang aku taksir usianya mungkin tak jauh berbeda denganku."Ini yang mengajukan pihak Anda atau suami, Mbak?" tanya petugas itu."Saya, Pak," jawabku pelan.Aku melihat dia lalu menulis sesuatu di atas kertas itu dan tak lama kemudian, dia menyerahkannya kepadaku."Ini, Mbak. Persyaratannya sudah saya tulis di kertas itu ya beserta biayanya," ucap petugas itu."Terima kasih, Pak," ucapku lalu mulai membaca kertas itu."Kalau masih bingung, bisa ditanyakan pada saya," ucapnya.Aku mengangguk dan mengerutkan dahiku, "Pak, ini jadi harus ada surat pengantar dari desa ya?""Benar, Mbak," jawabnya.Aku kembali meneguk salivaku dalam-dalam.Astagfirullah, ini sama saja aku dengan tidak sengaja member
Aku ingin sekali membalas ucapan orang itu tetapi aku berusaha membuat diriku sabar. Masalahnya, orang itu seusia papaku dan juga dia adalah salah satu perangkat desa. Jika aku menanggapi omongannya yang tidak enak, nantinya pasti akan canggung sekali saat aku pergi ke kantor desa lagi.Maka, dari pada aku terlibat pertengkaran tidak jelas, aku memilih untuk segera cabut dari kantor desa dan langsung menuju ke tempat rental komputer yang letaknya dekat dengan tempatku bersekolahku dulu."Mas, tolong dong ini difotocopy, masing-masing lima ya Mas," ucapku."Baik, Mbak. Kertasnya biasa ya?" tanya Mas penjaga."Biasa aja, Mas. Oh iya, komputernya ada yang kosong nggak Mas? Saya mau cetak photo," ujarku."Ada, Mbak. Yang komputer paling ujung, Mbak," sahut Mas penjaga."Oke, Mas."Aku melangkahkan kakiku menuju komputer itu dan mulai mencetak beberapa photo. Foto yang aku maksud itu adalah foto bukti perselingkuhan Mas Gandhy dan Deva. Aku mencetak semuanya tanpa aku lewatkan sedikitpun s
Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya aku memilih untuk berhenti berjualan roti. Memang benar apa yang dikatakan oleh Mama dan juga Mbah Uti, tubuhku rasanya tidak kuat jika harus berkeliling untuk menjual roti-roti itu. Selain itu, waktu yang kuhabiskan pun lebih banyak sehingga membuat anakku rasanya seperti kehilangan banyak waktu denganku. Jadi, aku sekarang lebih memfokuskan diriku untuk mengambil lebih banyak job sebagai seorang pengajar les privat. Sebenarnya, ini bukan semata-mata karena aku malu berjualan roti itu tetapi lebih pada kesehatanku serta waktuku. Namun, memang ternyata ketika aku berhenti Mama dan Mbah Uti begitu lega. "Zara, mau daftar ke pengadilan dulu, Ma," pamitku yang sudah selesai menyiapkan semua berkas gugatan cerai. Mama terlihat memandangku dengan tatapan sayunya, dia berujar pelan sambil duduk di salah satu kursi yang kosong. "Mama sebenarnya nggak pernah menyangka kalau rumah tangga kamu harus berakhir seperti ini. Perceraian itu memang
Namun, setelah aku berpikir panjang mengenai pernikahan kedua yang beberapa kali telah diucapkan oleh Mama dan juga Mbah Utiku itu, aku tetap belum bisa melakukannya. Sepertinya, meskipun nanti masa iddah ku selesai, aku belum bisa memikirkan hal itu. Saat ini prioritasku adalah lepas dari orang itu lalu kemudian mencoba untuk mendorong diriku lagi untuk mendapatkan apa yang sudah aku impikan sejak dulu. Aku hanya ingin membuat anakku bangga akan diriku dan menjamin kehidupannya. Saat usai sidang itu, Gandhy tetap saja tak menghubungiku untuk menanyakan anaknya. Rasanya aku semakin mulai paham jika dia memang lepas tangan sepenuhnya untuk ikut merawat anakku. Padahal awalnya aku sempat mengira jika Gandhy akan merebut hak asuh atau setidaknya akan terjadi perebutan mengenai hak asuh anakku itu. Ternyata Gandhy memang tak peduli sepenuhnya tetapi aku justru merasa sangat lega sekali karena itu artinya aku bisa mendapatkan hak asuh sepenuhnya atas anakku. "Gandhy nggak datang?" ta
Oh, tidak. Aku tidak ada waktu untuk ini. Dengan segera aku berkata, "Dok, anak saya demam tinggi. Baru tadi."Aku lihat dokter muda itu sedikit tersentak dan langsung saja menjawab, "Anak? Oh, i-iya saya periksa dulu."Aku mengangguk dan ke luar dari ruang itu, membiarkan dokter menangani anakku. Di luar ruangan, aku dan Mamaku tak henti-hentinya memanjatkan doa untuk Fuchsia. Ya, Tuhan. Aku sangat takut. Aku tak mau terjadi apa-apa dengan putriku, ucapku dalam hati.Aku bahkan tak kuasa menahan diri untuk tak berdiri mondar-mandir di depan unit gawat darurat. Sekitar lima menit kemudian, dokter itu ke luar dari sana dan langsung menuju ke arahku dengan raut wajah cemas."Demamnya cukup tinggi. Apa ada keluhan selain demam?" tanya dokter itu.Tiba-tiba Mamaku menjawab, "Ada, Dok. Tadi dia bilang saat pipis dia bilang perih."Aku tentu saja terkejut dan menoleh ke arah Mama tetapi tak mengeluarkan sepatah kata pun.Aku lalu mendengar dokter itu berkata lagi, "Kalau begitu tes urine d