Home / Rumah Tangga / Talak Aku, Mas! / 4. Salah Memanggilku

Share

4. Salah Memanggilku

Author: Zila Aicha
last update Last Updated: 2022-05-29 02:43:53

Apakah itu sebuah pertanda buruk? Aku tidak memikirkannya. Tetapi Mamaku terlihat sedang berpikir saat aku membersihkan pecahan kaca itu. Foto itu padahal baru saja dipasang di ruang tamu tapi bisa-bisanya malah jatuh.

"Apa kurang kuat ya talinya, Ma?" tanyaku.

"Mungkin," jawab Mama singkat.

Daripada aku berpikiran yang bukan-bukan, aku memutuskan untuk segera pergi ke percetakan photo. Di tengah perjalanan, aku sudah lupa tentang pigura yang jatuh itu.

Aku malah menikmati jalanan kota. Aku sudah jarang sekali keluar sendirian semenjak memiliki anak. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku di rumah bersama anakku dan kalau pun aku keluar, tidak mungkin aku sendirian.

Aku pasti akan mengajak Mamaku dan juga Fuchsia. Kalau saat Mas Gandhy sedang pulang, kami keluar bertiga.

Sambil mengemudi motor kesayanganku yang aku beli dari hasil jerih payahku sebagai seorang guru beberapa tahun yang lalu, aku melihat banyak hal yang telah berubah di kota kelahiranku.

Saat aku berhenti di pertigaan karena lalu lintas, aku melihat beberapa orang dengan seragam guru sedang menyeberang.

Ah, aku jadi rindu mengajar, batinku.

Akan tetapi, aku hanya bisa menatap mereka dari kejauhan dengan tatapan kagum.

Aku tentu tak bisa bekerja dulu, Fuchsia prioritasku. Aku tak ingin meninggalkannya untuk bekerja. Jadi, ku tepis pikiranku yang sempat ingin bekerja lagi itu dan fokus untuk menuju tempat percetakan.

Begitu sampai, aku lega luar biasa karena tempat itu sedang tak ramai.

Seorang pegawai mendekat ke arahku dan bertanya, "Ada yang bisa saya bantu, Mbak?"

Aku tersenyum canggung lalu menjawab, "Saya mau cetak polaroid, Mbak. Bisa?"

"Bisa, Mbak. Mau kertas yang apa?" tanyanya sambil menunjuk beberapa jenis kertas foto. Aku langsung memilih yang paling pinggir karena terlihat lebih tebal.

"File-nya bisa dikirim ke email kami ya Mbak," ucap pegawai itu lagi sambil menunjuk sebuah kertas yang berisi alamat email percetakan itu.

Aku mengangguk dan segera memilih foto yang ingin aku cetak. Setelah sudah semua, aku mengirim semua foto itu. Kebanyakan foto itu tentu saja foto anakku. Bahkan bisa dibilang delapan puluh persen foto itu adalah foto anakku dan sisanya foto kami bertiga.

"Sudah, Mbak. Ini bisa ditunggu ya?" tanyaku. Aku malas kalau harus bolak-balik ke percetakan itu hanya untuk mengambil foto.

"Bisa, Mbak. Silahkan tunggu di sebelah sana!" ucap pegawai itu. Dia menunjukkan beberapa sofa bewarna biru yang digunakan para pelanggan untuk menunggu.

Aku mendudukkan diriku di sana dan agar tidak bosan aku bermain ponselku lagi.

Aku membaca sebuah novel dalam bentuk p*f selama beberapa menit. Namun, kemudian aku merasa jenuh dan memilih untuk menghubungi Mas Gandhy.

Aku melirik jam di bagian pinggir ponselku. Pukul sepuluh pagi. Biasanya jam segini dia lagi di jalan atau sedang bertemu dengan para pedagang. Tetapi entah dorongan apa yang membuatku nekad untuk meneleponnya.

Aku menunggu beberapa detik sampai akhirnya dering itu berakhir, panggilanku tidak dijawab oleh Mas Gandhy. Aku tak heran.

"Pasti lagi sibuk," ucapku.

Akan tetapi, beberapa menit kemudian Mas Gandhy mengirim sebuah chat padaku. Aku dengan bersemangat membukanya sambil tersenyum.

'Ada apa, Yank?'

Seketika senyumku lenyap. Dia memanggilku 'Yank'. Aku membeku di tempatku duduk. Masih terdiam dan berusaha tenang. Aku melihat lagi dan benar. Tidak ada yang salah.

Dia benar-benar memanggilku 'Yank'. Panggilan yang tidak pernah dia gunakan untukku. Mas Gandhy hanya memanggilku, 'Adik atau Cherrie'. Panggilan 'Cherrie' ketika kami masih awal pacaran dan seiring waktu berubah menjadi 'Dik atau Adik'.

Tidak sekalipun dia memanggil selain itu. Tanganku gemetar tak karuan. Tidak mungkin dia memanggilku seperti itu. Dia jelas-jelas tak pernah salah memanggilku. Namun, kenapa sekarang malah begini?

Dengan cepat aku langsung mengirim pesan balasan untuknya.

'Kenapa Mas memanggilku 'Yank'?'

Aku sudah tak bisa menahan diriku lagi. Ingin aku bertanya tentang banyak hal terhadapnya. Aku menggigiti kuku jari tanganku sendiri untuk mengatasi kegugupanku.

Balasan darinya tak lama datang.

'Maaf, maksud Mas, Adikku sayang.'

Jawaban macam apa itu? Aku sungguh semakin curiga. Tak bisa lagi kubendung rasa tidak percayaku pada Mas Gandhy.

Namun, aku tidak membalas pesan itu dan malah melihat status milik orang-orang. Aku sengaja mencari status milik Mbak Deva. Entah apa yang ada di pikiranku yang langsung mencurigai wanita itu.

Dan ternyata memang ada. Sekitar dua menit yang lalu dia membuat status itu.

Isinya tentang tips menjaga agar hubungan awet. Aku langsung bertanya-tanya. Dia kan janda. Kok dia mikir cara menjaga hubungan sih?

Karena aku curiga, aku langsung chat dia.

'Wah, Mbak udah mau nikah ya?'

Seperti biasa, dia cepat sekali membalas pesanku.

'Doain aja ya!'

Hatiku memanas entah karena apa. Aku mulai pusing, aku sangat curiga pada bos suamiku itu tetapi terkadang aku merasa itu tidak mungkin.

Apa iya dia tega? Dia kan kenal aku cukup baik. Lagi pula suaminya kan baru satu tahun lebih meninggal, mana mungkin dia berniat menikah begitu cepat?

"Mbak, sudah selesai."

Suara pegawai percetakan berhasil membuatku tersadar dari lamunan.

***

Malam harinya, aku tak mengungkit perihal panggilan yang salah itu dan mencoba untuk bersikap biasa saja saat membalas pesan-pesannya.

Namun, pikiranku justru semakin tidak tenang. Aku berkali-kali melihat ponselku hanya untuk sekedar mengecek apakah keduanya online secara bersamaan atau tidak.

Dan benar saja. Keduanya selalu bareng saat online dan offline juga sama. Aku hampir frustrasi. Rasanya sungguh tidak enak sekali. Mencurigai sesuatu tetapi tidak memiliki cukup bukti untuk mengungkapkan rasa curiganya.

Tanpa sadar air mataku mulai menetes. Aku kembali teringat saat kita masih belum menjalin hubungan dulu dan bisa dibilang berteman secara online.

Dia dulu memiliki kehidupan yang bebas saat masih bekerja di ibukota. Dia bercerita tentang segala hal yang dia lakukan saat sebelum bertemu denganku.

Dia juga menceritakan bagaimana dia sering bergonta-ganti pasangan dan bahkan hampir tiap dua minggu sekali dia berganti wanita. Dia tak pernah serius menjalin sebuah hubungan. Baginya, berganti pasangan itu adalah bukan hal yang besar.

Selain itu, dia pun juga mengaku jika dia seorang pemabuk dulunya. Dia bahkan dengan jujur bercerita tentang jenis minuman apa saja yang dia pernah minum.

Namun, dia mengaku telah berhenti saat dia pulang ke kota kelahirannya dan lalu bertemu denganku. Aku semakin menangis. Aku takut. Sangat takut jika dia kembali menjadi seorang playboy.

Aku menoleh dan melihat Fuchsia yang memeluk guling kecilnya dengan mata terpejam. Aku mengecup puncak kepalanya.

Fuchsia, apa yang harus Mama lakukan? batinku bingung.

Aku merasa semuanya abu-abu. Tak ada yang jelas. Tapi tiba-tiba otakku bekerja, aku memikirkan sebuah cara. Aku mengirim sebuah pesan pada saudara laki-lakiku, Eros, yang tengah bekerja di luar kota.

'Eros, bisa hack aplikasi chat nggak?'

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dewi Rb
cuma gtu"aja alur ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Talak Aku, Mas!   98. Akhir

    "Ya. Aku tentu menyukainya, Ndy. Karena kalau tidak, mana mungkin aku mau menikah dengannya," ujarku yang telah tak bisa lagi membiarkan Gandhy terus-menerus menggangguku.Saat aku mengatakannya, wajah Gandy terlihat mengeras. Dia terdiam beberapa saat lamanya sampai aku lelah sendiri menunggunya sehingga aku berkata, "Aku kerja dulu ya, Ndy. Kalau mau ketemu Fuchsia, kamu tunggu aja. Dia udah bangun kok."Saat aku melangkah, ia mendadak berkata, "Maafin aku ya, Ra! Atas semua masalah yang aku timbulkan. Mungkin ini waktunya aku menyerah."Aku tertegun, tentu saja. Tak pernah terkira aku akan mendapatka permintaan maaf dari Gandhy yang notabene adalah orang yang anti sekali mengakui kesalahannya dan malah seakan tak pernah merasa bersalah padahal telah berbuat salah. "Aku benar-benar minta maaf atas tindakan dan sikap aku yang telah membuatmu terganggu selama ini, Ra. Aku tahu aku pasti udah bikin kamu nggak nyaman. Aku hanya masih sulit menerima jika kamu akan menjadi milik orang la

  • Talak Aku, Mas!   97. Keterbukaan

    Jawaban dari pertanyaan Aaron tentu saja adalah iya. Namun, tentu aku tak langsung berkata lantang mengenai hal itu. Aku memilih untuk menyimpan keraguan kepadanya dan bertanya tentang hal lain, yang mungkin bisa saja membuat kepercayaanku kembali lagi."Aaron, saya bukannya meragukan kamu. Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiran saya," jawabku.Aaron membalas, "Apa? Beritahu saya, Zara!"Aku tersenyum tipis, "Boleh saya jujur sekaligus bertanya sama kamu?""Tentu saja boleh. Bukankah kita sebentar lagi akan hidup berdua? Kamu berhak bertanya hal apapun."Kuanggukkan kepalaku sebelum kemudian berkata pelan, "Tadi salah satu teman kerja aku, menemukan akun instagram lama kamu. Dan saya agak terkejut kamu nggak pernah menceritakan itu sama saya. Pertanyaan saya, kenapa kamu menyembunyikan hal itu dari saya?"Saat aku mengamati Aaron, jelas sekali ekspresi wajahnya yang tadi tampak tenang itu kini terlihat gusar."Jadi, kamu sempat melihatnya?" tanya Aaron.Aku mengangguk sekali lagi.A

  • Talak Aku, Mas!   96. Rencana Aaron

    "Ya dijual. Aaron bilang itu restorannya harus dijual," jawabku."Hah? Dijual? Apa nggak rugi? Nggak sayang, Ra?" tanya Andindia yang mengerti bagaimana susahnya menjalankan sebuah usaha. Aku sangat paham akan hal itu. Terlebih lagi kulihat sorot matanya ada sebuah ketidakrelaan yang ia perlihatkan dengan jelas."Iya pasti sayang banget, Nind. Tapi itu udah jadi keputusan dia jadi ya aku nggak bisa ikut campur," jawabku.Tya berdecak, "Lha apa nggak ada sanak saudaranya yang bisa mengurus usahanya itu, Ra? Aku masih agak gimana gitu kalau dijual."Aku menjawab, "Keluarganya yang lain itu punya usaha-usaha sendiri jadi ya nggak ada yang urus.""Walah. Sayang banget!" seru Anindia.Marlina bertepuk tangan, "Semua itu dilakukan demi perasaan yang dinamakan 'Love'. Ah, aku iri sekali jadinya sama kamu, Ra. Dicintai dengan begitu besar sama lelaki yang rela melakukan apapun demi kamu. Wow, that's so sweet, you know."Aku hanya diam, agak malu."Kamu benar-benar sangat beruntung banget, Ra.

  • Talak Aku, Mas!   95. Alasan Zara

    "Ya ngapain juga aku bohong sama kamu, Al. Aneh-aneh aja kamu tuh," sahutku cepat.Kulihat Alea tersenyum, "Duh, dia tuh idaman banget, Ra."Aku menaikkan sebelah alisku menatap Alea, menunggu ia melanjutkan kata-katanya.Alea yang selalu dengan mudah memahami arti dari setiap sikapku itu langsung saja berkata, "Dia sangat dewasa, Ra. Ini nih ya, kalau cowok lain ya dia pasti akan berantem sama Gandhy. Terus kamu juga akan ditekan buat lebih tegas sama Gandhy dan malah bisa-bisa dia nggak kasih izin sama Gandhy buat ketemu Fuchsia."Aku sedikit terkejut mendengar apa yang dikatakan Alea."Tapi, Al. Aku lihat banyak juga kok yang bersikap kaya Aaron. Banyak juga yang masih kasih izin buat mantan suami ketemu sama anak hasil dari pernikahan si istri sebelumnya. Lagi pula, kan nggak ada hak dia larang-larang," ujarku.Alea menjawab, "Langka, Ra. Swear deh. Kamu cari tuh cowok macam Aaron di belahan dunia lain, pasti kamu kesulitan nyari."Aku terdiam. Alea melanjutkan, "Yakin deh. Kamu i

  • Talak Aku, Mas!   94. Putus Asa

    "Duh, memang ngomong sama kamu itu susah banget ya," ujarku putus asa, merasa sagat percuma berbicara dengan Gandy sekarang."Zara, aku itu hanya mau yang terbaik buat Fuchsia."Aku menggelengkan kepalaku."Kamu bahkan nggak tahu apa yang terbaik bagi Fuchsia. Kamu hanya memikirkan tentang dirimu sendiri. Kamu nggak pernah mau tahu mana yang baik dan buruk bagi Fuchsia," ujarku."Yang terbaik bagi Fuchsia itu ya dia hanya dekat dengan papa kandungnya saja."Aku tertawa. Tawa hambar yang kuperlihatkan pada Gandhy."Seharusnya kamu melakukan hal itu sejak dua tahun lalu. Bukannya baru berbicara sekarang. Ke mana saja kamu saat itu? Kamu aja nggak peduli sama anak kamu kok," ujarku."Kenapa sih kamu mengungkit hal itu lagi, Ra? Kamu masih dendam kepadaku?" tanyanya.Tak percaya aku dengan perkataanya yang semakin membuatku ingin sekali dia segera saja pulang dari rumahku."Lebih tepatnya aku heran bagaimana bisa kamu yang telah melakukan kesalahan besar tapi tak mau berkaca dan instropek

  • Talak Aku, Mas!   93. Keegoisan

    "Ada apa ke sini?" tanyaku sinis.Sengaja aku langsung menyambutnya. Hal ini bukan karena aku senang bertemu dengannya tapi karena aku masih sangat kesal sekali dengannya. Ini tentu berkaitan dengan pertemuan kami yang terakhir kemarin. Pertemuan yang membuatku muak karena kedatangan Deva yang tiba-tiba dan mengacaukan mood-ku."Loh kok ada apa sih, Ra? Kan kata kamu kemarin aku boleh datang jenguk Fuchsia kapan aja. Kamu bilang nggak akan halangin aku buat ketemu dia," ujarnya baru saja melepaskan helm."Ya, tapi bukan berarti terlalu sering. Mending kamu bikin jadwal aja deh. Bisa kan?" tanyaku.Gandhy menyahut, "Oke, nanti aku akan bikin jadwak biar kita sama-sama nyaman."Gandhy kemudian melirik ke arah bagian sepatu, "Ada tamu ya?""Ya. Ya sudah masuk aja."Gandhy kemudian masuk dan langsung saja bertatap muka dengan Aaron yang sedang main dengan Fuchsia. Namun, Gandhy memutus pandangannya dan langsung beralih melihat Fuchsia."Fuchsia, Sayang."Fuchsia mendekat ke arah Gandhy. "

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status