Eros langsung meneleponku. Dengan pelan-pelan aku ke luar dari kamar agar suaraku tak menganggu anakku yang sedang tidur.
"Gimana? Bisa nggak?" tanyaku dengan gelisah."Buat apa memangnya, Mbak?" tanya Eros terdengar heran.Aku menahan napas sebentar, menimbang-nimbang apakah aku harus cerita tentang kecurigaanku atau tidak. Selama berumah tangga dengan Mas Gandhy, aku sangat tertutup pada siapapun. Tak pernah sekalipun aku cerita tentang masalah-masalah yang menimpaku.Bahkan kepada sahabat baikku yang baru saja menikah beberapa bulan lalu, aku tak pernah berkeluh kesah padanya meskipun terkadang aku tidak betah.Akan tetapi, aku tetap teguh dengan pendirianku, aku tak ingin masalah rumah tanggaku diketahui oleh orang lain karena menurutku memang hal itu sangat pribadi.
Namun, saat ini aku sudah sangat pusing sekali, pikiranku sedang berantakan. Aku membutuhkan saran orang lain. Bukankah lebih baik jika aku bercerita pada adikku saja?Akhirnya aku memutuskan untuk memberitahu adikku."Aku curiga sama Gandhy, Ros. Aku curiga dia selingkuh. Aku nggak punya bukti, jadi bisa nggak kamu bantu buat hack aplikasi chat-nya itu?" pintaku.Kudengar dia menghela napas."Mbak, kenapa sih dulu nikah sama dia? Aku udah tebak kalau pasti akan begini jadinya. Kamu kan tahu masa lalu dia begitu buruk, kenapa masih diterima sih?" Kudengar dia mengomel."Udah ada Fuchsia, udah telat kamu ngomong kaya gitu. Sekarang ini aku butuh tahu di sana dia ngapain aja. Kalau dia memang terbukti selingkuh, aku...."Aku tak sanggup mengucapkannya. Apa yang harus aku lakukan?Eros terdiam sebelum kemudian kata-katanya membuatku lega."Oke, aku akan coba, Mbak tapi jangan terlalu berharap. Aku soalnya belum pernah hack jarak jauh, biasanya aku harus tahu dulu jaringan apa saja yang terhubung dengan nomor yang dipakai dia dalam aplikasi chat itu."Aku menutup panggilan itu dan masuk lagi ke dalam kamar. Aku cukup kacau saat ini. Bayangan-bayangan saat kami baru saja menikah hingga berbagai masalah-masalah yang timbul mulai kembali menyeruak di dalam pikiranku.Aku kembali mengecek aplikasi chat itu dan tetap saja keduanya masih online secara bersamaan. Aku menutup wajahku dan mulai menangis sampai aku ketiduran.Saat terbangun pada pukul dua dini hari, aku melihat pesan dari adikku.'Mbak, maaf aku nggak bisa. Langsung tanya dia aja, Mbak. Kalau perlu, paksa ngaku.'Kecewa? Tentu saja. Namun, apa yang bisa aku perbuat? Aku tak bisa melakukan apapun. Aku melirik sajadah dan mukena yang lupa aku rapikan. Tiba-tiba saja ada dorongan untuk salat.Aku lalu mengambil air wudhu dan menunaikan salat tahajud. Aku selalu ingat, jika tak ada orang yang bisa membantumu, maka cukup Allah lah sebagai penolongmu. Minta tolonglah pada Allah, niscaya Dia akan membantumu.Aku merasakan damai dan sensasi sejuk saat menunaikan ibadah salat tahajud. Hatiku menjadi ringan dan tenang. Setelah usai berdzikir, aku memanjatkan doa kepadanya dalam hati.'Allah, aku memang memiliki banyak sekali dosa dan kekurangan. Aku dengan tidak tahu diri bahkan sering lupa akan bersyukur dan selalu meminta bantuanMu. Ya Rabb, tapi hanya Engkau yang bisa menolongku. Aku mohon, berikanlah petunjukMu untukku. Izinkanlah aku mengetahui hal yang sebenar-benarnya tentang suamiku. Izinkanlah, Ya Rabb!'Aku menangis setelahnya, bersujud kembali dan menumpahkan segalanya di sana. Aku menyerahkan segalanya pada Tuhanku. Aku pasrah.Di sela-sela tangisku, tiba-tiba saja ada bayangan rumah mertuaku yang terlintas dalam kepalaku. Aku menghapus tangisku dan duduk. Aku masih tak mengerti, tetapi aku entah kenapa ingin pergi ke rumah barat.Jantungku berdebar aneh. Dengan segera aku merapikan mukenaku dan ke luar dari kamarku.
Mama dan papaku sudah bangun. Mereka sedang menungguku untuk sahur bersama. Aku tetap bersikap setenang mungkin di hadapan kedua orang tuaku. Aku tak ingin membuat mereka cemas. Aku makan dalam diam.Setelah selesai sahur, aku kemudian berucap, "Ma, nanti habis subuh, Zara mau ke rumah barat ya."Kulihat mamaku menaikkan alisnya dan menjawab, "Mau ngapain? Kan Gandhy baru ke sini beberapa hari yang lalu.""Zara mau ambil beberapa barang, Ma." Tentu saja aku menutupi semuanya dari Mama, aku tak ingin mengatakan apapun sebelum semuanya jelas."Ya tapi kenapa harus pagi-pagi? Kenapa nggak siangan aja? Kalau Fuchsia nyari gimana?" Mama bertanya sambil membereskan meja dapur."Kalau pagi kan masih bisa ketemu Gandhy. Semoga nanti Fuchsia nggak rewel. Sebentar saja kok," ucapku berharap mama mengizinkan aku.Aku tak bisa pergi tanpa izin Mama, karena aku membutuhkan Mama untuk menjaga Fuchsia selama aku pergi."Ya sudah, hati-hati. Pakai jaket tebal, Nduk!" ucap mama.Aku mengangguk dan tak henti berterima kasih pada Mamaku yang selalu saja menjadi malaikatku.Aku membuat sebuah status di aplikasi chat. Photoku bersama Fuchsia. Kami memakai mukena baru yang kubeli via online. Paket yang berisi mukena ini tiba saat aku sedang mencetak foto kemarin. Aku yang sedang bingung kemarin tetap mengambil foto sambil memakai mukena baru itu bersama Fuchsia.Aku hanya memberi caption berupa emoticon ibu dan anak. Hanya dalam beberapa detik, aku melihat Mbak Deva melihat status yang aku buat itu dan secara bersamaan Mas Gandhy mengirim sebuah pesan.'Maaf tadi Mas ketiduran. Bangun mepet terus langsung sahur. Ya dah, Adik nanti jangan lupa salat subuh ya. Mas mau lanjut tidur lagi. Masih ngantuk.'Aku hanya menjawab singkat.'Iya, Mas.'Aku berusaha menenangkan diriku mati-matian.***Aku berkendara dengan tenang. Aku memakai headset dan memutar lagu. Aku tahu ini tidak bagus. Hanya saja aku takut melamun di jalan dan malah tak berkendara dengan benar. Jadi, untuk membuat pikiranku tak melayang kemana-mana, aku berkendara sambil mendengarkan musik.Udaranya sangat dingin, tanganku hampir saja membeku. Aku padahal sudah memakai sarung tangan berbahan rajut juga jaket tebal yang berwarna cokelat.Mengingat jaket yang sedang aku pakai sekarang, hatiku sedikit diremas-remas. Jaket ini adalah pemberian seorang mantan kekasihku.
Mantan kekasih yang pernah membuatku bahagia selama bertahun-tahun lamanya tapi akhirnya putus karena beberapa hal. Sudahlah, aku tak ingin mengingat-ingat lagi. Dia sudah menjadi masa lalu. Sekarang saatnya melihat masa depan.Tetapi bagaimana masa depanku nanti? Jika sekarang saja semuanya seakan menjadi abu-abu. Aku menggelengkan kepalaku dan kembali berkonsentrasi mengemudi motorku.Aku sampai di rumah mertuaku pukul lima lebih dua puluh. Matahari belum muncul. Aku memarkir motorku di depan pintu.'Bismillah.'Aku ucapkan itu sebelum masuk ke dalam rumah. Aku tak mengetuk pintu itu dan langsung saja berjalan masuk ke dalam. Aku melihat Bapak Mertuaku sedang menonton televisi di bagian belakang sendirian sambil tiduran, kebiasaan yang selalu dia lakukan seusai salat subuh."Assalamualaukum, Bapak."Bapak Mertuaku terkejut dan langsung duduk. Dia tersenyum."Waalaikumsalam. Sendiri? Nggak ajak Fuchsia?" tanyanya.Aku menghampirinya dan mencium tangannya."Sendiri, Pak. Fuchsia masih tidur. Ibu di mana?" tanyaku yang tidak melihat ibu mertuaku di sana."Di kamar, tidur lagi. Ada apa?" tanyanya dengan raut wajah keheranan.Dia sudah mengenalku denganku baik. Aku tidak mungkin datang tiba-tiba ke rumah barat jika aku tidak memiliki masalah atau kepentingan.Sebelum menikah, aku pernah datang sore-sore ke sana tanpa pemberitahuan karena ada masalah waktu itu. Dan kini pun aku datang di pagi-pagi buta pasti juga ada masalah. Aku mencoba membaca raut bingung di wajah mertuaku."Nggak ada apa-apa, Pak. Mas Gandhy masih tidur?" tanyaku."Masih. Bangunin aja!" ucapnya.Aku mengangguk dan dengan jantung yang berdetak lebih cepat, aku dengan perlahan masuk ke dalam kamar Mas Gandhy.Aku lihat dia masih tertidur dengan pulasnya. Aku tak membangunkan dia. Aku mencari ponselnya dan ternyata dia meletakkan ponsel itu di sampingnya. Dengan perlahan aku mengambilnya.Masih di dalam kamar, aku membuka ponsel itu dengan tangan gemetar. Aku mencari aplikasi chat itu dan melihat isi chat-nya. Aku coba kuatkan hatiku untuk membaca isi pesannya."Astaghfirullahaladzim."Ponselnya hampir jatuh dari tanganku.Aku melirik suamiku, takut jika dia terbangun karena suaraku. Jantungku benar-benar sudah tidak bisa terkendali. Berdetak dengan sangat cepat hingga mungkin suara detaknya bisa terdengar oleh orang lain.Aku mencoba berdiri dengan tegak meskipun rasanya aku hampir tak mampu. Aku perlahan ke luar dari kamarnya sambil mengantongi ponselnya. Bapak mertuaku melihatku ke luar dan dia langsung berkata, "Belum mau bangun?""Belum, Bapak." Aku masih linglung rasanya, jadi aku masih berdiri di depan kamar suamiku yang pintunya sudah aku tutup seperti orang bodoh. "Ada apa?" tanya Bapak mertua.Aku menggigit bibirku, aneh rasanya. Kenapa aku tak bisa menangis? Harusnya aku meraung-raung kan? Tetapi dadaku rasanya sangat sesak, tak bisa menangis. Aku lalu berjalan menuju Bapak Mertuaku yang sekarang sudah duduk. Dia jelas menungguku untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi."Pak, Mas Gandhy selingkuh," ucapku akhirnya.Aku dengan gemetar menunjukkan ponsel Mas Gandhy pada Bapak. Bapak mertua
Aku tak tau bagaimana menjawabnya lantaran pikiranku yang tak bisa berpikir dengan jernih. Sebelum aku mulai menjawab, pintu kamarnya dibuka dan Ibu Mertuaku nampak melihatku dengan sorot bingung. "Fuchsia mana?" tanyanya. Dia celingukan mencari Fuchsia. Ibu Mertuaku tentu berpikir jika aku ke sana dengan mengajak Fuchsia seperti Bapak Mertuaku tadi. Sebenarnya tidak bisa disalahkan juga jika mereka bertanya begitu. Ini karena dulu, saat Fuchsia masih berusia sekitar empat bulan, aku ke sana sore hari dengan menyewa kendaraan online bersama dengan Fuchsia. "Fuchsia nggak Zara ajak, Bu. Tadi lagi tidur." "Terus sama Mamamu?" tanyanya lagi. "Iya, Bu." Ibu melirikku dan aku buru-buru membersihkan mataku yang mungkin masih ada sisa-sisa air mataku. "Puasa nggak? Kalau nggak, tak panasin sayur. Ibu masak sop," ucap ibu mertuaku. Dia tahu aku menyukai sop dan dulu saat aku hamil, Ibu Mertuaku sering sekali memasakannya untukku. "Insyaallah, puasa. Ibu, nggak ke pasar?" "Nggak. Na
Walaupun hatiku sedang kacau, aku tetap menjaga mulutku untuk tak berucap kasar saat ini. Bahkan, aku masih mengucapkan salam saat aku masuk ke dalam rumahnya. Rumah itu masih tak berubah, masih dipenuhi dengan berbagai barang dagangan. Barang-barang itu memakan tempat hampir tiga perempat bagian rumahnya. Aku mengernyit karena saat mulai berjalan di dalam rumah itu kakiku langsung tak nyaman. Terlalu banyak debu. Deva masih di depan. Anak perempuannya yang seusia dengan anakku sedang duduk sambil makan jelly. Aku berjongkok, aku bersihkan mulutnya yang belepotan dengan tissue. Kenapa kamu harus memiliki ibu seorang perebut suami orang? batinku sedih. "Aku mau ngomong," ucapku begitu Deva masuk. Deva langsung menggendong anaknya dan membawanya ke kamar. "Jagain Adik ya, Mar. Ibu mau ngomong sama Mamanya Fuchsia dulu," ucap Deva. Telingaku gatal rasanya, entah kenapa aku tak rela nama anakku diucapkan oleh wanita itu. Aku duduk di salah satu sofa yang lagi-lagi banyak debu
"Kenapa sih kamu ngomong kaya gitu? Kamu mau misahin aku sama Fuchsia?" tanya Mas Gandhy.Aku menatapnya tak percaya, "Bukannya kamu tidak pernah mikirin Fuchsia?""Dia anakku, aku pasti mikirin dia," balasnya."Kalau kamu mikirin dia, kamu nggak akan tega berselingkuh. Wallpaper ponselmu itu photo Fuchsia, apa kamu nggak pernah merasa bersalah saat bermesraan dengan dia tapi dengan bersamaan melihat photo anakmu?" Hatiku sudah remuk jadi aku suda tidak peduli. Aku sama sekali tidak menahan kekesalanku.Mas Gandhy terdiam.Deva ke luar lagi dari kamar itu. Dia berkata, "Dibicarakan baik-baik dulu. Diselesaikan baik-baik. Aku nggak akan ganggu lagi, Zara. Aku nggak akan ganggu hubungan kalian lagi."Tetapi kamu udah terlanjur menghancurkannya, Mbak. Aku membatin kesal. Aku melihat Mas Gandhy menatap Deva dengan tatapan sedih. Hatiku semakin teriris rasanya, dia seolah-olah tak rela.Mas Gandhy, "Dik, apa nggak bisa diperbaiki lagi?"Aku terdiam. Sejujurnya aku sangat bingung. Memang ak
Sakit? Tentu saja sangat sakit. Siapa yang tidak merasakan sakit jika pernikahan yang baru saja terjalin seumur jagung harus kandas begitu saja dikarenakan orang ketiga?Yang lebih menyakitkan lagi setelah mencoba memberikan solusi dan menekan ego untuk menyelamatkan rumah tanggaku, dia tetap saja lebih memilih wanita itu. Bahkan dia sudah tidak memikirkan nasib anaknya lagi.Aku tak bisa berkata-kata lagi begitu dia berkata seperti itu. Hal ini tak mudah bagiku. Mengingat meskipun awalnya aku begitu emosi dan langsung ingin bercerai darinya tetapi setelah memikirkan lagi, aku takut. Aku tidak takut sendiri. Aku tidak takut menjadi seorang janda dan harus banting tulang demi anakku. Bukan itu. Aku hanya takut anakku yang tak memiliki sosok ayah untuk selalu ada bersamanya."Ya sudah, yang urus perceraiannya aku atau kamu, Mas?" tanyaku. Hatiku tidak baik-baik saja tetapi aku tak mungkin menunjukkan itu di depannya."Nanti Mas ngomong dulu sama Bapak," jawabnya.Aku mengangguk. Memang
Usai mengetik itu, langsung saja banyak respon yang aku dapat. Aku terkejut. Padahal bisa dibilang aku sangat jarang menimbrung di dalam obrolan mereka. Dan aku pun juga beberapa kali membuat beberapa member dari group chat itu merasa tak nyaman dengan kata-kataku.Sungguh aku tak pernah menduganya. Respon mereka beragam. Ada yang ikut geram dengan ceritaku, ada juga yang menyarankan banyak hal-hal. Banyak pula yang memberiku semangat dan juga doa. Jujur, dengan respon mereka yang seperti itu hatiku mulai sedikit menjadi ringan. Mungkin hal ini bisa dikatakan sebagai membicarakan masalah pribadi di depan umum, tapi aku hanya ingin teman. Aku ingin teman yang mau mendengarkan aku. Aku pun tahu jika aku bisa melakukan sesi curahan hati ini pada Allah, tetapi saat ini aku juga ingin ada manusia yang mendengar ceritaku. Salahkah aku?Apakah ini termasuk membuka sebuah aib? Aku rasa memang iya. Namun, dengan cara bercerita, aku jadi tahu apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Jadi aku a
Aku tak bisa berkutik saat Papa berbicara seperti itu.Aku tak mengerti dan bingung harus bagaimana saat ini. Mas Gandhy jelas-jelas tak mau menemui anaknya jadi apa yang harus aku bicarakan dengannya lagi? Bukankah tak ada gunanya?Namun, saat aku melihat anakku yang masih belia itu, sekali lagi aku berusaha menelan egoku bulat-bulat dan mulai memutuskan untuk membaca pesannya. Tetapi pesannya kali ini sungguh membuatku terkejut.'Jadi kamu sudah bilang ke Bapak kalau kamu mau pisah sama aku? Ya sudah kalau mau pisah ya pisah.'Hatiku panas langsung. Dengan cepat aku langsung mengetik balasan untuknya dengan tangan gemetar.'Jadi bapak bilang apa?'Dia rupanya sedang online, karena pesanku dengan cepat dibalasnya.'Suruh lepaskan saja. Orang kamu juga nggak mau tinggal di sini.'Aku syok seketika. Aku melihat berulang-ulang balasan pesan itu dan tetap bingung karena rasanya masih tak bisa mempercayainya. Jadi orang tuanya yang tidak lain adalah mertuaku itu malah mendukung anaknya un
Jujur saja, aku rasanya mau marah pada orang yang sudah aku anggap sebagai ayahku itu. Bisa-bisanya dia dengan enteng mengatakan hal itu padahal jelas-jelas dia tahu jika anaknya yang salah.Namun, aku melirik ke arah Gandhy. Hatiku yang sedang tak baik-baik saja ini membuatku berkata, "Ngomong dong, Mas. Kenapa kamu diam saja?"Gandhy tetap tak mau berbicara dan malah menundukkan kepala, enggan bertatapan denganku atau dengan siapapun.Apa maksudnya bersikap seperti itu? "Perempuan itu kalau sudah menikah harusnya patuh dan ikut apa kata suami, bukan malah melawan dan tinggal di tempat lain tanpa suami. Anak juga sudah jarang diajak ke rumah barat setelah dapat surat-surat." Bapak mertuaku kembali mengoceh sambil menggendong anakku.Surat-surat yang dimaksud oleh Bapak Mertuaku itu adalah akta kelahiran dan juga kartu identitas anak. Tetapi kenapa Bapak Mertuaku itu malah membahas hal itu? Apa hubungannya coba?Mamaku langsung menyahut dengan cepat, "Yang salah itu Gandhy, Pak. Kena