Foto profil suamiku yang sebelumnya adalah foto kami bertiga, kini sudah diubah dengan foto tumpukan snack. Tentu saja aku terkejut bukan main.
Selama kami menikah, dia terhitung hanya beberapa kali saja mengganti foto profil di aplikasi chat tersebut. Dia selalu memakai foto kami berdua, foto Fuchsia, foto bertiga kami atau foto dia bersama dengan Fuchsia.Aku mengerutkan dahiku bingung lalu aku langsung saja mengetik pesan untuk Mas Gandhy. Aku menanyakan tentang foto profilnya yang diganti.Dia sedang online siang itu tapi anehnya dia tak kunjung membalas pesanku itu. Jujur saja, perasaanku mulai tak karuan. Mungkin bagi sebagian orang, mengganti foto profil itu hal yang biasa saja. Namun, untukku yang telah mengenal suamiku, tentu hal itu bukan hal yang biasa. Firasat aneh mulai menghampiriku."Kenapa, Ra?" Mama bertanya.Aku langsung menoleh ke arahnya.
"Ah, nggak apa-apa, Ma."
Aku lalu mengambil Fuchsia dari gendongan Mama dan menggendongnya.Aku memilih untuk mengabaikan hal itu dan mulai memberi makan anakku yang sudah mulai kelaparan.Balasan dari Mas Gandhy datang di sore dan jawabannya sungguh membuatku bertanya-tanya. Dia mengatakan untuk promosi.Namun, aku yang tak puas dengan jawaban itu lalu menelepon dirinya dan langsung diangkatnya. Setelah mengucapkan salam, aku langsung berbicara."Kenapa diganti photonya, Mas?" tanyaku to the point."Photo apa?" tanyanya."Photo profil," jawabku."Kan tadi udah Mas bilang kalau buat promosi," jawabnya dari seberang sana."Promosi gimana?""Ya promosi jualan. Kamu ini gimana sih. Kan sudah tahu sebentar lagi mau lebaran, banyak pesanan. Mas harus promosi biar tambah laris," jawabnya lagi.Aku mencoba bersabar tapi kemudian tetap berkata, "Promosi ya di status lah Mas. Apa gunanya promosi di photo profil?"Mas Gandhy terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan, "Ya kan biar tahu kalau ini nomor Mas. Biar mudah nyarinya kalau ada yang mau pesan."Aku masih tak mengerti dengan jawaban yang lemah itu jadi aku malah semakin menekannya, "Kan mereka sudah tahu. Yang menyimpan nomor Mas itu kan otomatis tahu kalau Mas itu sales. Di photo itu juga hanya photo snack aja. Nggak ada keterangan apapun. Apa bisa menarik pembeli?""Kamu itu. Photo profil aja diributin. Senang banget ya mancing emosi orang. Puas ya kalau udah bikin jengkel? Iya? Mas itu baru pulang kerja, capek. Perlu ya kamu harus bahas hal kecil kaya gini?" ucap Mas Gandhy dengan suara yang cukup tinggi.Aku terdiam kaget. Aku ingin berbicara lagi tapi kudengar Mas Gandhy berkata, "Mas mau mandi dulu biar segar."Panggilan itu dimatikan begitu saja tanpa salam. Hatiku jadi diremas-remas rasanya. Dia terasa meremehkan hal itu dan ini justru malah semakin membuatku curiga.Aku terdiam untuk beberapa saat dan tak menyentuh ponselku. Anakku sudah tertidur sore itu jadi yang bisa aku lakukan hanya menunggu azan Maghrib.Saat azan sudah berkumandang, kami segera berbuka puasa bersama. Aku menyempatkan diri mengucapkan selamat berbuka pada suamiku lewat chat seperti biasanya dan saat aku melihat chat itu kembali usai berbuka puasa, chat itu tak dijawab oleh Mas Gandhy.Aku hanya tersenyum kecut melihat ponselku.Setelah menunaikan salat Magrib, aku segera melirik ponselku lagi dan masih juga tak ada balasan meskipun pesanku sudah berubah warna menjadi biru yang artinya sudah dibaca."Kenapa nggak dibales sih?" gumamku mulai kesal.Aku kemudian melihat status orang-orang dan ternyata suamiku membuat sebuah status yang isinya segala jenis dagangan yang dia jual. Dia memberi caption, 'Kerja keras terus walau tak dihargai.'Aku mengernyit melihat statusnya. Dengan kesal aku langsung mengirim pesan padanya lagi. Aku bertanya tentang apa maksud dari status itu. Dan dia dengan cepat membalas, 'Status sekarang dijadikan masalah juga ya?'Aku ingin sekali membanting ponselku sekarang tetapi tak jadi setelah ingat jika ponsel itu satu-satunya yang kumiliki dan itu pemberian suamiku. Aku tetap bersabar dan kemudian dengan sangat terpaksa meminta maaf kepadanya.Sejujurnya aku tak merasa salah, aku kan hanya bertanya. Namun, karena aku tak ingin bertengkar dengannya apa lagi di saat bulan puasa, aku memilih mengalah. Kami pun berbaikan dan aku kembali melihat status orang-orang hingga sampai pada status Mbak Deva.Isi statusnya kembali membuatku merasa aneh. Dalam statusnya tertulis: 'Kalau tidak sanggup lagi ya lepaskan saja.'"Kenapa orang ini? Kok rasanya nyindir. Tapi nyindir siapa? Masa aku?" gumamku lagi.Tanpa menunggu aku langsung saja chat wanita itu dan berkata: 'Apa maksudnya, Mbak?'Dia dengan cepat menjawab, 'Ya benar kan, kalau tidak sanggup menghadapi lagi ya lebih baik melepaskan saja.'Aku kemudian hanya membalasnya dengan emoticon jempol.Meskipun aku curiga, tapi tak mungkin kan aku terang-terangan mengatakan hal itu di depannya sementara aku tak memiliki bukti apapun.Malamnya aku kembali gelisah. Mas Gandhy online sampai tengah malam begitu juga dengan Mbak Deva. Aku berkali-kali mengecek nomor keduanya dan sama-sama tak meninggalkan aplikasi chatting itu sedikitpun.Hatiku mulai berdebar-debar, aku yang kemudian ragu dengan suamiku, memilih untuk bertanya pada seorang teman suamiku. Namanya Bagus, usianya sama denganku, dua puluh delapan tahun tapi dia belum menikah. Dia termasuk dekat dengan suamiku dan ke mana-mana Mas Gandhy selalu bersama Bagus sebelum kami menikah. Aku cukup mengenalnya meskipun tidak terlalu dekat.Oh iya, suamiku itu lebih muda dariku tiga tahun. Akan tetapi, aku selalu memanggilnya 'Mas' sejak saat kita pertama kali bertemu untuk menghormatinya.Aku bertanya pada Bagus dalam sebuah chat.'Apa Mas Gandhy pernah pergi ke mana gitu selain bekerja?'Dia menjawab dengan cepat, 'Tidak pernah.'Tetpi dia pun dengan cepat pula memahami tentang keadaanku dan langsung saja menjelaskan jika Mas Gandhy tak pernah berbuat aneh dan tak mungkin akan berbuat aneh karena tak ada waktu untuk itu.Mungkin saja orang menilai aku bodoh karena bertanya pada teman suamiku yang sudah pasti akan membelanya. Tetapi anehnya, aku tak merasa demikian. Aku pikir Bagus tidak mungkin berbohong. Kalau ditanya tentang alasannya, aku tak mengerti. Aku hanya percaya saja."Baiklah, cukup Zara. Mungkin ini semua hanya perasaanmu yang berlebihan saja. Sudah, sudah. Jangan pikirkan hal bodoh. Sudah tengah malam, waktunya tidur."***Keesokan paginya, semuanya membaik. Mas Gandhy bahkan lebih sering berkirim pesan. Dia mengucapkan selamat sahur dan paginya dia juga izin saat berangkat kerja.Aku mulai berpikir positif kembali. Aku semakin yakin jika mungkin segala hal yang aneh kemarin-kemarin itu hanya sebuah kecurigaan saja."Fuchsia sama Mbah Uti dulu ya, Mama mau keluar sebentar untuk cetak photo."Aku menyerahkan Fuchsia yang kelihatan cemberut seakan tak mau ditinggal."Mama, cuma sebentar kok." Aku mengecup pipi lembut putriku.Namun, sebelum aku berpamitan, aku mendengar sebuah kaca pecah di ruang tamu. Aku buru-buru masuk ke dalam lagi dan melihatnya.Ternyata sebuah foto berukuran besar, yakni foto pernikahan kami, jatuh ke lantai."Ya. Aku tentu menyukainya, Ndy. Karena kalau tidak, mana mungkin aku mau menikah dengannya," ujarku yang telah tak bisa lagi membiarkan Gandhy terus-menerus menggangguku.Saat aku mengatakannya, wajah Gandy terlihat mengeras. Dia terdiam beberapa saat lamanya sampai aku lelah sendiri menunggunya sehingga aku berkata, "Aku kerja dulu ya, Ndy. Kalau mau ketemu Fuchsia, kamu tunggu aja. Dia udah bangun kok."Saat aku melangkah, ia mendadak berkata, "Maafin aku ya, Ra! Atas semua masalah yang aku timbulkan. Mungkin ini waktunya aku menyerah."Aku tertegun, tentu saja. Tak pernah terkira aku akan mendapatka permintaan maaf dari Gandhy yang notabene adalah orang yang anti sekali mengakui kesalahannya dan malah seakan tak pernah merasa bersalah padahal telah berbuat salah. "Aku benar-benar minta maaf atas tindakan dan sikap aku yang telah membuatmu terganggu selama ini, Ra. Aku tahu aku pasti udah bikin kamu nggak nyaman. Aku hanya masih sulit menerima jika kamu akan menjadi milik orang la
Jawaban dari pertanyaan Aaron tentu saja adalah iya. Namun, tentu aku tak langsung berkata lantang mengenai hal itu. Aku memilih untuk menyimpan keraguan kepadanya dan bertanya tentang hal lain, yang mungkin bisa saja membuat kepercayaanku kembali lagi."Aaron, saya bukannya meragukan kamu. Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiran saya," jawabku.Aaron membalas, "Apa? Beritahu saya, Zara!"Aku tersenyum tipis, "Boleh saya jujur sekaligus bertanya sama kamu?""Tentu saja boleh. Bukankah kita sebentar lagi akan hidup berdua? Kamu berhak bertanya hal apapun."Kuanggukkan kepalaku sebelum kemudian berkata pelan, "Tadi salah satu teman kerja aku, menemukan akun instagram lama kamu. Dan saya agak terkejut kamu nggak pernah menceritakan itu sama saya. Pertanyaan saya, kenapa kamu menyembunyikan hal itu dari saya?"Saat aku mengamati Aaron, jelas sekali ekspresi wajahnya yang tadi tampak tenang itu kini terlihat gusar."Jadi, kamu sempat melihatnya?" tanya Aaron.Aku mengangguk sekali lagi.A
"Ya dijual. Aaron bilang itu restorannya harus dijual," jawabku."Hah? Dijual? Apa nggak rugi? Nggak sayang, Ra?" tanya Andindia yang mengerti bagaimana susahnya menjalankan sebuah usaha. Aku sangat paham akan hal itu. Terlebih lagi kulihat sorot matanya ada sebuah ketidakrelaan yang ia perlihatkan dengan jelas."Iya pasti sayang banget, Nind. Tapi itu udah jadi keputusan dia jadi ya aku nggak bisa ikut campur," jawabku.Tya berdecak, "Lha apa nggak ada sanak saudaranya yang bisa mengurus usahanya itu, Ra? Aku masih agak gimana gitu kalau dijual."Aku menjawab, "Keluarganya yang lain itu punya usaha-usaha sendiri jadi ya nggak ada yang urus.""Walah. Sayang banget!" seru Anindia.Marlina bertepuk tangan, "Semua itu dilakukan demi perasaan yang dinamakan 'Love'. Ah, aku iri sekali jadinya sama kamu, Ra. Dicintai dengan begitu besar sama lelaki yang rela melakukan apapun demi kamu. Wow, that's so sweet, you know."Aku hanya diam, agak malu."Kamu benar-benar sangat beruntung banget, Ra.
"Ya ngapain juga aku bohong sama kamu, Al. Aneh-aneh aja kamu tuh," sahutku cepat.Kulihat Alea tersenyum, "Duh, dia tuh idaman banget, Ra."Aku menaikkan sebelah alisku menatap Alea, menunggu ia melanjutkan kata-katanya.Alea yang selalu dengan mudah memahami arti dari setiap sikapku itu langsung saja berkata, "Dia sangat dewasa, Ra. Ini nih ya, kalau cowok lain ya dia pasti akan berantem sama Gandhy. Terus kamu juga akan ditekan buat lebih tegas sama Gandhy dan malah bisa-bisa dia nggak kasih izin sama Gandhy buat ketemu Fuchsia."Aku sedikit terkejut mendengar apa yang dikatakan Alea."Tapi, Al. Aku lihat banyak juga kok yang bersikap kaya Aaron. Banyak juga yang masih kasih izin buat mantan suami ketemu sama anak hasil dari pernikahan si istri sebelumnya. Lagi pula, kan nggak ada hak dia larang-larang," ujarku.Alea menjawab, "Langka, Ra. Swear deh. Kamu cari tuh cowok macam Aaron di belahan dunia lain, pasti kamu kesulitan nyari."Aku terdiam. Alea melanjutkan, "Yakin deh. Kamu i
"Duh, memang ngomong sama kamu itu susah banget ya," ujarku putus asa, merasa sagat percuma berbicara dengan Gandy sekarang."Zara, aku itu hanya mau yang terbaik buat Fuchsia."Aku menggelengkan kepalaku."Kamu bahkan nggak tahu apa yang terbaik bagi Fuchsia. Kamu hanya memikirkan tentang dirimu sendiri. Kamu nggak pernah mau tahu mana yang baik dan buruk bagi Fuchsia," ujarku."Yang terbaik bagi Fuchsia itu ya dia hanya dekat dengan papa kandungnya saja."Aku tertawa. Tawa hambar yang kuperlihatkan pada Gandhy."Seharusnya kamu melakukan hal itu sejak dua tahun lalu. Bukannya baru berbicara sekarang. Ke mana saja kamu saat itu? Kamu aja nggak peduli sama anak kamu kok," ujarku."Kenapa sih kamu mengungkit hal itu lagi, Ra? Kamu masih dendam kepadaku?" tanyanya.Tak percaya aku dengan perkataanya yang semakin membuatku ingin sekali dia segera saja pulang dari rumahku."Lebih tepatnya aku heran bagaimana bisa kamu yang telah melakukan kesalahan besar tapi tak mau berkaca dan instropek
"Ada apa ke sini?" tanyaku sinis.Sengaja aku langsung menyambutnya. Hal ini bukan karena aku senang bertemu dengannya tapi karena aku masih sangat kesal sekali dengannya. Ini tentu berkaitan dengan pertemuan kami yang terakhir kemarin. Pertemuan yang membuatku muak karena kedatangan Deva yang tiba-tiba dan mengacaukan mood-ku."Loh kok ada apa sih, Ra? Kan kata kamu kemarin aku boleh datang jenguk Fuchsia kapan aja. Kamu bilang nggak akan halangin aku buat ketemu dia," ujarnya baru saja melepaskan helm."Ya, tapi bukan berarti terlalu sering. Mending kamu bikin jadwal aja deh. Bisa kan?" tanyaku.Gandhy menyahut, "Oke, nanti aku akan bikin jadwak biar kita sama-sama nyaman."Gandhy kemudian melirik ke arah bagian sepatu, "Ada tamu ya?""Ya. Ya sudah masuk aja."Gandhy kemudian masuk dan langsung saja bertatap muka dengan Aaron yang sedang main dengan Fuchsia. Namun, Gandhy memutus pandangannya dan langsung beralih melihat Fuchsia."Fuchsia, Sayang."Fuchsia mendekat ke arah Gandhy. "