Share

Ujian Terberat, Melihat Tanpa Bisa Memiliki

“Zafran.”

Entah aku harus bahagia atau bersedih melihat pria itu. Melihatnya sama saja mengusik luka masa lalu. Andai dia tak menikahi Namira, saat ini pasti kami bersama.

Aku kembali berjalan menuju tukang tambal ban. Menghindarinya adalah pilihan tepat. Nyatanya perkenalan yang cukup lama tak membuat kami berjodoh. Memang sedari awal kami tak mengikat diri dengan ikatan yang disebut pacaran. Hanya saja dia pernah berjanji untuk menikahiku usai kami lulus kuliah.

“Deema, berhenti!” Pria itu turun dari mobilnya dan berlari menghampiriku. Zafran hendak mengambil alih motorku. Aku tahu pria itu hendak membantuku menuntunnya ke tukang tambal ban.

“Tidak usah, aku bisa sendiri.” Aku menolak tawarannya.

“Sini biar aku saja. Lihat badanmu penuh dengan keringat. Wajahmu juga pucat. Pasti kamu sangat kelelahan.”

Aku memang merasakan lemas. Kepala juga rasanya seperti mendidih karena terlalu lama berjemur di bawah terik matahari.

“Sini!”

Akhirnya aku menerima tawaran pria itu. Aku lantas memasang standar terlebih dahulu sebelum menyerahkan motor pada Zafran agar kami tak saling bersentuhan.

Pria itu pun berjalan menuntun motor menuju ke tukang tambal ban. Aku mengikutinya di belakang.

“Permisi.” Zafran memanggil tukang tambal ban. Pria itu berbicara dengan pria tua dengan kaos cokelat usang dan celana hitam sebatas lutut. Aku hanya memandangnya dari jauh. Aku berusaha menjaga jarak darinya. Usai berbicara dengan pria tua itu Zafran berjalan mendekatiku yang duduk di sebuah kursi kayu panjang. Pria itu duduk di kursi yang berada tak jauh dariku.

Jantungku berdetak dengan cepat waktu itu. Apa aku masih mencintainya? Tidak. Pasti hal itu terjadi akibat lelah mendorong motor sepanjang jalan. Keringat juga bercucuran membasahi wajah dan jilbabku. Aku lalu mengambil tisu yang ada dalam tas dan menyekanya.

“Bagaimana kabarmu selama ini, Deema?”

Sejenak aku memandangnya. “Alhamdulillah.”

“Aku dengar kamu sudah menikah?”

Entah mengapa pertanyaan itu membuatku sakit. Aku hanya menanggapinya dengan anggukan.

“Suamimu?”

“Di baik?”

 “Kenapa kamu ada di sini? Kamu mau ke mana, Deema?”

Tanpa memandang aku menjawab pertanyaan pria itu. “Mengajar les privat.”

“Di mana?”

Aku memberitahukan pada pria itu alamat orang tua Airin.

“Oh.” pria itu mangut-mangut mendengarnya.

“Apa kabar dengan istrimu?” Sejenak aku memandangnya.

“Alhamdulillah kondisinya sudah membaik. Dia juga sudah bisa berjalan.”

Bukan tanpa alasan Zafran menikah dengan Namira. Pria itu terpaksa menikahinya ketika tanpa sengaja pria itu menabrak gadis itu.

Hujan turun lebat waktu itu. Malam itu Zafran hendak ke rumah untuk meminangku. Karena hujan lebat dan pandangan yang terbatas, tanpa sengaja dia menabrak pengendara motor yaitu Namira beserta ibunya.

Waktu itu aku juga berada di rumah sakit, ketika ibunya Namira meminta Zafran untuk menikahi putrinya sebelum meninggal. Apalagi kondisi Namira saat itu sangat memprihatinkan. Pasti tidak ada yang mau menikah dengannya. Sedangkan tak ada sanak saudara yang dimilikinya. Tak ada keluarga yang merawatnya. Zafran pada akhirnya memilih Namira karena merasa bersalah.

“Pulanglah Zafran,” pintaku. Aku tidak ingin ada orang lain yang melihat kami. Apalagi sampai kebersamaan kami menimbulkan fitnah.

“Biarkan aku menemanimu hingga ban selesai ditambal.” Pria itu memandangku.

“Tidak usah. Pulanglah. Kasihan istrimu. Dia pasti sedang menunggumu.”

“Baiklah.”

Pria itu menurut perkataanku dan pergi.

Bukan hanya takut ada fitnah di antara kami. Aku juga takut rasa yang pernah ada tumbuh kembali. Padahal aku sudah berusaha menghapusnya.

Mas Bhanu adalah jawaban dari kegalauanku. Aku menerima begitu saja perjodohan dengannya. Mas Bhanu adalah putra dari almarhum teman Ayah. Mereka dulu yang merencanakan perjodohan tersebut.

“Sudah selesai, Mbak.” Ucapan tukang tambal ban membuyarkan lamunanku. Aku segera bangun dan menanyakan berapa yang harus aku bayar. Setelahnya aku bergegas ke rumah Airin.

***

Hampir pukul tiga sore ketika aku tiba di rumah Pak Farabi. Aku menarik napas panjang untuk menerima segala kemungkinan.

Perlahan aku menekan bel pintu. Tak berselang lama wanita bernama Darsi membukanya. Aku diminta wanita itu untuk langsung ke ruang belajar Airin. Gadis kecil itu sudah menungguku di sana.

“Maafkan ibu, Airin.” Aku mengutarakan pada gadis itu alasan aku terlambat.

“Tidak apa-apa, Bu Deema. Ibu datang aja aku sudah senang.” Gadis itu meraih tanganku dan menciumnya takzim. Kami pun mulai belajar.

Ketika mengajari Airin mengerjakan soal matematika, tiba-tiba kepalaku terasa berat. Aku memijit pelipis mata untuk meredakannya.

“Wajah Bu Deema kelihatan pucat. Ibu sakit?” tanyanya.

Airin merupakan anak yang baik dan pintar. Gadis itu memperlakukanku dengan sopan. Di bahkan juga menawariku untuk minum teh hangat. “Airin minta Mbok Darsi buat bikini teh dulu ya, Bu.”

Aku menggelengkan. “Enggak usah. Ibu enggak apa-apa kok hanya sakit kepala.” Sebenarnya kepalaku memang sedang pusing. Bisa jadi efek kepanasan. Pikirku paling nanti akan mendingan sendiri. Namun, nyatanya tidak.

“Beneran Ibu enggak apa-ap?”

Aku kembali menggelengkan kepala tak ingin merepotkan Airin.

Kali ini Airin tak lagi bertanya. Gadis kecil itu justru bangun dari duduknya. Dia keluar dari ruang belajarnya. Entah ke mana.

Tak berselang lama, Airin kembali dengan segelas air putih di tangan. Gadis itu memberikannya padaku. “Ibu minum obat dulu. Airin tidak ingin Ibu jatuh sakit. Kalau Ibu sakit Airin nanti belajarnya sama siapa?”

Aku begitu terharu mendengar kata-kata gadis kecil itu. Walaupun tidak ada ikatan darah dalam tubuh kami, tapi gadis itu sangat perhatian padaku.

“Bu Deema kenapa, Sayang?” tanya Pak Farabi pada putrinya.

“Hore, Papa sudah pulang.” Gadis itu berlari memeluk papanya seperti biasa. Pria itu juga membalasnya.

Pandangan Pak Farabi lalu beralih padaku. “Bu Deema kenapa?” Pria itu melepaskan pelukan dari putrinya.

Airin yang menjawab pertanyaannya. Gadis itu menceritakan pada ayahnya alasanku terlambat datang dan sakit kepala yang sedang aku derita.

“Bu Deema mau saya antar ke dokter,” tawar pria itu.

Aku menolaknya karena tak ingin merepotkan. Pria itu lantas bertanya pada putrinya apakah belajarnya sudah selesai. Gadis itu mengangguk.

“Bu Deema lebih baik istirahat saja kalau sedang tidak enak badan. Lain kali kalau sedang sakit Ibu istirahat dulu saja. Mari Bu saya antar pulang.”

Lagi-lagi aku menolak tawarannya. Aku tak mau jika pulang bersama Pak Farabi akan menjadi omongan tetangga. Apalagi saat ini rumah tanggaku sedang tak baik-baik saja. Aku khawatir orang-orang akan menduga kalau pria itu adalah alasan kehancuran rumah tangga kami.

“Saya tahu Bu Deema tidak bisa hanya berdua dengan saya. Ada Airin. Dia juga akan ikut mengantar Bu Deema pulang.” Aku bingung harus menerima tawaran Pak Farabi atau menolaknya lagi.

Kepalaku benar-benar pusing saat itu. Pandangan mata juga sedikit kabur.

“Biar saya saja yang mengantar Deema, Mas.”

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status