Kami berdua serempak menengok ke arah suara berasal. Aku terkejut saat mengetahui sosok yang memanggil. Nampak Reno sudah berdiri di belakang kami dengan wajah merah padam. Matanya menatap nyalang ke arah Pak Askara, sahabatnya."Reno, apa maksudmu bertanya seperti itu?" tanya Askara heran."Apa yang kamu lakukan bersama Aisha?" tanyanya kali ini dengan suara meninggi.Sementara aku hanya menjadi pendengar setia perdebatan diantara mereka."Aku kebetulan bertemu dengan Bu Aisha saat sedang membeli kue, itu saja. Kenapa kamu terlihat emosi kepadaku?" tanya Pak Askara lagi."Sebaiknya kamu jangan dekat dengan Aisha, karena dia...." Reno tidak melanjutkan ucapannya."Karena apa? karena dia mantan yang pernah kamu kecewakan?" sindir Askara kemudian."Bukan. Aisha sudah mempunyai calon suami. Jadi jangan pernah membuat masalah dengan merebut yang sudah menjadi milik orang lain!" Aku mendengarkan ucapan Reno seraya tersenyum sinis. Bukankah itu sama saja menyindir dirinya sendiri? merebut m
Ustaz Azam turun dari mobil saat aku melihat ke arahnya. Pandangan kami saling bertemu. Aku tercekat melihat kedatangannya. Andai saja tadi Bik Darmi yang datang, pasti dia bisa beralasan kalau aku sedang tidak berada di rumah. Mau tidak mau, aku membukakan pintu gerbang untuk beliau. Wajahnya terlihat sedih. Aku jadi penasaran dengan kabar yang dibawanya.“Maaf, Ustaz ada apa ya?” tanyaku tanpa berbasa-basi.“Mbak Aisha, saya minta maaf kalau mengganggu waktunya. Kedatangan saya kesini ingin menyampaikan pesan Umi Mus, yang ingin bertemu Mbak Aisha. Saat ini beliau sedang dalam perawatan Rumah Sakit,” jawab Ustaz Azam dengan suara bergetar. Aku sedikit terkejut mendengar kabar darinya, namun berusaha terlihat biasa saja.“Lalu, apa hubungannya dengan saya?” tanyaku dingin.“Beliau ingin menyampaikan permohonan maaf kepada Mbak Aisha,” jawabnya lagi.“Umi Mus tidak punya salah sama saya, jadi untuk apa meminta maaf? Saya hanya bisa berdoa untuk kesembuhan Umi Mus. Maaf Ustaz, jika tida
Aku terdiam mendengar pertanyaan Mas Akbar. Sebenarnya tak menyangka, jika kakakku itu akan bertanya seperti itu. Nampaknya sikap beliau sudah berubah sejak Ustaz Azam berstatus sendiri. Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan."Adek nggak tahu, Mas!" jawabku lirih. Mas Akbar menatap wajahku lekat."Mas tahu, kalau kamu masih memendam perasaan untuk Ustaz tampan itu. Adek jangan khawatir, jika memang kalian berjodoh, kelak akan menemukan jalannya."Kali ini gantian aku yang menatap wajah Mas Akbar. Rasanya tak percaya beliau memanggil Ustaz Azam dengan panggilan Ustaz tampan. Apa mungkin ini suatu pertanda beliau sudah merestui hubunganku dengan Ustaz Azam? Aku segera menepisnya, takut kembali kecewa karena terlalu banyak berharap.Aku setuju dengan ucapan Mas Akbar, jika kami berjodoh kelak akan menemukan jalannya. Sekarang yang terpenting, aku harus sabar menjalani semua takdir-Nya. Aku yakin, akan ada pelangi setelah hujan. Aku juga sangat yakin, bahwa semua akan indah
Sesosok laki-laki yang dikenal dan pernah menorehkan luka dihatiku. Dia datang bersama seorang perempuan yang sampai saat ini masih aku hormati. Mas Adnan dan mantan ibu mertuaku berjalan memasuki pintu gerbang yang memang dibiarkan terbuka. Mereka menatap heran ke arah kami yang duduk lesehan di taman menikmati makan siang.Aku menatap ke arah Mas Akbar. Wajahnya berubah seketika. Sementara Mbak Nisa dan Ustaz Azam terlihat biasa saja. Adeeva yang sedang mengunyah makanan nampak terkejut dengan kedatangan ayah dan neneknya. Sontak dia bangkit dan beranjak meninggalkan tempatnya seraya menghambur menyambut kedatangan mereka.Mas Adnan terlihat memeluk dan menciumi wajah serta tangan putrinya, pun dengan mantan ibu mertuaku. Mereka terlihat saling melepaskan rindu. Wajah Adeeva terlihat begitu bahagia karena bertemu dengan ayahnya. Beberapa hari belakangan, dia memang sering menanyakan keberadaan Mas Adnan."Assalamualaikum, Aisha, Mas Akbar," sapanya seraya menggendong Adeeva daalm pel
Ternyata sosok yang datang adalah Pak Askara Dirgantara, wakil kepala Polres yang membantu menyelesaikan kasus penculikan Adeeva. Dia turun dari mobil seraya melemparkan senyumnya yang menawan. Kedua tangannya membawa dua buah godie bag berukuran besar."Selamat pagi, Ibu Aisha. Maaf jika kedatangan saya mengganggu waktu istirahat Anda. Saya ingin bertemu dengan Adeeva, putri Anda!" sapa Pak Askara memulai pembicaraan.Aku merasa sedikit kecewa, karena tamu yang datang berkunjung bukanlah Ustaz Asam. Oleh karena itu, aku terdiam seraya menatap heran ke arah Pak Askara."Bu Aisha, Anda baik-baik saja?" tanya laki-laki gagah dihadapanku ini."I-iya, saya baik-baik saja Pak. Maaf, saya sedang melamun. Mari silakan masuk," jawabku gugup.Pak Askara berjalan mengikuti langkahku dari belakang. Dalam hati aku merasa sedikit khawatir jika Ustaz Azam datang dan salah paham dengan Pak Askara. Aku berharap Ustaz Azam datang setelah Pak Askara pulang. Tiba di ruang tamu, aku mempersilakan beliau u
Sambil memeluk Mas Azam, aku menatap wajah orang yang melakukan kekerasan kepadanya. Ternyata dia adalah Mas Adnan. Dia terlihat ingin kembali melayangkan tinju kepada Mas Azam, namun dengan cepat aku menendang organ vitalnya hingga dia terjerembab ke tanah. Aku membantu Mas Azam untuk bangkit, agar tidak menjadi bulan-bulanan Mas Adnan. Laki-laki tidak waras itu terlihat meringis kesakitan saat organ vitalnya mendapatkan tendangan telak dariku."Mas Adnan, apa kamu sudah gila? pergi dari rumahku sekarang, atau kalau tidak aku akan telepon polisi!!" ancamku.Dia berusaha bangkit walaupun terlihat susah payah. Aku tahu, kelemahan seorang laki-laki ada di organ vitalnya. Namun aku juga tahu batasan dengan menendangnya tidak begitu keras karena takut akan berakibat fatal."Kamu mau menikah dengan laki-laki ini hanya karena dia bergelar Ustaz? kamu jangan salah, itu hanya kedok saja. Aslinya, dia tidak jauh lebih baik dariku!" ujar Mas Adnan dengan suara sedikit tertahan dan wajahnya masi
Aku berjalan menyusulnya ke kamar. Nampak suamiku sedang terduduk ditepian tempat tidur seraya membuka kaos kaki yang dikenakannya."Hubby, kamu kenapa? Kamu baik-baik aja, kan?" tanyaku penasaran seraya duduk bersisian dengannya.Laki-laki yang sudah membuatku jatuh cinta ini menatap wajahku lekat. Kedua netra kami saling bertemu, namun tidak terucap sepatah kata pun."Aku baik-baik saja, Hubby. Tubuhku terasa lelah setelah melalui perjalanan panjang. Sebaiknya aku mandi dulu supaya lebih segar!" ucapnya seraya beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi.Aku masih menatapnya heran, hingga sosoknya menghilang dibalik pintu kamar mandi. Ada perasaan curiga, karena saat beliau berangkat sikapnya begitu hangat. Naluriku mengatakan ada yang beliau sembunyikan. Aku harus mencari tahu, apa yang membuat sikap suamiku berubah drastis seperti itu?Aku meraih koper yang tergeletak di pojokan kamar. Perlahan membukanya dan memisahkan pakaian bersih dan yang kotor. Memeriksa barang-barang yang
“Kamu kenapa, By?” tanya Mas Azam heran melihatku yang sedang melamun.“Eng-gak apa-apa. Aku cuma lagi liatain cuaca di luar, kok udah mendung ya. Sebaiknya kita pulang sekarang, biar sampai di rumah enggak kemalaman,” jawabku berbohong.Aku tidak ingin Mas Azam curiga kalau aku sedang mengawasi sikap Mbak Nisa yang sedikit aneh.“Ayo, kalau mau pulang sekarang. Adeeva juga kelihatannya sudah mengantuk itu!” ucap Mas Azam sembari menunjuk ke arah Adeeva yang sedang menguap di atas sofa.Kami segera berpamitan kepada Mas Akbar dan Mbak Nisa. Ketika kami sudah berada di dalam mobil, Mbak Nisa terlihat melambaikan tangan seraya tersenyum genit. Entah kepada siapa dia memberikan senyum itu. Apa mungkin kepada suamiku?Mobil yang dikendarai Mas Azam segera meluncur meninggalkan rumah Mas Akbar. Di sepanjang perjalanan, aku masih memikirkan sikap Mbak Nisa yang sedikit berbeda kepada Mas Azam. Dari cara menatap dan melambaikan tangan, serta senyumnya yang terkesan genit. Padahal sebelumnya,