"Bu Aisha, ini Aku Santi!" teriak seorang perempuan dari luar mobil. Aku menelisik wajahnya, karena penerangan di sekitar kurang begitu terang. Benar, dia adalah Santi salah satu karyawan Mas Adnan.Aku segera melepaskan seat belt dan membuka pintu mobil, menghampiri Santi yang sedang menungguku. "Ibu Aisha apa kabar?" tanya seorang gadis cantik bertubuh ramping itu seraya meraih punggung tanganku dan menciumnya takzim. Sudah menjadi kebiasaan semua karyawan wanita Mas Adnan, mencium tangan ketika bertemu denganku."Alhamdulillah, kabar Ibu baik Santi. Kamu sendiri?" tanyaku penasaran."Kalau kabar Saya kurang baik, Bu. Sudah satu minggu ini Saya dan karyawan lain di rumahkan!" jawab Santi lirih"Dirumahkan? maksudmu, rumah makan ini bangkrut?" Aku terkejut hingga membelalakkan mata."Iya, begitulah Bu. Sepertinya karena video Pak Adnan dan selingkuhannya yang sedang melabrak Ibu viral, berimbas sama pengunjung rumah makan!" jawab Santi dengan wajah sedih."Berarti rumah makan tutup
Aku sangat penasaran, siapa gerangan yang bertamu di jam istirahat seperti ini?“Ba-Pak Ad-nan, Bu!” jawab Bik Darmi gugup. Seketika Aku membelalakkan mata dan tanpa sadar menjatuhkan surat dalam genggaman. Dengan sigap Bik Darmi memungutnya dan meletakkan kembali ke tempat sebelumnya.“Apakah Ibu mau menemuinya? jika tidak biar Bibik yang sampaikan kalau Ibu sudah tidur!” ucap Bik Darmi memberikan ide.“Tidak perlu, Bi. Biar Saya temui saja,” Aku menolak ide Bik Darmi.‘Ada perlu apa sebenarnya Mas Adnan menemuiku? apakah dia juga sudah mendapatkan surat panggilan dari Pengadilan Agama?’ batinku.Aku melangkah perlahan menuju ruang tamu, rasa letih yang mendera sebelumnya seketika sirna. Dadaku sedikit bergemuruh jika berkaitan dengan laki-laki yang sudah menorehkan luka di hati. Aku berharap dia tidak membuat masalah lagi seperti tempo hari di telepon. Sesosok laki-laki yang dulu sangat Aku hormati sedang duduk menekur pada sofa yang berada di ruang tamu. Wajahnya sedikit kusut da
“Mas Adnan?” Aku mencoba memanggil namanya. Memastikan jika dia mendengar panggilanku.“Maaf, Mas Adnannya sedang sibuk jadi tidak bisa diganggu dengan urusan yang tidak penting!” jawab seseorang yang suarnya sangat Aku kenal. Itu suara Sarah, selingkuhannya Mas Adnan.“Aku tidak ada urusan denganmu. Cepat berikan pada Mas Adnan, ini menyangkut keselamatan putrinya!” hardikku dengan menahan emosi yang membuat sesak di dada.“Sudah Aku bilang Mas Adnan sibuk, ngerti enggak sih? lagipula, Mas Adnan pernah bilang kepadaku kalau dia sudah tidak peduli lagi dengan keluarganya, termasuk kepada Anaknya!” ucap Sarah dengan nada mengejek.Dadaku bergemuruh mendengar ejekannya, dengan cepat Aku langsung memutuskan panggilan, karena khawatir akan semakin tersulut emosi. Rasanya ingin menjambak dan menampar mulut wanita jalang itu. Aku juga sebenarnya tidak sudi menghubungi Mas Adnan, kalau bukan karena Adeeva membutuhkannya. Sekarang jelas bagiku, jika sikap Mas Adnan kemarin malam yang memohon
Aku masih belum percaya dengan ucapan Santi. Lagipula setahuku, ruko yang dijadikan tempat usaha Mas Adnan adalah sewa, bukan milik pribadi. Jadi mana mungkin bisa dijadikan jaminan hutang? Tidak tahu jika Mas Adnan dan pemilik ruko mempunyai kesepakatan.“Apakah ucapan Anto dapat di pertanggung jawabkan, Santi? apa dia punya bukti saat Bapak Adnan mengucapkan itu?” tanyaku mencoba meyakinkan ucapan Santi.“Ada, Bu. Kebetulan saat Bapak Adnan mengatakan akan membayar semua gaji karyawan, diam-diam Anto merekamnya. Tujuannya agar ada bukti jika suatu saat beliau ingkar janjinya!” jawab Santi membuatku sedikit lega.Santi meminta nomor kontakku dan mengirimkan rekaman suara Mas Adnan yang di dapat dari Anto. Tak lama kemudian, Santi berpamitan untuk kembali bekerja. Aku menatap kepergian Santi dengan tatapan kosong.Nafsu makanku tiba-tiba hilang setelah mendengar informasi dari Santi. Aku bergegas meninggalkan restaurant dan makanan yang belum habis di nikmati. Fikiranku kini berkecam
Langkahku terhenti, ketika Mas Adnan menghalangi jalan. Disusul kemudian oleh Ibu Mertua yang ikut menghadang jalanku.“Aisha, Kamu dapat informasi darimana kalau Aku ingin rujuk karena ingin memanfaatkanmu?” tanya Mas Adnan dengan tatapan memelas.“Kamu masih belum mau mengaku juga, Mas? apa bukti rekaman itu tidak cukup?” hardikku balik bertanya.“Aisha, dengarkan penjelasan Suamimu dulu, Nak. Tidak mungkin Anak Ibu mau memanfaatkan Kamu, dia benar-benar tidak ingin masa depan Adeeva hancur jika kalian bercerai,” ucap Ibu Mertua berusaha menengahi perdebatan Kami. Sejujurnya, Aku sudah muak melihat wajah Ibu dan Anak yang begitu kompak bersandiwara ini. Namun sayangnya, Aku bukan Aisha yang dulu. Istri dan menantu bodoh yang mau dimanfaatkan oleh Anak dan Ibu Mertua yang parasit.“Maaf Bu, Kita tunggu saja keputusan dari Pengadilan. Kalaupun nanti hasilnya tidak memuaskan, Aku akan tetap menuntut untuk berpisah dengan Mas Adnan. Aku sudah tidak sudi menjadi Istri yang selalu dibodo
Aku membunyikan klakson seraya menjulurkan kepala melalui jendela mobil.“Anto, bisa minta waktunya?” panggilku kepada Anto yang menoleh setelah mendengar suara klakson. Dia tersenyum seraya menganggukkan kepala. Lalu kemudian dia melajukan motornya dan berhenti di tempat parkiran halaman minimarket yang berada di area SPBU. Mobilku melaju mengikuti Anto. Setelah memarkirkan kendaraan dengan aman, Aku melangkah keluar mobil menghampiri Anto yang sudah menunggu di kursi besi yang tersedia di depan minimarket.“Apa kabar Anto?” sapaku mengawali pembicaraan.“Kabar Saya baik, Bu Aisha. Ibu sendiri bagaimana kabarnya?” Anto balik bertanya.“Kabar Saya juga baik-baik saja. Maaf kalau Saya mengganggu perjalanan Kamu. Sebenarnya, ada hal yang ingin Saya tanyakan!” berucap mengutarakan tujuanku.“Hal apa, Bu?” tanya Anto penasaran.“Apa benar, jika Mas Adnan menjanjikan akan membayar gaji kalian jika sudah rujuk dengan Saya?” tanyaku dengan tatapan menyelidik.Anto sedikit terkejut mendengar
Aku terkejut mendengar kemarahan Mas Akbar. Beliau seolah mengetahui masalah yang terjadi dalam rumah tanggaku.“Mas Akbar, apa maksudnya bicara seperti itu? memangnya Mas Adnan kenapa?” tanyaku ber[ura-pura tidak tahu alasan kemarahan kakak satu-satunya itu.“Kamu tidak usah menutupi masalah rumah tanggamu pada Mas, Dek. Aku saudara satu-satunya sekaligus pengganti kedua orang tua Kita. Kenapa Kamu menyembunyikan semuanya dari Mas, Dek?” tanya Mas Akbar dengan sorot mata penuh dengan kekecewaan.Sementara Mbak Nisa, terlihat berusaha menenangkan Mas Akbar yang sudah mulai emosi. Jemarinya yang lentik, mengusap perlahan punggung tangan Mas Akbar.“Ma-afkan Adek, Mas. Bukan maksud Adek menyembunyikan masalah yang sedang terjadi, tetapi Adek takut akan menjadi beban fikiran Mas Akbar!” jawabku memberikan alasan.“Membebani apa maksud Kamu, Dek? Mas ini Kakakmu, jadi berhak tahu apa yang terjadi dengan Adiknya. Mas tidak rela jika Kamu hidup menderita!" ujar Mas Akbar sedikit lebih tenan
Dengan ragu Aku menerima panggilan masuk itu. Terdengar suara berdehem, lalu kemudian suara seorang laki-laki yang terasa begitu asing di telinga.“Hallo, Aisha apa kabar? Ini Aku Reno.” Ucap laki-laki di seberang telepon dengan suara beratnya.“Deg” jantungku seakan berhenti berdetak. Bagaimana bisa kebetulan disaat Aku dan Alma sedang membicarakannya, lalu dia menelpon? tak salah lagi, ini pasti ulahnya Alma.“Kabar Aku baik-baik saja, Ren. Oia, kata Alma besok Kamu pulang ke Indonesia?” tanyaku dengan sedikit canggung.“Iya benar, besok Aku pulang ke Indonesia. Aku mengajukan cuti selama satu bulan!” jawab Reno dengan antusias.Aku terdiam mendengar jawaban Reno. AKu berfikir keras apa lagi yang akan menjadi topik pembicaraan dengannya.“Kamu mau Aku bawakan oleh-oleh apa dari Qatar? cokelat Al Nassma, boneka karikatur Timur Tengah, Kurma Qatar atau apa? Kamu bilang saja, pasti Aku akan bawakan!” tanya Reno dengan penuh semangat.“Terimakasih atas tawarannya. Kamu tidak perlu repot