Sekuat apapun jiwamu tapi saat engkau berhadapan dengan hal yang mengguncang batimu pasti engkau akan merasakan jiwa takut itu. Pada hakikatnya rasa takut adalah hal yang wajar. Wajar karena kita hanyalah manusia lemah. Perasaan tersebut sangatlah manusiawi adanya dan siapapun pasti akan merasakannya. Termasuk diriku, tangisku pecah, bulir bening terus berjatuhan hingga membasahi sekujur tubuh, berlari seorang diri dalam larutnya malam tanpa memperdulikan rasa sakit yang kian menggerogoti setiap inci diri, rasa pegal pada pergelangan kaki yang terus membawaku berlari. Berlari dan terus berlari, menjauh dari tempat para pembunuh itu.
Percuma! Minta tolong pun tak ada gunanya. Tak akan ada orang yang akan mendengar jeritan minta tolong gadis ini. Satu-satunya yang dapat menolongku hanyalah Tuhanku, Allah subhanahu wa ta'ala. Aku tidak tahu harus melangkah kemana lagi. Deru napas terus memburu, pengap merayap perlahan masuk ke dalam rongga dada, terhimpit kuat hingga sesak menarik oksigen masuk ke dalam paru-paru.Oh, Allah, hamba mohon bantu hamba. Kalimat itulah yang terus terucap tatkala kaki ini terus terayun lebar menjauh entah kemana.Berkelok-kelok, masuk ke salah satu lorong, gelap. Menyembunyikan diri di samping trash can, meringkuk ketakutan. Menghapus jejak air mata yang sedari tadi terus berjatuhan sembari bergumam doa;Allażīna qāla lahumun-nāsu innan-nāsa qad jama‟ụ lakum fakhsyauhum fa zādahum īmānaw wa qālụ ḥasbunallāhu wa ni‟mal-wakīl (QS. Ali Imran ayat 173)Artinya:(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang ketika ada orang-orang mengatakan kepadanya, “Orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,” ternyata (ucapan) itu menambah (kuat) iman mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung.”Dzikir dan lantunan ayat-ayat suci terus kulantunkan, berharap agar dijauhkan dari mara bahaya ini. Suara-suara langkah kaki itu bergema masuk ke dalam gendang telinga. Kurasakan sebuah tubuh besar melangkah mendekat ke arah sini. Kubekap erat mulutku kala tangisku pecah. Tubuhku bermandikan keringat, bergetar kuat seperti tersengat aliran listrik. Perasaan lega, tatkala suara derap kaki itu kini menjauh. Hingga tak sadar ketika tubuh lemah ini luruh di atas dinginnya aspal.Saat membuka mata hal pertama yang aku lihat adalah tempat yang pengap, sedikit gelap di beberapa sisi, hanya terdapat satu lampu yang bergelantungan–berwarna keorenan tepat di atas kepalaku. Mataku terbelalak, menyadari kini tubuhku tengah diikat dengan kuatnya, hingga bergerak pun sangat sulit. Teruslah berusaha Syifani, walau hasilnya mungkin tetap sia-sia.“Did you sleep well?”Sontak tubuhku berhenti bergerak. Kelopak mataku reflek tertutup kala silau lampu tiba-tiba saja menyeruak masuk ke dalam retina. Begitu membuka mata kembali, aku langsung disuguhkan pemandangan seorang pria yang tengah duduk bersilang kaki dengan angkuhnya berjarak di depanku.“Apa yang kau inginkan?" Entah keberanian dari mana, hingga aku berani bertanya demikian.Di bawah alis yang tebal itu, ia menatapku licik. Tersenyum smirk, seperti pria hidung belang yang baru saja mendapatkan gadis perawan.“WHAT DO YOU WANT FROM ME, HAH?”Pria bedebah itu mengorek tahi telinganya. Meniupi jari kelingkingnya dengan wajah dingin dan sikap pongah ia kembali menatapku.“Kau tahu apa kesalahan yang sudah kau perbuat, Nona?” Dia bersilang tangan.Kuteguk kasar salivaku. "Aku tidak tahu."Walau sekilas, tapi aku dapat melihat seulas senyum tipis dari poker face-nya."You look so stunning, huh. Kira-kira berapa harga untuk tubuhmu ini?""Taniaka sundala cilaka." Aku balas menatapnya marah.Apa dia pikir aku sundal? Raimu.Alis tebal itu mengkerut. Tentu saja dia tidak akan mengerti bahasa yang kupakai.“Speak in English.”"Why? You don't understand?" Aku tersenyum meremehkan, tentu saja. "Mukannu mabansa Bekantan. Mateno cilaka, hidupmu hanya benalu di dunia.”“I say speak in English.” Dalam sekejap mata ia melaju ke arahku, menjambak jilbab yang kukenakan, hingga membuatku mendongak menatapnya. Wajahnya memerah seperti cabe-cabean, terlihat sangat marah. Aku dapat merasakan hembusan napasnya yang menerpa permukaan kulit wajahku.Kembali kuulas senyum miring membuatnya bertambah terbakar kobaran api kemarahan.“Apa kau sudah bosan hidup, huh?”“Mati lebih menyenangkan daripada melihat wajah memuakkan seorang pembunuh sepertimu.”“Jack! Ambilkan pistolku yang semalam. Perempuan sialan ini sudah sangat ingin mati rupanya."Dari balik kegelapan itu muncul seorang pria dengan postur tubuh kekar menyerahkan sebuah pistol.Masih dengan menjambak keras jilbabku, ia menunduk lalu berbisik,"Akan kukabulkan keinginanmu, Nona.”Aku menutup mata erat-erat. Walau sejujurnya aku juga merasakan takut yang amat sangat. Merasakan getaran tubuhku yang ketakutan dan bulir bening yang berlomba-lomba berjatuhan. Hingga suara tembakan itu membuatku tersentak bangun.“Astaghfirullahal adziim.” Ternyata hanya mimpi buruk. Kuamati sekitaran, sudah pagi, entah sejak kapan aku tertidur.Bangkit berdiri, meringis, saat rasa sakit itu kembali menerjang tubuh, berjalan terseok-seok. Hingga keluar ke persimpangan jalan raya.“Taxi!” Kulambaikan tangan pada taxi yang kebetulan lewat di daerah tersebut. Duduk di bangku penumpang belakang dan menutup pintu mobil.“Ke mana saya akan membawa Anda, Nona?”Aku pun segera memberi tahunya alamat tempat tinggalku. Taxi itu berjalan dengan kecepatan sedang, membelah kota yang kini sudah mulai dipadati hiruk-pikuk keramaian.“Kita sudah sampai, Nona.” Suara Pak supir menyadarkanku dari lamunan.Kuusap air mata yang entah sejak kapan luruh, berjatuhan seraya merogoh uang dalam tasku. Menyerahkannya lantas turun dan berjalan masuk ke dalam penginapan. Menyadarkan punggung pada pintu sebelum tubuh rapuh ini luruh kembali ke atas lantai.Terisak, aku tidak mengerti mengapa aku bisa serapuh ini. Apa yang tengah aku tangisi?Apa karena aku adalah saksi yang melihat pembunuhan itu atau karena mimpi buruk itu? Setelah semua kejadian semalam, apa yang akan terjadi pada diriku selanjutnya? Apakah aku yang akan menjadi target mereka yang selanjutnya?Tidak, ku gelengkan kepala seraya bergegas memasukkan semua pakaian ke dalam koper, mengamati sekitar ruangan, memastikan tidak ada barang yang ketinggalan. Aku bukan wanita dungu yang akan berdiam diri saja saat mengetahui bahwa kini aku tengah dalam pengejaran mereka. Tempat ini sudah tidak aman lagi bagiku, sudah saatnya aku kembali dimana tempatku seharusnya. Negeri dan kampung halamanku I am coming.Umpatan kasar keluar saat ponselku tak ada daya baterai. Menghampiri nakas dan mengisi daya baterai. Beberapa pesan langsung masuk begitu Hp tersebut menyala. Tak acuh, tanganku bergerak menuju aplikasi e-tiket. Memesan satu tiket dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi, membersihkan diri dan buru-buru berpakaian.Menarik koper hendak keluar ruangan, tapi kehadiran seseorang membuat langkah kakiku terhenti di ambang pintu. Bergeming dengan mata yang membulat saat pria itu membalikkan badanya.“Hi, bunny girl?Kusibak selimut yang membungkus tubuhku seraya bergegas mencari keberadaannya, di kamarnya, kosong. Melangkah lebar menuju lantai dasar, ternyata di ruang tamu juga kosong, hanya ada beberapa bodyguard berkepala plontos yang sedang berjaga, kuayunkan kaki menuju dapur–ternyata dia ada di sana tengah menikmati sarapan paginya seakan tak ada beban apa pun yang ia rasakan. “Sergio!” Dia tak menoleh sedikitpun. “Apa kamu masih bisa sarapan di saat situasi seperti sekarang, hah?” Aku berdiri di sampingnya, menatapnya dengan tatapan menggebu emosi. “Kau ingin aku mati karena tidak sarapan?” Tak acuhnya memasukkan potongan roti ke dalam mulutnya. Kugebrak meja membuat atensinya teralihkan padaku.”Kau tahu, gara-gara kau nama baikku jadi tercemar?""Apa kau hanya memikirkan nama baikmu?" Apa dia bilang hanya? Aku berdecih jengkel. Ingin rasanya aku meninju wajah iblisnya ini. Dengan entengnya dia mengeluarkan kalimat sialan itu. "Kalau bukan karena kau, aku tidak akan pernah mengalami pe
Kuhela napas pelan. Percuma. Pria itu hanya diam seperti patung pancora. Hingga mobil itu berbelok menuju pekarangan mansion, kami masih saja diam dalam kebisuan. Gegas, ku ayunkan kaki sesaat mobil tersebut berhenti, melangkah lebar menuju kamar. Menutup dan menguncinya seraya melangkah membaringkan diri di atas tempat tidur. Menatap plafon dengan ribuan pertanyaan. Sebenarnya siapa mereka? Mengapa aku merasa pernah bertemu dengan pria berwajah psikopat itu?Gelap, itulah yang aku lihat, tapi kegelapan itu hanya bersifat semantara. Lampu-lampu yang bergelantungan di atasku perlahan mengeluarkan cahayanya. Mataku mengikuti arah cahaya lampu itu, menyipitkan mata, tatkala pandanganku seperti melihat bayangan seseorang. “Sergio!” Dia berbalik, senyum yang semula terbit kini redup saat pria itu menodongkan senjata ke arahku. Mataku kembali menatapnya dengan pandangan yang berkabut air mata sedangkan Sergio menatapku dengan seringaian yang menjijikkan. “A—Ap…”Dor!“Astaghfirullahaladzim
Janganlah kalian berharap bertemu musuh. Namun jika kalian bertemu musuh, bertabahlah menghadapinya (HR Bukhari).***Di suatu tempat? Aku mengernyit tak paham. Rumah sakit? Mataku reflek membeliak lantas menoleh ke belakang. Pria dengan wajah sangar seperti psychopath itu tengah menatap datar ke arahku. Kutelan kasar ludahku, lekas memalingkan pandangan ke depan. Entah mengapa, menatap pria itu membuat gemuruh jantungku bertalu-talu. Apa sebenarnya aku pernah bertemu dengannya? Mengapa tatapan pria sangar itu seakan tak asing bagiku. Tanpa sadar tanganku saling menggenggam satu sama lain, menyalurkan gugup yang kian mendera hatiku. Ada apa sebenarnya, mengapa juga aku harus merasakan takut pada orang yang baru pertama kali aku temui? Tanpa sebab?Ya Allah lindungi hamba,” Allahumma inna naj'aluka fi nuhurihim wa na'udzubika min syururihim.Artinya: "Ya Allah kami jadikan Engkau di depan mereka, dan kami berlindung kepada-Mu dari kejahatan mereka." (HR. Abu Dawud)"Apa Sergio tidak men
Denting jam telah menunjukkan pukul 12 malam. Kututup buku diaryku, menyimpannya di atas nakas seraya menarik selimut dan mencoba tuk memejamkan mata. Berkali-kali tapi sulit, hingga aku tersentak kaget saat jam weker berdering nyaring masuk ke dalam membran timpani-ku tepat pada pukul 4.30 subuh. Jam berapa aku tidur semalam? Kugerakkan tubuhku masuk ke dalam kamar mandi. Mandi subuh dan berwudhu. Kemudian melangkah menuju lantai dasar. Setidaknya beberapa hari ini aku bisa merasakan sedikit kebebasan, berkeliaran dalam mansion mewah ini, walau harus diawasi dengan ketat. Anak buah pria itu menatapku tajam saat aku berjalan di depannya menuju dapur. "Masak apa?" Beatrica tersentak kaget reflek menoleh. "Aku lagi buat American Pancakes untuk Tuan Sergio dan ayam goreng untuk Anda." Dia tersenyum manis sekali. Ayam goreng? Sebenarnya aku sudah sangat bosan dengan makanan kesukaan Upin Ipin itu. "Apa pria itu sangat suka dengan makanan itu?"Beatrica mengangguk. "Tuan tidak suka mak
Tepat seminggu setelah menjalani pemulihan, akhirnya Sergio diperbolehkan untuk pulang. Kini kami sedang dalam perjalanan, entah kemana. Aku pun tidak berniat untuk mencari tahu kemana arah mobil ini melaju. Kutarik napas dalam-dalam, menghembuskannya. Memandangi gedung-gedung tinggi yang berdiri dengan angkuhnya seakan tersenyum mengejekku. Mobil yang kutumpangi, akhirnya tiba di halaman mansion berwujud kastil itu. Lagi. Kuhela napas gusar. Sungguh keputusan yang sangat buruk. Kuikuti langkah lebarnya memasuki tempat tersebut. Tempat yang sepatutnya sudah kutinggalkan. Tapi karena keduguan yang kulakukan, akhirnya aku kembali terjebak di penjara ini. "Naiklah!" titahnya. Menyuruh menaiki anak tangga mansion ini dengan dagunya. Lekas kucekal pergelangan tangannya saat ia hendak mengayunkan langkah kembali. Dia menoleh. "Bisakah kau kembalikan buku-bukuku yang kau sita? Aku butuh benda-benda itu untuk menghilangkan kejenuhanku." Kutatap ia menggibah. Berharap hatinya tersentuh. "
Aku berdehem membuat dua anak manusia yang dimabuk cinta tersebut menoleh ke arahku. "Ah, Bell. Dia adalah Syifani." Aku tersenyum, mengangguk kecil. "Oh, really?" Entah apa yang membuat mata wanita ini berbinar seperti itu menatapku. Dia bergerak menujuku, sontak membuat mataku terbelalak saat dia tiba-tiba saja memelukku. Dia merenggangkan jarak pelukannya, tersenyum duchenne, memandangiku cukup lama. "Dia sama sekali tidak berubah, " ucapnya menoleh ke arah Sergio. "She still looks the same as before."Aku mengernyitkan kening? Apa maksudnya. "Apa kamu tidak ingat apapun?" tanyanya padaku. "Iya." Sungguh, aku tidak tahu kemana arah pembicaraannya. "Really? Kau tidak ingat apapun soal… ""Bella!" Aku dan wanita yang bernama Bella itu refleks menoleh ke arah Sergio. Wajah pria itu terlihat memerah dengan napas yang naik turun, tak teratur. Dia memejamkan matanya sejenak, jakunnya ikut naik turun." Aku ingin berbicara dengan Bella berdua. Keluarla!""Ah, iya. " Entah mengapa a