Karena kejadian satu malam itu, aku terpaksa menjadi tawanan pria bedebah gila ini. "Kau hanya punya satu kesempatan untuk kabur dariku." Sergio Rodriguez.
View MoreBandara Internasional John F. Kennedy, New York
Menempuh perjalanan selama sekitar 25 jam 45 menit dengan transit selama 3 jam 5 menit bukanlah hal yang tidak melelahkan, sungguh sangat lelah, tetapi hal tersebut terbayarkan saat diri ini menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di kota yang mendapat julukan “Big Apple” itu. Sebuah negara markas PBB, pusat bisnis, budaya, hiburan, mode yang dikenal dengan julukan “kota tidak pernah tidur.”
“Taxi!” Kulambaikan tangan pada mobil berwarna kuning yang kebetulan lewat.
"Where will I take you, Miss?" Pak sopir bertanya saat aku sudah duduk di kursi penumpang belakang dan menutup pintu mobil.
Kuperlihatkan layar hpku. Menunjukkan sebuah alamat.
Taxi itu pun berjalan dengan kecepatan sedang, membelah Broadway menuruni lembah ke arah South Street di East River melewati pusat historis dari distrik keuangan Amerika, Manhattan. Berbelok sekitar tiga kilometer, mengambil jalan pintas, mungkin untuk meminimalisir hambatan akibat macet. Hingga mobil kuning itu berhenti di salah satu penginapan yang sudah jauh hari ku pesan.
Setelah membayar uang taxi, kulangkahkan kaki masuk lobi penginapan. Balik tersenyum, menyapa ramah salah satu wanita yang bertugas sebagai receptionist.
"May I help you, Miss?"
"Aku sudah memesan salah satu kamar dengan nomor ini. " Kuperlihatkan layar HP di depan wanita berambut blonde kuncir kuda itu.
"Wait a minute." Tangannya dengan gesit mengutak-atik keyboard komputer sembari matanya menatap layar LCD.
Tak berselang lama, wanita berwajah cantik itu memberikan satu kunci ruangan padaku.
"Thank you."
"My pleasure."
Kulangkahkan kaki menuju lift, menekan tombol angka 25.
Sampai. Begitu masuk, mataku langsung menyapu seluruh penjuru ruangan. Ruangan yang kuperkirakan memiliki luas 48 meter persegi, satu kamar mandi dalam kamar serta sebuah pantry minimalis yang mencakup; beberapa piring dan gelas dan satu sofa panjang yang berada di depan televisi yang menempel di dinding.
Teringat seseorang pernah berkata seperti ini, ''Di dunia ini tidak ada tempat yang tidak berbahaya, kemanapun kamu pergi atau melangkah pasti akan ada bahaya yang setiap saat mengintai. "
Mataku langsung menelisik setiap sudut ruangan dimulai dari atas plafon, belakang lampu tidur, depan televisi hingga kamar mandi. Mengantisipasi tidak adanya kamera tersembunyi. Tentu saja karena aku seorang wanita, apa saja bisa terjadi. Jadi, salah satu hal yang harus dilakukan adalah extra antisipasi sebelum penyesalan itu datang.
Setelah merasa aman, aku bergerak menuju blackout curtains two panel, membukanya, mataku langsung disuguhkan pemandangan dengan gedung-gedung pencakar langit.
Salah satunya Empire State Building. Salah satu gedung pencakar langit tertinggi di dunia pada tahun 1931.
Dengan tinggi 102 lantai dan 1.454 kaki, mengalahkan Gedung Chrysler sejauh 400 kaki. Pada tahun 2017, Empire State Building menjadi gedung tertinggi ke-31 di dunia.
Blimp Parking. Bangunan ini di atapi oleh tiang tambat untuk dirigibles, yang merupakan tren terbaru dalam perjalanan udara pada tahun 1931. Namun, hanya satu balon udara yang pernah berlabuh di Empire State Building, pada 16 September 1931, sebelum ide itu ditinggalkan karena dianggap terlalu berbahaya.
Gedung Empire State adalah tempat tragedi ketika sebuah pesawat kecil jatuh ke lantai 79 di sisi 34th Street. Pilot pesawat, dua penumpangnya, dan 11 orang di dalam gedung tewas seketika.
Jika kamu pernah menonton film Kingkong tahun 1933 pasti tidak asing dengan Empire State Building yang menjadi salah satu tempat dalam proyek film tersebut. Selain itu gedung tingkat tinggi itu juga pernah dijadikan proyek film romantis dalam Affair to Remember (dan remake-nya) dan Sleepless in Seattle .
"Alright, aku harus kemana dulu?" Kuamati inset yang baru saja kuambil dari koper. Ada banyak kota yang ingin aku kunjungi di tempat ini.
Sepuluh menit termenung, memikirkan hingga kuputuskan salah satu tempat yang menurutku cocok untuk kujadikan tempat inspirasi dalam tulisanku.
Sehabis salat magrib, kulangkah kaki keluar penginapan menuju salah satu street food. Berhenti tepat di depan Booth container Royal Halal Grill dan memesan salah satu menu-nya; Chicken tikka over rice.
Selanjutnya berjalan menelusuri setiap sudut perkotaan seorang diri. Mengamati gemerlapnya cahaya New York di malam hari. Muda-mudi tampak berlalu lalang ke sana kemari.
Terus berjalan hingga ke persimpangan jalan utama. Menuju kawasan West 42nd dan West 47th street. Kawasan yang dikelilingi Theatre District mencakup blok-blok dari timur ke barat antara Sixth Avenue dan Eighth Avenue, serta antara West 40th dan West 53rd Street dari utara ke selatan. Kawasan ini merupakan bagian sebelah barat dari distrik bisnis dan perdagangan yang disebut Midtown Manhattan.
Banyak warga New York maupun warga asing yang datang kemari hanya untuk berbelanja. Termasuk aku, walau hanya sekedar datang mencuci mata. Lelah, sejenak berhenti hanya untuk menghirup pasokan udara, kemudian melanjutkan perjalanan, hingga masuk melewati beberapa lorong bangunan tinggi.
Tampak sunyi. Mendongak. Jendela gedung tinggi itu sudah tertutup rapat. Apakah para penghuninya sudah terbawah mimpi? Kulihat jam pada pergelangan tanganku. Sudah ada di pertengahan malam. Pantas saja, sudah waktunya penduduk bumi mengistirahatkan tubuh mereka, tak terkecuali manusia hantu yang tidurnya kala siang hari. Termasuk dirimu Syifani, jam segini kau masih larut terjaga dalam keheningan malam.
Ah, andaikan saja aku tidak menjomblo, mungkin saat ini aku ditemani oleh pujaan hatiku.
Kemana perginya engkau wahai pangeran berkuda putihku? Kapan dirimu datang menjemputku? Apa kau tidak bosan bertapa terus?
Brrrrrt! Brrrrrt!
Astagfirullahaladzim, tersentak kaget sontak langkah kakiku terhenti saat hendak melewati satu bangunan lagi, suara nyaring itu menggema dalam larutnya malam.
Bukankah itu suara tembakan? Dari mana asal suaranya?
Dengan segenap keberanian, perlahan kudekati salah satu bangunan tersebut, mengintipnya, seketika membuat degup jantungku berdebar tidak karuan.
Kuteguk kasar salivaku, di depan sana. Tampak seorang pria tak berdaya tengah diinterogasi dengan tubuh yang sudah babak belur. Kemeja putih yang ia kenakan juga berlumuran darah—berlutut di depan tiga orang pria. Aku membekap mulutku sendiri saat salah satu dari pria itu menarik pelatuk pistolnya hingga menembus ke kepala pria tersebut.
Seluruh persedian tubuhku seketika lemas. Bagaimana tidak? Di depan mata kepalaku sendiri aku melihat aksi pembunuh itu. Demi Allah, ini adalah pengalaman paling mengerikan yang pernah terjadi selama hidupku.
Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku menelpon pihak berwajib? Tak ingin bernasib sama, bergegas kugerakkan langkah kakiku. Ingin rasanya aku mengumpat kasar saat tak sengaja menginjak sebuah kaleng beer.
Apa mereka dengar? Menoleh. Dan pria-pria bertubuh kekar itu kini menatap bengis ke arahku.
Keringat dingin pun mulai berjatuhan. Apalagi saat salah satu darinya tersenyum smirk ke arahku.
Oh Allah, tolong lindungi hamba.
Kusibak selimut yang membungkus tubuhku seraya bergegas mencari keberadaannya, di kamarnya, kosong. Melangkah lebar menuju lantai dasar, ternyata di ruang tamu juga kosong, hanya ada beberapa bodyguard berkepala plontos yang sedang berjaga, kuayunkan kaki menuju dapur–ternyata dia ada di sana tengah menikmati sarapan paginya seakan tak ada beban apa pun yang ia rasakan. “Sergio!” Dia tak menoleh sedikitpun. “Apa kamu masih bisa sarapan di saat situasi seperti sekarang, hah?” Aku berdiri di sampingnya, menatapnya dengan tatapan menggebu emosi. “Kau ingin aku mati karena tidak sarapan?” Tak acuhnya memasukkan potongan roti ke dalam mulutnya. Kugebrak meja membuat atensinya teralihkan padaku.”Kau tahu, gara-gara kau nama baikku jadi tercemar?""Apa kau hanya memikirkan nama baikmu?" Apa dia bilang hanya? Aku berdecih jengkel. Ingin rasanya aku meninju wajah iblisnya ini. Dengan entengnya dia mengeluarkan kalimat sialan itu. "Kalau bukan karena kau, aku tidak akan pernah mengalami pe
Kuhela napas pelan. Percuma. Pria itu hanya diam seperti patung pancora. Hingga mobil itu berbelok menuju pekarangan mansion, kami masih saja diam dalam kebisuan. Gegas, ku ayunkan kaki sesaat mobil tersebut berhenti, melangkah lebar menuju kamar. Menutup dan menguncinya seraya melangkah membaringkan diri di atas tempat tidur. Menatap plafon dengan ribuan pertanyaan. Sebenarnya siapa mereka? Mengapa aku merasa pernah bertemu dengan pria berwajah psikopat itu?Gelap, itulah yang aku lihat, tapi kegelapan itu hanya bersifat semantara. Lampu-lampu yang bergelantungan di atasku perlahan mengeluarkan cahayanya. Mataku mengikuti arah cahaya lampu itu, menyipitkan mata, tatkala pandanganku seperti melihat bayangan seseorang. “Sergio!” Dia berbalik, senyum yang semula terbit kini redup saat pria itu menodongkan senjata ke arahku. Mataku kembali menatapnya dengan pandangan yang berkabut air mata sedangkan Sergio menatapku dengan seringaian yang menjijikkan. “A—Ap…”Dor!“Astaghfirullahaladzim
Janganlah kalian berharap bertemu musuh. Namun jika kalian bertemu musuh, bertabahlah menghadapinya (HR Bukhari).***Di suatu tempat? Aku mengernyit tak paham. Rumah sakit? Mataku reflek membeliak lantas menoleh ke belakang. Pria dengan wajah sangar seperti psychopath itu tengah menatap datar ke arahku. Kutelan kasar ludahku, lekas memalingkan pandangan ke depan. Entah mengapa, menatap pria itu membuat gemuruh jantungku bertalu-talu. Apa sebenarnya aku pernah bertemu dengannya? Mengapa tatapan pria sangar itu seakan tak asing bagiku. Tanpa sadar tanganku saling menggenggam satu sama lain, menyalurkan gugup yang kian mendera hatiku. Ada apa sebenarnya, mengapa juga aku harus merasakan takut pada orang yang baru pertama kali aku temui? Tanpa sebab?Ya Allah lindungi hamba,” Allahumma inna naj'aluka fi nuhurihim wa na'udzubika min syururihim.Artinya: "Ya Allah kami jadikan Engkau di depan mereka, dan kami berlindung kepada-Mu dari kejahatan mereka." (HR. Abu Dawud)"Apa Sergio tidak men
Denting jam telah menunjukkan pukul 12 malam. Kututup buku diaryku, menyimpannya di atas nakas seraya menarik selimut dan mencoba tuk memejamkan mata. Berkali-kali tapi sulit, hingga aku tersentak kaget saat jam weker berdering nyaring masuk ke dalam membran timpani-ku tepat pada pukul 4.30 subuh. Jam berapa aku tidur semalam? Kugerakkan tubuhku masuk ke dalam kamar mandi. Mandi subuh dan berwudhu. Kemudian melangkah menuju lantai dasar. Setidaknya beberapa hari ini aku bisa merasakan sedikit kebebasan, berkeliaran dalam mansion mewah ini, walau harus diawasi dengan ketat. Anak buah pria itu menatapku tajam saat aku berjalan di depannya menuju dapur. "Masak apa?" Beatrica tersentak kaget reflek menoleh. "Aku lagi buat American Pancakes untuk Tuan Sergio dan ayam goreng untuk Anda." Dia tersenyum manis sekali. Ayam goreng? Sebenarnya aku sudah sangat bosan dengan makanan kesukaan Upin Ipin itu. "Apa pria itu sangat suka dengan makanan itu?"Beatrica mengangguk. "Tuan tidak suka mak
Tepat seminggu setelah menjalani pemulihan, akhirnya Sergio diperbolehkan untuk pulang. Kini kami sedang dalam perjalanan, entah kemana. Aku pun tidak berniat untuk mencari tahu kemana arah mobil ini melaju. Kutarik napas dalam-dalam, menghembuskannya. Memandangi gedung-gedung tinggi yang berdiri dengan angkuhnya seakan tersenyum mengejekku. Mobil yang kutumpangi, akhirnya tiba di halaman mansion berwujud kastil itu. Lagi. Kuhela napas gusar. Sungguh keputusan yang sangat buruk. Kuikuti langkah lebarnya memasuki tempat tersebut. Tempat yang sepatutnya sudah kutinggalkan. Tapi karena keduguan yang kulakukan, akhirnya aku kembali terjebak di penjara ini. "Naiklah!" titahnya. Menyuruh menaiki anak tangga mansion ini dengan dagunya. Lekas kucekal pergelangan tangannya saat ia hendak mengayunkan langkah kembali. Dia menoleh. "Bisakah kau kembalikan buku-bukuku yang kau sita? Aku butuh benda-benda itu untuk menghilangkan kejenuhanku." Kutatap ia menggibah. Berharap hatinya tersentuh. "
Aku berdehem membuat dua anak manusia yang dimabuk cinta tersebut menoleh ke arahku. "Ah, Bell. Dia adalah Syifani." Aku tersenyum, mengangguk kecil. "Oh, really?" Entah apa yang membuat mata wanita ini berbinar seperti itu menatapku. Dia bergerak menujuku, sontak membuat mataku terbelalak saat dia tiba-tiba saja memelukku. Dia merenggangkan jarak pelukannya, tersenyum duchenne, memandangiku cukup lama. "Dia sama sekali tidak berubah, " ucapnya menoleh ke arah Sergio. "She still looks the same as before."Aku mengernyitkan kening? Apa maksudnya. "Apa kamu tidak ingat apapun?" tanyanya padaku. "Iya." Sungguh, aku tidak tahu kemana arah pembicaraannya. "Really? Kau tidak ingat apapun soal… ""Bella!" Aku dan wanita yang bernama Bella itu refleks menoleh ke arah Sergio. Wajah pria itu terlihat memerah dengan napas yang naik turun, tak teratur. Dia memejamkan matanya sejenak, jakunnya ikut naik turun." Aku ingin berbicara dengan Bella berdua. Keluarla!""Ah, iya. " Entah mengapa a
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments