Sekitar jam tujuh malam, tamu yang ditunggu akhirnya tiba di kediaman keluarga Iza. Para tamu itu sudah dipersilahkan untuk singgah di ruang tamu. Lek Soni bersama dengan istri dan seorang pria muda, yang pasti adalah Rio, anak laki-laki mereka.
Yono, ayah Iza yang pertama menyambut mereka di ruang tamu. Untuk beramah tamah sebentar sebelum memanggil istri dan anaknya untuk bergabung bersama mereka.
"Bagaimana kabar semuanya? Sudah lama ya tidak pernah ketemu seperti ini? Wes pirang tahun Bu-ne? Sampai lupa kalau punya saudara jauh." Yono memulai ramah tamah.
"Iya ya, sudah lama sekali." Sri ikut menambahi ucapan sang suami. "Ini Mas Rio yang masih kecil dulu itu yah? Wah sudah gede dan ganteng sekarang."
"Nggeh, Bu De." Rio menjawab canggung pujian dari Sri.
"Waktu ketemu dulu kan kalian masih kecil-kecil. Kalau begitu, sebaiknya kenalan lagi. Mas Rio, perkenalkan ini Iza anaknya Pak De." Yono memfokuskan perkenalan kepada kedua anak muda yang akan dijodohkan, Rio dan Iza. Karena kedua orang tua mereka sudah saling kenal satu sama lainnya.
"Salam kenal," Iza pun menyalami kedua orang tua RIo. Kemudian memberikan anggukan sopan kepada pria muda yang sedang duduk di dekat keduanya.
"Nak Iza makin cantik saja ya?" Nanik, Istri Soni memberikan pujian kepada Iza.
"Ah Bu Lek Nanik bisa saja." Iza menjawab sambil tersenyum simpul, sudah terbiasa dengan pujian basa-basi seperti ini.
"Rio, ayo disapa Mbak Iza. Gak usah jaim dan malu-malu begitu." Soni sedikit menggoda putranya yang terlihat kikuk saat berhadapan dengan Iza.
"Salam kenal, Mbak Iza. Nama saya Rio." Rio memberikan sapaan dengan senyuman selebar senyuman model iklan pasta gigi.
Iza mengamati pria yang mengenalkan dirinya sebagai Rio dengan lebih seksama. Penampilan wajah dan postur tubuh pria itu cukup enak dipandang mata. Wajahnya bersih dan terawat dengan potongan rambut pendek yang rapi. Gaya berpakaian nya juga bisa dibilang trendi dan kekinian, dipadukan dengan beberapa lekukan otot maskulin yang menyembul di lengan atasnya.
'Kok kayak cowok metroseksual ya?' Iza merasa tidak nyaman dengan penampilan RIo yang tidak sesuai dengan selera pribadinya tentang sosok seorang pria.
'Masa iya cowok modelan begini mau dijodohkan, apalagi sama aku?'
"Salam kenal." Iza balas memberikan sapaan. Namun terlalu bingung untuk memanggil RIo dengan sapaan 'Mas' atau 'Dek'. Sudah jelas usia Rio lebih muda darinya, bahkan dalam silsilah keluarga pun seharusnya Rio adalah adik sepupu jauhnya.
Baik kedua orang tua Iza maupun kedua orang tua Rio saling melemparkan senyuman sumringah melihat kedua anak muda itu berkenalan. Sepertinya mereka berharap agar keduanya bisa menjadi lebih akrab, bahkan bisa melanjutkan ke hubungan yang lebih jauh.
"Nak Iza ini kerjanya sebagai seorang perawat di rumah sakit lho, Rio." Nanik yang kali ini berkata kepada putranya untuk mempromosikan Iza.
"Eeeeh? Perawat?" Rio terlihat sedikit kaget mendengar ucapan sang ibu. Mungkin sama seperti Iza, sebelumnya dia tidak diberikan informasi lengkap tentang siapa yang akan dijodohkan dengannya.
"Iya keren toh? Pasti Iza juga kelak juga bisa merawat suami dan anak-anaknya dengan baik." Soni ikut menambahi ucapan prpmosi sang istri.
"Iya keren sekali." Rio membenarkan ucapan ayahnya. "Mbak Iza kerjanya di rumah sakit mana ya?" lanjutnya menanyai Iza.
"Di Rumah Sakit Hartanto Medika." Iza menjawab singkat, padat dan jelas.
"Rumah sakit besar di jalan provnsi itu lho, Nak Rio." Yono menambahkan keterangan Iza yang langsung dibalas dengan anggukan tanda mengerti oleh RIo. "Kalau mas Rio sekarang kerjanya apa?" Yono balik menanyai keponakan jauhnya.
"Saya bekerja di Bank, Pak De. Masih karyawan rendahan yang baru masuk." Rio menjawab dengan merendah, mungkin tidak ingin dianggap sombong oleh Iza dan keluarganya.
"Rio ini jadi manager di bank BINA cabang. Rejekinya dia Mas, padahal baru melamar 3 bulan kemarin." Berbanding terbalik dengan ucapan RIo, Nanik malah menimpali dengan membanggakan serta mempromosikan sang putra.
"Yah cukup lah untuk mengamankan status keuangan rumah tangga." Soni Iki menimpali dengan sebuah kalimat yang cukup netral.
Seluruh yang hadir di sana pun menanggapi dengan senyuman ringan ramah tamah dari kedua orang tua Rio. Kecuali Iza menjadi semakin kikuk sendiri.
'Suami? Anak? Rumah tangga? Ini gak terlalu cepat buat diomongin pada pertemuan pertama ya?' Iza membatin ngeri, tetap berusaha memasang senyuman manis di bibirnya.
"Oiya tadi kebetulan kami masak kecil-kecilan. Jadi kita lanjutin ngobrolnya sambil makan malam aja yuk." Sri berkata untuk mempersilahkan ketiga tamunya.
"Wah ide bagus. Memang tidak baik untuk terus mengobrol dengan perut kosong." Yono ikut mendukung usulan sang istri.
"Waduh, jadi merepotkan Mbak Sri dan Mas Yono ini." Nanik menjawab dengan senyuman malu tapi mau.
"Nggak kok. Ayo! Mari silahkan!" Lanjut ayah Iza sambil mengajak para tamu berpindah posisi ke ruangan yang lebih dalam. Untuk menduduki kursi-kursi yang telah ditata mengelilingi meja makan.
Tak lama kemudian Iza bersama kedua orang tuanya, sudah mengambil duduk di sana. Berhadapan dengan Rio dengan kedua orang tuanya juga. Mereka pun mulai menikmati sajian makan malam sederhana, hasil masakan Sri dan Iza tadi sore. Acara makan malam diselingi dengan obrolan untuk membahas topik ringan. Topik yang umum dibicarakan sehari-hari.
Sementara itu, selama berlangsungnya percakapan, Rio terlihat sesekali melemparkan pandangan ke arah Iza. Di lain pihak, Iza yang tidak begitu minat dengan wacana perjodohan ini, sama sekali tidak perduli dengan tatapan Rio.
"Ayo silahkan hidangannya disambi, jangan dilihatin saja." Sri mempersilahkan kepada tamunya. Untuk menikmati sajian di atas meja yang sudah ditata berbagai macam jenis.
"Begini, Mas Yono, Mbak Sri ..." Ayah Rio memulai pembicaraan resmi bahkan sebelum mereka mencicipi sajian. "Maksud kedatangan kami kali ini hanya murni sebagai upaya silaturahmi dan menyambung persaudaraan. Tapi kok jadi merepotkan seperti ini."
"Tidak ada yang merepotkan, malah kami sangat senang sekali dengan maksud kedatangan kalian." Yono menyambut gembira perkataan Soni.
"Kapan hari ibunya Rio sempat ketemu sama ibunya Iza waktu pengajian. Lhakok mereka kepikiran untuk semakin mempererat hubungan keluarga kita, biar nggak 'kepaten obor' kalau istilah orang Jawa." Soni menjelaskan maksud kedatangan mereka.
"Oleh karena itu kami ingin main ke sini untuk mengenalkan anak kami Rio, dengan Nak Iza." Nanik ikut menambahkan dengan bersemangat.
"Yang semoga saja nantinya Rio dan Iza dapat berteman. Lalu semakin akrab ya." Sri menyambut dengan antusias.
Iza hanya bisa menghela napas panjang mendengar ucapan Nanik dan Sri. Sepertinya kedua emak-emak rempong itu adalah pemrakarsa acara perjodohan ini.
"Walaupun ini adalah kunjungan pertama, tapi kami sangat berharap kalau kami akan berkesempatan bersilaturahmi kesini lagi. Mungkin dengan personil keluarga kami yang lebih lengkap jumlahnya." Soni melanjutkan pembicaraan serius mereka.
Sepertinya dia sengaja menggunakan bahasa yang sedikit berteka-teki dan mengandung kode tersembunyi di balik ucapannya. Padahal sudah jelas sekali maksudnya. Bersilaturahmi dengan keluarga lengkap? Pasti untuk melamar Iza sebagai menantu mereka bukan?
Iza dan Yono, ayahnya hanya terdiam mendengar ucapan Soni itu. Mereka mengerti dan tahu benar akan maksud dari ucapan itu. Namun bingung harus menjawab dan bereaksi bagaimana. Ayah dan anak itu memang ingin Iza segera menemukan jodohnya, namun tidak dengan cara tergesa-gesa seperti ini.
Akan tetapi untuk langsung menolak mentah-mentah juga tidak memungkinkan bagi mereka. Terlalu kasar dan tidak sopan, serta tidak pantas mengingat mereka masih kerabat dekat. Juga karena status Iza sebagai perawan tua.
'Bukankah kalau menolak akan dianggap terlalu pilih-pilih lagi?'
Iza memandang penuh harap kepada sang ayah. Berharap beliau bisa memberikan jawaban yang cukup bijaksana dalam masalah ini.
'Paling tidak kan seharusnya kami masih harus berkenalan satu sama lainnya?'
"Saya tidak keberatan dengan wacana untuk mempererat hubungan silaturahmi antara kedua keluarga ini. Akan tetapi Iza dan Rio kan baru saja berkenalan.""Jadi saya rasa akan lebih baik jika mereka bisa lebih saling mengenal, satu sama lainnya lebih baik lagi." Yono memberikan jawaban yang netral.Iza menghela napas lega mendengar ucapan sang ayah. Tidak seperti Sri, Yono memang lebih adem dan tidak pernah terang-terangan memaksa Iza untuk cepat-cepat menikah. Beliau lebih memahami bahwa urusan jodoh dan rejeki murni terletak di tangan Tuhan."Sebagai orang tua, kita tidak bisa memaksakan segala sesuatu semau kita. Biarkan anak-anak sendiri yang nanti membuat keputusan untuk kehidupan mereka. Karena semua akan berpengaruh pada masa depan mereka sendiri.""Saya percaya bahwa Iza dan Rio sudah sama-sama dewasa. Jadi mereka dapat mempertanggung jawabkan keputusan masing-masing." Yono menekankan ucapannya. Untuk memberi kebebasan sepenuhnya kepada Iza dan Rio."Benar sekali Mas Yono. Saya j
"Dokter Yudi itu idaman banyak wanita waktu jaman mahasiswa dulu, Mbak. Orangnya kan cool banget, selalu bikin penasaran siapa saja yang dekat dengannya." Ucapan dokter Eka terngiang di kepala Iza. Eka juga sedikit bercerita kepada Iza tentang Yudi yang sudah dikenalnya sejak beberapa tahun yang lalu. Kedua dokter itu memang belajar di kampus yang sama waktu masa pendidikan dokter. Selanjutnya tak perlu waktu bagi Iza untuk membuktikan kebenaran dari perkataan dokter Eka. Selama seminggu menggantikan shift jaga dokter Ceicillia, dokter Yudi tidak banyak bergaul dengan para perawat atau pegawai rumah sakit lain. Dia hanya berbicara seperlunya saja, saat pelayanan pasien atau memberikan advice tindakan kepada para tenaga medis lainnya.'Dia benar-benar orang yang diam-diam menghanyutkan.' Iza membatin sambil menatap dari jauh sang dokter. Yudi yang sedang duduk di kursi dokter jaga. Dia berkutat dengan buku tebal tentang kedokteran yang selalu dibawanya dan dibaca saat ada waktu luang
Sebuah mikrolet menepi dengan mulus di sebuah jalan pedesaan, kemudian berhenti selama beberapa menit untuk menunggu salah satu penumpangnya turun. Seorang gadis berjilbab yang mengenakan setelan seragam berwarna hijau dari sebuah rumah sakit swasta, tak lama kemudian turun dari mikrolet itu. Sebelum kendaraan umum beroda empat itu kembali melaju membelah aspal jalanan untuk mengantarkan penumpangnya yang lain. Gadis yang baru turun dari mikrolet itu adalah Iza, Oriza Sativa. Gadis itu berjalan perlahan dari arah jalan raya ke kompleks perumahan padat penduduk. Langkah kaki Iza terhenti tepat di depan gang rumahnya sendiri. Padahal hanya perlu sekitar lima puluhan meter lagi jarak yang harus ditepuhnya untuk sampai ke rumah dari posisinya saat ini. Namun Iza harus melewati cobaan berat menghadang. Kerumunan ibu-ibu kompleks sedang berkumpul di sebuah gardu siskamling "Huuuuuh ..." Iza menghela napas panjang untuk menguatkan hatinya sebelum melanjutkan langkah melewati kerumunan itu.
Butiran-butiran air turun dari langit malam yang gelap. Sebagian jatuh ke pepohonan yang menyambut dengan riang gembira, sebagian jatuh ke genting-genting yang menjadi bersih dari debu. Sebagian lainnya jatuh ke tanah atau berakhir di saluran pembuangan dan sungai.Iza mengamati tetesan air yang membentuk salur-salur tak beraturan di jendela kaca depan instalasi gawat darurat. Suasana yang dingin dan syahdu di malam hujan membuat waktu shift sore terasa lebih lama. Membuat Iza bersama Rani dan dokter Eka yang sedang berjaga di bagian gawat darurat rumah sakit Harapan Sehat menjadi bosan.Kesunyian malam itu dipecahkan oleh bunyi sebuah nada dering dari sebuah ponsel. Ketiga para medis itu pun kompak mencari-cari sumber suara yang ternyata berasal dari ponsel milik dokter Eka. Sang dokter pun segera mengangkat dan menerima panggilan di ponselnya."Aduh gimana ya, Mbak ... Jemputanku sudah datang nih di depan." Eka berkata dengan sungkan kepada Iza dan Rani beberapa saat kemudian, sete
Sang surya masih garang menebarkan sinarnya pada suatu sore. Menciptakan suasana panas yang bahkan mampu menembus tembok kubus kamar Iza. Kipas angin yang menempel di dinding kamar pun tak mampu menghadirkan udara sejuk. Malah meniupkan udarah panas yang terus diputar oleh baling-balingnya.Suasana gerah itu membuat gadis perawan pemilik kamar terbangun dari tidurnya dengan bermandikan keringat. Iza melirik jam dinding yang berbentuk micky mouse. Jarum jam dinding menunjukkan pukul setengah lima sore."Wah nyenyak juga tidurku," Iza menguap dan menggeliatkan badan.Iza merasa kelelahan setelah berjaga maraton dari shift malam yang berlanjut ke Sift pagi di rumah sakit. Bayangkan saja, dia harus berjaga dan berkonsentrasi penuh mulai jam sembilan malam kemarin sampai dengan tadi siang jam dua. "Jangan tanya lagi gimana capek, jenuh dan ngantuknya ... Capek banget!" Iza menggumamkan gerutuan di bibirnya yang mungil.Sepulang dari rumah sakit tadi Iza langsung mandi dan membersihkan dir