Tio pun lesu keluar dari kamar Reva. Rasanya masih belum siap kalau dirinya harus berpisah dengan Reva. Tio menuju ke kamar Mila. Mila sudah menempati kamar di lantai bawah. Meskipun ukurannya tidak sebesar kamar Reva di atas tetapi lumayan untuk tinggal di sana.
"Bagaimana, Mas? Apa Mbak Reva sudah setuju untuk kita menikah secara resmi?" tanya Mila.
Tio terdiam.
"Mbak Reva nggak setuju?" tanya Mila lagi.
"Dia nggak mau dimadu. Dia memilih untuk berpisah dengan ku," jawab Tio lesu.
"APA? Nggak. Kalian nggak boleh pisah! Kalau kalian pisah dan kamu nggak punya penghasilan terus kita mau bagaimana?"
"Ya maka dari itu."
"Kalau nggak menikah resmi aku nggak mau berhubungan sama kamu, Mas. Kamu ingat itu, kan?" ujar Mila.
"Iya. Tapi setidaknya aku boleh tidur di dalam kan? Aku diusir sama Reva," tanya Tio lirih.
"Nggak. Kamu tidur di luar. Kalau kita tidur bersama kamu bisa curi-curi lagi," tolak Mila.
Saat ini Tio sangat bingung karena memiliki dua istri tetapi tidak ada yang mau tidur dengannya. Dengan berat hati Tio melangkah menuju ke sofa depan televisi. Dia merebahkan diri di sana. Dia memikirkan cara agar Reva mau menerima Mila untuk menjadi madunya tanpa harus berpisah.
Esok harinya Reva sudah berpakaian rapi untuk menuju ke kantor. Dia melihat Tio masih tertidur pulas di depan televisi. "Katanya pengantin baru. Malah tidur pisahan begitu," gumamnya.
Tetapi Reva tak peduli. Dia hanya menyiapkan sarapan dan juga bekal untuk dirinya ke kantor. Tanpa menyisakan di rumah. Baginya saat ini Reva sendirian tidak memiliki suami.
Saat Reva hendak berangkat, Tio rupanya terbangun. "Kamu sudah mau berangkat, Rev?" tanyanya.
"Iya." Reva hanya terus berjalan tanpa mengindahkan Tio.
"Kamu sudah menyiapkan sarapan kan untuk aku dan juga Mila?" tanya Tio.
Reva menghentikan langkah. Menoleh ke arah Tio.
"Kenapa harus aku yang menyiapkan? Kamu kan sudah memiliki istri baru yang katamu bisa melayani kamu. Aku mau bekerja jadi kamu minta sama istri baru mu untuk menyiapkan kamu sarapan!" ucap tegas Reva.
"Tapi kan kami tidak punya uang. Mila dan aku nggak bekerja. Jadi kamu bagi lah uang untuk kami makan. Setidaknya nya untuk beli bahan makanan," pinta Tio.
"Mas, kamu nggak usah khawatir! Di dapur ada banyak bahan makanan yang bisa Mila gunakan memasak. Jadi nggak perlu lah aku membagi uang untuk kalian juga," tolak Reva lalu bergegas pergi. Karena dia tidak mau banyak berdebat dengan Tio hanya untuk menghabiskan waktu dan membuatnya telat datang ke kantor.
Reva mengendarai motornya dan sampai lah dia di kantor. Menyapa beberapa pegawai dan duduk di tempatnya mengais rezeki. Dia termenung. Sampai kapan dia akan bertahan di rumah tersebut. Sedangkan Tio juga sudah menikah lagi. Apakah Reva harus menanggung biaya Tio dan juga Mila. Itu membuat biaya pengeluaran begitu banyak.
Hanya berdua saja dengan Tio biasanya juga banyak mengeluarkan biaya karena kebiasaan hedon Tio sekarang ditambah Mila.
Tidak menyadari Reva ada bawahannya yang masuk ke dalam ruangannya.
"Maaf, Bu. Saya langsung masuk. Karena beberapa kali saya mengetuk pintu tidak ada jawaban. Sedangkan ada berkas yang harus Ibu tanda tangani," ucap Linda.
"Iya, saya yang minta maaf tidak mendengar kalau kamu mengetuk pintu," sahut Reva.
"Sepertinya ibu sedang banyak pikiran. Apa perlu saya menyiapkan teh hangat?" Linda memberikan tawaran.
"Tidak perlu, Lin. Maaf kalau saya merepotkan kamu," tolak Reva.
Sudah bekerja cukup lama Linda cukup mengerti dengan keadaan atasannya. Entah sedang dalam suasana hati senang atau sedih. Linda cukup mengenal Reva. Tetapi dia tidak ingin terlalu jauh ikut campur. Dia hanya ingin memastikan jika atasannya bisa baik-baik saja.
Meeting para manajer akan dimulai. Reva lupa kalau hari ini ada meeting. Bahkan dia belum menyiapkan apapun.
"Bu, sepertinya Bu Reva belum menyiapkan bahan untuk meeting, ya? Saya susah siapkan semua. Tinggal ibu baca nanti!" ucap Linda.
"Terima kasih banyak, Lin," sahut Reva kemudian masuk ke dalam ruang meeting. Di sana sudah ada pada manajer dan juga CEO perusahaan. Reva melihat orang baru di sebelah CEO. Tetapi Reva hanya terus berjalan menuju ke kursinya.
Setelah dimulai, Ternyata CEO memperkenalkan CEO baru yang akan menaungi perusahaan mereka. Usianya masih terlihat muda. Reva hanya menyimak tanpa melihat banyak ke arah sumber suara yang sedang memperkenalkan diri.
Beberapa petinggi dan manajer sudah mempresentasikan kinerja masing-masing. Kini giliran Reva. CEO lama bertepuk tangan karena Reva adalah manajer terbaik yang ada selama ini. Di bawah naungan Reva keuangan begitu transparan dan sangat terkondisi. Bahkan CEO lama juga membanggakan Reva di hadapan CEO baru yang diketahui bernama Roy.
Tetapi hari ini terlihat berbeda. Bahkan semua peserta rapat pun tak menyangka jika Reva terlihat kurang profesional.
"Kamu siapa namanya?" tanya Roy dengan nada tinggi.
"Reva," jawab Reva pelan.
"Jadi seperti ini kinerja manajer yang berprestasi? Iya? Saya kira tidak ada kata untuk tidak profesional. Karena saat ini saya yang menjabat CEO saya turunkan kamu sebagai staf keuangan biasa. Tidak ada toleransi," bentak Roy.
Semua mata tertuju pada Roy. Reva yang selama ini bekerja dengan sangat baik dan menjadi panutan manajer lain harus melihat saat itu juga Reva diturunkan jabatannya. Bahkan CEO lama pun tidak bisa membela Reva karena semua keputusan sudah diberikan kepada Roy.
Reva menghela nafas panjang. "Baik, Pak. Saya terima. Kalau begitu saya permisi meninggalkan ruang rapat," pamit nya.
Beberapa petinggi dan manajer lain pun menyesalkan keputusan itu. Tetapi ada juga yang senang karena ada yang bisa menggantikan posisi Reva.
Reva menuju ke ruangannya. Karena hari ini ruangan itu menjadi ruangannya yang terakhir. Dia tidak bisa menahan air matanya. Jujur kerja kerasnya selama ini merasa sia-sia. Dia juga tidak bisa menyalahkan siapa pun. Karena dirinya lah yang bersalah karena tidak profesional. Setidaknya dia masih diberikan kesempatan untuk bekerja. Bukan malah dipecat. Kalau iya bagaimana nantinya akan menghidupi dirinya, Tio dan istri baru Tio.
Linda yang segera masuk untuk bertanya kepada Reva. "Kenapa Bu Reva menangis?"
Reva justru tersenyum melihat kedatangan Linda. "Terima kasih karena selama ini kamu sudah membantu saya. Hari ini saya tidak lagi menjadi atasan kamu. Saya akan digantikan oleh orang lain."
Ucapan Reva membuat Linda bingung. Tetapi dia berpikir positif. "Apa Bu Reva akan diangkat jabatan?"
"Tidak, Linda. Posisi ku lebih rendah dari kamu. Kita masih bisa bertemu. Kamu jangan panggil aku Bu, ya!" jawab Reva.
"Akhirnya kamu menikah, Mega," ucap Reva. Kandungan Reva sudah memasuki usia sembilan bulan dan hanya menunggu waktu lahir saja. Meskipun sebenarnya dokter tidak menyarankan untuk melakukan perjalanan perjalanan terutama jalan yang tidak rata. Tetapi Reva tetap memaksa untuk bisa datang di acara pernikahan adiknya."Terima kasih, kak. Ini juga semua berkat kak Reva. Sudah meyakinkan aku kalau jodoh tak akan kemana," sahut Mega. "Kamu harus raih cita-cita mu jadi dokter loh," peringat Reva."Tentu, kak. Aku akan fasilitasi Mega di rumah sakit yang aku pegang saat ini. Aku akan wujudkan cita-cita Mega untuk bisa jadi dokter. Kalau Mega mau aku akan menyekolahkan dia jadi dokter spesialis," sahut Ivan. Ia tak sengaja mendengar obrolan istri dan kakak iparnya."Iya, kamu jaga baik-baik adikku ya, Ivan! Aku harap kamu bisa mengerti dia kalau masih bersikap seperti anak kecil. Karena pada dasarnya Mega ini adalah anak yang manja yang kemudian tiba-tiba berstatus menjadi istri orang," tita
Satu minggu kemudian.Bu Ningsih sudah memulai aktivitas kembali. Dia membuka warungnya seperti biasa. Para pelanggan pun juga sudah berdatangan ke warungnya. Ada orang yang kebetulan lewat dan makan di sana. Ia ini dikirimkan oleh Ayahnya Ivan."Bu, nasi campur satu," pesan seorang tadi. "Lauk apa, Pak?" tanya Bu Ningsih."Telur pakai sayur nangka muda saja, Bu," jawab orang tadi.Bu Ningsih pun mengantarkan pesanan itu untuk orang tadi. "Bu, kok sering tutup sih warungnya?" tanya orang tadi."Ya, ada beberapa hal di kota dan harus diselesaikan." Bu Ningsih tak tertarik dengan obrolan dari pelanggan nya tersebut. Karena tak banyak respon akhirnya orang tadi pun diam. Tak berselang lama orang tua Ivan pun yang datang. Mereka memesan di warung Bu Ningsih tetapi masih memakai masker. Setelah selesai makan pun Ayahnya Ivan hendak membayar. "Berapa semua, bu?" "Empat puluh ribu rupiah, Pak,'' jawab Bu Ningsih. Ayahnya Ivan memberikan uang seratus ribu. Dan hendak mengembalikan Ay
"Sebenarnya apa penyebab ibu saya meninggal?" tanya Roy pada petugas lapas."Jadi beberapa minggu terakhir ini ibu Anda memang sakit dan sudah beberapa kali juga kami antar ke rumah sakit. Tetapi kami menyarankan untuk memberitahukan pada pihak keluarga. Tetapi Bu Wendah menolak dan ingin merahasiakan semua penyakit nya dari keluarga. Menurutnya dia malu pada keluarga nya. Jadi lebih memilih untuk diam. Dan tadi malam kondisi Bu Wendah benar-benar menurun. Kami akan bawa ke rumah sakit dia menolak. Dia tetap ingin berada di sini dan justru menitipkan surat pada pihak kami. Lalu tadi pagi kata temannya Bu Wendah saat akan dibangunkan suhu tubuhnya sudah dingin dan tak sadarkan diri. Kami periksa dan ternyata sudah meninggal sejak tadi malam," terang petugas lapas panjang lebar.Roy dan ayahnya saling memandang. Mereka selama ini tak tahu kalau ternyata Bu Wendah sakit. Mereka hanya bisa menerima takdir. Tetapi sebuah surat yang dititipkan pada petugas lapas diterima Roy. Begini lah i
Reva merencanakan untuk mengadakan acara tujuh bulanan. Acara ini memang sengaja ia gelar untuk keselamatan ibu dan bayi serta juga media untuk berbagi sesama. Melihat kebahagiaan orang membuat Reva juga bahagia. Reva melihat kebahagiaan para tamu undangan dan diberikan hampers berupa kue dari tokonya. Ia merasa tak akan rugi membagikan itu semua. Ini adalah jalan untuk berbagi dan memperkenalkan secara luas kue buatannya. Bu Ningsih dan Pak Haris juga datang. Begitu juga dengan Pak Toni selaku ayah dari Roy. Kehangatan keluarga besar itu pun sangat terasa. Begitu juga dengan para anak panti asuhan yang sengaja diundang hadir oleh Reva. Kali ini Roy juga lebih senang karena ada perwakilan keluarga nya yang hadir di acara perayaan tujuh bulanan. Segala doa dilanjutkan dan minta diberikan keselamatan sampai anak Reva lahir. Kalau pun sudah lahir Reva dan bayinya juga didoakan untuk bisa sehat terus. Dan menjelang sore pun semua tamu undangan pulang. Reva mengadakan acara tujuh bulan
Reva tahu bagaimana perasaan adiknya. Ia memang tak pernah ada di posisi Mega. Hanya saja ia pernah ditolak oleh orangtua nya dan memilih untuk pergi dari rumah karena ingin mengejar cintanya pada Roy. Apakah Reva akan memberikan nasihat seperti itu pada Mega? Tentu saja tidak. Reva hanya ingin pengalaman di masa lalunya tidak terulang untuk adiknya. Karena Mega sebenarnya anak penurut tidak seperti Reva yang lebih bar bar. Apalagi Mega juga tak pernah macam-macam. Sehingga Mega akan tetap menurut apa kata orang tuanya. Baginya keputusan orang tuanya adalah hal yang baik baginya. Karena baginya ridho tuhan ada pada orang tuanya."Kak, apakah aku memang tidak berjodoh dengan Ivan?" tanya Mega lirih."Kalau jodoh nggak akan kemana kok. Kamu lihat aku kan? Bagaimana aku bisa mendapatkan restu ibu untuk bisa menikah dengan Roy? Pada saat Roy sudah jadi menantunya pun juga masih diuji dengan berbagai masalah. Tidak hanya sampai situ, Mega! Kamu harus berdoa dan berusaha selagi kamu bisa,"
Ivan menggigit bibirnya. Ia merasa ada salah paham di sana. "Maaf, kami akan membatalkan rencana pernikahan Mega dan Ivan." Bu Ningsih langsung bangkit dan langsung menggandeng tangan suaminya dan Mega juga. Reva kemudian menghentikan langkah ibunya. "Bu, tolong dengarkan dulu penjelasan mereka! Aku yakin mereka bukan berbohong karena ingin menyakiti pihak kita." Ia yakin keluarga Ivan hanya tak ingin kalau Ivan terlihat seperti orang kaya saja. "Untuk apa, Reva? Sudah jelas tadi kita dengar kalau mereka berbohong, 'kan? Ibumu ini memang miskin tetapi bukan berarti bisa saja dipermainkan." Bu Ningsih benar-benar marah dan tak menyangka Ia bisa dipermainkan oleh calon besannya. Tampak Mega juga berkaca-kaca. Antara kecewa kepada Ivan atau sedih jika keluarga nya telah membatalkan setidaknya rencana pernikahan tersebut.Jika Bu Ningsih sudah berkehendak tentu saja tak ada yang bisa menghalangi. Bu Ningsih benar-benar pulang. Roy masih memahami situasi tersebut. Ia makin yakin kalau