Tio langsung masuk ke dalam kamar Reva dimana Reva sedang menenggelamkan diri di bawah selimut. Reva terkejut melihat suaminya masuk ke dalam kamar.
"Mau apa kamu ke sini?" tanya Reva.
Tio tak menjawab kemudian menghampiri Reva yang masih berselimut. Dia menyibakkan selimut Reva lalu memeluk Reva dengan sangat erat. Kemudian menciumi Reva dengan begitu ganas sampai membuat Reva merasa diperkosa sama suaminya sendiri.
"Apa-apaan kamu, Tio? Kamu seperti orang gila saja," sentak Reva.
"Kenapa aku? Aku hanya ingin mendapatkan hakku sebagai suami. Aku masih jadi suami kamu. Jangan mengira aku membawa istri baru kemudian kamu dengan mudah melepaskan diri dariku. Kamu masih wajib melayani aku, Reva," balas Tio.
Reva merasa ngeri dengan suaminya sendiri. Meskipun masih suami istri bukankah Reva menolak jika harus diduakan. Dia tidak ingin lagi bersama dengan Tio karena merasa jijik. Bukannya merasa bersalah malah Tio seperti kesetanan.
"Aku sudah tidak mau sama kamu. Aku ingin kita bercerai saja. Tetapi setelah itu kita jual rumah ini dan aku bisa mendapatkan hak yang harusnya memang menjadi milikku," tolak Reva.
"Kamu mau bercerai aku tidak. Keputusan ada di tanganku, Reva. Kalau aku tidak menjatuhkan talak maka kamu tidak akan bisa berpisah sama aku,'' jawab Tio.
"Kenapa tidak? Aku bisa mengajukan ke pengadilan. Untuk apa mempertahankan suami yang tidak bekerja? Setiap hari meminta uang. Dan ternyata uang itu hanya untuk membiayai perempuan lain yang akhirnya dinikahi secara siri. Dan dibawa pulang ke rumah yang jelas rumah ini masih menjadi rumah kita. Di sini siapa yang jahat?" Reva tidak mau kalah.
"Jadi kamu anggap aku jahat? Aku hanya ingin mendapatkan hak sebagai suami. Layani aku malam ini. Karena aku mau berhubungan denganmu, Reva. Buka bajumu sekarang juga!" perintah Tio.
"Aku sudah tidak sudi berhubungan dengan laki-laki yang sudah menyentuh perempuan lain."
"Kalau tidak aku akan memaksa kamu, Reva," ancam Tio.
Reva benar-benar tidak habis pikir. Dia bangkit dan mencoba untuk mengusir Tio dari kamarnya. "Pergi dari kamar ini kamu, Tio. Aku besok akan mengajukan cerai ke pengadilan. Dan kamu harus setuju untuk menjual rumah ini dan kita bagi dua uangnya." Reva mendorong Tio. Dia memiliki kekuatan cukup untuk mendorong Tio keluar.
Tio yang hanya bermasalah nasi goreng tak bisa melawan Reva. Dia tahu kalau istrinya itu memiliki ilmu silat dan akan digunakan ketika dibutuhkan seperti sekarang ini.
"Tidak. Kamu hanya perlu ingat kalau rumah ini atas namaku. Kalau pun aku menjual aku akan gunakan uang itu untuk keperluan ku," teriak Tio dari luar kamar Reva.
"Jangan egois kamu! Rumah ini kita bangun sama-sama. Aku juga punya andil di rumah ini. Jangan seenaknya kamu mengambil hakku," tolak Reva. Dia tidak terima dengan ucapan Tio yang tak lagi menjawab ucapannya.
Reva merasa geram dengan Tio. Rumah itu adalah hasil jerih payah mereka berdua. Dulu memang Reva meminta agar Rumah tersebut atas nama Tio saja. Tak ada bayangan sebelumnya jika mereka akhirnya harus berjalan seperti ini. Apapun yang terjadi Reva akan terus memperjuangkan haknya.
Esok harinya, Reva bekerja dengan yang sebelumnya adalah bawahannya. Tetapi semua sama. Reva sudah menjadi karyawan biasa. Tetapi tidak masalah yang penting dia memiliki penghasilan daripada tidak memiliki pemasukan sama sekali. Apalagi setelah ini dirinya akan berpisah dengan Tio. Tentu dia harus berjuang sendiri.
Reva bekerja dengan cukup giat. Meskipun beberapa teman kerja nya masih nyaman memanggil Reva dengan panggilan ibu. Tetapi berkali-kali Reva menyampaikan kalau sekarang mereka sama. Tidak ada bawahan dan atasan. Reva dari dulu memanG bersikap santun kepada siapa pun. Sehingga membuat dirinya begitu disegani oleh rekan kerjanya.
Sementara itu Tio di rumah sudah sangat kesal. Hasratnya tak tersalurkan selama beberapa hari membuat kepala nya sakit. Meminta kepada Mila tak bisa begitu juga dengan Reva yang sudah mantap untuk mengakhiri hubungan mereka.
Sebenarnya Tio tak rela jika harus berpisah dari Reva. Baginya Reva adalah perempuan terbaik. Dari segala sisi apapun. Tetapi cintanya kepada Mila membuat dirinya buta. Tak ada yang bisa dilakukan. Tio ingin terus mempertahankan pernikahannya dengan Reva.
Mila tiba-tiba keluar dari kamarnya. "Aduh, kenapa rumah ini sangat kotor? Kenapa kamu tidak membersihkan rumah?"
Tio menoleh. "Bukannya yang membuat sampah itu kamu? Harusnya kamu yang bersihkan lah! Reva saja sudah membersihkan dapur padahal bukan dia yang membuat rusuh."
"Oh, jadi kamu membela istri kamu itu? Mas, dengar ya! Rumah besar itu biasanya ada pembantunya. Ini masa yang punya rumah yang bersihkan. Bilang sama Mbak Reva jangan pelit jadi orang!" ketus Mila.
"Aku capek berdebat terus sama kamu. Kapan kamu mau melayani aku? Aku sudah pusing," keluh Tio.
"Sudah aku katakan kalau aku mau melayani kamu jika kita menikah secara negara. Nanti kalau ada apa-apa aku bisa punya pegangan. Bisa-bisa kamu tinggalin aku kalau aku punya anak siapa yang mau membiayai?" jawab Mila.
"Oke, nanti aku akan menikahi kamu secara negara, tetapi kamu belajar untuk mengurus rumah seperti Reva. Dia orangnya rajin. Nggak pernah rumah kotor meskipun dia bekerja," sahut Tio.
"Enak saja kamu samakan aku dengan Mbak Reva. Aku nggak mau melakukan itu. Kalau mau ya bayar pembantu," tolak Mila.
"Rumah ini akan aku jual, jadi kita pindah dari rumah ini," ucap Tio.
Mila termenung sejenak. Kalau rumah sebesar ini dijual tentu akan punya banyak uang. Dan dia bisa menikmati hasil penjualan rumah itu. "Serius kamu mau jual rumah ini?"
"Iya."
Mila begitu senang mendengar ucapan Tio tersebut. Dia kemudian dengan senang hati melayani Tio yang sudah haus akan berhubungan. Mila juga memberikan tubuhnya kepada Tio dengan janji kalau uang hasil penjualan rumah sebagian besar diberikan kepadanya.
Hari itu menjadi malam pertama bagi mereka berdua. Tio bisa menyalurkan hasratnya kepada istri barunya yang memang masih perawan. Tio merasa lega, meskipun dia tidak yakin dengan janji yang dia buat kepada Mila. Yang jelas saat ini dia bisa menikmati tubuh Mila.
"Kok cuma sebentar sih? Aku mau lagi,'' keluh Mila.
"Sudah kan? Memang kamu bisa kuat lagi?" tanya Tio.
"Ternyata enak. Kalau tahu begitu dari kemarin menikah aku sudah mau, Mas,'' ucap manja Mila.
Tio sudah kelelahan sehingga dia tidak menyanggupi permintaan Mila. Dia tertidur di samping Mila.
*
Di kantor, Reva masih memikirkan keputusannya untuk menggugat cerai Tio. Tetapi pekerjaan di kantor hari ini cukup padat. Sehingga dia sepertinya belum bisa izin ke luar.
"Bu Reva kenapa? Sepertinya Bu Reva ada masalah. Boleh cerita ke saya kalau memang butuh teman curhat!" ucap Linda saat melintasi meja kerja Reva yang baru."Eh, kamu, Lin. Sudah aku katakan jangan panggil ibu lagi lah! Aku bukan lagi atasan kamu sekarang," sahut Reva."Tidak. Saya tidak bisa menganggap Bu Reva teman biasa. Karena memang Bu Reva orang yang sangat berkomitmen. Mungkin karena memang ada masalah. Kalau tidak keberatan boleh ceritakan kepada saya, siapa tahu saya bisa bantu, kan?" balas Linda.Reva tersenyum menyambut uluran tangan dari Linda, dianggapnya sebagai seorang sahabat. "Nanti di jam makan siang, ya!" Linda senang karena setidaknya bisa memberikan perhatian kepada Reva. Saat jam makan siang, Reva menceritakan apa yang sedang terjadi di rumah tangga nya. Dia juga tidak segan mengeluarkan cairan bening dari ujung netranya karena rasanya sesak di dalam dada akhirnya bisa keluar dari dalam. "Ya Tuhan, ternyata seperti itu yang terjadi. Saya mengerti sekarang kena
Roy tidak ingin banyak bertanya kepada Reva. Tidak ingin disebut ikut campur. Namun, sebagai atasan tentu Roy juga bertanggung jawab atas keselamatan bawahannya. "Ya sudah, kalau begitu kamu di sini saja! Tanpa saya memberitahukan kepada suami kamu," sahutnya Roy.Reva sebenarnya tidak nyaman berada di rumah sakit. Tetapi kondisi nya tidak memungkinkan untuk pulang. Apalagi ke rumah dan kamarnya berada di lantai atas membuat semakin kesulitan berjalan. Terpaksa dia harus bertahan sementara di rumah sakit tanpa didampingi oleh siapa pun.Sementara itu di rumah, Tio dan Mila menghabiskan waktu bersama sebagai pasangan suami istri baru. Mereka juga tidak menyadari jika Reva sudah waktunya puluhan tetapi tak kunjung malam. Baru malam harinya, Tio ingat kalau Reva belum pulang."Kemana Reva? Tumben belum pulang," gumam Tio."Biarin sajalah, Mas! Lagipula mau pulang dan nggak pulang juga dia bisa jaga diri sendiri. Dia kan sudah besar. Ya kalau anak kecil perlu khawatir. Mungkin dia sedan
"Aku mau di sini saja. Kakiku sakit, untuk berjalan juga susah. Jadi lebih baik kalian pulang saja. Aku tidak butuh kalian. Aku bisa sendiri," usir Reva."Oh, kamu mengusir kami agar kamu bisa pacaran sama laki-laki ini? Iya? Mentang-mentang aku hanya di rumah lantas kamu berbuat seenaknya," sindir Tio.Plak.Tamparan panas mendarat di pipi Tio."Maksud kamu apa, Tio? Aku benar-benar sakit. Aku kecelakaan saat akan pulang. Perilaku dan perkataan mu membuat aku semakin yakin kalau aku benar-benar ingin berpisah dengan mu," tanya Reva tegas."Jadi nanti rumahnya Jadi di jual kan, Mas?" sahut Mila."Kamu malah memikirkan hal itu. Ini pernikahan ku sedang di ujung tanduk," balas Tio.Reva meninggalkan Tio dan juga Mila. Dengan kaki yang pincang dia kembali ke kamar rawatnya. Tio berteriak-teriak membuat petugas keamanan rumah sakit mengusirnya karena dianggap Mengganggu.Roy menghampiri Reva. "Apa kamu baik-baik saja?" tanyanya."Sebaiknya Pak Roy meninggalkan saya! Bukannya saya mengusir
Reva tak menyangka, dia tidak pulang sehari saja rumah itu sudah sangat kacau. Bagaimana kalau sudah tak pulang. Tetapi hari ini juga dia akan ke pengadilan untuk mengajukan gugatan cerai. Setelah itu dia akan menjual rumah itu dan akan dibagi dua dengan Tio. Reva membuka kunci kamarnya kemudian dia akan mencari berkas yang dibutuhkan. Tetapi tiba-tiba ada yang memeluk Reva dari belakang yang membuat Reva berteriak. "Tolong!" Roy yang di luar pintu mendengar teriakan Reva meskipun samar. Dia pun akhirnya masuk ke dalam rumah itu dan mencari keberadaan Reva. Karena tak ada lagi suara Reva membuat Roy cemas. Tetapi dia mendengar suara pukulan ke tembok yang membuat dia tahu suara berasal dari lantai atas. Roy segera berlari dan mencari Reva. Roy melihat Reva sedang berada di bawah tubuh laki-laki yang kemarin sempat memukulnya. Reva dibungkam mulutnya sementara Tio berusaha untuk melepaskan pakaian Reva. Tetapi Roy sudah lebih dahulu mendorong Tio sampai kuat. "Kamu lagi kamu lagi. N
Di dalam rumah tersebut terasa sejuk. Juga ada kolam ikan begitu akan memasuki rumah. Terasa suasana yang begitu asri."Selamat datang, Bu. Saya sudah membuat minum dan makanan ringan. Silakan dinikmati! Setelah Bu Reva merasa tidak cukup lelah nanti akan saya urut," tutur Bi Ira. Hendak meninggalkan Reva."Tunggu! Saya mau bertanya," ucap Reva."Iya, Bu. Mau bertanya apa?" balas Bi Ira."Apa sebelumnya sudah ada pegawai yang dibawa Pak Roy kemari?" tanya Reva "Tidak ada, Bu. Rumah ini adalah rumah singgah Pak Roy. Dan baru pertama kalinya ada wanita yang dibawa sama Pak Roy. Sebelum menjadi CEO di perusahaan utama, Pak Roy sebagai direktur utama di cabang perusahaan yang ada di Semarang," jelas Bi Ira.Reva menelan saliva. Dia bingung kenapa Roy membawanya ke rumah singgahnya. "Jadi sebelumnya belum pernah?" tanya nya meyakinkan."Iya, wajah Bu Reva memang sangat cantik. Mana kakinya yang sakit?" tanya Bi Ira yang membuatnya bingung. "Kenapa Pak Roy membawa saya ke sini?" tanya Rev
Bi Ira terlihat sedih mendengar cerita Reva. Tetapi meskipun demikian bisa jadi akan merubah nasibnya. Tetapi dia juga tidak bisa memastikan. Bi Ira dan Reva hanya terus menghabiskan makan siang masing-masing. Setelah selesai bersiap, Reva hanya menunggu Roy yang katanya akan mengantar ke pengadilan agama. Beberapa saat kemudian Roy pun tiba."Kamu sudah siap?" tanya Roy."Tapi saya bisa berangkat sendiri, Pak," sahut Roy."Saya sedang tidak menawarkan. Ini perintah," ucap Roy. Reva hanya menurut. Dia keluar rumah dan melihat mobil mewah yang tadi sudah ada di depan matanya kembali. Reva kemudian masuk disusul Roy. Reva merasa tegang karena wajah Roy cukup tegas dan tak ada senyum tercetak di wajahnya. Dia hanya menatap keluar Jendela agar mengusir kecanggungan.Sesampainya di pengadilan agama, Reva disambut oleh seseorang yang belum dia kenal sebelumnya. ''Selamat siang dengan Bu Reva, saya Marko pengacara yang akan mendampingi Bu Reva untuk proses perceraian,'' ucap Laki-laki ber
"Iya, Bu. Dengan senang hati saya membantu. Saya siapkan kamar untuk Bu Reva, ya?" sahut Linda."Lin, anggap kita teman, ya? Jangan panggil aku Bu lah! Panggil saja Reva biar enak," pinta Reva.Linda pun tersenyum. "Baiklah kalau begitu, Reva.""Nah, begitu kan lebih baik," sahut Reva.Reva kemudian istirahat sementara di rumah Linda yang lumayan nyaman untuknya. Meskipun tak sebesar rumah nya sendiri, tetapi rumah Linda cukup membuatnya pergi meninggalkan pikiran tentang Pak Roy.Keesokan harinya, Reva ke kantor. Kakinya terpaksa tak mengenakan sepatu karena masih terluka. Sehingga dia mengenakan sandal. Tiba-tiba saat di ruangannya sudah ada sebuah surat.[Datang ke ruangan saya sekarang! Roy]Pesan singkat itu membuat Reva bingung. Dia juga takut jika tidak melakukan perintah Pak Roy. Namun, apa yang akan dikatakan kepada Pak Roy jika dirinya telah kabur dari rumah singgah itu.Reva pun ke lantai dimana ruangan CEO ada. Dia menuju ke ruangan itu dan mengetuk pintu.Tok tok tok.Ta
Sesampainya di rumah singgah Pak Roy, Bi Ira menyambut kedatangan Reva."Bu Reva, saya khawatir. Kemarin kok tidak pulang?" tanya Bi Ira. Setelah menutup pintu, Reva pun bercerita kalau sebenarnya dia takut dengan Pak Roy. Karena belum banyak mengenal Pak Roy tetapi Pak Roy banyak ikut campur urusan pribadi nya. Termasuk dengan perceraian. Bi Ira kemudian tersenyum simpul. "Bu Reva, tidak perlu khawatir! Pak Roy tak akan mencelakai Bu Reva. Yakinlah dengan saya. Saya bisa menjamin. Memang Pak Roy memiliki cara yang mungkin tak dipahami oleh orang lain. Jadi Bu Reva ikuti saja selagi itu tak membahayakan. Tetapi tak mungkin bahaya juga karena Bu Reva akan didampingi anak buah Pak Roy," jelasnya. "Saya diikuti? Untuk apa?" tanya Reva penasaran."Yah, untuk menjaga Bu Reva," jawab Bi Ira kemudian bangkit ke belakang.Reva masih melongo mendengar jawaban Bi Ira. Dia masih merasa takut juga. Entah apa yang akan terjadi besok harinya. Belum lah besok, hari ini juga masih bingung karena