Share

Kemarahan Ibu Mertua

Aku segera menghampiri ibu mertua yang asyik bermain dengan Malik. Melihat keakraban mereka membuatku bahagia. Setidaknya aku mempunyai mertua yang mendukungku di saat suami sendiri terlihat acuh.

"Ya, Surya. Kenapa?"

Aku tertegun saat langkahku tinggal enam langkah menuju ibu mertua. Beliau mendapatkan telepon dari seseorang dan aku tahu itu dari suamiku, Mas Surya.

"Hm … mungkin. Kata siapa?" ujarnya seraya menoleh ke arahku. Aku melempar senyum tipis dengan segera melanjutkan langkah menuju ke arahnya. Kuambil Malik dari gendongannya agar ia lebih leluasa saat bertelponan.

"Kenapa penasaran sekali. Kalau Mama mau ke tempatmu hari ini atau tidak, nggak masalah kan? Bebas kan kalau mau mengunjungi rumah anaknya? Apa tidak boleh, kamu nggak suka, begitu?"

Aku masih setia berada di samping Ibu mertua mendengarkan apa yang sedang dibicarakan oleh dua ibu-anak tersebut meski hanya dari satu arah, karena suara Mas Surya tak terdengar olehku.

"Medina?" Setelah menyebut namaku, ibu mertua terkekeh sendiri seolah ada yang lucu. Aku mencuri pandang padanya. Mencari tahu apa itu dengan menatapnya lekat, tapi tak ada jawaban. Beliau masih asyik bicara dengan suamiku.

"Nggak papa. Mungkin dia sedang bercanda. Sesekali orang dingin kayak kamu dibecandain ya biasa aja, Ya. Istri sendiri juga."

Dari cara Mama Lila menjawabnya sudah dipastikan bahwa suamiku itu sedang mengeluhkan diriku pada ibunya. Aku harus menyiapkan diri karena pasti setelah pulang, Mas Surya bakal meluapkan kemarahannya tersebut padaku.

"Surya bilang teleponnya tidak kamu angkat, benar?" Setelah menutup telepon dari Mas Surya, Ibu mertua bertanya.

Oh, jadi ini yang ia keluhkan pada ibunya? Soal telepon itu.

"Yang benar, Ma?" Dengan sok polos aku bertanya. "Oh, mungkin nggak terangkat. Kan Medina tinggal keluar. Sedang ponsel, Medina taruh di kasur. Mungkin pas Medina keluar, ponselnya baru berbunyi jadi Medina nggak dengar." Aku mencari alasan dengan berbohong. Meski ada rasa bersalah, terpaksa kulakukan.

"Memangnya tadi Mas Surya ngomong apa Ma? Dia marah ya?" Raut wajah sengaja kubuat sesendu mungkin agar ibu mertua bersimpati.

"Nggak Na. Awas saja kalau dia marah. Mama malah heran dia kayak takut gitu kalau Mama ke sini."

Aku tersenyum dikulum mendengarnya. Lalu segera memalingkan muka. Tidak ingin terlihat olehnya sedang menertawakan anaknya tersebut.

'Bukan takut Ma, tapi sahabatnya bakal sulit berkunjung dengan leluasa kalau ada Mama di sini'. Aku membatin dalam hati karena malas melontarkan sindiran tersebut pada ibunya Mas Surya.

"Surya nanya apa benar Mama mau ke rumah kalian, katanya dia tahu kabar itu dari kamu. Ya, Mama jawab saja bisa ya, bisa tidak. Eh, dia ngotot suruh Mama jawab pasti apa katanya. Kan lucu."

"Terus Mama jawab apa?" tanyaku penasaran karena seingatku tidak terdengar kata iya ataupun tidak dari mulutnya.

"Nggak Mama jawab. Biar dia penasaran." Lalu Mama terkekeh kembali. Akun ikut tertawa kecil menanggapinya. Ternyata tidak aku saja yang bisa mengerjai Mas Surya. Ibunya pun ikutan juga.

Ibu mertua bercerita kalau dia mungkin hanya sehari ini saja menginap di rumah kami. Ia kira Aurel akan datang hari ini dan disitulah rencananya dia ingin melihat secara langsung bagaimana sahabat suamiku itu bersikap. Jujur katanya sudah lama tidak bertemu. Mas Surya ada cerita ketemu Aurel. Hanya sebatas itu saja. Dia tidak cerita kalau satu kantor juga dengan Aurel. Itu yang membuatnya tidak habis pikir kenapa hal tersebut ditutupi.

***

"Bu," panggilku memberi kode saat terdengar deru suara mobil di depan rumah.

"Surya?" tebaknya bertanya memastikan. Aku mengangguk cepat dengan sangat yakin membenarkan tebakannya. Suara mobil Mas Surya itu sangat khas di telingaku karena sudah terbiasa mendengarnya.

"Dia pulang," kata Mama Lila seraya melirik jam dinding di ruang tengah.

Aku mengangguk lagi. Rasa penasaran pasti memaksa Mas Surya pulang di jam istirahat siangnya. Apa yang kamu takutkan Mas, ibumu cuma datang.

Segera aku melangkahkan kaki ke depan untuk memastikan kembali.

Benar, yang datang itu suamiku. Aku mengintip kedatangannya lewat jendela samping pintu depan.

Mataku memicing melihat Mas Surya berdiri di depan pintu mobilnya seperti sedang berbicara dengan seseorang. Seperti ada orang lain di dalam mobilnya. Apa hanya perasaanku saja? Entah kenapa sekarang jadi parnoan. Selalu saja merasa ada kehadiran Aurel di sekitarku.

Aku segera berdiri di depan pintu dan membukanya lebih dulu sebelum keduluan Mas Surya. Berpura menyambut kedatangannya.

"Mas, kok pulang?" ujarku seolah terkejut. Mas Surya tak menyahut. Ia lebih tertarik melirik ke dalam seolah sedang mencari seseorang.

"Kenapa teleponku tidak diangkat?" ujarnya bertanya ketus seraya melangkahkan kaki ke dalam dengan cepat.

"Nggak kedengaran, Mas." Aku mengekornya di belakang.

"Mama sudah datang? Apa benar Mama mau ke rumah?"

"Hm …."

Belum sempat aku berucap, terdengar suara ibu mertua menyapa Mas Surya lebih dulu.

"Suprise! Kaget tidak, Mama ada di sini?" Mama Lila tersenyum semringah dengan Malik di gendongannya.

"Mama beneran datang?" Mas Surya meraih tangan ibunya untuk dicium takzim.

"Kenapa? Kok kaget gitu. Biasa saja kan kalau Mama datang. Nggak boleh? Harus izin dulu ya, sama kamu?"

"Nggak, Ma. Boleh. Bebas Mama mau ke sini kapanpun. Surya cuma kaget saja."

"Kirain. Dari di telepon tadi juga gitu nanyanya kayak nggak suka kalau Mama ke sini nggak ngomong dulu. Kamu kenapa? Ada yang disembunyikan? Kalian menutupi apa dari Mama?"

Aku yang sedari tadi hanya diam menyimak jadi ikut terkesiap mendengar pertanyaan barusan. Kenapa jadi ikut dicurigai. Seharusnya hanya Mas Surya saja karena dialah biangnya.

"Nggak ada, Ma. Kami baik-baik saja. Iya kan?" Mas Surya merengkuh pinggangku. Sikap mesranya yang mendadak seperti ini tak membuatku bahagia. Aku tahu dia sedang berpura-pura. Sedang bersandiwara saja biar ibunya tidak curiga lagi.

Kuanggukkan kepala mengiakan. Sedari awal aku juga tidak ingin Ibu mertua tahu hubungan kami yang mulai renggang dan sering terlibat percekcokan.

"Pas banget kamu bisa makan siang di rumah. Tumben Ya. Kata Medina kamu tidak pernah makan siang di rumah karena sangat sibuk. Nggak sempat, iya, begitu?" Mama Lila tampak menyelidik. Menatap lekat Mas Surya meminta jawaban. Tangannya menggamit lengan Mas Surya memaksanya mengikuti langkahnya. Aku berada di belakang mereka.

"Iya, Ma. Jarak dari rumah kantor memang tidak terlalu jauh. Namun kalau pulang bolak-balik kantor-rumah terus rasanya capek Ma. Waktunya juga mepet. Jadi Surya milih makan di dekat kantor saja. Surya sudah izin kok sama Medina dan dia tidak keberatan." Tatapan Mas Surya ke arahku minta dukungan. Aku terpaksa menganggukkan kepala.

"Kenapa sekarang bisa?" Kami berada di area dapur dan Mas Surya sudah duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja makan. Makanan yang dimasak bersama mertua sudah tersaji indah di atas sana.

"Ehm, karena ada Mama. Kata Medina, Mama bakal datang siang ini untuk makan siang bareng, jadi Surya putuskan harus pulang. Surya nggak mau melewatkannya karena jarang kan kita bisa makan bersama. Apalagi kami beberapa minggu ini tidak ada berkunjung ke rumah Mama."

Mama tersenyum mendengar jawaban Mas Surya. Suamiku itu memang paling bisa memberikan jawaban yang menyenangkan. Dia tahu cara bersilat lidah dengan baik. Setelahnya kami asyik makan diselingi obrolan. Kebanyakan hanya antara Mama dan Mas Surya, sedang aku sibuk menjaga Malik sambil memberikannya makan. Namun kulihat Mas Surya tampak gelisah. Sebentar-sebentar selalu memeriksa ponselnya yang berada di dalam saku celana. Nyala ponselnya menegaskan ada panggilan masuk meskipun nada deringnya tak terdengar. Ia hanya melihatnya saja lalu memasukkan kembali ke dalam saku. Sepertinya karena diajak Mama ngobrol terus-menerus membuat Mas Surya kesulitan untuk mengangkatnya. Apa Mama Lila sadar akan tingkah polah anaknya? Dan apa panggilan telepon itu dari Aurel?

Tak berapa lama pintu depan rumah berbunyi. Kami serempak menoleh ke asal suara.

"Siapa Na?" Ibu mertua bertanya padaku. Kugelengkan kepala karena tidak ingin asal menebak.

"Biar Medina lihat dulu, Ma."

"Jangan! Duduklah. Biar aku saja," cegat cepat Mas Surya menghentikanku yang ingin beranjak pergi ke arah depan.

"Mas duduk saja. Makan Mas kan belum habis, sayang terjeda. Biar aku saja Mas." Tak ingin kalah karena tidak biasanya Mas Surya menawarkan diri untuk hal seperti ini.

"Nggak, Na. Aku saja. Kasihan Malik belum selesai makannya." Bahuku ditahan Mas Surya. Terpaksa aku duduk kembali.

Mas Surya sudah melangkah pergi meninggalkan kami dengan cepat.

"Ma, coba Mama cek siapa tamunya. Entah kenapa Medina yakin itu Aurel." Dengan berbisik aku mengatakan hal tersebut pada ibu mertua dan memintanya untuk mengikuti Mas Surya ke depan. Aku sudah tidak mungkin lagi bergerak karena Mas Surya menahanku.

"Yakin." Meski bertanya ragu, Mama Lita bergerak perlahan. Aku mengangguk yakin karena batinku mengatakan demikian. Nama itu terus saja mengusikku. Apa aku yang curiga berlebihan?

Ditunggu sekian detik belum tampak juga kedua ibu dan anak itu batang hidungnya. Aku yang masih duduk di meja makan jadi penasaran. Apa benar itu Aurel atau tamu sungguhan. Andai bukan, sungguh memalukan.

Namun terdengar suara berisik dari depan. Seperti ada keributan? Aku bergegas menuju ke sana. Teriakan menggelegar menyuruh pergi terdengar sampai ke tempatku berada.

Tampak Mama Lita sedang memarahi Mas Surya di depan pintu yang masih terbuka. Keningku mengernyit menebak apa yang terjadi. Kenapa Mama begitu marah? Tidak terlihat ada orang lain selain mereka. Lalu apa masalahnya dan tadi itu siapa yang mengetuk pintu?

Aku berjalan pelan ke arah mereka.

"Yah."

Suara panggilan Malik pada Mas Surya menghentikan omelan ibu mertuaku tersebut. Keduanya menatap ke arahku.

"Ma, ada apa?" tanyaku lembut.

"Ini Surya mau main pergi saja ke kantor."

Jawaban Mama Lita sangat ganjal bagiku. Tidak masuk akal. Lalu, maunya Mama apa? Tidak mungkin menahannya kan karena Mas Surya hanya istirahat untuk makan siang, tentu dia harus balik lagi ke kantor.

"Surya pergi dulu ya Ma. Panggilan kantor sudah mendesak."

Mas Surya mengulurkan tangannya tapi belum disambut Mama. Beliau malah bersedekap dan memundurkan badan seolah menjauh.

"Malik sudah selesai makannya, Cu. Pintar." Mama malah mengambil Malik dari gendonganku dan mengabaikan suamiku.

"Makanlah, Nak. Biar Mama yang jaga Malik. Kamu pasti lelah," ujarnya kemudian memintaku makan.

Kutatap wajah keduanya. Sikap mereka aneh. Apalagi Mama mertua yang marah tanpa alasan jelas. Pasti ada yang ditutupi oleh ibu mertua dan suamiku tersebut. Tapi apa?

"Na, aku pergi," ucap suamiku mengulurkan tangannya. Segera kusambut mencium takzim. Tampak Ibu mertua beranjak masuk ke dalam rumah membawa Malik. Sedang aku memperhatikan lekat penuh tanya kepergian suamiku tersebut yang akan menaiki mobilnya.

Suara apa itu?

Aku urung membalik badan ingin masuk rumah saat terdengar suara orang bersin. Terdengar dua kali. Suara itu bukan dari Mas Surya. Aku kenal betul suara bersinnya. Suara itu lebih mirip ke suara wanita. Namun tak terlihat siapapun di sekitar rumah. Aku menatap tajam ke arah mobil Mas Surya. Kecurigaanku mengarah ke sana. Ketika ingin menghampirinya, Mas Surya malah membawa mobilnya melesat lebih cepat keluar dari halaman rumah.

Bukankah sebelumnya aku yakin di dalam mobil itu ada seseorang. Benarkah itu Aurel?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dian Rahmat
aaah medina mah lemot. kudunya saat curiga, lsung aja samperin mobilnya. bisa alasan mau ambil tempat makanan bekal tadi pagi. biar lsung ketangkep basah deh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status