Share

Mengubah Penampilan

"Ma, tadi siapa? Aurel ya?" tanyaku menghampiri Mama yang berada di ruang keluarga bersama Malik.

Kuberanikan bertanya karena sangat yakin orang yang kucurigai berada di dalam mobil Mas Surya itu adalah Aurel.

Mama hanya menatapku sebentar lalu fokus kembali ke Malik yang sedang asyik bermain.

Aku diam menunggu jawabnya. Lalu Mama memperhatikanku lekat. Bahkan nampak sekali beliau menatapku dari bawah ke atas seakan sedang memindai penampilanku saat ini.

"Apa seperti ini penampilanmu di rumah, Na?" Celana kulot dengan atasan longgar begini?" Ujung bajuku sampai ditarik Mama hingga badan sedikit tertarik ke arahnya. Pertanyaannya barusan terdengar sangat ketus. Mama nampak kesal.

"Iya, Ma. Kenapa?" Aku dengan polosnya bertanya heran dengan mengamati penampilan sendiri. Lalu menggumam dalam hati apa yang salah dengan penampilanku saat ini. Biasanya juga begini dan Mama sudah sering melihatnya. Kenapa baru berkomentar sekarang? Kenapa sikap mertua begitu kesal setelah bertengkar dengan Mas Surya?

"Pantas."

Hanya kata itu yang terlontar dari mulutnya. Namun terdengar mengejek.

Aku yang masih bingung dengan jawabannya memilih ingin mengambil Malik di dekat badannya, tapi dicegatnya dengan cepat dengan mengangkat tangannya ke arahku seolah menghentikan pergerakanku tersebut.

"Duduk!" titahnya dengan menyorot ke arah sofa sampingnya duduk.

Aku menurut tak berani membantah dan duduk di sana.

"Kamu sudah sering kan lihat Aurel?" Kepalaku refleks mengangguk. Pertanyaan yang aneh. Justru karena terlalu sering melihatnya, Aurel seperti mimpi buruk bagiku.

"Bagaimana penampilannya? Cantik?" Lagi aku mengangguk. Aneh, Mama malah memuji wanita itu di depanku. Apa maksudnya?

"Harusnya kamu bisa lebih dari dia biar Surya tak menatap wanita lain selain kamu, Na. Harusnya kamu bisa berdandan meskipun di rumah. Laki-laki itu akan malas melihat pemandangan yang itu-itu saja apalagi tak menarik." Sebuah kalimat panjang terucap dari bibirnya dan aku tahu itu untukku.

Aku sadar dengan penampilanku. Namun karena sadar aku hanyalah seorang ibu rumah tangga yang hanya berdiam di rumah, kupikir terlalu berlebihan kalau harus berpenampilan seperti Aurel. Aku dan dia tidak bisa disamakan apalagi melebihinya. Dia wanita karir. Berpendidikan bagus. Dari keluarga berada. Sesuai saja kalau penampilannya seperti itu, ditambah hal tersebut untuk menunjang pekerjaannya. Jadi wajar. Berbeda denganku. Tiap hari berada di rumah. Mengurus rumah. Mengurus anak, rasanya tidak ada waktu untuk mempercantik diri seperti Aurel. Yang paling bisa kulakukan hanya harus terlihat wangi dan bersih saat berada di rumah dan itu sudah kulakukan. Apa itu masih kurang? Kalau membandingkan cantiknya, tentu aku dibawah Aurel dan aku mengakui hal tersebut.

"Memangnya penampilan Medina seperti apa, Ma? Apa seperti ini tidak menarik di mata Mas Surya? Ini … sudah penampilan terbaik Medina, Ma," ucapku ragu-ragu.

"Terbaik, Na? Yang seperti ini terbaik? Heh! Kalau mau jujur penampilanmu ini mirip Rini di rumah Mama. Sangat sederhana. Yang ada kalau kamu tinggal di rumah Mama dianggap pembantu sama teman Mama nantinya. Apa Surya kurang ngasih uang bulanan? Kurang ngasih uang belanjamu, Na? Mestinya kamu bisa beli baju yang lebih pantas biar dianggap nyonya rumah ini. Jangan sampai kalau Aurel berkunjung dan ada teman Surya, nanti malah kamu yang dianggap pembantu dan Aurel lah istrinya Surya. Mau seperti itu?"

Aku menggeleng lemah.

"Ckckckkk!" Mama terdengar berdecak.

"Nih, kamu bawa kartu debit Mama dan pergilah ke salon langganan Mama. Apapun yang diminta dan disuruh sama orang sana, kamu nurut. Oke?!"

Tangannya terulur dengan sebuah kartu kecil terlihat di telapak tangannya.

"Tapi–"

"Tidak ada tapi-tapian. Bawa kartu Mama ini, dan nanti kamu belanja apapun yang diminta oleh orang sana. Kodenya Mama kirim ke nomormu biar nggak lupa. Kebetulan mereka kenalan Mama. Nanti Mama yang ngomong ke mereka dan kamu tinggal nurut saja. Apapun pilihannya pasti bagus. Ngerti?"

Meski belum paham, kepala terpaksa mengangguk karena itu adalah titah emas darinya. Tidak boleh dibantah.

"Malik bagaimana Ma?" tanyaku setelah melihat Malik yang duduk anteng disamping Mama sambil memainkan mainan kesukaannya. Aku baru ingat kalau ada Malik dan tidak pernah pergi keluar tanpa anak itu.

"Gampang. Malik biar Mama yang urus. Tapi kamu tidurkan dulu dia. Ini sudah jam tidur siangnya bukan? Tidurkan dulu baru tinggal pergi. Kamu tinggal kasih tahu Mama apa saja yang harus Mama lakukan kalau anak itu bangun."

"Iya, Ma. Sini Nak, ikut Mama. Kita bobo siang ya," ujarku meraih badan Malik dan bergegas membawanya ke kamar.

Kupindai penampilanku di cermin saat berada di kamar. Malik sudah tidur. Tidak begitu susah menidurkannya. Tinggal susui saja, dan usap pelan punggungnya, maka dia akan segera tertidur.

"Memang biasa. Benar kata Mama, penampilanku tak jauh beda sama Rini–asisten rumah tangganya. Dilihat dari penampilanku saat ini memang aku tak pantas jadi istrinya Mas Surya. Wajar saja Mama Lila mengatakan begitu." Aku memberengut sendiri. Menatap nanar ke depan kaca yang menunjukkan wajah asliku. Lalu mendesah kecewa.

Ting! Terdengar dering nada pesan masuk ke ponsel.

Dari Mama.

[Na?]

[Bagaimana? Malik sudah tidur?]

[Iya, sudah Ma.] balasku segera.

[Cepat pergi mumpung anakmu tidur.]

Masuk lagi pesan darinya. Tanpa membalasnya aku segera keluar kamar dengan perlahan tidak ingin membangunkan Malik.

***

Sesuai petunjuk Mama, aku pergi ke lokasi yang sudah diberitahukannya. Sebuah salon besar dengan nama yang tak asing di telingaku. Nama salon ini sering kudengar di acara entertainment berita artis. Bangunannya yang besar tampak dari depan. Membuatku sedikit ragu untuk masuk ke dalamnya. Apalagi dengan penampilan biasa seperti ini. Namun tak mungkin juga menghindar karena ini sudah jadi perintah sang mertua. Yang ada nanti bakal dapat omelan darinya.

"Selamat siang, Mbak. Selamat datang di salon kami. Banyak pilihan treatment yang bisa Anda gunakan. Bisa pilih sendiri atau mau konsultasi dulu biar sesuai dengan apa yang diinginkan," sapa wanita muda dengan ramah padaku.

"Hm … anu, sebenarnya saya kebetulan sudah buat janji dengan Pak–"

"Oh, sudah ada janji. Bisa tahu dengan Mbak siapa?"

"Medina. Medina Syakila," jawabku mengenalkan diri dengan cepat.

Wanita muda tersebut tersenyum dan memeriksa namaku di depan komputernya apa benar sudah membuat janji seperti yang kuucapkan. Sambil menunggu, hatiku sebenarnya berdetak cepat karena takut kalau Ibu mertua lupa dan ternyata belum membuat janji seperti yang dikatakannya padaku. Pasti bakal malu jadinya.

"Baik, Mbak benar. Nama anda terdaftar di sini. Silakan ikut saya."

Lega. Untunglah benar. Ibu mertua serius mengirimku ke tempat seperti ini. Setelahnya aku diajak wanita tersebut ke dalam sebuah ruangan dan di sana ada seorang laki-laki yang berpakaian fashionable dan menyambutku dengan ramah. Kami berkenalan singkat dan dia memindai penampilanku dengan lekat. Setelahnya laki-laki yang menyebut namanya Rudi tersebut langsung membawaku ke obrolan serius mengenai apa saja treatment yang harus kuikuti sesuai dengan apa yang disarankannya.

"Cantik sekali. Perfect! Bagaimana?" tanya Rudi dengan senyum merekah. Setelah beberapa jam berada di sini dengan segala hal perawatan hingga disuruh mencoba banyak pakaian, akhirnya selesai juga.

Aku menatap cermin di depanku dengan lamat-lamat seolah tak percaya.

"Jeng Lila pasti suka. Kamu tuh kayak mutiara yang bersembunyi di balik wajah ndeso. Dipoles dikit aja sudah terlihat kemilaunya," sambungnya lagi seraya tangannya membenarkan tatanan rambutku lalu tersenyum lagi karena merasa puas dengan hasil karyanya.

Aku tercengang dengan hasilnya. Apa benar ini adalah diriku? Seperti bukan wajah yang sering kulihat di cermin rumahku.

"Ini aku?" gagap aku bertanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status