Share

Balas Mengabaikan

"Mama, kok nggak bilang mau datang ke sini?" tanyaku yang meraih tangannya segera untuk dicium takzim. Netraku lalu terfokus pada koper yang baru saja diturunkan Pak Roni dari bagasi mobil. Apa Mama akan menginap?

"Ya balas dendam sama kamu." Jawabannya membuatku terhenyak. Memaksa mata ini menatapnya lekat.

Apa maksudnya balas dendam? Apakah Mama marah padaku?

Ibu mertua terkekeh sambil menepuk pundakku pelan.

"Wajahnya serius banget. Maksud Mama balas dendam sama kamu yang kemarin datang mendadak juga ke rumah Mama. Gimana, kaget kan?" ujarnya menjelaskan seraya menggamit tanganku memaksa berjalan masuk ke rumah.

Aku tersenyum lega.

Syukurlah. Kukira balas dendam apa. Hampir saja su'udzon sama ibu mertua sendiri.

"Mas Surya baru saja berangkat ke kantor, Ma. Cuma hitungan menit Mas Surya pergi, Mama datang," kataku memberitahukan padanya sebelum ia menanyakan anaknya itu.

Mama Lila hanya tersenyum tipis menanggapi ucapanku barusan. Beliau malah menanyakan keberadaan Malik, cucu tersayangnya.

"Masih tidur, Ma. Syukurlah anak itu anteng banget, enak diasuhnya. Nggak ribet. Tahu kapan mamanya sibuk dan nggak. Oh ya, sebentar lagi pasti bangun."

Mama Lila hanya mengelus lenganku lembut seraya manggut-manggut dengan melempar senyum hangatnya. Lalu matanya mengitari setiap sudut rumah, memperhatikan sisi dalam rumahku, seolah sedang menyidaknya. Akupun ikut memperhatikan apa yang dilihatnya.

"Sudah Mama duga kalau kamu bisa mengurus rumah dengan baik. Sepagi ini rumahmu tetap bersih dan terawat, padahal tidak ada pembantu dan kamu juga disibukkan mengurus anak sendiri. Mama yakin tidak salah pilih menantu," ujarnya kemudian membuat kedua pipiku memerah karena senang dipuji olehnya.

Menantu pilihan katanya. Itulah aku. Pernikahan kami terjadi karena dijodohkan dan Mama Lila adalah dalangnya. Ia memintaku untuk jadi istri anaknya dan aku yang hanya karyawan biasa di toko kuenya merasa tersanjung. Aku langsung saja mengiakan penawarannya tanpa berpikir panjang lagi setelah diyakinkan olehnya kalau Mas Surya juga menyukaiku. Pikirku kapan lagi mempunyai suami tampan dan mapan, serta ibu mertua seperti Bu Lila yang begitu baik. Semua seperti mimpi di siang bolong.

"Terima kasih, Ma. Maaf tidak bisa menyambut Mama dengan baik karena Medina tidak mengira Mama akan datang ke rumah secara mendadak begini. Mama sudah sarapan? Kalau belum biar Medina siapkan sarapan pagi Mama."

Mama Lila menggelengkan kepala. Lalu fokus memperhatikan Pak Roni–supir Mama Lila yang masuk ke rumah membawakan kopernya.

"Terima kasih Ron, kopernya tolong kamu masukkan ke dalam kamar sana!" Telunjuknya mengarah ke kamar sebelah kamar kami yang biasa ibu mertua tempati kalau menginap di sini.

"Mama menginap?" tanyaku hati-hati. Aku tak mau Mama Lila salah paham dengan pertanyaanku barusan.

Mama Lila menganggukkan kepala. "Boleh kan?" Aku segera membalas dengan anggukkan pasti.

"Tentu saja boleh, Ma." Senyum lebarku terkembang sempurna. Senang kalau ibu mertuaku tersebut memang menginap di sini. Setidaknya aku tak akan kesepian lagi kalau ditinggal Mas Surya pergi ke kantor.

Sebelum dimasuki Mama Lila, aku membereskan dulu kamarnya karena kemarin kamar itu bekas digunakan Mas Surya. Tidak ingin beliau tahu kalau hubunganku dengan Mas Surya sedang tak baik. Baru setelahnya aku mempersiapkan makan pagi kami.

"Oh, jadi tiap weekend saja wanita itu datang ke rumah ini? Mama kira tiap hari. Bukankah kemarin kamu cerita kalau mereka sering berangkat kantor bareng?" Kami mulai membahas tentang Aurel. Sepertinya Ibu mertuaku salah perkiraan. Harusnya dia menginap di akhir pekan nanti, bukan sekarang. Mama berniat ingin memergoki Aurel datang ke rumah ini.

"Iya, tapi nggak mampir Ma. Beda kalau hari libur dia sengaja datang ke rumah ini. Bahkan bisa menghabiskan berjam-jam di sini dengan alasan mau ketemu Malik atau ingin menyelesaikan pekerjaan kantor bersama Mas Surya. Kalau sudah begini Medina nggak bisa larang karena dibenarkan Mas Surya."

Mama Lila geleng-geleng kepala. Lalu berdecak kesal.

"Surya memang keterlaluan. Tidak bisa menempatkan mana yang benar dan salah, padahal sudah dewasa. Aurel sama saja. Mereka itu sudah punya kehidupan masing-masing. Harusnya tahu batasan." Mama Lila mengomel.

"Dulu sedekat apa mereka, Ma? Medina lihat mereka sangat cocok satu sama lain. Apapun yang mereka obrolan seperti tidak ada habisnya. Kalau ngomong itu mereka nyambung terus, Ma," tanyaku menyelidik. Kemarin Mama Lila tidak menjawab spesifik seperti apa kedekatan kedua orang yang mengaku bersahabat tersebut.

"Ya, hm … normal saja layaknya berteman. Gitu aja, Na. Cuma mungkin karena lama nggak ketemu jadi kebablasan, nggak mandang sudah punya pasangan yang harusnya bisa menjaga hati dan jarak. Mereka nggak bisa lagi seperti dulu."

Di sini aku masih bisa melihat kalau Mama belum begitu jujur mengungkapkan seperti apa kedekatan hubungan Mas Surya dengan Aurel. Seperti ada yang masih ditutup-tutupi. Apa iya cuma bersahabat saja?

Aku manggut-manggut setuju dengan apa yang barusan Ibu mertua katakan. Harusnya seperti itu, tapi mereka seperti mengabaikan. Hal tersebut yang membuatku curiga sedekat apa mereka dulu.

"Hm kemarin Mama ada ngomong apa sama Mas Surya? Soalnya dia menuduh Medina ngadu ke Mama. Iya sih, Medina akui memang ngadu gitu jatuhnya," ujarku sedikit terkekeh menertawakan kebodohan sendiri.

"Oh itu, biasa aja, nggak usah dipikirkan. Sudah selesai juga. Surya marah? Dia semarah apa? Nggak kasar kan? Hubungan kalian baik-baik saja kan?" Aku menjawab dengan anggukkan. Sekarang bukan waktu yang tepat menceritakan tentang hubunganku yang tidak baik pada ibu mertua. Yang ada Mas Surya makin marah dan ia akan menuduhku mengadu lagi.

"Baguslah. Mama sedikit khawatir. Syukurlah kalau tidak apa-apa. Kita tidak usah bahas mereka dulu. Mama mau makan nih, dari tadi ngomong terus, makannya kapan, nggak habis-habis loh." Mama seperti tidak suka kutanyakan hal tentang Aurel dan Mas Surya. Dia seperti ingin mengalihkan pembicaraan. Padahal beliaulah yang lebih dulu memulai obrolan ini.

"Maaf, Ma. Iya, kita makan saja. Mau nambah lagi Ma?" tawarku berbasa-basi melihat piringnya sudah mulai kosong.

Dengan cepat Mama Lila menggelengkan kepala. "Cukup, ini saja sudah kenyang. Makananmu selalu enak, Na." Pujiannya langsung kubalas dengan ucapan terima kasih. Senang dipuji mertua, tapi lebih senang lagi kalau Mas Surya yang mengatakan hal itu.

Setelah selesai makan, kubiarkan Mama masuk ke kamarku yang katanya ingin melihat Malik, dan aku tetap memilih berada di dapur untuk membereskan bekas makan kami.

"Lah, Mama mandikan ya, Maliknya?" tanyaku yang terkejut saat masuk kamar mendapati Malik sudah rapi dan wangi mengenakan pakaian baru. Memang lebih dari tiga puluh menit aku berada di dapur. Selain membereskan meja makan dan area dapur, aku pun membersihkan ruangan lainnya karena tidak terdengar suara Malik menangis. Kukira anak itu masih tertidur pulas.

"Iya, maaf Na. Mama bangunkan. Mama gemas lihat tidurnya. Lucu. Lagian Malik ini memang anak pintar, Na. Nggak rewel. Nggak nangis juga pas Mama mandikan tadi. Hebat cucu Nenek," ujarnya seraya menciumi Malik. Terlihat sekali ibu mertuaku ini memang menyayangi cucunya.

Lalu Mama memintaku untuk mandi dan membersihkan diri karena terlihat kucel. Aku pun menurut, apalagi melihat Malik nyaman bersama neneknya.

***

"Na, kirim pesan ke Surya dan minta dia untuk makan siang di rumah. Biar nanti Surya kaget lihat Mama ada di sini."

Aku yang baru selesai berpakaian terkejut mendengar titahnya barusan.

"Hah?! Tapi …." Aku ragu menuruti permintaan Mama Lila karena yakin Mas Surya tidak akan mau. Dia tidak pernah makan siang di rumah.

"Nggak ada tapi-tapi. Coba kamu chat dia. Mama mau lihat tanggapannya."

"Anu Ma. Sepertinya tidak mungkin. Mas Surya nggak pernah makan siang di rumah. Dia sangat sibuk jadi tidak sempat untuk pulang ke rumah," ujarku menjelaskan. Memang seperti itu kenyataannya.

"Oh, gitu ya. Dia bawa bekal apa makan di kantor?"

"Mungkin makan di kantin kantor atau."

"Mungkin? Maksudnya selama ini kamu tidak tahu-menahu kalau suamimu itu makan siang atau tidak? Begitu?" Tatapan tajam Mama Lila membuatku takut. Sepertinya dia marah mendengar jawabanku barusan.

"Maaf Ma, Medina tidak tahu pastinya. Tapi Medina pernah tanya dan Mas Surya bilang dia sudah makan siang di kantor." Aku mencoba membela diri. Selama ini seperti itulah kebiasaan Mas Surya dan memang mertuaku tersebut tidak mengetahuinya.

"Harusnya kamu siapkan bekalnya Na. Anakku itu tidak terbiasa makan di luar. Kalau dia tidak sempat makan di rumah, kan kamu bisa berinisiatif menyiapkan bekalnya. Kasihan kalau dia tidak cocok makanan luar bisa-bisa anakku itu memilih tidak makan."

"Mama kira Surya selalu makan siang di rumah karena jarak kantor ke rumah tidak begitu jauh. Eh ternyata tidak. Ini salah Mama juga yang nggak pernah tanya kebiasaan kalian karena Mama kan seringnya menginap pas hari weekend, tidak di hari kerja seperti ini," lanjutnya lagi panjang lebar mengeluhkan kekecewaannya.

Aku diam mencari aman. Kalau aku menjawab atau membela diri, yang ada akan terlihat salah di depannya.

"Kok malah diam? Cepat kirim pesan karena Mama mau lihat tanggapan Surya seperti apa. Dia mau atau tidak. Misal dia menolak, coba tanya mau dibawakan bekal makan siang atau tidak. Kamu harus sedikit agresif Na untuk meluluhkan hatinya. Anak itu memang terbiasa diperhatikan bukan memperhatikan. Harap maklum. Mungkin Mama yang terlalu memanjakannya."

Oh, pantas sikap Mas Surya seperti itu. Aku yang membersamainya selama hampir tiga tahun baru mengetahui alasan sikapnya tersebut. Ternyata karena dimanja. Wajar karena suamiku itu anak tunggal.

"Iya Ma. Medina coba." Sesekali mataku melirik ke arah jam dinding untuk memastikan apa ini waktu yang tepat untuk menghubunginya. Aku terbiasa diabaikannya. Mau dihubungi waktu kapanpun, jarang ditanggapi.

[Mas, nanti siang bisa makan di rumah? Aku bikin masakan spesial untuk Mas.] Done. Pesan telah terkirim.

"Sudah, Ma," ujarku memberitahu.

Mama tersenyum tipis lalu membawa Malik ke luar kamar, mau memberikan anakku itu sarapan pagi dulu. Katanya hari ini dia ingin lebih sering bersama Malik mumpung ada di rumah kami.

Sudah beberapa kali mengecek aplikasi chat hanya ingin tahu pesanku sudah dibaca dan dibalas Mas Surya atau tidak. Sayangnya ternyata sudah dibaca tapi tak dibalasnya. Sudah kuduga akan jadi seperti ini.

Tak menyerah, aku mengirim pesan lainnya.

[Mas, kalau bisa makan siang di rumah. Sesekali kita makan bersama. Mau ya?] mencoba mengalah. Ditunggu lagi dan belum dibalas.

Setelah memastikan hanya dibaca saja, aku mengirim pesan lagi.

[Mas, apa mau kubuatkan bekal? Nanti biar kuantar sendiri ke kantor, Mas.]

Dan terjadi lagi.

Ditunggu beberapa menit tidak ada balasan apapun meskipun sudah dibacanya. Aku mulai kesal. kucoba menghubunginya, tapi ditolaknya. Netraku beberapa kali ke arah pintu hanya ingin memastikan kalau ibu mertuaku itu tidak masuk ke dalam kamar ini. Emosiku lagi tak baik. Aku takut malah bersikap kasar padanya.

Oke, Mas. Pesan terakhir ini akan membuatmu membalas pesanku.

[Balas Mas, sebelum ibumu datang ke rumah kita. Kudengar dia mau datang hari ini untuk makan siang dengan kita. Aku harus bilang apa kalau tak melihatmu di rumah ini? Haruskah kukatakan kamu menolaknya?]

Tidak menunggu lama setelah pesan ancaman itu dikirim, ponselku berdering. Aku tahu itu dari siapa tapi aku sudah malas mengangkatnya. Kubiarkan saja seolah tak dengar. Kuletakkan ponselku ke bawah bantal dan meninggalkannya pergi keluar kamar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status