Benjamin tak mengerti alasan Rhea tiba-tiba bertingkah aneh. Namun, dia merasa istrinya tengah tertekan. Dan Benjamin tak mungkin menyia-nyiakan kesempatan yang tak akan mungkin datang dua kali. Benjamin tersenyum penuh arti, dengan lembut dia mengelus lembut punggung istrinya. “Apa yang membuat mu ketakutan?” tanyanya. “Katakan padaku.” Namun, Rhea tak mengindahkannya. Malam yang penuh kilatan-kilatan guntur yang menakutkan. Membuat Rhea kian memeluk Benjamin erat, bak tak ingin lepas darinya, dan tak ingin memikirkan apapun. Tiba-tiba masalah tentang keluarganya memenuhi kepala, bagaimana perlakuan Ayahnya padanya, dan kemalangan-kemalangan yang menimpa hidupnya, juga perubahan hidupnya semenjak bertemu dengan Benjamin. Sekarang Rhea merasa membutuhkan tempat untuk bersandar sejenak. Tubuh Rhea yang menempel, membuat pikiran Benjamin kacau. Sekarang Rhea kembali memancing dirinya. Dia kesulitan menahan diri lagi. Tatapan Rhea masih saja tampak kosong. Pikirannya entah mela
“Baiklah aku akan mengabulkan keinginanmu.” ucap Benjamin. “Ah!”Benjamin terus mendorong miliknya.Rhea memejamkan matanya, dalam pelukan Benjamin, dia mencengkeramnya erat, hingga membuat goresan dipunggung Benjamin. “Awalnya aku ingin membuat celah dan nantinya melarikan diri, namun mengapa sekarang aku seperti ini, terlebih dengan mulutku sendiri meminta lebih?” benak Rhea. “Kepalaku terasa kosong dan aku lupa akan segalanya…” “Aku tidak bisa merasakan apapun selain kehangatan tubuh dan lembutnya sentuhan Ben yang menjamah ku.” “Aku tidak peduli lagi dengan dunia yang berputar dan berlalunya waktu di luar sana.” pikiran Rhea benar-benar kacau. Bersamaan dengan curah hujan yang masih turun deras juga perasaan Rhea yang tak bisa di lukiskan. Rhea tak akan ambil pusing lagi. Kali ini dia akan menikmati sensasi kenikmatan bersama Ben. Dia membiarkan dirinya sepenuhnya milik suaminya. Segala kebencian bersamaan mulai melenyap dengan datangnya kepercayaan. Benjamin terus saj
Dan setelah kejadian panas yang berlanjut, Rhea kembali terlelap dalam dekapan Benjamin. Benjamin menarik selimut, menutupi tubuh Rhea yang tak mengenakan sehelai benangpun. Ya, tentu saja pelakunya Benjamin sendiri. Benjamin memandangi wajah cantik yang terlelap kelelahan di sebelahnya. Drt…Drt..Ponsel Benjamin berdering, membuat perhatiannya teralih, lantas dia meraih ponselnya yang berada diatas meja. “Cih! Penganggu.” Benaknya kesal.Saat tombol hijau di tekan, suara gadis yang marah terdengar mengomel dari balik telepon. “Kau gila! Tiba-tiba wajahmu berseliweran di media sosial dan kau sudah menikah. Bagaimana mungkin kau tak memberitahu ku huh?!” “Itu tindakan paling buruk yang tak sopan.” “Bertindak acuh pada sanak keluargamu. Aku sepupumu yang sangat peduli padamu dan kau tak mengabari ku, tak ada satupun yang memberitahuku!!” “Dan Kau menunjukan dirimu secara terang-terangan dengan memperlihatkan bahwa kau memiliki kelemahan. Layaknya bukan Benjamin yang aku kenal. A
Rhea tenggelam dalam rumitnya pikirannya. Air matanya menetes, “Mengapa disaat aku mulai percaya? Mengapa disaat aku merasa nyaman? Disaat aku merasa mungkin untuk dicintai… Aku mengetahui hal yang seharusnya tak ku dengar." "Haruskah aku berpura tak tahu?" "Ah! sejak kapan aku menjadi takut kehilangan. Benjamin kau memang bajingan!!" umpat Rhea dalam benak. Rhea mengigit bibirnya, dia gelisah. Selesai berbincang dengan Anna, Benjamin menyadari Rhea telah terbangun. Dahi Benjamin mengkerut kala menyadari air mata Rhea yang menetes. Buru-buru dia duduk diatas kasur sebelah Rhea. Benjamin menatap Rhea lekat. “Bagian tubuh mana yang sakit?” tanya Benjamin. Ya, Benjamin mengira tubuh Rhea mungkin saja nyeri karena malam panas tadi malam dan berlanjut hingga pagi harinya. “Harusnya aku tak berlebihan, aku harus mementingkan kondisi Rhea kedepannya." "Mau, bagaimana dia sangat menggoda.” benak Benjamin, wajahnya merona memikirkan adegan panas yang menggelora. Rhea tak bergeming, di
Amarah yang memuncak membuat Rhea beranjak dari kasur. Dia menatap Benjamin dengan kesal. “Jangan menuduhku!” tunjuk nya kesal. Benjamin terdiam sejenak, alisnya terangkat. Lantas dia meraih selimut dan menggulung tubuh Rhea dengan selimut itu. Rhea membelalak, dia sempat lupa bahwa dia tak menggenakan sehelai benangpun. Sekarang dia malu menatap Benjamin, dia tertunduk dengan tangannya yang mencengkeram erat selimut itu. “Sial! Mengapa harus di kondisi ini aku membuat kecerobohan.” benak Rhea menggerutu dirinya. Suasana menjadi hening.Tapi tidak dengan Benjamin, senyum lebar terukir di bibirnya. Benjamin menarik pinggang Rhea, membuat tubuh mereka menempel. Sebelum Benjamin sempat berkata, Rhea memotong lebih dulu. “Aku tidak tengah menggoda mu.” ucapnya cepat. “Hm, tapi aku lebih suka jika kau menggodaku.” “Jangan mengalihkan pembicaraan.” Rhea mendorong dada Benjamin. Benjamin tampak kesal Rhea tak menggubris godaannya, kemudian dia melepaskan Rhea dari dekapannya. “Ya! Ru
Sebelum berita film Lili yang diboikot tersebar, Benjamin mendatangi kantor Hendra lebih dulu. Awalnya Hendra terkejut, Benjamin mendatanginya lebih dulu. Lalu kemudian dia menyambut Benjamin dengan ramah. Dia tak mengira bahwa Benjamin terlebih dulu menemuinya. Dia pikir ini awal baiknya, berteman baik dengan seorang Mafia yang ditakuti. Terlebih sekarang Benjamin menjadi menantunya. Maka kekuatannya akan lebih besar, dan tak akan satupun pihak yang berani menyenggolnya. Kalangan orang tinggi, penjabat, dan lainnya mengetahui siapa Benjamin itu. Karena Benjamin menerima permintaan pelenyapan orang secara senyap. Tentu saja menggunakan jasa Benjamin membutuhkan banyak uang, dan Benjamin tak sembarang menerima kliennya.Hendra menatap Benjamin yang duduk didepannya, entah mengapa berhadapan dengan pria didepannya membuatnya bergidik. Background menantunya ini sangat menakutkan.Namun, Hendra mencoba terlihat ramah. “Selamat datang menantu. Ada gerangan apa kau kemari?” tanyanya.Benj
Hendra dan Vareli saling menatap tajam. “Kau bodoh tak bisa mendidik putri mu dengan baik.” “Aku? Lalu kau bagaimana?! Kau juga Ayahnya!” Vareli menunjuk marah suaminya. “Itu tugas mu mendidik putrimu.” “Putriku! Sekarang kau seolah tak mengakui bahwa dia putrimu juga!!” emosi Vareli menggebu-gebu.Suasana kian menegang, antar suami istri yang memanas.“Jika dia tak berguna untuk apa!!” jawab Hendra.“Hah! Bisa-bisanya kau berkata seperti itu dengan entengnya!!” teriak Vareli, dia tak bisa menerima kalimat Hendra.“Diam!! Kau berani meneriakiku huh!! Kau bukan siapa-siapa tanpa menikah denganku!! Camkan itu!!"Kalimat telak itu membuat Vareli tak berkutik, karena itu benar. Dia bukan apa-apa jika bukan menikah dengan Hendra. “Sialan!!” umpatnya.Hendra mengusap wajahnya kasar. Segalanya menjadi runyam, ini diluar perkiraanya. “Kau temui Rhea dan minta maaf.” suruhnya pada Lili. “Minta dia untuk membujuk Benjamin, ku pikir pria itu akan menurutinya.”“Sialan, jika tau begini aku ak
Kala melihat Rhea yang baru saja keluar dari rumahnya. Lili dengan kasar menepis tangan satpam itu. “Itu dia kakak ku” Lili menunjuk Rhea, “aku tak akan membiarkanmu setelah ini.” Ancamnya pada pak tua yang tak memberinya izin masuk. “Kak Rhea.” ucap Lili bersemangat sembari melambai-lambaikan tangannya, berharap Rhea akan notice keberadaanya. “Cih! Ini karena Ayah!” gerutunya dalam benak.Lili mau tak mau mendatangi Rhea tanpa rasa malu, memanggilnya ramah bak tak memiliki masalah sebelumnya. Awalnya dia tak sudi meminta maaf, namun dia tak ada pilihan. Dalam benaknya sangat yakin bahwa Rhea akan memaafkannya. “Berapa lama seorang kakak bisa membenci adiknya?” ya, itu yang dipikirkan Lili. “Baiklah mari tekankan dulu kebencian di hati pada kakak yang menyulitkan ku. Setelah semuanya stabil, aku bisa menghancurkan kakak sok itu. Lagipula Ibu ada di belakangku.” Lili menyeringai.“Kakak, Lili tau hari kemarin terlalu keterlaluan. Maafkan aku dan minta suamimu untuk berhenti boikot