Rhea mematung. Kalimat yang baru saja Benjamin lontarkan menyihirnya. Wanita mana yang tak senang kala seorang pria terang-terangan menunjukan rasa cintanya pada wanitanya?!“Aku lebih tak suka jika kau tak menggunakan uang ku.” bisik Benjamin ditelinga Rhea.“Dan yang tak kalah penting, aku juga milikmu.” Benjamin memiringkan wajahnya dengan ekpresi cool yang menggoda.Harusnya Rhea tak terkejut lagi. Benjamin sangat pandai merangkai kata-kata manis. Meski begitu ia tak membayangkan dibalik wajah yang tegas terdapat rayuan maut didalamnya. “Kau seperti buaya darat.” Rhea mendorong pelan dada bidang Benjamin yang kian mendekat.Benjamin tersenyum kecil atas tanggapan Rhea. Lalu dia kian mendekatkan wajahnya.Rhea tersentak, lantas kedua tangannya menepuk wajah Benjamin. “Jangan melakukannya ditempat umum.” Rhea menggeleng, menatap Benjamin lekat. “Big no, Ben!”Benjamin terkekeh. “Apa yang kau pikirkan? aku hanya ingin melihat wajahmu lebih dekat.” Benjamin menyentuh pelan hidung R
Rhea masuk kedalam mobil yang dikemudikan oleh Benjamin. Dia termenung sembari menyenderkan tubuhnya dikursi mobil. Isi kepalanya ricuh dengan adegan-adegan ketakutan yang dia buat sendiri.“Bagaimana setelah ini?" “Apa aku boleh mempercayai Benjamin sepenuhnya?”“Apa semua akan baik-baik saja?”“Aku tau betul maksud nenek, beliau meminta agar aku mengikuti jejak orang tuaku. Dimana secara tak langsung nenek ingin aku meneruskan nama besar keluarga.” Rhea bimbang dan ragu-ragu.Rhea dengan gugup memainkan jemarinya, dengan hati yang terus bergejolak.Kenangan yang ingin dia lupakan kembali memenuhi kepalanya. Selama ini Rhea tak pernah tertarik masuk kedunia yang digeluti Ayahnya. Kala itu nama Ayahnya mulai dikenal luas, itu adalah awal dari sang sutradara dan wanita pemain peran figuran bertemu. Lalu apa setelahnya?Sudah jelas Ayahnya dan Vareli jatuh hati diwaktu yang salah. Akibat dari itu banyak hati yang disakiti. Lebih kejamnya Ayahnya memilih tutup mata dan tanpa belas a
Benjamin kian menarik Rhea kedalam pelukannya, tubuh mereka saling menempel. Rhea tak memalingkan wajahnya, dia malah menatap lekat pria nakal didepannya ini. Pria yang selalu berhasil menggoda dengan menggunakan ketampanannya. “Mari kesampingkan masalah ketidakpercayaan diantara kita.” benak Rhea. Mereka berdua saling menatap dengan Intens. Kemudian Rhea menyentuh lembut dada Benjamin, sembari menepuk-nepuk nya. “Kau sungguh ingin menghangatkan ku?!” ucapnya sedikit berbisik, sembari terbesit senyum nakal dibibir manisnya. “Mengapa kau hanya diam dan menatap ku saja?!” ucap Rhea lagi, terus memancing dengan tingkah menggodanya. Benjamin tersentak, dia sempat mematung tak percaya karena Rhea tiba-tiba agresif dan menggoda lebih dulu. Rhea tak memberi kesempatan Benjamin untuk menjawabnya. Dia tanpa aba langsung menarik kerah baju Benjamin, wajah mereka nyaris saling menempel. Tak sampai disitu Rhea melingkarkan tangan nya dibelakang leher Benjamin, sembari mengecup pelan pipi
Benjamin tak mengerti alasan Rhea tiba-tiba bertingkah aneh. Namun, dia merasa istrinya tengah tertekan. Dan Benjamin tak mungkin menyia-nyiakan kesempatan yang tak akan mungkin datang dua kali. Benjamin tersenyum penuh arti, dengan lembut dia mengelus lembut punggung istrinya. “Apa yang membuat mu ketakutan?” tanyanya. “Katakan padaku.” Namun, Rhea tak mengindahkannya. Malam yang penuh kilatan-kilatan guntur yang menakutkan. Membuat Rhea kian memeluk Benjamin erat, bak tak ingin lepas darinya, dan tak ingin memikirkan apapun. Tiba-tiba masalah tentang keluarganya memenuhi kepala, bagaimana perlakuan Ayahnya padanya, dan kemalangan-kemalangan yang menimpa hidupnya, juga perubahan hidupnya semenjak bertemu dengan Benjamin. Sekarang Rhea merasa membutuhkan tempat untuk bersandar sejenak. Tubuh Rhea yang menempel, membuat pikiran Benjamin kacau. Sekarang Rhea kembali memancing dirinya. Dia kesulitan menahan diri lagi. Tatapan Rhea masih saja tampak kosong. Pikirannya entah mela
“Baiklah aku akan mengabulkan keinginanmu.” ucap Benjamin. “Ah!”Benjamin terus mendorong miliknya.Rhea memejamkan matanya, dalam pelukan Benjamin, dia mencengkeramnya erat, hingga membuat goresan dipunggung Benjamin. “Awalnya aku ingin membuat celah dan nantinya melarikan diri, namun mengapa sekarang aku seperti ini, terlebih dengan mulutku sendiri meminta lebih?” benak Rhea. “Kepalaku terasa kosong dan aku lupa akan segalanya…” “Aku tidak bisa merasakan apapun selain kehangatan tubuh dan lembutnya sentuhan Ben yang menjamah ku.” “Aku tidak peduli lagi dengan dunia yang berputar dan berlalunya waktu di luar sana.” pikiran Rhea benar-benar kacau. Bersamaan dengan curah hujan yang masih turun deras juga perasaan Rhea yang tak bisa di lukiskan. Rhea tak akan ambil pusing lagi. Kali ini dia akan menikmati sensasi kenikmatan bersama Ben. Dia membiarkan dirinya sepenuhnya milik suaminya. Segala kebencian bersamaan mulai melenyap dengan datangnya kepercayaan. Benjamin terus saj
Dan setelah kejadian panas yang berlanjut, Rhea kembali terlelap dalam dekapan Benjamin. Benjamin menarik selimut, menutupi tubuh Rhea yang tak mengenakan sehelai benangpun. Ya, tentu saja pelakunya Benjamin sendiri. Benjamin memandangi wajah cantik yang terlelap kelelahan di sebelahnya. Drt…Drt..Ponsel Benjamin berdering, membuat perhatiannya teralih, lantas dia meraih ponselnya yang berada diatas meja. “Cih! Penganggu.” Benaknya kesal.Saat tombol hijau di tekan, suara gadis yang marah terdengar mengomel dari balik telepon. “Kau gila! Tiba-tiba wajahmu berseliweran di media sosial dan kau sudah menikah. Bagaimana mungkin kau tak memberitahu ku huh?!” “Itu tindakan paling buruk yang tak sopan.” “Bertindak acuh pada sanak keluargamu. Aku sepupumu yang sangat peduli padamu dan kau tak mengabari ku, tak ada satupun yang memberitahuku!!” “Dan Kau menunjukan dirimu secara terang-terangan dengan memperlihatkan bahwa kau memiliki kelemahan. Layaknya bukan Benjamin yang aku kenal. A
Rhea tenggelam dalam rumitnya pikirannya. Air matanya menetes, “Mengapa disaat aku mulai percaya? Mengapa disaat aku merasa nyaman? Disaat aku merasa mungkin untuk dicintai… Aku mengetahui hal yang seharusnya tak ku dengar." "Haruskah aku berpura tak tahu?" "Ah! sejak kapan aku menjadi takut kehilangan. Benjamin kau memang bajingan!!" umpat Rhea dalam benak. Rhea mengigit bibirnya, dia gelisah. Selesai berbincang dengan Anna, Benjamin menyadari Rhea telah terbangun. Dahi Benjamin mengkerut kala menyadari air mata Rhea yang menetes. Buru-buru dia duduk diatas kasur sebelah Rhea. Benjamin menatap Rhea lekat. “Bagian tubuh mana yang sakit?” tanya Benjamin. Ya, Benjamin mengira tubuh Rhea mungkin saja nyeri karena malam panas tadi malam dan berlanjut hingga pagi harinya. “Harusnya aku tak berlebihan, aku harus mementingkan kondisi Rhea kedepannya." "Mau, bagaimana dia sangat menggoda.” benak Benjamin, wajahnya merona memikirkan adegan panas yang menggelora. Rhea tak bergeming, di
Amarah yang memuncak membuat Rhea beranjak dari kasur. Dia menatap Benjamin dengan kesal. “Jangan menuduhku!” tunjuk nya kesal. Benjamin terdiam sejenak, alisnya terangkat. Lantas dia meraih selimut dan menggulung tubuh Rhea dengan selimut itu. Rhea membelalak, dia sempat lupa bahwa dia tak menggenakan sehelai benangpun. Sekarang dia malu menatap Benjamin, dia tertunduk dengan tangannya yang mencengkeram erat selimut itu. “Sial! Mengapa harus di kondisi ini aku membuat kecerobohan.” benak Rhea menggerutu dirinya. Suasana menjadi hening.Tapi tidak dengan Benjamin, senyum lebar terukir di bibirnya. Benjamin menarik pinggang Rhea, membuat tubuh mereka menempel. Sebelum Benjamin sempat berkata, Rhea memotong lebih dulu. “Aku tidak tengah menggoda mu.” ucapnya cepat. “Hm, tapi aku lebih suka jika kau menggodaku.” “Jangan mengalihkan pembicaraan.” Rhea mendorong dada Benjamin. Benjamin tampak kesal Rhea tak menggubris godaannya, kemudian dia melepaskan Rhea dari dekapannya. “Ya! Ru