Share

2. Inayah Berduka

Erni merasa berat untuk mengatakan hal yang sebenarnya yang sudah diberitahukan oleh petugas bandara kepadanya, tentang kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Inayah. Meskipun demikian, Erni harus mengatakan semuanya kepada Inayah.

Perlahan, Erni menarik napas dalam-dalam. Kemudian berkata lirih, "Kata petugas bandara, kecil kemungkinan mereka yang ada di pesawat yang mengalami kecelakaan itu akan selamat. Termasuk bapak dan ibu."

Setelah menyampaikan apa yang diberitahukan oleh petugas bandara, Erni menundukkan kepalanya. Ia tampak bersedih dan merasa terpukul dengan kabar dari petugas bandara yang berbicara langsung dengannya via telepon.

Hal tersebut, dirasakan pula oleh Inayah. Sontak, gelas dalam genggaman tangannya ia lempar hampir mengenai sisi kiri sebuah televisi yang ada di ruangan tersebut. Inayah menangis sekeras-kerasnya, dan berlari ke arah Erni.

''Tidak ...! Teh Erni pasti bohong, 'kan?'' tanya Inayah berteriak keras.

Inayah sedikit mendorong tubuh Erni sembari terus menangis tak henti-hentinya.

Erni hanya diam saja sambil terisak, meskipun ia hanya sebagai asisten rumah tangga di kediaman tersebut. Akan tetapi, hatinya sangat pilu dan tersayat mendengar kabar pesawat yang ditumpangi oleh majikannya mengalami kecelakaan.

''Ayah dan bunda pasti baik-baik saja, Teh,'' imbuh Inayah, terus memegang pundak Erni dan menangis pilu.

Tak sepatah kata pun yang keluar dari mulut Erni, ia hanya diam dengan wajah pucat, tertunduk lesu menahan kesedihan yang mendalam.

Beberapa saat kemudian, Erni mulai mengatur napas dan berusaha menenangkan dirinya. Setelah itu, ia berusaha menenangkan Inayah.

Dengan lirih Erni menasihati gadis manja itu. ''Semua yang terjadi merupakan kehendak Allah. Kamu harus sabar dan ikhlas!'' kata Erni lirih sambil memeluk erat tubuh mungil gadis cantik yang selama ini sering membuatnya jengkel.

Erni terus berusaha untuk menguatkan Inayah, agar tidak larut dalam duka dan kesedihan. Karena walau bagaimanapun, di rumah tersebut sudah tidak ada yang lain lagi selain dirinya, sehingga ia berkewajiban memberi nasihat dan menenangkan Inayah.

"Kenapa bukan aku saja yang mendalami kecelakaan, Teh? Kenapa harus bunda dan ayahku?" kata Inayah sambil tersedu-sedu.

Terbayang semua kesalahan-kesalahan dan sikap buruk yang pernah ia lakukan terhadap kedua orang tuanya, melempar buku di depan kedua orang tuanya, di saat keinginannya tidak dipenuhi.

Kabur dari ruang kelas di kala masih dalam jam pelajaran, pesta dan hura-hura, Semua kembali terbayang dalam benak Inayah pada saat itu.

"Betapa durhakanya aku selama ini, belum sempat aku meminta maaf, dan belum sempat juga aku berbakti kepada kedua orang tuaku. Allah telah lebih dulu menjemput mereka dalam musibah kecelakaan," desis Inayah masih dalam pelukan.

Pada hari itu, Inayah sudah kehilangan kedua orang tua yang selama ini selama ini selalu dibantahnya. Kehilangan bukan hanya untuk beberapa hari saja, namun untuk selama-lamanya. Tak ada bahu dan tak ada lagi tempat untuk bersandar bagi Inayah.

Jasad kedua orang tuanya tidak bisa ia sentuh untuk terakhir kalinya. Karena, pesawat yang ditumpangi oleh Tommy dan Celly hancur dan tenggelam di tengah laut.

Menurut penelusuran petugas SAR, tidak ada satu pun jasad dari para penumpang pesawat tersebut yang dapat ditemukan, termasuk jasad ayah dan ibunya Inayah. Mendengar kabar tersebut, batin gadis itu terguncang hebat, bumi seakan-akan terasa lembek saat dipijak.

Separuh nyawanya telah pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan raga kecil yang masih butuh belaian kasih sayang seorang ibu dan bimbingan seorang ayah.

***

Satu bulan telah berlalu, kedua orang tua Inayah sudah pergi untuk selama-lamanya. Kini hanyalah dia dan Erni saja yang tinggal di rumah besar itu.

Rumah megah dengan sederet kemewahan hanya yang dibangun atas jerih payah kedua orang tuanya. Kini hanya dihuni oleh dua orang gadis, tidak ada keluarga yang lain di rumah sebesar itu. Karena semasa hidupnya, almarhum kedua orang tua Inayah sudah dalam keadaan yatim piatu.

Tommy terlahir sebagai anak tunggal dan Celly hanya mempunyai satu saudara kandung yang saat itu tidak diketahui keberadaannya.

Hidup di Bandung pun, mereka tidak memiliki sanak saudara, hanya rekan bisnis dan tetangga di sekitar kediamannya saja. Itu pun tidak terlalu akrab karena kedua orang tua Inayah tergolong orang yang sibuk jarang bergaul dengan warga lain di sekitaran tempat tinggal mereka.

Kepergian kedua orang tuanya, membuat hidup Inayah hampa, tidak ada bahu untuknya bersandar dan sudah tidak ada lagi wadah untuk Inayah mencurahkan isi hatinya. Hanya Erni yang saat itu setia menemani dan mengurus keperluannya sekaligus menjadi teman setia Inayah.

Berkat nasihat dan bimbingan Erni, hidup Inayah berangsur pulih dan kembali bangkit dari keterpurukan.

Seiring dengan berjalannya waktu, Inayah mulai meninggalkan kebiasaan buruk yang membalut kehidupannya. Saat itu, Inayah sudah tidak lagi bergaul dengan teman-teman yang hobinya pesta dan hura-hura, ia lebih memilih diam di rumah dan selalu menolak ajakan dari sahabat-sahabatnya.

Hati Inayah mulai terketuk untuk memperbaiki diri, Erni adalah orang pertama yang memberikan ruang untuk Inayah berubah dan memperbaiki cara hidupnya. Erni terus menuntun dan membimbing tanpa lelah, mengajarkan mengaji dan tata cara salat yang baik kepada Inayah serta mengajarkan bacaan-bacaan doanya.

Meskipun, status Erni di rumah tersebut hanya sebagai asisten rumah tangga biasa. Namun, kasih sayang Erni terhadap Inayah seperti layaknya seorang kakak terhadap adiknya.

Seperti halnya Inayah yang sudah menganggap Erni sebagai kakaknya sendiri, karena hanya Erni yang setia menemaninya ketika ia dalam suka maupun dalam keadaan duka.

Demi Inayah, Erni memutuskan untuk tetap bertahan di rumah itu. Dia ikhlas menjadi bahu untuk bersandar bagi Inayah di kala gadis itu sedang dilanda kesedihan. Sikap setia dan kesabaran yang Erni tunjukkan mampu meluluhkan kerasnya sifat Inayah, sehingga Inayah pun mulai berubah.

Di suatu hari, ada dua orang tamu yang berkunjung ke kediaman Inayah, tamu tersebut adalah orang-orang kepercayaan almarhum Tommy.

Kedatangan mereka hendak menyampaikan surat wasiat yang sudah lengkap dengan tanda tangan Almarhum Tommy.

"Assalamu'alaikum," ucap salah satu tamu tersebut dengan mengetuk daun pintu.

"Wa'alaikum salam," jawab Erni bangkit dan bergegas melangkah untuk membuka pintu.

Setelah pintu terbuka tampak dua sosok pria berpakaian rapi berdiri di depan pintu kediaman tersebut.

"Selamat siang, Mbak. Bisa bertemu dengan Mbak Inayah?!" ucap pria berkemeja biru tua bersikap ramah.

"Bisa, Pak. Silakan masuk!" Erni mempersilakan kedua tamu itu untuk masuk ke dalam rumah.

"Iya, Mbak. Terima kasih." Kedua tamu tersebut langsung berjalan masuk ke dalam rumah megah itu, mengikuti langkah Erni.

"Silakan duduk, Pak!" ucap Erni mempersilahkan duduk kepada kedua tamu tersebut. "Sebentar ya, Pak. Saya panggilkan dulu Mbak Inayah!" sambung Erni tersenyum ke arah kedua pria itu.

"Baik, Mbak. Kami tunggu!" jawabnya lirih balas tersenyum dengan sikap ramah.

Erni langsung melangkah menuju ke arah kamar Inayah dan langsung mengetuk pintu kamar tersebut. 'Tok, tok, tok, Nay, keluar dulu! Ada tamu," kata Erni dengan lirihnya.

"Iya, Teh. Sebentar!" sahut Inayah dari dalam kamar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status