Erni merasa berat untuk mengatakan hal yang sebenarnya yang sudah diberitahukan oleh petugas bandara kepadanya, tentang kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Inayah. Meskipun demikian, Erni harus mengatakan semuanya kepada Inayah.
Perlahan, Erni menarik napas dalam-dalam. Kemudian berkata lirih, "Kata petugas bandara, kecil kemungkinan mereka yang ada di pesawat yang mengalami kecelakaan itu akan selamat. Termasuk bapak dan ibu."
Setelah menyampaikan apa yang diberitahukan oleh petugas bandara, Erni menundukkan kepalanya. Ia tampak bersedih dan merasa terpukul dengan kabar dari petugas bandara yang berbicara langsung dengannya via telepon.
Hal tersebut, dirasakan pula oleh Inayah. Sontak, gelas dalam genggaman tangannya ia lempar hampir mengenai sisi kiri sebuah televisi yang ada di ruangan tersebut. Inayah menangis sekeras-kerasnya, dan berlari ke arah Erni.
''Tidak ...! Teh Erni pasti bohong, 'kan?'' tanya Inayah berteriak keras.
Inayah sedikit mendorong tubuh Erni sembari terus menangis tak henti-hentinya.
Erni hanya diam saja sambil terisak, meskipun ia hanya sebagai asisten rumah tangga di kediaman tersebut. Akan tetapi, hatinya sangat pilu dan tersayat mendengar kabar pesawat yang ditumpangi oleh majikannya mengalami kecelakaan.
''Ayah dan bunda pasti baik-baik saja, Teh,'' imbuh Inayah, terus memegang pundak Erni dan menangis pilu.
Tak sepatah kata pun yang keluar dari mulut Erni, ia hanya diam dengan wajah pucat, tertunduk lesu menahan kesedihan yang mendalam.
Beberapa saat kemudian, Erni mulai mengatur napas dan berusaha menenangkan dirinya. Setelah itu, ia berusaha menenangkan Inayah.
Dengan lirih Erni menasihati gadis manja itu. ''Semua yang terjadi merupakan kehendak Allah. Kamu harus sabar dan ikhlas!'' kata Erni lirih sambil memeluk erat tubuh mungil gadis cantik yang selama ini sering membuatnya jengkel.
Erni terus berusaha untuk menguatkan Inayah, agar tidak larut dalam duka dan kesedihan. Karena walau bagaimanapun, di rumah tersebut sudah tidak ada yang lain lagi selain dirinya, sehingga ia berkewajiban memberi nasihat dan menenangkan Inayah.
"Kenapa bukan aku saja yang mendalami kecelakaan, Teh? Kenapa harus bunda dan ayahku?" kata Inayah sambil tersedu-sedu.
Terbayang semua kesalahan-kesalahan dan sikap buruk yang pernah ia lakukan terhadap kedua orang tuanya, melempar buku di depan kedua orang tuanya, di saat keinginannya tidak dipenuhi.
Kabur dari ruang kelas di kala masih dalam jam pelajaran, pesta dan hura-hura, Semua kembali terbayang dalam benak Inayah pada saat itu.
"Betapa durhakanya aku selama ini, belum sempat aku meminta maaf, dan belum sempat juga aku berbakti kepada kedua orang tuaku. Allah telah lebih dulu menjemput mereka dalam musibah kecelakaan," desis Inayah masih dalam pelukan.
Pada hari itu, Inayah sudah kehilangan kedua orang tua yang selama ini selama ini selalu dibantahnya. Kehilangan bukan hanya untuk beberapa hari saja, namun untuk selama-lamanya. Tak ada bahu dan tak ada lagi tempat untuk bersandar bagi Inayah.
Jasad kedua orang tuanya tidak bisa ia sentuh untuk terakhir kalinya. Karena, pesawat yang ditumpangi oleh Tommy dan Celly hancur dan tenggelam di tengah laut.
Menurut penelusuran petugas SAR, tidak ada satu pun jasad dari para penumpang pesawat tersebut yang dapat ditemukan, termasuk jasad ayah dan ibunya Inayah. Mendengar kabar tersebut, batin gadis itu terguncang hebat, bumi seakan-akan terasa lembek saat dipijak.
Separuh nyawanya telah pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan raga kecil yang masih butuh belaian kasih sayang seorang ibu dan bimbingan seorang ayah.
***
Satu bulan telah berlalu, kedua orang tua Inayah sudah pergi untuk selama-lamanya. Kini hanyalah dia dan Erni saja yang tinggal di rumah besar itu.
Rumah megah dengan sederet kemewahan hanya yang dibangun atas jerih payah kedua orang tuanya. Kini hanya dihuni oleh dua orang gadis, tidak ada keluarga yang lain di rumah sebesar itu. Karena semasa hidupnya, almarhum kedua orang tua Inayah sudah dalam keadaan yatim piatu.
Tommy terlahir sebagai anak tunggal dan Celly hanya mempunyai satu saudara kandung yang saat itu tidak diketahui keberadaannya.
Hidup di Bandung pun, mereka tidak memiliki sanak saudara, hanya rekan bisnis dan tetangga di sekitar kediamannya saja. Itu pun tidak terlalu akrab karena kedua orang tua Inayah tergolong orang yang sibuk jarang bergaul dengan warga lain di sekitaran tempat tinggal mereka.
Kepergian kedua orang tuanya, membuat hidup Inayah hampa, tidak ada bahu untuknya bersandar dan sudah tidak ada lagi wadah untuk Inayah mencurahkan isi hatinya. Hanya Erni yang saat itu setia menemani dan mengurus keperluannya sekaligus menjadi teman setia Inayah.
Berkat nasihat dan bimbingan Erni, hidup Inayah berangsur pulih dan kembali bangkit dari keterpurukan.
Seiring dengan berjalannya waktu, Inayah mulai meninggalkan kebiasaan buruk yang membalut kehidupannya. Saat itu, Inayah sudah tidak lagi bergaul dengan teman-teman yang hobinya pesta dan hura-hura, ia lebih memilih diam di rumah dan selalu menolak ajakan dari sahabat-sahabatnya.
Hati Inayah mulai terketuk untuk memperbaiki diri, Erni adalah orang pertama yang memberikan ruang untuk Inayah berubah dan memperbaiki cara hidupnya. Erni terus menuntun dan membimbing tanpa lelah, mengajarkan mengaji dan tata cara salat yang baik kepada Inayah serta mengajarkan bacaan-bacaan doanya.
Meskipun, status Erni di rumah tersebut hanya sebagai asisten rumah tangga biasa. Namun, kasih sayang Erni terhadap Inayah seperti layaknya seorang kakak terhadap adiknya.
Seperti halnya Inayah yang sudah menganggap Erni sebagai kakaknya sendiri, karena hanya Erni yang setia menemaninya ketika ia dalam suka maupun dalam keadaan duka.
Demi Inayah, Erni memutuskan untuk tetap bertahan di rumah itu. Dia ikhlas menjadi bahu untuk bersandar bagi Inayah di kala gadis itu sedang dilanda kesedihan. Sikap setia dan kesabaran yang Erni tunjukkan mampu meluluhkan kerasnya sifat Inayah, sehingga Inayah pun mulai berubah.
Di suatu hari, ada dua orang tamu yang berkunjung ke kediaman Inayah, tamu tersebut adalah orang-orang kepercayaan almarhum Tommy.
Kedatangan mereka hendak menyampaikan surat wasiat yang sudah lengkap dengan tanda tangan Almarhum Tommy.
"Assalamu'alaikum," ucap salah satu tamu tersebut dengan mengetuk daun pintu.
"Wa'alaikum salam," jawab Erni bangkit dan bergegas melangkah untuk membuka pintu.
Setelah pintu terbuka tampak dua sosok pria berpakaian rapi berdiri di depan pintu kediaman tersebut.
"Selamat siang, Mbak. Bisa bertemu dengan Mbak Inayah?!" ucap pria berkemeja biru tua bersikap ramah.
"Bisa, Pak. Silakan masuk!" Erni mempersilakan kedua tamu itu untuk masuk ke dalam rumah.
"Iya, Mbak. Terima kasih." Kedua tamu tersebut langsung berjalan masuk ke dalam rumah megah itu, mengikuti langkah Erni.
"Silakan duduk, Pak!" ucap Erni mempersilahkan duduk kepada kedua tamu tersebut. "Sebentar ya, Pak. Saya panggilkan dulu Mbak Inayah!" sambung Erni tersenyum ke arah kedua pria itu.
"Baik, Mbak. Kami tunggu!" jawabnya lirih balas tersenyum dengan sikap ramah.
Erni langsung melangkah menuju ke arah kamar Inayah dan langsung mengetuk pintu kamar tersebut. 'Tok, tok, tok, Nay, keluar dulu! Ada tamu," kata Erni dengan lirihnya.
"Iya, Teh. Sebentar!" sahut Inayah dari dalam kamar.
Setelah itu, Erni langsung melangkah ke arah dapur segera menyiapkan air minum untuk kedua tamu itu. Usai membuatkan air minum, Erni kembali melangkahkan kedua kakinya menuju ke ruang tengah dan menyajikan minuman tersebut kepada kedua tamu tersebut. Selang beberapa menit kemudian, Inayah sudah datang menghampiri dan langsung menyapa serta berjabat tangan dengan tamu-tamu itu. "Maaf, Bapak-Bapak ini siapa, yah?" tanya Inayah lirih dengan sikap ramahnya. "Kami, orang kepercayaan Almarhum Pak Tommy, Mbak," jawab salah satu dari pria yang berpenampilan rapi itu. ''Kami, sebagai pengacara Almarhum Pak Tommy, akan menyampaikan surat wasiat ini sesuai dengan pesan almarhum semasa hidupnya. Semua ini akan kami serahkan langsung kepada Mbak Inayah selaku ahli waris tunggal putri dari Almarhum Pak Tommy,'' sambungnya menjelaskan. Inayah langsung menerima surat wasiat tersebut, dan langsung diminta untuk menandatangani sehelai kertas putih lengkap dengan materai, sebagai bukti surat wasiat t
Kemudian, Inayah bangkit dan mengajak Erni untuk segera menemui tamu tersebut, "Ayo, Teh. Kita ke sana sekarang!" Erni pun tidak banyak berkata-kata lagi, ia langsung bangkit dan melangkah mengikuti Inayah yang sudah berjalan menuju ke ruang tengah. Setibanya di ruang tengah, Inayah langsung menyapa tamunya dengan penuh keramahan. ''Assalamu'alaikum! Sudah lama menunggu ya, Teh?" sapa Inayah lirih sambil mengulurkan tangan seraya mengajak bersalaman dengan tamu tersebut. ''Wa'alaikum salam. Baru beberapa menit saja, Non," jawab wanita berkerudung biru itu lirih. ''Jangan panggil aku non! Panggil saja neng atau Nay!'' pinta Inayah, kemudian duduk di hadapan tamunya. ''Iya, Neng," jawabnya mengangguk perlahan. ''Mohon maaf sebelumnya, nama Teteh, siapa?'' tanya Inayah mengarahkan pandangannya ke wajah tamunya itu. ''Saya Fatimah, Neng," jawabnya tampak lirih. ''Oh, kalau aku Inayah, biasa dipanggil Nay," kata Inayah balas memperkenalkan diri. "Teh Erni sudah menjelaskan masalah
Inayah sudah memutuskan, untuk tidak mengulangi kenakalan-kenakalan yang pernah ia perbuat di masa lalu, sewaktu kedua orang tuanya masih hidup. Inayah ingin mengangkat derajat kedua orang tuanya di akhirat. Seperti yang ia tahu, kedua orang tuanya sangat jauh dari agama. Bahkan melupakan kewajiban mereka sebagai Muslim. Mereka terlalu menyibukan diri kepada keduniawian yang terus mereka kejar. Meskipun demikian, mereka tetaplah orang tua Inayah, ia harus mempersembahkan yang terbaik untuk almarhum ayah dan bundanya, agar mereka tidak terlalu menderita di alam akhirat. Masih banyak di sekitar kita, ditemui orang-orang yang jauh dari Allah, hidup mereka dipenuhi dengan hal-hal tidak bermanfaat bahkan membuat hati semakin keras dan tidak bercahaya. Seperti yang ditemui di jalan raya menuju kampus. Inayah melihat sekelompok bapak-bapak sedang asik bermain judi. Seakan-akan mereka tidak ingat dengan umur mereka, dan melupakan apa yang dilarang oleh Tuhan. Seharusnya di usia mendekati
Sementara Fatimah saat itu tengah duduk santai menonton acara televisi, ia hanya menyimak perbincangan Inayah dengan Erni. Inayah tidak pernah memperlakukan mereka sebagai bawahan, menurutnya mereka adalah saudara dan bagian dari keluarga. Kehadiran mereka sebagai penawar dari kesedihan yang ia rasakan semenjak meninggalnya Tommy dan Celly. Mereka memberikan warna baru dalam kehidupan Inayah, menjadi penyemangat hidup dan teman baik di kediaman megah tersebut. Malam semakin larut, rasa ngantuk pun sudah menyelimut. "Teh Fatimah!" panggil Inayah lirih. "Iya, Neng," jawab Fatimah menghampiri. "Tolong beritahu Pak Andri, mobilnya masukan saja ke dalam garasi semua ya, Teh!" "Iya, Neng," jawab Fatimah. "Aku mau istirahat dulu," pungkas Inayah. Ia langsung melangkah bergegas masuk ke dalam kamar. Sebelum beranjak keperaduan, Inayah melaksanakan Salat Isya terlebih dahulu, di akhir Salat ia selipkan doa-doa yang terbaik, berharap ayah dan bundanya tenang di Surga. "Limpahkanlah doa
Beberapa saat kemudian, terdengar suara teriakan dari arah belakang tempatnya berdiri, “Nay...! Nay...!” teriaknya kencang, tepat dari arah halaman parkir yang ada di depan restoran tersebut. Inayah langsung menoleh ke arah sumber suara tersebut. Tampak seorang pemuda tengah berlari kecil menuju ke arahnya, pemuda tersebut adalah Rangga teman Inayah waktu duduk di bangku SMA. "Rangga!" desis Inayah sedikit kaget dan tidak menyangka bisa bertemu di tempat itu. “Iya, Nay. Apa kabar?” Rangga tersenyum lebar menatap wajah Inayah sambil mengulurkan tangannya. “Masya Allah! Rangga ... alhamdulillah baik, Ga,” Inayah meraih uluran tangan pemuda berwajah tampan itu. “Mau ke mana, Nay?” tanya Rangga terus mengamati penampilan Inayah. “Mau pulang ... aku sedang menunggu kakakku," jawab Inayah lirih. "Kenapa, Ga. Ada yang aneh pada penampilanku?” sambung Inayah balas bertanya, karena heran melihat sikap Rangga yang terus mengamati penampilannya. “Delapan puluh derajat, Nay!" Rangga geleng-
Seperti biasa setelah selesai mengaji, Inayah dan Erni hanya duduk-duduk santai di ruang tengah. Tidak lama kemudian, datang Fatimah dengan membawa tiga gelas teh hangat dan makanan ringan.Mereka bertiga menikmati malam dengan berkumpul di rumah saja, tidak ada pekerjaan yang lain untuk malam itu. Karena saat ini, Inayah sudah tidak mau lagi keluar rumah terkecuali menyangkut masalah pekerjaan atau bisnis yang sedang ia jalani bersama Erni.Di antara mereka bertiga tidak ada batasan-batasan tertentu, tidak ada istilah bawahan atau atasan. Erni dan Fatimah sudah Inayah anggap sebagai kakaknya sendiri, mereka banyak membantu dalam hal pekerjaan dan bimbingan akhlak yang baik untuknya.Di saat mereka sedang berbincang, terdengar suara ponsel berdering tanda panggilan masuk.“Ada panggilan telepon masuk, Nay!” ucap Erni memberi tahukan Inayah.“Angkat saja, Teh!” jawab Inayah meminta Erni untuk menerima panggilan telepon tersebut.Erni hanya mengangguk dan segera menerima panggilan masuk
Inayah hanya diam menyimak apa yang diutarakan oleh Rangga. Kemudian Rangga mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, benda kecil berupa tasbih kayu berwarna hitam mengkilat. “Ini buat kamu, Nay!” kata Rangga menyerahkan tasbih itu kepada Inayah. “Masya Allah! Terima kasih, Ga,” jawab Inayah meraih tasbih dari tangan Rangga. Inayah tampak terharu dengan hadiah yang diberikan oleh Rangga. Jarang sekali, seorang anak di zaman sekarang yang memberikan hadiah yang berkaitan dengan ibadah. “Aku ingin berubah seperti kamu, Nay. Tolong bantu bimbing aku!” ucap Rangga lirih. "Subhanallah!" bisik Inayah dalam hati. Ia menghela napas dalam-dalam, sejatinya Inayah merasa kaget dan terharu dengan kalimat yang diucapkan Rangga saat itu. Tentu sangat bertolak belakang dengan sikap Rangga yang selama ini dikenal sebagai seorang pemuda iseng, gemar hura-hura, dan selalu jahat kepada teman. Oleh sebab itu, Inayah masih ragu dengan kalimat-kalimat yang telah diucapkan oleh Rangga. Namun, Inayah te
Apa yang di utarakan Fatimah, sangat menambah pengetahuan untuk Inayah dan menjadi suatu pedoman tatkala Inayah dihadapkan dengan kerisauan memilih pasangan yang baik untuk menemani hidupnya kelak. Sangat berkesan, banyak sekali kalimat-kalimat nasihat bersumber dari hadits dan ayat-ayat Al-Qur'an, yang dituturkan oleh Fatimah. Sikap lugu dan pendiam dari sosok Fatimah, sangat bertolak belakang dengan kepintaran dan kecerdasan yang ia miliki, sejatinya Fatimah merupakan sosok wanita Muslimah yang patut dijadikan contoh sebagai panutan. Malam semakin larut, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, rasa ngantuk pun sudah melanda. “Teh, aku masuk kamar dulu yah, sudah malam,” pungkas Inayah lirih. “Iya, Neng,” jawab Fatimah sambil merapikan gelas dan piring serta dus sisa makanan yang ada di meja. Inayah langsung berlalu dari hadapan Fatimah, melangkah menuju kamarnya untuk segera beristirahat, merehat tubuh yang seharian disibukkan dengan berbagai aktivitas. Di dalam