Setelah itu, Erni langsung melangkah ke arah dapur segera menyiapkan air minum untuk kedua tamu itu. Usai membuatkan air minum, Erni kembali melangkahkan kedua kakinya menuju ke ruang tengah dan menyajikan minuman tersebut kepada kedua tamu tersebut.
Selang beberapa menit kemudian, Inayah sudah datang menghampiri dan langsung menyapa serta berjabat tangan dengan tamu-tamu itu.
"Maaf, Bapak-Bapak ini siapa, yah?" tanya Inayah lirih dengan sikap ramahnya.
"Kami, orang kepercayaan Almarhum Pak Tommy, Mbak," jawab salah satu dari pria yang berpenampilan rapi itu. ''Kami, sebagai pengacara Almarhum Pak Tommy, akan menyampaikan surat wasiat ini sesuai dengan pesan almarhum semasa hidupnya. Semua ini akan kami serahkan langsung kepada Mbak Inayah selaku ahli waris tunggal putri dari Almarhum Pak Tommy,'' sambungnya menjelaskan.
Inayah langsung menerima surat wasiat tersebut, dan langsung diminta untuk menandatangani sehelai kertas putih lengkap dengan materai, sebagai bukti surat wasiat tersebut sudah diterimanya sebagai ahli waris tunggal.
Setelah semuanya selesai, kedua orang kepercayaan Tommy itu langsung pamit dan berlalu dari kediaman Inayah.
Tommy mewariskan beberapa hektar sawah yang ada di daerah Jawa Barat yang saat itu sedang dikelola oleh Adim sebagai orang kepercayaan Almarhum Tommy, dalam surat wasiat tersebut jelas tertulis, selain sawah yang sangat luas ada juga beberapa ruko serta rumah kost-kost'an yang ada di Bandung, yang lokasinya tidak jauh dari tempat kediaman Inayah serta beberapa perusahaan besar milik Almarhum Tommy.
"Teh Erni!" panggil Inayah sedikit berteriak.
''Iya, Nay. Ada apa?'' jawab Erni bergegas menghampiri Inayah yang sedang duduk di sopa ruang tengah.
''Ke sini dulu, Teh!" pinta Inayah lirih. "Duduk dulu, Teh!" sambung Inayah tersenyum dengan meluruskan dua bola mata indahnya ke wajah Erni.
Kemudian, Erni duduk di samping Inayah, Erni sedikit merasa terheran-heran. "Ada apa, Nay?" tanya Erni mengerutkan kening.
''Besok Teteh cari orang yang mau menjadi asisten rumah tangga di sini! Untuk menggantikan posisi Teteh. Ada, 'kan?'' tandas Inayah tersenyum menatap wajah Erni.
''Teteh mau diberhentikan, Nay?'' jawab Erni balas bertanya, dengan nada rendah dan tampak terkejut mendengar kalimat yang diucapkan oleh gadis yang sudah ia anggap sebagai adiknya itu.
Inayah tertawa kecil dan tersenyum-senyum sembari meletakkan tangan di atas pundak Erni yang tampak cemas.
''Tidak, Teh! Justru Teteh mau naik jabatan, mau 'kan naik jabatan?'' Inayah meluruskan pandangannya ke wajah Erni.
Mendengar penjelasan Inayah, Erni sedikit bernapas lega dan kembali tersenyum.
''Nanti kalau sudah dapat orangnya, Teteh tidak boleh kerja di dapur lagi. Karena Teteh punya tugas baru!'' sambung Inayah tak hentinya menatap wajah Erni.
''Oh, Teteh kira, Nay mau memberhentikan Teteh. Nanti tugas Teteh apa, Nay?'' Erni balas bertanya sembari mengerutkan kening.
''Jadi asisten pribadiku!" tegas Inayah.
''Oh, ya sudah. Nanti, Teteh telepon dulu teman yang di Purwakarta. Mudah-mudahan dia mau Teteh ajak kerja di sini," kata Erni menghela napas.
Setelah selesai menjelaskan semua, Erni pun mengerti, kemudianan berlalu dari hadapan Inayah kembali ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaannya.
***
Keesokan harinya, Inayah langsung berangkat ke tempat Usen. Ia hendak mengecek tagihan ruko dan rumah kost-kost'an milik almarhum ayahnya,
Inayah sangat bersyukur karena Usen sangat amanah, ia menyerahkan uang kepada Inayah dari hasil menyewakan ruko dan rumah kost yang dipercayakan oleh almarhum ayahnya kepada Usen.
"Terima kasih banyak ya, Pak," kata Inayah tersenyum mengarah kepada pria paruh baya itu.
"Iya, Neng. Sama-sama," jawabnya balas tersenyum.
Setelah itu, Inayah langsung pamit kepada Usen dan istrinya, Inayah langsung pulang ke kediamannya dengan mengendarai mobil sedan merah peninggalan Tommy.
Pukul satu lebih beberapa menit, Inayah sudah tiba di kediamannya. Setelah turun dari mobil, ia langsung melangkah menuju ke arah pintu. ''Assalamu'alaikum," ucapnya lirih sembari mengetuk pintu.
''Wa'alaikum salam,'' jawab Erni dari dalam rumah dan bergegas membuka pintu tersebut.
Setelah pintu terbuka Inayah langsung melangkah masuk ke dalam diikuti Erni di belakangnya.
''Bagaimana, Teh. Sudah ada belum orang yang mau kerja di sini?'' tanya Inayah duduk bersandar di sopa ruang tengah.
''Ada, teman Teteh dari Purwakarta yang kemarin Teteh ceritakan. Saat ini masih dalam perjalanan. Kemungkinan pukul empat sore sudah sampai di sini," jawab Erni lirih.
"Ya, sudah, nanti beritahu aku kalau orangnya sudah datang. Aku mau salat dulu!'' jawab Inayah bangkit melangkah menuju ke dalam kamarnya.
Di usia sembilan belas tahun, gadis cantik itu harus menjalani hidup mandiri, tanpa bimbingan kedua orang tua.
Padahal saat itu, Inayah masih membutuhkan kehadiran kedua orang tua di sampingnya. itulah jalan hidup dan takdir yang harus dilaluinya, dan tidak bisa dihindari.
Inayah harus ikhlas dalam kemandirian menjalankan kehidupannya serta berusaha kuat untuk menjaga amanah segala apa yang sudah diwariskan oleh kedua orang tuanya. Itu semua menjadi titik awal yang baik untuk Inayah berhijrah ke jalan yang diridhoi oleh Allah SWT.
Tidak terasa bulir bening kembali menetes membasahi pipinya, terlalu banyak dosa di masa lalu yang pernah ia perbuat kepada kedua orang tuanya, terutama dosa kepada sang Ibu yang selama hidupnya selalu direpotkan oleh kenakalan Inayah yang tidak pernah mematuhi apa yang dinasihatkan oleh ibunya.
''Nay!" panggil Erni lirih sedikit mengetuk pintu kamar Inayah.
"Iya, Teh. Sebentar!" Inayah langsung bangkit dan segera membuka pintu kamarnya. Tampak Erni sedang berdiri di depan pintu kamar dengan balutan gamis biru tua dan hijab berwarna putih.
“Silakan masuk, Teh!" kata Inayah suaranya terdengar berat seperti menahan isak.
Di hadapan Erni, Inayah terus berusaha menyembunyikan kesedihannya. Ia tidak ingin orang lain turut merasakan kepedihan yang sedang melanda jiwa dan pikirannya.
Meskipun demikian, Erni tetap mengetahui segala apa yang sedang dirasakan oleh gadis cantik yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri.
Erni langsung melangkah masuk ke dalam kamar tersebut, kemudian duduk di samping Inayah.
''Ada apa, Teh?'' tanya Inayah lirih bola matanya terus memandang wajah Erni.
Erni menghela napas dalam-dalam. Kemudian menjawab, ''Teman Teteh sudah datang, dia sudah menunggu di ruang tamu!'' Erni balas memandang wajah Inayah, ia melihat jelas dua bola mata Inayah tampak berkaca-kaca terpancar rasa sedih yang mendalam yang kala itu sedang melandanya.
Erni paham dengan apa yang sedang dirasakan oleh Inayah. Namun, ia belum mengatakan sesuatu yang berkaitan dengan kesedihan Inayah.
''Iya, Teh. Nanti aku ke sana." Suara Inayah terdengar parau.
Wajah terlihat semakin mendung, seakan-akan kesedihan yang sedang ia rasakan semakin membahana dalam jiwa dan pikirannya. Sehingga Erni pun mulai bertanya, “Kamu kenapa, Nay? Kok, kelihatan sedih?” Suara Erni lirih terus memandangi wajah gadis cantik berkulit putih itu.
“Tidak apa-apa, Teh," jawab Inayah berkelit. Ia terus berusaha menyembunyikan kesedihannya.
Kemudian, Inayah bangkit dan mengajak Erni untuk segera menemui tamu tersebut, "Ayo, Teh. Kita ke sana sekarang!" Erni pun tidak banyak berkata-kata lagi, ia langsung bangkit dan melangkah mengikuti Inayah yang sudah berjalan menuju ke ruang tengah. Setibanya di ruang tengah, Inayah langsung menyapa tamunya dengan penuh keramahan. ''Assalamu'alaikum! Sudah lama menunggu ya, Teh?" sapa Inayah lirih sambil mengulurkan tangan seraya mengajak bersalaman dengan tamu tersebut. ''Wa'alaikum salam. Baru beberapa menit saja, Non," jawab wanita berkerudung biru itu lirih. ''Jangan panggil aku non! Panggil saja neng atau Nay!'' pinta Inayah, kemudian duduk di hadapan tamunya. ''Iya, Neng," jawabnya mengangguk perlahan. ''Mohon maaf sebelumnya, nama Teteh, siapa?'' tanya Inayah mengarahkan pandangannya ke wajah tamunya itu. ''Saya Fatimah, Neng," jawabnya tampak lirih. ''Oh, kalau aku Inayah, biasa dipanggil Nay," kata Inayah balas memperkenalkan diri. "Teh Erni sudah menjelaskan masalah
Inayah sudah memutuskan, untuk tidak mengulangi kenakalan-kenakalan yang pernah ia perbuat di masa lalu, sewaktu kedua orang tuanya masih hidup. Inayah ingin mengangkat derajat kedua orang tuanya di akhirat. Seperti yang ia tahu, kedua orang tuanya sangat jauh dari agama. Bahkan melupakan kewajiban mereka sebagai Muslim. Mereka terlalu menyibukan diri kepada keduniawian yang terus mereka kejar. Meskipun demikian, mereka tetaplah orang tua Inayah, ia harus mempersembahkan yang terbaik untuk almarhum ayah dan bundanya, agar mereka tidak terlalu menderita di alam akhirat. Masih banyak di sekitar kita, ditemui orang-orang yang jauh dari Allah, hidup mereka dipenuhi dengan hal-hal tidak bermanfaat bahkan membuat hati semakin keras dan tidak bercahaya. Seperti yang ditemui di jalan raya menuju kampus. Inayah melihat sekelompok bapak-bapak sedang asik bermain judi. Seakan-akan mereka tidak ingat dengan umur mereka, dan melupakan apa yang dilarang oleh Tuhan. Seharusnya di usia mendekati
Sementara Fatimah saat itu tengah duduk santai menonton acara televisi, ia hanya menyimak perbincangan Inayah dengan Erni. Inayah tidak pernah memperlakukan mereka sebagai bawahan, menurutnya mereka adalah saudara dan bagian dari keluarga. Kehadiran mereka sebagai penawar dari kesedihan yang ia rasakan semenjak meninggalnya Tommy dan Celly. Mereka memberikan warna baru dalam kehidupan Inayah, menjadi penyemangat hidup dan teman baik di kediaman megah tersebut. Malam semakin larut, rasa ngantuk pun sudah menyelimut. "Teh Fatimah!" panggil Inayah lirih. "Iya, Neng," jawab Fatimah menghampiri. "Tolong beritahu Pak Andri, mobilnya masukan saja ke dalam garasi semua ya, Teh!" "Iya, Neng," jawab Fatimah. "Aku mau istirahat dulu," pungkas Inayah. Ia langsung melangkah bergegas masuk ke dalam kamar. Sebelum beranjak keperaduan, Inayah melaksanakan Salat Isya terlebih dahulu, di akhir Salat ia selipkan doa-doa yang terbaik, berharap ayah dan bundanya tenang di Surga. "Limpahkanlah doa
Beberapa saat kemudian, terdengar suara teriakan dari arah belakang tempatnya berdiri, “Nay...! Nay...!” teriaknya kencang, tepat dari arah halaman parkir yang ada di depan restoran tersebut. Inayah langsung menoleh ke arah sumber suara tersebut. Tampak seorang pemuda tengah berlari kecil menuju ke arahnya, pemuda tersebut adalah Rangga teman Inayah waktu duduk di bangku SMA. "Rangga!" desis Inayah sedikit kaget dan tidak menyangka bisa bertemu di tempat itu. “Iya, Nay. Apa kabar?” Rangga tersenyum lebar menatap wajah Inayah sambil mengulurkan tangannya. “Masya Allah! Rangga ... alhamdulillah baik, Ga,” Inayah meraih uluran tangan pemuda berwajah tampan itu. “Mau ke mana, Nay?” tanya Rangga terus mengamati penampilan Inayah. “Mau pulang ... aku sedang menunggu kakakku," jawab Inayah lirih. "Kenapa, Ga. Ada yang aneh pada penampilanku?” sambung Inayah balas bertanya, karena heran melihat sikap Rangga yang terus mengamati penampilannya. “Delapan puluh derajat, Nay!" Rangga geleng-
Seperti biasa setelah selesai mengaji, Inayah dan Erni hanya duduk-duduk santai di ruang tengah. Tidak lama kemudian, datang Fatimah dengan membawa tiga gelas teh hangat dan makanan ringan.Mereka bertiga menikmati malam dengan berkumpul di rumah saja, tidak ada pekerjaan yang lain untuk malam itu. Karena saat ini, Inayah sudah tidak mau lagi keluar rumah terkecuali menyangkut masalah pekerjaan atau bisnis yang sedang ia jalani bersama Erni.Di antara mereka bertiga tidak ada batasan-batasan tertentu, tidak ada istilah bawahan atau atasan. Erni dan Fatimah sudah Inayah anggap sebagai kakaknya sendiri, mereka banyak membantu dalam hal pekerjaan dan bimbingan akhlak yang baik untuknya.Di saat mereka sedang berbincang, terdengar suara ponsel berdering tanda panggilan masuk.“Ada panggilan telepon masuk, Nay!” ucap Erni memberi tahukan Inayah.“Angkat saja, Teh!” jawab Inayah meminta Erni untuk menerima panggilan telepon tersebut.Erni hanya mengangguk dan segera menerima panggilan masuk
Inayah hanya diam menyimak apa yang diutarakan oleh Rangga. Kemudian Rangga mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, benda kecil berupa tasbih kayu berwarna hitam mengkilat. “Ini buat kamu, Nay!” kata Rangga menyerahkan tasbih itu kepada Inayah. “Masya Allah! Terima kasih, Ga,” jawab Inayah meraih tasbih dari tangan Rangga. Inayah tampak terharu dengan hadiah yang diberikan oleh Rangga. Jarang sekali, seorang anak di zaman sekarang yang memberikan hadiah yang berkaitan dengan ibadah. “Aku ingin berubah seperti kamu, Nay. Tolong bantu bimbing aku!” ucap Rangga lirih. "Subhanallah!" bisik Inayah dalam hati. Ia menghela napas dalam-dalam, sejatinya Inayah merasa kaget dan terharu dengan kalimat yang diucapkan Rangga saat itu. Tentu sangat bertolak belakang dengan sikap Rangga yang selama ini dikenal sebagai seorang pemuda iseng, gemar hura-hura, dan selalu jahat kepada teman. Oleh sebab itu, Inayah masih ragu dengan kalimat-kalimat yang telah diucapkan oleh Rangga. Namun, Inayah te
Apa yang di utarakan Fatimah, sangat menambah pengetahuan untuk Inayah dan menjadi suatu pedoman tatkala Inayah dihadapkan dengan kerisauan memilih pasangan yang baik untuk menemani hidupnya kelak. Sangat berkesan, banyak sekali kalimat-kalimat nasihat bersumber dari hadits dan ayat-ayat Al-Qur'an, yang dituturkan oleh Fatimah. Sikap lugu dan pendiam dari sosok Fatimah, sangat bertolak belakang dengan kepintaran dan kecerdasan yang ia miliki, sejatinya Fatimah merupakan sosok wanita Muslimah yang patut dijadikan contoh sebagai panutan. Malam semakin larut, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, rasa ngantuk pun sudah melanda. “Teh, aku masuk kamar dulu yah, sudah malam,” pungkas Inayah lirih. “Iya, Neng,” jawab Fatimah sambil merapikan gelas dan piring serta dus sisa makanan yang ada di meja. Inayah langsung berlalu dari hadapan Fatimah, melangkah menuju kamarnya untuk segera beristirahat, merehat tubuh yang seharian disibukkan dengan berbagai aktivitas. Di dalam
Satu jam kemudian, rombongan dari LBUKD (Lembaga Bantuan Untuk Kaum Dhuafa) dari Purwakarta sudah tiba di lokasi. Mereka membawa ratusan paket sembako untuk diserahkan langsung kepada Kartika sebagai ketua panitia penyelenggra bantuan sosial tersebut. Pak Kades dan Kartika sebagai perwakilan dari panitia, langsung menyambut hangat kedatangan rombongan tersebut. Tampak sosok pemuda berkopiah putih dengan mengenakan kemeja jasko warna biru langit berdiri dan bersalaman dengan Pak Kades. Inayah hanya mengamati pemuda tersebut dari kejauhan, pemuda itu berdiri dalam posisi membelakanginya, sehingga wajahnya tidak terlihat jelas. “Masya Allah! Kok, orang itu mirip dengan Rangga ya, Nay?" desis Erni bertanya kepada Inayah yang duduk di sampingnya. Kemudian Erni bangkit pandangannya terus mengarah kepada orang-orang yang ada di tenda tersebut. Terutama kepada pemuda yang dianggap mirip sekali dengan Rangga. “Ah, Teteh. Hanya mirip saja, Teh!” jawab Inayah lirih sambil meraih ponsel yan