Share

Bab 2. Hari Pertama

Penulis: Lily Dutch
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-10 21:49:59

Matahari pagi menembus tirai sutra, memaksa Araya membuka mata dengan kepala berat. Malam tadi, ia hampir tidak tidur. Bayangan wajah Adrien, tatapan dinginnya, serta bisikan yang menelusup begitu dekat di telinganya, masih terasa nyata.

Araya duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya. Ia harus ingat—ini bukan rumah, ini penjara. Ia bukan tamu, ia tawanan. Dan pria itu… pria itu adalah algojonya.

Ketukan pintu membuyarkan pikirannya. Seorang wanita paruh baya masuk, mengenakan seragam pembantu rapi dengan senyum kaku.

“Kau Araya, bukan?” tanyanya sambil menunduk sedikit.

Araya hanya mengangguk.

“Aku Clarisse. Kepala pelayan di sini. Mulai hari ini kau akan bekerja di bawah pengawasanku. Ada aturan yang harus kau ingat: jangan pernah menolak perintah Tuan Adrien. Dan jangan sekali pun melawan tatapannya. Itu… berbahaya.”

Nada suaranya serius, membuat bulu kuduk Araya berdiri.

“Aku hanya ingin… bekerja,” bisik Araya lirih.

Clarisse tersenyum tipis. “Kalau itu saja yang kau inginkan, bertahanlah. Tapi percayalah, Tuan Adrien jarang membiarkan sesuatu tetap sederhana.”

---

Koridor mansion itu panjang, dengan lantai marmer berkilau dan lukisan mahal menghiasi dinding. Langkah Araya terdengar kecil di antara kemegahan yang asing. Ia merasa seperti semut di istana naga.

Tugas pertamanya sederhana: menyiapkan meja makan pagi. Namun setiap gerakan kecil terasa salah. Sendok terlalu miring, serbet tidak simetris, bunga di vas kurang segar. Clarisse memperbaiki dengan cekatan, tapi tatapan kasihan di matanya menusuk hati Araya.

Lalu suara itu datang. Berat. Tenang. Menggetarkan.

“Jadi kau mencoba jadi pelayan?”

Adrien berdiri di ambang pintu ruang makan, jasnya rapi, dasinya gelap, seakan baru keluar dari lukisan pria aristokrat yang terlalu sempurna. Tatapan abu-abu itu langsung tertuju pada Araya, membuat tangannya gemetar hingga hampir menjatuhkan piring.

“Saya… saya berusaha,” jawab Araya pelan.

“Berusaha?” Adrien berjalan mendekat, langkahnya lambat namun penuh wibawa. “Sayang, di rumahku tidak ada kata berusaha. Kau harus sempurna.”

Ia meraih tangan Araya, menahan piring yang hampir jatuh. Jemarinya hangat, kontras dengan dinginnya tatapan. Terlalu dekat. Terlalu menyesakkan.

Araya mencoba menarik diri, tapi genggamannya kuat. “Lepaskan…” desisnya.

Adrien menunduk, bibirnya nyaris menyentuh telinga Araya. “Hati-hati dengan kata-kata. Setiap perintahmu terdengar seperti undangan bagiku.”

Panas menjalari wajah Araya. Ia terdiam, jantungnya berdegup liar. Adrien melepaskan tangannya perlahan, seolah menikmati kegugupan itu.

“Duduk,” perintahnya. “Temani aku sarapan.”

Araya membeku. “Saya… bukan—”

“Ssst.” Adrien menempelkan jari ke bibirnya, seperti malam sebelumnya. “Jangan membantah. Duduklah, atau kubuat kau duduk di pangkuanku.”

Clarisse segera menunduk, pura-pura sibuk dengan serbet. Araya menelan ludah, lalu dengan berat hati duduk di kursi di seberang Adrien.

---

Meja dipenuhi roti hangat, buah segar, dan kopi hitam yang aromanya pekat. Adrien menuangkan kopi ke cangkir Araya tanpa bertanya, lalu mendorongnya ke arahnya.

“Minum.”

Araya meraih cangkir itu dengan tangan gemetar. Pahit kopi menyentuh lidahnya, menyengat, membuat mata sedikit berair. Adrien menatapnya puas.

“Bagus. Kau belajar menelan sesuatu yang asing tanpa mengeluh. Itu langkah awal yang indah.”

Araya menatapnya marah. “Apa tujuan Anda memperlakukan saya begini? Saya hanya ingin bekerja, bukan—”

“Bukan apa?” Adrien memotong cepat, tatapannya menajam. “Bukan milikku? Sayang, keluarga kecilmu sudah menjualmu padaku. Kau pikir aku membeli pembantu? Aku bisa menyewa seratus pelayan jauh lebih berpengalaman darimu. Tapi aku memilih kau. Karena aku ingin sesuatu yang tidak bisa kubeli di pasar. Kepatuhanmu. Rohnya.”

Araya terdiam, tercekik oleh kata-kata itu.

Adrien bersandar di kursinya, menyesap kopinya perlahan, seolah menikmati penderitaannya. “Tapi aku orang yang murah hati. Jika kau pandai, mungkin aku akan memberimu lebih dari sekadar penjara. Mungkin kau bisa belajar menikmati rantai emasmu.”

Ia mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya menelusup tajam. “Kau cantik saat menantangku, Araya. Tapi akan lebih indah ketika kau memohon padaku.”

Araya mendesah marah, menepis tatapannya dengan menunduk. “Saya tidak akan pernah memohon pada Anda.”

Keheningan sesaat. Lalu tawa rendah Adrien pecah, membuat bulu kuduknya merinding.

“Kita lihat berapa lama kau bisa bertahan dengan sumpah itu.”

---

Sepanjang hari, Araya dilempar dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain: membersihkan ruang tamu, menata bunga, mengelap rak buku yang seakan tak ada habisnya. Semua terasa seperti ujian yang tak mungkin ia luluskan. Dan entah bagaimana, Adrien selalu ada di sana—diam, mengamati, kadang hanya dengan tatapan yang menusuk, kadang dengan komentar sinis yang membuat darahnya mendidih.

Namun ada hal lain yang tak bisa ia pungkiri. Setiap kali Adrien mendekat, setiap kali suaranya memenuhi udara, tubuhnya merespons dengan cara yang membingungkan. Takut bercampur sesuatu yang ia benci untuk akui.

Malam menjelang.

Araya kembali ke kamarnya, tubuh letih, hati penuh amarah. Ia menatap bayangannya di cermin—mata sembab, rambut kusut, tapi di balik semua itu ada cahaya lain. Api kecil yang tidak padam.

“Aku bukan miliknya,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku tidak akan pernah jadi miliknya.”

Pintu terbuka tiba-tiba. Adrien masuk tanpa mengetuk, seperti biasa. Ia melepas jasnya, meletakkannya di kursi, lalu menatap Araya melalui pantulan cermin.

“Berbicara pada bayanganmu, Sayang?” tanyanya ringan. “Itu tanda kesepian. Atau… tanda kau mulai kehilangan akal sehat.”

Araya berbalik cepat. “Anda tidak bisa masuk begitu saja—”

“Tentu saja bisa.” Adrien mendekat, jaraknya semakin sempit. “Segala yang ada di rumah ini milikku. Termasuk kau.”

Araya mundur, tapi punggungnya sudah menabrak meja kecil di belakangnya. Adrien menunduk, wajahnya begitu dekat hingga napasnya terasa di kulitnya.

“Kau lelah hari ini,” bisiknya, suaranya serak dan dalam. “Tapi aku suka cara tubuhmu bergetar. Itu… memuaskan.”

Jemarinya terangkat, nyaris menyentuh dagu Araya, tapi ia berhenti tepat sebelum menyentuh. Senyum tipisnya muncul.

“Tidurlah, Sayang. Besok kita bermain lagi.”

Adrien berbalik, meninggalkan ruangan begitu saja, seakan tak terjadi apa-apa.

Araya jatuh terduduk, jantungnya memukul dada tanpa ampun. Ia tidak tahu berapa lama bisa bertahan di rumah ini. Tapi satu hal jelas: Adrien Valmer bukan hanya musuhnya. Ia adalah badai yang akan menelan seluruh dunianya.

Dan entah kenapa, bagian kecil dari dirinya—yang ia benci untuk mengakuinya—takut sekaligus menunggu badai itu datang lagi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa   Bab 12. Jerat Yang Tak Kasat Mata

    Araya bangun dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Malam sebelumnya ia hampir tidak tidur, bukan hanya karena bayangan Adrien yang terus menghantui, tetapi juga karena pikirannya dipenuhi strategi. Ia tahu, sekadar berani menatap atau melawan dengan kata-kata tidak akan cukup. Adrien bukan pria biasa, ia adalah predator yang selalu menemukan cara baru untuk menjebak mangsanya. Kalau Araya ingin bertahan, ia harus lebih dari sekadar berani—ia harus cerdas.Namun begitu ia keluar dari kamarnya pagi itu, sesuatu yang aneh terjadi. Para pelayan lain menatapnya dengan sikap berbeda. Ada yang memalingkan wajah seolah takut terlihat, ada yang berbisik-bisik. Araya merasakan sesuatu yang tidak beres. Adrien pasti sudah menyebarkan sesuatu. Sebuah permainan baru, pikirnya, dan ia kini menjadi pion yang paling mencolok.Ketika ia membawa baki ke ruang makan, Adrien sudah duduk, rapi seperti biasa dengan jas hitam yang sempurna membungkus tubuh tingginy

  • Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa   Bab 11. Api Yang Tak Padam

    Araya tidak bisa tidur malam itu. Matanya menatap kosong ke langit-langit, telinganya waspada pada setiap bunyi kecil yang mungkin menandakan Adrien kembali. Tubuhnya lelah, tetapi pikirannya masih menyala, terlalu penuh dengan adrenalin dan rasa takut yang bercampur menjadi satu. Seolah setiap helaan napas hanyalah pengingat bahwa ia masih berada dalam kandang singa.Namun, di balik semua kecemasan itu, ada satu hal yang menguatkan dirinya: ia sudah melawan. Kata-kata yang ia lontarkan, tatapan yang tidak lagi tunduk, menjadi perisai tipis yang melindunginya dari bayangan Adrien. Ia tahu, harga perlawanan itu akan sangat mahal. Tetapi untuk pertama kalinya, ia siap membayarnya.Pagi tiba dengan sunyi yang ganjil. Rumah besar itu berjalan dengan rutinitas seperti biasa—para pelayan menyiapkan sarapan, lorong-lorong dibersihkan, dan suara langkah-langkah bergaung. Tetapi ada sesuatu yang berbeda. Araya bisa merasakannya. Setiap tatapan pelayan lain yang mengarah pad

  • Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa   Bab 10. Araya Melawan

    Araya berdiri di ambang pintu kamar itu, tubuhnya bergetar, bukan lagi karena takut semata—melainkan karena amarah yang sejak lama ia tekan akhirnya menuntut keluar. Malam terasa pekat, hanya cahaya lampu gantung yang menyinari ruangan luas dengan dominasi warna gelap dan emas. Adrien duduk bersandar di kursinya, seakan menunggu mangsa, dengan sepasang mata tajam yang membuat siapa pun gentar.“Masuk.” Suaranya rendah, sebuah perintah yang dingin sekaligus penuh kuasa.Namun untuk pertama kalinya, Araya tidak langsung menurut. Tangannya mencengkeram kusen pintu, dan ia menatap balik pria itu. “Aku bukan boneka yang bisa kau suruh semaumu, Adrien.”Kedua alis Adrien terangkat, ekspresinya berubah dari tenang menjadi penuh minat. “Apa kau baru saja menantangku?”“Aku tidak menantang. Aku melawan.” Suara Araya bergetar, tapi matanya tidak bergeser.Sejenak keheningan merayap di antara mereka, hanya terdengar suara napas yang berat. Adri

  • Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa   Bab 9. Luka Yang Tak Terucap

    Araya menatap dirinya di cermin. Wajah pucat itu seperti bayangan asing; mata merah karena menangis semalaman, bibir bergetar menahan luka yang bahkan kata-kata tak mampu menampungnya. Isi amplop itu masih membekas jelas di benaknya, setiap huruf seolah terukir ke dalam jantungnya.Ia mendengar langkah mendekat di balik pintu. Nafasnya tercekat. Adrien.Pintu terbuka perlahan, menyingkap sosok pria itu dengan sorot mata gelap yang tajam. “Kau tidak makan,” katanya datar, seakan nada suaranya cukup untuk memerintah dunia.Araya memalingkan wajah. “Aku muak melihatmu.”Senyum samar terbit di bibir Adrien, tapi bukan senyum yang menenangkan—melainkan senyum seorang predator yang tahu mangsanya takkan bisa lari jauh. Ia menutup pintu, lalu mendekat.“Muak?” tanyanya pelan. “Atau justru semakin terikat?”Araya berdiri, tubuhnya bergetar. “Jangan memelintir segalanya. Kau tahu apa yang kulihat di amplop itu—kau bagian dari ke

  • Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa   Bab 8. Amplop Yang Terbuka

    Udara kamar itu terasa berat.Seberat dada Araya ketika jemarinya yang gemetar menyelipkan surat dari dalam amplop cokelat lusuh yang tadi dilempar Adrien ke hadapannya. Ia sempat ragu untuk membukanya, sempat menunda dengan menatap wajah pria itu yang kini bersandar di kursi kerja, seakan menikmati setiap detik penyiksaan batin yang dialaminya.“Buka saja,” suara Adrien terdengar dalam, serak, namun penuh tekanan. “Kebenaran tak pernah menunggu orang yang lemah.”Araya menelan ludah. Helaan napasnya tersengal ketika ia akhirnya menarik lembaran-lembaran kertas itu keluar. Begitu ia melihat deretan nama, angka, dan tanda tangan, tubuhnya langsung kaku. Matanya melebar, napasnya tercekat.Itu adalah kontrak penjualan.Bukan sekadar dokumen penggadaian atau utang. Di sana, dengan tinta hitam jelas, tertera nama ayahnya, ibunya, dan dirinya sendiri—ditukar dengan nominal yang lebih kecil dari harga sebuah mobil mewah.Araya merasakan sea

  • Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa   Bab 7. Bayangan Di Balik Kuasa

    Araya terbangun dengan kepala berat. Lampu-lampu kristal di langit-langit kamarnya masih menyala redup, menebarkan kilau lembut di dinding marmer yang dingin. Ia menatap kosong ke arah jendela, di mana tirai tipis bergoyang diterpa angin malam. Udara terasa menyesakkan, seperti ada sesuatu yang mencengkeram dada dan tak membiarkannya bernapas lega.Semalam, tubuhnya masih bergetar, pikirannya kacau. Sentuhan Adrien masih membekas, setiap bisikan pria itu terus bergema di telinganya. Ia benci. Ia ingin berteriak, ingin menghapus semua yang terjadi. Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang membuatnya merasa hangat—terlalu hangat hingga membakar malu dan logikanya.Araya menggenggam erat sprei, menahan getar di tangannya. Aku harus menjauh darinya. Aku harus… Namun setiap kali ia mencoba menguatkan hati, wajah Adrien kembali muncul dalam pikirannya. Senyumnya yang licin, tatapannya yang menundukkan, cara tangannya menahan dagunya seakan ia hanyalah milik yang bis

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status