Suasana rumah itu malam ini lebih sunyi dari biasanya. Koridor panjang dengan lampu temaram membuat Araya merasa seperti berjalan di dalam labirin yang siap menelannya hidup-hidup. Clarisse sudah lama pamit ke kamarnya, para pelayan lain juga lenyap entah ke mana.
Araya membawa baki berisi minuman—perintah langsung dari Adrien. Ia bahkan tak berani menolak, meski tubuhnya masih gemetar karena kelelahan setelah seharian bekerja.
Pintu ruang kerja terbuka setengah. Aroma alkohol bercampur wangi kayu mahal langsung menyergapnya. Adrien duduk di balik meja besar, kemejanya terbuka dua kancing, dasi longgar menggantung di lehernya. Lampu meja menyinari wajahnya yang teduh sekaligus mengancam.
“Masuk,” suaranya rendah, nyaris seperti perintah militer.
Araya menunduk, melangkah masuk, lalu meletakkan baki di atas meja. “Minuman Anda, Tuan.”
Adrien mengangkat alis. “Tuan?”
Araya membeku.
“Ulangi,” katanya lagi, tatapannya tajam.
“…Adrien,” jawab Araya akhirnya, pelan, hampir tak terdengar.
Senyum tipis itu muncul. “Bagus. Suaramu terdengar lebih manis saat memanggil namaku.”
Ia bangkit, melangkah mendekat. Araya menelan ludah, mundur selangkah, tapi meja di belakangnya menghalangi. Adrien menunduk, menatap lurus ke matanya.
“Kenapa kau selalu gemetar setiap kali aku dekat?” bisiknya.
“Saya tidak…”
“Oh, kau gemetar sekarang pun.” Jemarinya terulur, menyusuri lengan Araya dengan sentuhan ringan yang membuat kulitnya merinding. “Tubuhmu lebih jujur daripada lidahmu.”
Araya menepis tangannya, meski jantungnya berdegup keras. “Lepaskan saya!”
Adrien tertawa pelan, suara rendahnya membuat udara semakin panas. “Kau bicara seakan aku mengikatmu. Padahal yang menahanmu… adalah dirimu sendiri.”
Ia mendorong tubuhnya sedikit lebih dekat, hingga Araya bisa merasakan kehangatan tubuhnya, aroma maskulinnya, bahkan detak napasnya.
“Apa yang kau inginkan dari saya?” tanya Araya, hampir berbisik.
Adrien menatapnya lama, lalu menjawab pelan, “Segalanya.”
Araya menelan ludah, wajahnya memanas. “Anda tidak akan mendapatkannya.”
Adrien tersenyum miring, lalu menunduk, bibirnya hampir menyentuh bibir Araya. “Kita lihat, Sayang.”
---
Benturan itu datang tiba-tiba—antara hasrat dan penolakan. Araya mendorong dadanya sekuat tenaga. Adrien mundur setengah langkah, tapi bukannya marah, ia justru tertawa rendah, menikmati.
“Api kecilmu indah sekali. Kau pikir aku akan padam hanya karena kau meniupku?” katanya, tatapannya membara. “Tidak, Araya. Semakin kau melawan, semakin aku ingin membakar habis dirimu.”
Araya bergetar, tapi kali ini bukan hanya takut. Ada sesuatu yang berbahaya di balik tatapan itu—sesuatu yang memanggil sisi tersembunyi dalam dirinya.
“Pergilah dari kamarku,” desisnya.
Adrien mendekat lagi, menempelkan telapak tangannya ke meja di samping tubuh Araya, memerangkapnya. “Ini ruang kerjaku. Kau yang masuk ke sarang singa, Sayang.”
Ia menunduk, bibirnya hampir menyentuh leher Araya. Gadis itu menahan napas, tubuhnya menegang. “Lihat? Satu tarikan napas saja dariku… dan kau bergetar.”
Araya memejamkan mata, berusaha mengendalikan diri. “Saya… bukan milik Anda.”
“Tidak?” Adrien menarik wajahnya sedikit, menatapnya dengan tatapan tajam, lalu menggenggam dagunya agar ia tak bisa menghindar. “Katakan lagi, dengan mata menatapku.”
Araya menatapnya, bibir bergetar. “…Saya bukan milik Anda.”
Sekejap keheningan. Lalu senyum Adrien melebar, seperti predator menemukan permainan baru. “Indah sekali. Aku suka mendengar kebohongan keluar dari bibirmu.”
Ia melepaskan dagunya tiba-tiba, lalu berjalan menjauh, meraih gelas wine di meja. Dengan santai ia menyesap minumannya, seolah pertempuran barusan hanya permainan kecil.
“Pergilah tidur, Araya,” katanya akhirnya, dengan suara tenang namun penuh ancaman tersembunyi. “Besok aku akan menunjukkan padamu… betapa rapuhnya tembok yang kau bangun di sekitarmu.”
---
Araya berlari kecil keluar dari ruang kerja itu, dadanya naik turun, wajahnya merah terbakar antara marah dan malu. Ia menutup pintu kamarnya dengan keras, lalu jatuh terduduk di lantai.
Air mata akhirnya jatuh, tapi bersamaan dengan itu ada sesuatu yang lebih menakutkan: bayangan hangat sentuhan Adrien masih tertinggal di kulitnya.
Ia memeluk dirinya sendiri, berusaha menghapus sensasi itu. “Aku benci dia… aku benci dia…” bisiknya berulang-ulang.
Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu kebencian itu mulai retak—dan itulah yang paling ia takuti.
Araya terbangun dengan kepala berat. Lampu-lampu kristal di langit-langit kamarnya masih menyala redup, menebarkan kilau lembut di dinding marmer yang dingin. Ia menatap kosong ke arah jendela, di mana tirai tipis bergoyang diterpa angin malam. Udara terasa menyesakkan, seperti ada sesuatu yang mencengkeram dada dan tak membiarkannya bernapas lega.Semalam, tubuhnya masih bergetar, pikirannya kacau. Sentuhan Adrien masih membekas, setiap bisikan pria itu terus bergema di telinganya. Ia benci. Ia ingin berteriak, ingin menghapus semua yang terjadi. Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang membuatnya merasa hangat—terlalu hangat hingga membakar malu dan logikanya.Araya menggenggam erat sprei, menahan getar di tangannya. Aku harus menjauh darinya. Aku harus… Namun setiap kali ia mencoba menguatkan hati, wajah Adrien kembali muncul dalam pikirannya. Senyumnya yang licin, tatapannya yang menundukkan, cara tangannya menahan dagunya seakan ia hanyalah milik yang bisa dipermainkan.Ketukan pelan
Araya tidak bisa tidur malam itu. Bayangan jamuan makan malam terus menghantam pikirannya seperti ombak yang tak kunjung reda. Tatapan Adrien yang tajam, genggaman tangannya di pinggang Araya, serta bisikan lembut yang lebih menyerupai ancaman—semuanya berputar seperti racun yang merembes ke dalam nadinya.Ia menggeliat di ranjang kecil yang diberikan untuknya, tapi udara seakan terlalu sesak. Tirai tipis jendela bergoyang perlahan, ditiup angin malam, seolah menertawakan kegelisahannya."Mengapa aku membiarkan dia menyentuhku seperti itu?" batinnya penuh amarah pada diri sendiri.Tapi, sejujurnya, yang lebih menakutkan adalah—mengapa hatinya bergetar ketika Adrien membisikkan kata-kata itu.Araya menutup wajah dengan kedua tangan, mencoba menyingkirkan rasa bersalah dan getir yang menyergap. Tubuhnya menolak, namun jiwanya berperang. Adrien baginya adalah musuh, sekaligus jurang yang perlahan-lahan menariknya jatuh.Ketukan pelan di pintu kamarnya membuatnya tersentak.“Masuklah,” uc
Hujan malam sebelumnya meninggalkan aroma tanah basah yang menyelinap masuk ke jendela kamar Araya. Pagi itu, ia menatap gaun hitam berpotongan elegan yang tergantung di depan cermin. Sutra halus itu tampak seperti jerat yang berkilau. Adrien memerintahkannya untuk mengenakan gaun tersebut malam ini, saat jamuan makan yang katanya hanya untuk kalangan tertentu.Araya menyentuh kain dingin itu dengan jemari gemetar.“Hadiah,” katanya semalam. “Karena aku satu-satunya yang berhak membuka balutanmu.”Kata-kata itu terus berdengung di telinga, mengikis perlawanannya.---Malam pun tiba.Gaun hitam itu membalut tubuh Araya dengan sempurna. Bahunya terbuka, belahan halus menghiasi sisi paha. Rambutnya digelung rapi, beberapa helai tergerai menggoda. Tatkala ia menatap bayangannya di cermin, jantungnya berdebar tak terkendali. Ia tampak seperti wanita lain—bukan seorang budak, tapi sesuatu yang lebih berbahaya.Ketukan pelan terdengar di pintu. Adrien masuk tanpa menunggu jawaban, seperti bi
Suasana rumah itu malam ini lebih sunyi dari biasanya. Koridor panjang dengan lampu temaram membuat Araya merasa seperti berjalan di dalam labirin yang siap menelannya hidup-hidup. Clarisse sudah lama pamit ke kamarnya, para pelayan lain juga lenyap entah ke mana.Araya membawa baki berisi minuman—perintah langsung dari Adrien. Ia bahkan tak berani menolak, meski tubuhnya masih gemetar karena kelelahan setelah seharian bekerja.Pintu ruang kerja terbuka setengah. Aroma alkohol bercampur wangi kayu mahal langsung menyergapnya. Adrien duduk di balik meja besar, kemejanya terbuka dua kancing, dasi longgar menggantung di lehernya. Lampu meja menyinari wajahnya yang teduh sekaligus mengancam.“Masuk,” suaranya rendah, nyaris seperti perintah militer.Araya menunduk, melangkah masuk, lalu meletakkan baki di atas meja. “Minuman Anda, Tuan.”Adrien mengangkat alis. “Tuan?”Araya membeku.“Ulangi,” katanya lagi, tatapannya tajam.“…Adrien,” jawab Araya akhirnya, pelan, hampir tak terdengar.Se
Matahari pagi menembus tirai sutra, memaksa Araya membuka mata dengan kepala berat. Malam tadi, ia hampir tidak tidur. Bayangan wajah Adrien, tatapan dinginnya, serta bisikan yang menelusup begitu dekat di telinganya, masih terasa nyata.Araya duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya. Ia harus ingat—ini bukan rumah, ini penjara. Ia bukan tamu, ia tawanan. Dan pria itu… pria itu adalah algojonya.Ketukan pintu membuyarkan pikirannya. Seorang wanita paruh baya masuk, mengenakan seragam pembantu rapi dengan senyum kaku.“Kau Araya, bukan?” tanyanya sambil menunduk sedikit.Araya hanya mengangguk.“Aku Clarisse. Kepala pelayan di sini. Mulai hari ini kau akan bekerja di bawah pengawasanku. Ada aturan yang harus kau ingat: jangan pernah menolak perintah Tuan Adrien. Dan jangan sekali pun melawan tatapannya. Itu… berbahaya.”Nada suaranya serius, membuat bulu kuduk Araya berdiri.“Aku hanya ingin… bekerja,” bisik Araya lirih.Clarisse tersenyum tipis. “Kalau itu saja yang kau inginkan, berta
Udara malam itu menusuk tulang. Araya menggenggam erat ujung kain tipis yang menutupi tubuhnya, berusaha menahan getaran yang bukan hanya berasal dari dingin, tapi juga dari ketakutan.Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan berakhir di sini—duduk di kursi belakang sebuah mobil mewah, diapit dua pria asing berjas hitam. Ayahnya hanya sempat berkata singkat sebelum menyerahkannya, “Maafkan kami, Nak. Hanya ini cara untuk menyelamatkan keluarga.”Seluruh dunia Araya runtuh dalam sekejap.---Mobil berhenti di depan sebuah gerbang besi tinggi yang tampak seperti mulut monster siap menelan siapa pun yang berani masuk. Di baliknya, sebuah mansion berdiri megah dengan cahaya lampu yang berkilau, namun dingin. Tidak ada kehangatan dalam cahaya itu. Hanya kemewahan yang mengintimidasi.“Turun,” perintah salah satu pria berjas. Suaranya berat, tak memberi ruang untuk penolakan.Araya menelan ludah. Kakinya gemetar ketika menapaki kerikil putih di halaman yang begitu luas. Aroma bunga mahal