Secercah sinar mentari menyeruak masuk melalui sela-sela gorden kamar. Perlahan Gabby membuka matanya seraya melenguh saat dia meregangkan otot-otot tubuhnya. Kemudian menguap sambil mengucek sebelah matanya yang tampak sayu. Gadis itu terdiam sejenak saat menyadari ada sesuatu yang berbeda dengan langit-langit kamarnya. “Perasaan di kamarku nggak ada lampu gantung.”Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar hingga akhirnya tatapan itu berhenti pada sosok pria yang masih tertidur di sebelahnya. “Pak Bos?” bisiknya dalam hati. Kedua matanya terbelalak melihat sosok Raizel tanpa busana. Secepat kilat Gabby mengalihkan pandangannya ke tubuhnya sendiri, dan... “Shit!”Dia sama-sama tak berbusana saat ini. Hanya berselimutkan bed cover yang membuatnya merasa hangat. “Apa yang sudah aku laku—“Belum sempat bertanya pada diri sendiri, ingatan Gabby saat melakukan adegan panas dengan Raizel semalam, sudah cukup menjawabnya. Awalnya dia kira hanya mimpi. Namun kondisi yang terlihat s
"Selamat pagi, Bos!” sapa Lascrea dengan senyuman hangatnya.Sementara Raizel masih menunjukkan raut panik tatkala Lascrea melangkah, mendekatinya. Dia memang sudah terbiasa membebaskan Lascrea untuk keluar masuk kamarnya tanpa menunggu persetujuan. Itulah mengapa Raizel begitu ketar-ketir saat Lascrea mengetuk pintu. Melihat tubuh Raizel yang masih berbalut selimut, Lascrea sedikit tergemap.“Loh, Pak Bos baru bangun?” Dia sangat tahu kebiasaan Raizel yang selalu tak berbusana saat tertidur. “Emm, iya. Aku kecapekan. Tolong kasih waktu 30 menit untuk aku bersiap-siap, ya!” seru Raizel sambil menggosok-gosok tengkuknya. Lascrea pun menggangguk. Merasa ada yang aneh, dia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan hingga Raizel harus berdeham untuk mengalihkannya. “Kamu boleh tunggu di luar ya, Rea!” ucap Raizel. “Oh, oke, Bos!” Lascrea tak kuasa untuk membantah ucapan Raizel, walau sebenarnya dia ingin berada lebih lama di sana. Apalagi penampilan Raizel begitu memanjakan mata.
“Ayo ikut aku!” Raizel menggandeng tangan Gabby usai dirinya mandi dan berpakaian rapi. Pria itu memang sengaja mengurung Gabby di kamarnya agar bisa keluar kamar bersama. “Kita mau ke mana Pak Bos? Tapi aku belum mandi.”“Udah ikut aja! Gampang nanti bisa mandi di sauna!”Gabby membelalakkan matanya seolah-olah tak percaya. “Sauna? Pak Bos mau bawa aku ke luar? Apa di rumah ini juga ada sauna?”Raizel mengulas senyum yang mampu menggetarkan hati kecil Gabby. “Di rumah ini nggak ada sauna,” jawab Raizel dengan lembutnya. “Terus? Beneran ke luar?”Raizel mengangguk pelan, masih dengan senyuman manisnya.“Iya, bawel! Udah buruan!” Raizel segera menyeret Gabby ke luar kamar untuk membawanya pergi. “Ini nggak mimpi, kan?” batin Gabby. “Kenapa sejak tadi malam sikap dia aneh. Apa mimpi buruknya udah berhasil bikin otak dia konslet? Terlebih lagi, senyum apa itu? Aku nggak pernah lihat dia senyum sehangat itu, kecuali senyum kematian yang bikin dia keliatan mirip zombie.”Langkah Gabby
Setelah menikmati relaksasi di sauna, Gabby memakai baju baru yang sudah Raizel belikan beberapa menit lalu saat sedang menunggu dirinya. Gabby bahkan diajak ke salon untuk didandani sebelum berkeliling di mall. Tak dapat dipungkiri bahwa gadis itu memiliki kecantikan alami di balik wajah lugunya. Citra pelayan yang akhir-akhir ini melekat dalam diri Gabby kini sirna, berganti dengan aura kecantikan yang membuat gadis itu terlihat berkelas dan elegan. Kurang lebih hampir serupa saat dia pertama kali menjadi penari di El Camorra. Bedanya, kini dia didandani bukan sebagai gadis nakal. Raizel terpana saat melihat Gabby yang menghampirinya dengan warna rambut yang berbeda. Gadis berkulit putih itu terlihat cocok dengan rambut ash grey- nya yang ditata menjadi bergelombang. Bahkan ada sedikit poni tipis ala-ala gadis korea yang membuatnya terlihat imut.Sejujurnya, sosok Gabby saat ini adalah salah satu tipe gadis idaman Raizel. Dia terlalu lelah berhadapan dengan gadis nakal yang selalu
Wanita itu terlihat cantik dan sangat berkelas dengan kaos lengan panjang turtle neck berwarna hitam dan rok motif kotak-kotak yang dihias ikat pinggang merek ternama. Sepertinya dia sangat mengenal Raizel. Namun tatapan sinisnya membuat Gabby benar-benar tak nyaman.“Kamu pacarnya Raizel, ya? Salam kenal aku Diana, mantannya Raizel,” ucapnya sambil mengulurkan tangan.Gabby hanya tersenyum meringis, tak tahu harus bagaimana menghadapi situasi yang membingungkan tersebut.Untung saja Raizel peka dan buru-buru menepis tangan Diana sambil berkata, “Di, pacarku nggak nyaman kamu ajak kenalan.”“What?”Bukannya membuat Gabby tenang, ucapan Raizel malah membuat pikiran Gabby tambah runyam.“Bisa-bisanya dia bilang kita pacaran. Wah, kayaknya otaknya emang bener-bener konslet gara-gara mimpi buruk.”Diana manggut-manggut, merasa paham dengan apa yang dia lihat. “Oh, jadi beneran pacar kamu? Selera kamu emang selalu bagus ya, dari dulu.”Diana mencoba tersenyum dan memperhatikan Gabby sekal
“Bos sakit, ya?” tanya Gabby memicingkan matanya. Raizel terkekeh melihat gadis di hadapannya yang sedang kebingungan. “Kenapa jadi sakit, dah?”Gabby meletakkan garpu dan pisau lalu melipat kedua tangan di depan dada sambil menatap Raizel dengan penuh curiga. “Tunggu sebentar!”Raizel mengangkat sebelah alisnya, merasa heran akan sikap Gabby.“Kali ini aku bener-bener yakin kalau otak Pak Bos beneran konslet,” ucap Gabby, memicingkan matanya sambil menggeleng pelan. “Konslet?”Gabby mengembuskan napas kasar lalu meraih air mineral dan meminumnya sebelum melanjutkan obrolannya. “Abis dari tadi pagi sikap Pak Bos aneh banget. Udah ngomongnya halus, pake aku kamu, eh sekarang malah ....”“Malah apa Gabby?” Tatapan tajam Raizel lagi-lagi menggetarkan hati Gabby. Dia pun menunduk tersipu, tak mampu untuk melanjutkan ucapannya. Sampai akhirnya teringat perkataan Diana saat bertemu di restauran shabu-shabu.“Emmm, nggak deh. Tiba-tiba aku jadi keinget mantan Pak Bos tadi. Siapa namanya
George menggertakkan rahangnya saat menyadari bahwa isi rekaman dari blackbox yang dia dapatkan ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Berkali-kali Gerorge mengeluh, mengusap wajahnya secara kasar hingga Dion—rekan seperjuangannya yang berada dalam satu ruangan dengannya pun tampak heran oleh sikap George yang terlihat sedikit frustrasi.Dion yang duduk di seberangnya dengan santai mengedikkan dagu. “Kenapa lo?” Kedua pipinya menggembung akibat roti keju yang sedang dia kunyah. “Percuma gue bawa kabur blackbox-nya. Nggak ada rekam jejak dia bertemu dengan Richardo di sini. Kayaknya ini bukan mobil yang biasa dia bawa.”Dion terkekeh lalu menyeruput kopinya yang sudah tak panas lagi. “Mafia kelas kakap kayak dia nggak mungkin seceroboh itu bawa mobil pribadi sendirian, George. Apalagi dekengannya seorang jenderal bintang dua.”“Argh!” George semakin kesal dengan ucapan temannya. Dia menjambak rambutnya sendiri, membuat Dion semakin terkekeh.“Lo nggak mau nyerah aja? Pak ketua
Danny makin diperam kelesah saat pria paruh baya di sebelahnya mendadak murka dan menjambak Danny hingga mendongak. “Kenapa dia bisa tau? Katanya kau mengeksekusi Jonathan tepat di blind spot CCTV?” geram pria itu dengan tatapan berapi-api. Danny hanya bisa meringis dan memohoh ampun. Pemuda itu rupanya tak berkutik dan sangat ketakutan menghadapi pria paruh baya di sebelahnya. “Siap! Maaf Komandan! Saya bersumpah bahwa saya tidak menemukan adanya CCTV lain di ruangan itu. Saya tidak tahu bagaimana George mengetahuinya.”Pria paruh baya itu melepas cengkraman pada rambut Danny setelah dia berhasil membenturkan kepalanya ke kaca mobil. “Kalau sudah begini, aku tak bisa membantumu. Kau harus menerima konsekuensinya, Danny.”Danny menoleh, sedikit terperanjat. Sebelah tangannya mengusap kening yang tampak benjol akibat benturan di kaca mobil. “Ma-maksud Komandan? Saya harus terima jika mendekam di penjara dan kehilangan seluruh pencapaian saya saat ini?”Pria paruh baya itu mengisa