Tok... tok..
“Permisi nona Walton”
Hiriety menghela napas panjang, dengan terpaksa, ia menghentikan aksinya membobol sistem keamanan Marco Valley karena ketukan dipukul 11 malam ini
Dia menghela napas panjang, melirik sekilas ke layar di depannya yang masih menampilkan sistem keamanan rumah Marco Valley. Dia hampir berhasil menerobosnya, tetapi tampaknya seseorang memilih waktu yang sangat buruk untuk mengganggu. Dengan malas, dia menutup laptop hasil curian dari pelayan itu dan berjalan menuju pintu.
Begitu pintu terbuka, seorang pelayan berdiri dengan wajah sopan dan hormat. Di belakangnya, seorang pria berjas putih berdiri dengan membawa tas medis.
“Tuan Valley mengirimkan dokter untuk memeriksa tangan Anda” ucap pelayan muda itu dengan nada datar.
Alis Hiriety terangkat, matanya sekilas berkilat dengan ketertarikan. “Oh? Aku tidak tahu bahwa Marco memiliki sisi peduli yang seperti ini.”
Pelayan itu tetap diam, jelas tidak ingin terlibat dalam permainan kata-kata Hiriety. Sementara itu, dokter tersebut segera melangkah masuk dan mengisyaratkan agar Hiriety duduk.
“Saya akan memasang gips agar tangan Anda tidak semakin parah, Nona Walton.”
Hiriety tersenyum kecil. “Tentu, lakukan saja tugasmu, Dok.”
Selama beberapa menit, ruangan hanya diisi dengan suara dokter yang memeriksa dan membalut tangan Hiriety dengan hati-hati. Hiriety sesekali melirik ke pelayan yang berdiri tegak di sudut ruangan, lalu kembali tersenyum kecil.
“Jadi…” Hiriety akhirnya berkata, “Apakah Marco benar-benar peduli? Atau dia hanya tidak ingin ada mayat yang harus dikubur di rumahnya?”
Dokter tidak menjawab, hanya fokus memasang gips dengan cekatan. Setelah selesai, dia mengemasi peralatannya dan berdiri.
“Tangan Anda harus diistirahatkan. Jangan terlalu banyak bergerak.”
Hiriety menatap hasil kerja dokter itu dengan ekspresi puas. “Baiklah, terima kasih, Dok.”
Begitu dokter pergi bersama pelayan, Hiriety bangkit dari tempat duduknya dan meregangkan tubuhnya sedikit. Lalu, seolah mendapatkan ide yang menyenangkan, dia tersenyum dan berjalan keluar kamar, menuju satu tujuan tertentu.
“Dimana kamar Marco?” Tanyanya pada seorang pelayan
Kamar Marco Valley.
Marco sedang duduk di kursi dekat jendela, satu tangannya memegang gelas bourbon sementara matanya menatap keluar ke halaman luas di belakang rumahnya. Begitu pintu kamarnya diketuk, dia tidak langsung menjawab. Namun, pintu itu terbuka sendiri, dan sosok yang sangat dikenalnya masuk dengan langkah percaya diri.
“Valley” suara Hiriety terdengar santai. “Aku ingin tidur di sini malam ini.”
Marco menoleh perlahan, mengamati Hiriety yang kini berjalan ke arah tempat tidurnya dengan ekspresi puas. Pria itu menyesap bourbonnya sebelum akhirnya berbicara. “Rumah ini punya banyak kamar, Walton. Ambil salah satunya.”
Hiriety mengangkat bahu. “Tapi aku ingin di sini. Lebih aman, bukan?” Dia duduk di tepi tempat tidur, lalu menatap Marco dengan seringai menggoda. “Lagipula, kau sudah cukup peduli untuk mengirim dokter. Bukankah itu berarti kau ingin memastikan aku baik-baik saja?”
Marco hanya mendengus, tidak tertarik melanjutkan argumen konyol ini. Namun, Hiriety tidak menyerah begitu saja.
“Tapi sebelum aku tidur” katanya dengan nada lembut namun berbahaya, “ada satu hal yang harus kau lakukan untukku.”
Marco menurunkan gelasnya ke meja di sebelahnya.
Hiriety tersenyum penuh arti. “Bukakan pakaianku.”
Hening sesaat.
Marco menatapnya lama, mencoba mencari niat sebenarnya di balik permintaan itu. Hiriety tidak menghindari tatapannya, malah semakin mendekat, duduk lebih dekat hingga jarak mereka hanya beberapa inci.
“Apa yang kau rencanakan, Walton?” tanya Marco, suaranya lebih rendah dari sebelumnya.
Hiriety mengangkat tangan yang dibalut gipsnya dengan ekspresi manja. “Tangan ini tidak bisa digunakan dengan baik. Jadi, aku butuh bantuanmu.”
Marco menghela napas panjang, jelas enggan menuruti permainan wanita ini. Namun, entah kenapa, dia tetap berdiri dan berjalan mendekat.
Hiriety tersenyum tipis saat pria itu berdiri di hadapannya. “Oh? Kau benar-benar akan melakukannya?”
Marco menatapnya tajam. “Kau yang memintanya, Walton.”
Pria itu menurunkan pandangannya ke gaun Hiriety, lalu tanpa peringatan, jemarinya mulai bekerja, membuka satu per satu tali dengan gerakan lambat dan penuh kontrol.
Hiriety menatapnya sepanjang waktu, menikmati bagaimana ekspresi Marco tetap dingin dan terkendali, meski ketegangannya terasa begitu nyata. Begitu gaun itu melorot, Marco langsung menarik tangannya kembali, seolah tak ingin memberi Hiriety kesempatan untuk semakin mempermainkannya.
Namun, Hiriety justru menyeringai, matanya berkilat penuh kemenangan.
“Terima kasih, Valley.” Dia mencondongkan tubuhnya sedikit, cukup hingga bibirnya hampir menyentuh telinga pria itu. “Tapi kau tahu? Aku bisa melihatnya sekarang.”
Marco mengerutkan kening. “Melihat apa?”
Hiriety menyentuh dada Marco dengan satu jari, tepat di tengah kemeja hitamnya. “Aku yang sedang mengendalikanmu.”
Marco menatapnya dalam, lalu tersenyum tipis, tetapi senyuman itu sama sekali tidak ramah.
“Jangan terlalu percaya diri, Walton.”
“Kenapa?” Hiriety terkikik, matanya berkilat penuh tantangan. “Kau takut aku benar?”
Marco tidak menjawab. Tapi dalam keheningan itu, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang berbahaya, yang lebih dari sekadar permainan mereka selama ini.
Dan Hiriety sangat menikmatinya. Tatapan Marco menggelap, matanya menatap Hirieity lekat. Ada kilatan gairah besar disana
“Ingin melakukannya denganku?” tawar Hiriety, nada suaranya mengundang.
Marco menunduk, tatapannya terpaku pada wajah Hiriety yang begitu dekat. Ia bisa merasakan nafas Hiriety di kulitnya, bisa merasakan sentuhan jemarinya yang lembut di bahunya. Ia bisa merasakan gairah yang mulai membakarnya, gairah yang ia coba tahan selama ini.
"Aku bisa membuatmu lupa pada Selena" Hiriety berbisik, suaranya penuh godaan. "Aku bisa membuatmu kehilangan kendali, Valley. Kau hanya perlu membiarkan aku melakukannya."
Marco terdiam. Ia tahu bahwa ia sedang terjebak dalam permainan wanita ini, tetapi ia tidak bisa menolaknya. Ia telah kehilangan kendali, dan ia tidak tahu kapan ia akan bisa mendapatkannya kembali.
"Come to me, Valley" Hiriety berbisik, suaranya penuh gairah.
Tiba-tiba, Marco bergerak. Gerakannya cepat, keras, dan tak terduga. Ia meraih kedua lengan Hiriety dan mendorongnya ke ranjang, tubuhnya menindih wanita itu tanpa memberi celah untuk melarikan diri. Hiriety tersentak, tetapi alih-alih ketakutan, matanya justru berkilat penuh kesenangan.
"With that fucking shit, Walton!" Marco menggeram, suaranya rendah dan berbahaya.
“Sekarang aku mengerti kenapa Denzel meninggalkanmu”Tangan Hiriety mengepal erat, begitu kuat hingga buku-bukunya memutih. Sekilas, sorot matanya bergetar—bukan karena takut, tapi karena luka lama yang dibuka paksa.“Dan setelahnya Marco Valley juga akan melakukan hal yang sama. Biar kutebak alurnya, dia akan menidurimu hingga kau hamil dan membuangmu. Sama seperti yang Denzel lakukan padamu“BUGH!!Tinju Hiriety mendarat telak di pipi Laurent, membuat pria itu tersentak mundur dan hampir kehilangan keseimbangan. Suara benturan tulang dan kulit memecah keheningan seperti palu godam menumbuk kaca mahal—keras, brutal, dan tak elegan sedikit pun.Laurent memegang rahangnya yang memerah, mata lebarnya menatap Hiriety—bukan karena terkejut dipukul, tapi karena baru sadar bahwa ia telah menyeberangi batas yang tak seharusnya disentuh.Hiriety berdiri dengan napas teratur, tangan yang masih mengepal gemeta
Marco mendengarkan pesan suara dari Richard dengan ekspresi yang sulit dibaca. Suara Richard terdengar cepat, tergesa dan kesal saat ia menjelaskan bagaimana Hiriety Walton memainkan permainan lelang dengan cara yang sangat licik, menaikkan tawaran dengan taktik yang halus dan penuh strategi.Dengan senyuman tipis yang hampir tak tampak, Marco mendengarkan pesan suara dari sepupunya itu. Ia tidak terkejut. Baginya, sikap licik Hiriety adalah bagian dari pesona dan kekuatan yang dimilikinya.“Kalian memang pasangan gila. Kau membeli chip seharga 11 juta euro darinya dan akan kau kembalikan di tubuhnya, bukankah kau yang merugi Marco?”Itu pesan suara terakhir sebelum Marco menekan tombol untuk mengakhiri pesan tersebut. Tanpa membuang waktu, Marco mulai mengetik pesan kepada Richard. “Kembali ke Washington, berikan chip itu padaku."Pesan itu dikirim dengan cepat, dan Marco melemparkan ponselnya ke meja. Pikirannya kembali melayang pada H
Hiriety menenteng keluar tas berisi jutaan euro hasil pelelangan dengan santainya. Ia keluar dari pintu khusus seorang pria yang ditugaskan oleh papanya.“Sudah selesai Nona?” pria dengan badge logo WALTON itu bertanyaHiriety mengangguk “kau bawa tas itu saja, aku pulang sendiri”Pria itu tampak ragu sejenak, namun disiplin Walton mengharuskannya patuh. “Baik nona” Ia menerima tas hitam berat berisi uang—lalu mengangguk hormat sebelum kembali ke kendaraan yang diparkir tak jauh dari gerbang belakang.Setelah memastikan mobil itu melaju dengan aman. Hiriety mengadahkan kepalanya di bawah langit Milan yang mulai gelap sepenuhnya. Gaun hitamnya tertiup angin lembut, dan topeng sudah dilepas, diselipkan ke dalam clutch kecil yang ia bawa sendiri. Bibirnya melengkung tipis—senyum puas, namun tak sepenuhnya ceria.“Hiriety Walton”Suara itu datang dari arah bayangan—dalam dan berat
Langit Milan menjelang senja tampak seperti lukisan yang gagal—warna jingga bercampur abu, suram tapi indah dengan caranya sendiri. Mobil hitam dengan harga fantastis itu bergerak pelan di jalanan berbatu menuju palazzo tua dekat Navigli.Arsitektur Renaissance yang mulai dimakan waktu berdiri kokoh, dihiasi cahaya temaram lampu gantung kristal dan siluet para undangan yang mulai memadati halaman utama.Di dalam mobil, Hiriety memasang anting terakhirnya. Gaun hitam malam ini tidak menonjol—bahkan nyaris terlalu sederhana untuk selera Walton—tapi potongannya tajam, lekuknya pas, dan punggungnya terbuka penuh. Detail renda halus mengitari kerah tinggi lehernya, memberikan kesan klasik sekaligus misterius.Yang paling mencolok darinya malam itu adalah topeng hitam separuh wajah, dihiasi manik halus dan sulaman benang perak yang membingkai mata abu abunya.Topeng pesta. Tradisi tua dalam pelelangan bawah tanah. Menyembunyikan identita
Mata abu Hiriety terbuka. Cahaya samar dari lampu meja menciptakan bayangan lembut di langit-langit kamar. Dia mengerjap, lalu melirik jam di atas nakas: pukul tiga pagi. Tapi Marco sudah berdiri di depan cermin, mengenakan setelan kemeja gelap. Raut wajahnya tenang, tapi matanya memancarkan gelisah yang tak bisa disembunyikan.Ditatapnya Marco, lama, dalam diam.“Kau pergi sepagi ini?” gumam Hiriety akhirnya. Suaranya serak karena masih setengah terjagaMarco menoleh perlahan “Pesawatku jam empat” jawabnya pelan. “Aku tidak ingin membangunkanmu.”“Oh.. artinya kau mau pergi tanpa pamit?” balas Hiriety pendek, duduk dan menarik selimut menutupi tubuhnya.Marco menghampirinya, ia berlutut di sisi ranjang, diusapnya kepala Hiriety “Mau menahanku?” Dia bertanyaHiriety tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. Matanya yang masih berat menatap sosok Marco di depannya. Pijar lampu tidur
Hari itu, langit Milan menggantung mendung tipis. Tapi langkah Marco dan Hiriety justru ringan—atau setidaknya, penuh arti.Mobil yang dikemudikan Marco tidak menuju kawasan eksklusif Brera, bukan pula ke butik-butik mewah di Via Montenapoleone. Marco membawa mobilnya keluar kota, melintasi jalanan sempit yang mengarah ke pinggiran industri tua di selatan Milan, di mana cat tembok sudah mengelupas dan toko-toko kecil berdiri rapuh di antara gudang-gudang tua.Hiriety bersandar di kursi penumpang, mengenakan hoodie kebesaran dan kacamata hitam, tangannya memegang sebatang rokok elektrik yang sesekali ia hirup dengan malas.“Kau benar-benar membawaku ke tempat paling jelek.”Marco melirik ke arahnya dengan senyum tipis. “Kau bilang ingin lihat aku jalan di lumpur.”“Dan sekarang?” tanya Hiriety, menoleh padanya. “Kau merasa lebih rendah dari biasanya?”Marco menginjak rem pelan dan memarkir
Hiriety menatap langit kamarnya, senyum tipis terukir dibibirnya begitu mengingat aktifitas mereka tadi malam“Ada enaknya juga berperan sebagai submissive” Gumamnya pelanHiriety beralih menatap Marco yang tertidur disebalahnya. Napas pria itu teratur, wajahnya tenang, berbeda jauh dari tatapan tajam dan penuh dominasi yang ia tunjukkan sebelumnyaHarus Hiriety akui jika dominasi Marco adalah yang terbaik diantara semua laki-laki yang bersamanya bahkan melebihi Denzel“Padahal kau yang paling minim pengalaman” gumamnyaHiriety menjangkau tangannya, menelusuri garis rahang Marco dengan lembut. Jari-jarinya berhenti sejenak di atas bibir Marco, mengingat sentuhan panas dan juga kasar dari ciuman mereka tadi malam. Ia tersenyum kecil, menikmati rasa puas yang memenuhi dirinya. Ia tahu bahwa ia telah menguasai permainan ini, bahwa ia telah mendapatkan apa yang ia inginkan.“Kau benar-benar terjebak padaku Marco Val
Pesawat pribadi Marco mendarat di Milan pada pagi hari yang mendung. Langit kelabu seperti suasana hatinya. Ia turun dari jet tanpa banyak bicara, hanya menyambar coat hitam panjangnya dan melangkah cepat menuju mobil yang sudah disiapkan.Yurid, asistennya, sempat mengejarnya di landasan. “Tuan, setidaknya beri saya waktu menyusun jadwal ulang untuk pertemuan—”“Batalkan semuanya.” suara Marco datar tapi tajam. “reschedule untuk lusa” perintahnyaMobil melaju cepat menuju apartemen Hiriety. Sepanjang jalan, Marco duduk gelisah di jok belakang, menggertakkan gigi, tangan mengepal, dan jemarinya tak bisa diam. Wajah Hiriety semalam terus terbayang dalam pikirannya—dengan ekspresi licik, dengan senyum tipis yang menyembunyikan terlalu banyak hal.Begitu tiba di apartemen, dia bahkan tak menunggu lift. Ia naik satu per satu anak tangga dengan langkah besar dan terburu-buru. Jantungnya berdetak kencang bukan kar
Hiriety senang menggoda Marco tapi lama-kelamaan dia jadi bergairah sendiri. Membayangkan apa yang Marco lakukan dengan foto-foto bugilnya jelas membuat fantasinya bekerja tanpa terkontrol“Sialnya kau kuat juga tak menelepon atau membalas pesanku” Gerutu HirietyHiriety meletakkan ponselnya di meja rias, jari-jarinya masih sedikit gemetar karena gairah yang baru saja ia rasakan. Membayangkan Marco melihat foto-fotonya, merasakan keinginan yang sama seperti dirinya, telah membangkitkan hasrat yang membara dalam dirinya. Ia merasa sedikit malu, namun juga sangat terangsang.Hiriety meraih laptopnya. "Mari kita akhiri permainan ini" gumamnya, sebelum memulai video call dengan Marco melalui perangkat yang lebih besarMarco yang sedang sibuk dengan tangannya sambil menatap foto Hiriety nampak tak terkejut ketika kekasihnya itu melakukan panggilan videoKoneksi terhubung, dan wajah Hiriety muncul di layar. Ia terlihat cantik, bahkan lebih me