Share

Bab 8

Author: Ollane
last update Last Updated: 2022-06-23 11:16:39

Hari sudah gelap saat aku selesai membersihkan semua lantai, dinding dan pillar di rumah bak istana tersebut, termasuk beberapa kamar kosong yang harus kusiapkan sesuai yang Tuan Akmal katakan. Kelelahan, aku hanya bisa minum air dingin. Ingin makan, Tuan Abizar belum kunjung pulang. Rasanya ingin berbuat curang, mengintai kotak roti dan hendak mencomotnya. Baru saja hendak kumasukkan utuh satu biskuit langsung kulemparkan ke tong sampah saat melihat Tuan Abizar memerhatikanku di ambang pintu. Beliau bersender di kusennya, lalu mendekatiku.

"Kapan pulangnya, Tuan?"

Tuan Abizar melirikku tajam, lalu menuangkan air dingin ke gelas. "Mobilku macet di tengah jalan, jadi aku ke sini sambil jalan kaki."

Setelah meminum segelas air, Tuan Abizar meraih kotak cokelat simpananku. Dia menjulang menatapku tajam, merasa bersalah aku menjatuhkan diri dari kursi lalu duduk bersimpuh di lantai. Kedapatan melanggar aturan, tentu saja itu ancaman. "Lapar?"

"Tentu saja, Tuan."

"Aku juga lapar," dia menjawab. "Kalau kamu nyatanya sudah kenyang sebelum aku makan, sekalipun aku lapar aku tetap tidak punya alasan untuk mengisi perut."

Di dalam hati aku bergumam. Aneh.

"Sudah kubilangkan, kenapa aku suka menyiksamu seperti ini karena agar aku punya alasan untuk memakan sesuatu."

Dia ikut menjatuhkan diri di lantai, duduk menghadapku yang bersimpuh sambil menundukkan kepala. Dia membuka kotak rotiku, merobek bungkusnya. Biskuit itu dia gigit kurang dari setengah, sisanya diberikan padaku. "Makan," aku menurut, memasukkannya ke dalam mulut. "Malam ini kita cuma makan roti simpananmu ini." Aku melenguh. Dasar Anda, Tuan. Senang sekali menyiksaku. Beliau kembali membuka bungkus yang baru, merobeknya, menggigitnya setengah darinya lalu diberikan sisanya padaku.

"Enak, ya? Rasa madu."

Aku berhenti mengunyah, "rasa madu?" Apa beliau mengalami gangguan dalam indra pengecapnya.

"Rasa madu 'kan?" Tuan Abizar melirik kotak roti tersebut, memang ada gambar lebah dan sangkar penuh madu di sana. Itu hanya kotak lama, yang kumasukkan roti simpanan yang kubeli di warung sebelah.

"Ini roti rasanya asin, Tuan."

Tuan Abizar terdiam, "asin? Oh, asin. Itu maksudku."

Aku berhenti berkutik.

"Mau kubuatkan kopi, Tuan? Sepertinya Anda akan begadang malam ini."

"Oke," Tuan Abizar menjawab dengan nada datarnya seperti biasa.

Segera kubuatkan kopi, sengaja hendak mengetesnya. Sepertinya ada yang salah lagi pada diri tuanku. Aku buatkan kopi tanpa gula, lalu meletakkannya ke lantai. Kembali duduk bersimpuh menghadapnya di lantai. "Minumlah, Tuan." Tuan Abizar menurut, dia seperti biasa saja saat menyeruput minumanku. Sampai tandas, hingga gelas itu kosong. Tak ada seruan protes lain 'kah?

"Bagaimana rasanya, Tuan?"

Tuan Abizar mengangguk-angguk, "seperti biasa, enak. Kopi dan gulanya pas."

Aku tersedak angin. "Tuan ...." Panggilku lirih. "Anda ada masalah di indra pengecap?"

Tuan Abizar menatapku dingin, lalu menghela napas. Senyumnya kecut, "ya. Aku tidak bisa merasakan enak, asin, pahit, manis atau tidak enaknya sebuah makanan. Makanya kubilang, selain karena kamu aku tidak memiliki alasan untuk makan. Memasukkan makanan tanpa rasa ke mulutku hanya untuk mengganjal perut, amat membosankan untukku. Seperti roti ini," Tuan Abizar memperlihatkan roti asinku. Lalu memasukkannya ke dalam mulut setengahnya. "Sama sekali tak ada rasa di mulutku. Tapi aku semangat memakannya, jika aku bisa membaginya denganmu." Tangannya memberikanku sisa roti yang dia kunyah. Aku berkaca-kaca, menerimanya lalu memasukkannya ke dalam mulut.

"Terimakasih, Tuan ...."

"Sudahlah, seharusnya aku yang bilang begitu." Tampik beliau sambil membuka bungkus baru roti.

"Untuk wanita baru yang akan dinikahkan dengan Tuan apakah Tuan benar-benar akan menolaknya lagi?"

Tuan Abizar menatapku tajam saat aku memberanikan diri menanyakannya. "Kenapa kamu bertanya seperti itu?"

"Apa salahnya, Tuan? Umur Anda sudah cukup tua—maksudku 27 tahun, apa salahnya menikah? Memiliki anak? Bahagia?"

"Diam," Tuan Abizar menyumpal roti ke mulutku. "Aku malas membahasnya."

"Saatnya berhenti menjadi pemilih dan waktunya untuk memilih, oke?"

"Aku sudah memilih tapi wanita itu tidak memilihku balik. Terlebih, untuk nasib pernikahan kami kelak aku tidak bisa memilih untuk benar-benar membahagiakannya. Menghindarkan semua rasa sakit dari pernikahan kami kelak, aku tidak bisa memilih untuk itu. Karena keluargaku yang akan memilih."

Aku terdiam.

"Tuan," napasku terhembus. "Saya tidak kuat melihat hidupmu yang kacau seperti ini. Terombang-ambing, tidak teratur, seperti tidak ada pedoman dan pemandu. Bahkan tujuan ...."

"Hidupku memang kacau, terombang-ambing, tidak teratur dan seperti tidak ada pedoman dan pemandu seperti yang kamu katakan. Oke, aku akui. Tapi aku memiliki tujuan." Tuan Abizar menatapku dalam.

"Kalau begitu Anda butuh pemandu, pengendali, yaitu istri. Yang akan menemanimu dan memberitahumu kalau kamu berbuat salah agar jalan yang kamu lalui lebih jelas—"

"Kamu mau mendengarkan tujuanku? Yaitu menjadikanmu pemanduku." Kedua tangan Tuan Abizar menangkup pipiku. "Istriku. Wanitaku. Cintaku. Agar aku tidak tersesat, agar kehidupanku tidak terombang-ambing, agar kehidupanku memiliki pegangan tapi bagaimana caranya aku mempertahankan pemanduku? Bagaimana caranya agar dia tidak terluka dan tersakiti, padahal di keluargaku kami sumber duri untuk hati wanita?" Beliau menempelkan kedua kening kami, membelai ujung hidungku dengan ujung hidungnya, masih menangkup kuat kedua pipiku seakan tidak ingin melepaskannya. Aku panik saat bibirnya nyaris menggapai bibirku. Tidak, Tuan. Jangan berbuat dosa karena aku. Pergerakannya berhenti, seperti sadar. Aku lihat matanya memerah, "kamu tahu." Dia berbisik, "aku pernah nyaris menidurimu di kamarmu. Aku pernah nyaris menciummu saat kamu tidur. Aku berkali-kali nyaris memerkosamu. Tapi aku berusaha menahan diri. Dan memberi pelajaran terhadap diriku sendiri." Napas hangatnya terhembus, "agar aku jera dan tidak pernah melakukannya. Ajaibnya, selama tiga tahun aku berhasil. Bahkan aku tidak pernah mencium bibirmu, apalagi menodaimu."

Tuan Abizar bangkit, beliau mendekati kompor mengambil sebuah panci air panas. Awalnya pergerakannya belum bisa kutebak. "Bara api panas lebih baik kupegang daripada kamu 'kan? Ini cara lelaki untuk tegas pada diri sendiri, kadang mereka harus belajar bagaimana caranya menahan diri, termasuk rasa keinginan kuat mereka terhadap seorang wanita."

"TUAN!" Aku menjerit saat dia membasuh kedua tangannya dengan air panas itu. Aku langsung menahan pinggangnya, berusaha menjauhkannya dari kompor. Tanpa sadar aku terisak, "kumohon, jangan berbuat BODOH! Anda boleh memeluk saya, Anda boleh menyentuh tangan saya, Anda boleh mencium saya, tapi jangan berbuat bodoh! Saya mohon, jangan berbuat bodoh, Tuan!"

"Sekalipun begitu, saya tidak mau menodaimu, Mawar ...." Dagu beliau mendekat, seperti ragu untuk menyapukan bibir ke keningku. Niat itu diurungkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tawanan Cinta Tuan Abizar   END

    Yang tertulis di surat keemasan itu, hanyalah bait doa dan kalimat-kalimat damba. Omar menjatuhkan diri di sebelah makam Melati, duduk bersimpuh, lalu membelai kepala nisan wanita itu. Omar membuka lipatan kertas, membacakan doa yang panjang untuk Melati. Semalaman, Omar tidak beranjak. Membiarkan gamis putihnya kotor oleh tanah.Mendadak Omar lemas, wajah lelaki itu terlihat lelah. Bibirnya yang semula membacakan 'surat cinta' itu dengan suara keras, kini berubah lirih. Omar menjatuhkan keningnya ke kepala nisan Melati, memeluknya, menciumi puncaknya, air mata yang semula berusaha Omar tahan kini lolos begitu saja. "Aku merindukanmu, Melati. Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu." Omar tidak perduli, selain Melati, di bawah sana lelaki lain bisa mendengarkannya.Entah kenapa kerongkongan Omar menjadi begitu kering dan haus. Daripada minum, hanya sebuah kalimat yang bisa menuntaskan dahaganya. Setelah air matanya kering, Omar dengan susah-payah menyebut nama Allah. Kesaksiannya atas

  • Tawanan Cinta Tuan Abizar   Bab 51

    "Astaga, ternyata kalian di sini." Malik menghembuskan napas kasar, tangan besarnya mengacak rambutnya yang basah oleh keringat. "Semalaman aku mencari, kukira sesuatu yang buruk terjadi pada kalian berdua.""Kami hanya bermalam di hotel sebagai sepasang suami-istri," Abizar melingkarkan tangan ke bahu Mawar, lalu membawa istrinya merapat."Pulang, sebelum Akmal membuat heboh keluarga Hafshan karena mengira kamu dan Mawar menghilang." Malik mengibaskan kedua tangannya malas, memberi intruksi kepada bawahan-bawahan yang dia bawa ikut serta untuk meninggalkan gedung hotel dan masuk kembali ke dalam kendaraan masing-masing. Malik menyisakan satu mobil untuk Abizar dan Mawar. Abizar menarik Mawar untuk masuk ke dalam mobil, istrinya sudah bersih dan rapi setelah mandi di kamar hotel dan meminjam pakaiannya istri Pangeran Adzriel.Abizar menghubungi Ahmad, Abizar ingin membawa Mawar ke gedung yang Omar sewa untuk acara pernikahan mereka. Termasuk pergi ke butik, untuk memilih dan merancang

  • Tawanan Cinta Tuan Abizar   Bab 50

    Gedoran di pintu membuat Abizar mengerang kesal. Lelaki itu menjatuhkan diri dari kasur dan mendelik ke arah pintu, pelayan-pelayan tersebut menganggu pagi indahnya bersama Mawar. Matahari di luar mulai terik, setelah salat Subuh Abizar dan Mawar segera mengistirahatkan diri. Abizar yang nyenyak dalam dekapan Mawar, malah dihancur-leburkan semua khayalannya."Buka pintunya, Nona. Atau kami masuk tanpa izin dari Anda." Suara familiar yang meminta dari luar dalam bahasa Arab. Mawar terbangun, langsung melingkarkan tangan ke pinggang Abizar yang tengah merapikan bungkusan pakaiannya. "Siapa, Mas?"Abizar berdecak, "aku bingung bagaimana menjelaskan kepada mereka, kalau kamu benar-benar istriku." "Perbaiki pakaianmu, Mawar." Abizar memperingatkan, dengan tangan yang mengelus-ngelus lengan terbuka Mawar. Abizar mendaratkan kecupan di bahu wanita itu, lalu melanjutkan. "Mungkin ada beberapa pelayan lelaki di luar. Ingat, aku bisa menusuk mata siapapun yang berani melihat keseksianmu." Abi

  • Tawanan Cinta Tuan Abizar   Bab 49

    Keputusan gegabah Abizar membuat sepasang suami-istri tersebut terdampar di tepi jalan yang senyap dan sepi. Tiada taxi yang lewat, hanya beberapa kendaraan yang berlalu-lalang. Abizar menyesal membuat Mawar kesusahan, wanita itu berdiri lesu di sisi tubuhnya. Sepertinya mulai mengantuk dan kedinginan. "Maafkan aku, sayang."Mendengar ungkapan maaf Abizar, Mawar menggeleng. "Tidak apa-apa."Takut tubuh Mawar terhuyung dan wanita itu jatuh menimpa aspal, Abizar langsung mengangkat tubuhnya dan menggendongnya. Mawar meletakkan kepalanya ke bahu Abizar, menggesek-gesek, mencari letak nyaman. Sepertinya sia-sia menunggu taxi yang tidak akan lewat, Abizar memilih berjalan mencari hotel terdekat. Mawar di dekapan dadanya nyaris tertidur, Abizar mencuri beberapa ciuman di bibir dan pipi wanita itu."Pipimu dingin sekali, Mawar." Abizar menghela napas. Ini salahnya, memaksa turun dan membuat mereka diserang angin malam yang menusuk kulit. Abizar berusaha menghangatkan wajah istrinya, Abizar p

  • Tawanan Cinta Tuan Abizar   Bab 48

    Mereka mengambil penerbangan pagi. Sepasang pengantin baru—Abizar dan Mawar—menumpangi penerbangan yang sama dengan keempat saudaranya. Sementara Omar, akan menyusul keesokan harinya atau lusa. Entah kenapa lelaki tua itu suka sekali menunda.Setelah hampir 17 jam penerbangan, bersisakan dua jam agar pesawat mendarat di Saudi, Mawar tertidur di lengan kokoh suaminya. Abizar tersenyum, sesekali mengecup rambut kepala istrinya lalu memainkan surat undangan keemasan yang ada di tangannya. Entah berapa ribu surat undangan yang serupa dibagikan untuk acara pernikahan mereka."Qad yajidun sueubatan fi qabul zawjatik, Abizar—mereka mungkin akan susah menerima istrimu, Abizar." Haikal yang menduduki bangku yang ada di belakang berbisik di telinga Abizar.Wajah semringah Abizar menjadi masam, lelaki itu menghela napas. Diliriknya Mawar, memastikan istrinya masih terlelap. Syukurlah, sepertinya Mawar tidur mati seperti biasanya. "Kita lihat saja nanti." Abizar memelankan suara, "aku akan berusa

  • Tawanan Cinta Tuan Abizar   Bab 47

    "Semalam tidak ke sana, menyapa istrinya Abizar?" Omar bertanya saat matahari naik. Iqbal menggeleng, lelaki itu tengah duduk di teras sambil memangku Al-Qur'an. "Maaf, tidak. Aku tahu apa yang dilakukan sepasang suami-istri di malam hari jika berdua saja, aku tidak mau menganggu.""Maaf Tuan Omar Hafshan, sepertinya ketiga anakmu yang lain akan datang kemari." Lelaki itu tersenyum tanpa merasa bersalah.Omar langsung mengerti maksudnya, lelaki tua itu pasrah. "Kamu yang memberitahu mereka, ya?" "Yap," Iqbal mengangguk tanpa perduli. "Akmal nyaris kecelakaan di Jakarta karena mencari-carimu, lebih baik kuberitahu sebelum dia nyasar tanpa hasil lagi. Sedangkan Malik, tak ada pilihan selain memberitahunya daripada dia datang ke kelab malam Semarang untuk melampiaskan emosi. Aku kasihan kepada wanita-wanita yang akan menjadi sasaran kebejatannya kalau mabuk.""Meskipun tidak kuberitahu 'pun sebenarnya Haikal sudah tahu kalau kamu ada di sini, dia hanya menunggu dua saudaranya yang lain

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status