Pia pun bersimpuh di kaki Nizar, menangis mengadukan penderitaannya. Berterus terang, berbicara terbuka hingga Nizar sampai terdiam kala mendengar yang dituturkan sang putri. Kepala Nizar langsung terasa pusing dan pandangan pun berputar-putar. Nizar tidak menyangka, kehormatan putrinya yang polos sudah dirusak oleh pria tak bertanggung jawab.
“Ayah sudah habis-habisan dan berhutang banyak demi mewujudkan pernikahan impianmu. Tapi kamu malah ditinggal begitu saja. Seharusnya kamu dengar ayah dari awal!”
Tangis Pia semakin menjadi-jadi. Rasa sakit ini begitu luar biasa membuatnya sampai sulit bernapas.
“Maafkan Pia, Yah. Maaf!”
Penyesalan memang selalu datang diakhir. Namun semua sudah terjadi dan tidak bisa dirubah.
Di saat yang sama, tubuh Nizar pun ambruk ke tanah. Pia sangat panik dan berteriak meminta tolong.
Akan tetapi, tidak ada siapapun yang bisa dimintai tolong. Sehingga Pia membonceng sang ayah dengan mengikatkan selendang di tubuhnya agar tidak terjatuh.
Walau kesulitan, Pia terus melajukan sepeda motornya.
Tidak peduli dengan kebaya pengantin ataupun dandanannya. Yang penting Nizar bisa cepat sampai ke rumah sakit.
Pia pun berusaha menghindari lubang di depan namun naas, ada seseorang berdiri di depannya. “Awas!” teriak Pia.
Namun pria di depannya yang sedang menelepon tidak mendengar. Dan ketika pria itu berbalik,
Bum!
Kecelakaan pun tak dapat dihindari.
Pia jatuh berikut Nizar. Namun rasa sakitnya tidak sebanding dengan orang yang ditabraknya.
Pia melihat sendiri, tulang kering korbannya mencuat keluar. Membuat Pia sangat panik sampai-sampai melupakan Nizar yang masih tak sadarkan diri.
“Tuan, maaf. Saya tidak sengaja.”
Pia ketakutan dan ragu untuk membantu karena takut dengan darah.
“Cepat tolong aku!”
Pria itu berseru menahan sakit.
Akan tetapi Pia bingung, bagaimana menolongnya? Karena, ayahnya pun juga memerlukan pertolongan.
Siapa yang harus didahulukan?
Saat melihat jauh ke depan, kebetulan ada sebuah mobil lewat dan langsung berhenti menolong si pria beserta ayah Pia.
Pia cepat-cepat mengambil motornya, namun, pria itu membuat gerakan Pia terhenti sejenak.
“Mau kemana kamu? Jangan lari!” ucap si pria dari dalam mobil.
“Tidak, Tuan. Saya akan mengikuti anda dari belakang dengan motor. Saya tidak akan lari,” ucapnya sungguh-sungguh.
Pia dididik untuk selalu jujur. Tentu Pia tidak akan berbohong. Dan lari tidak pernah ada dalam kamus kehidupannya.
Sesampainya di rumah sakit, Pia menunggu di luar ruangan sejenak. Batinnya tidak tenang, memikirkan dua pria di dalam sana. Satu adalah cinta di hidupnya dan satu lagi orang asing baginya.
Pia tidak tahu mengapa hari ini sangat sial.
Hingga akhirnya seorang perawat mengizinkannya masuk.
“Yah. Ayah sudah sadar?”
Pia sangat bahagia melihat mata Nizar terbuka.
Nizar sempat tersenyum, tetapi senyum itu pun menghilang seiring ingatan Nizar mengingat apa yang terjadi.
“Jadi bagaimana sekarang nasibmu, Nak? Kamu akan malu dan jadi bahan tertawaan orang-orang di desa. Kita ini miskin. Ayah sudah tidak punya uang sepeser pun.”
Padahal Nizar sudah memikirkan amplop dari tetangga yang bisa menutupi utang piutangnya.
Namun pernikahan batal, artinya tidak ada tanah yang bisa menutupi lubang. Alias tidak ada uang masuk untuk menutup utang.
“Ayah, kalau gitu gimana kita bisa bayar rumah sakit ini?”
Pia menunduk dalam-dalam sambil menangis.
“Tadi Pia nabrak orang, Yah,” sambungnya. Nizar pun terkejut.
“Nabrak? Yang benar?”
Nizar tidak mau salah dengar. Karena utang untuk pernikahan saja belum selesai. Sekarang sudah bertambah lagi.
“Orangnya patah tulang.”
“Patah… tulang?”
Sangking terkejutnya Nizar pun jatuh pingsan lagi.
Menyaksikan kondisi Nizar tersebut, Pia tidak bisa untuk tidak menangis. Pia tersadar telah mengecewakan Nizar sangat dalam. Mungkin ini kesalahan terfatal yang pernah diperbuatnya. Akan tetapi manusia hanya bisa rencana dan Tuhan yang menentukan.
Pia tidak punya kuasa untuk mengatur atau mengubah seperti yang diinginkannya. Untuk saat ini terserah angin takdir ingin membawa kemana arah hidup Pia.
Di sela-sela tangisan Pia pun mengangkat telepon dari ibunya.
“Pia, kamu ketemu ayah, Nak? Ayah tadi nyusul kamu ke rumah Rama.”
Pia terdiam. Tangisnya belum bisa dikontrol sehingga belum bisa menjawab dengan tenang. Pia khawatir ibunya juga ikut-ikutan pingsan. Bisa jadi lebih parah karena ibunya memiliki riwayat darah tinggi.
Sayangnya, keberadaan ibunya, Syifa, memicu kekhawatiran Pia menjadi kenyataan.
“Sudah anaknya, sekarang datang lagi ibunya.”
Itu suara Rama.
“Ibu! Ibu di mana?” Pia sangat panik.
Tetapi Syifa tidak menjawab. Terlalu syok karena calon menantu yang selama ini baik tutur bahasanya bersikap kasar padanya.
“Sudah saya bilang, kan, pernikahan batal. Kenapa masih datang lagi?”
“Maksud kamu apa, Ram? Batal?”
“Ibu. Ibu pergi dari sana. Ibu pergi, Bu.”
Jangan sampai Syifa mengetahuinya. Lebih baik Syifa tahu dari mulut Pia sendiri dari pada dari Rama.
“Anak ibu sudah tidak gadis lagi. Dan itu bukan dengan saya. Pia berselingkuh dengan laki-laki lain. Karena itu saya tidak sudi menikahinya.”
Deg. Rama menjabarkan seolah gagalnya pernikahan adalah ulah Pia.
“Ibu. Ibu itu tidak benar! Jangan dengarkan dia, Bu!”
Sekeras apapun membela diri, namun Syifa tidak mendengar suara Pia karena ponsel yang dijauhkan dari telinga.
“Benarkah itu, Nak? Kamu sudah tidak suci lagi?” Suara Syifa terdengar lirih.
“Ibu…” Air mata Pia kembali jatuh.
Pia kehabisan kata-kata untuk berbicara. Semua diputarbalikkan oleh Rama.
Jangankan bersikap sopan, Rama bahkan tidak berkata jujur pada Syifa. Sementara Syifa adalah orang yang berhak tahu atas permasalahan ini.
Kini Syifa sendiri mungkin sudah berpikir yang macam-macam, menganggap Pia wanita tidak betul. Syifa pun merasa gagal menjadi seorang ibu.
Ini sangat menyakitkan. Pia sangat terhina dan terluka. Tertusuk hingga kehabisan darah itu jauh lebih baik dari pada difitnah seperti ini. Tidak masalah bila Pia yang terluka, asal jangan ayah dan ibunya. Dua orang yang sangat dicintai Pia.
“Pernikahan kami batal bukan karena itu, Bu. Percaya sama Pia.”
Akan tetapi jawaban Pia seolah membenarkan pertanyaan Syifa. Sehingga dari seberang sana terdengar suara Syifa tengah terisak.
Tak lama, Rama kembali berkata sebelum terdengar suara pintu yang ditutup paksa.
“Jangan pernah datang lagi ke sini, Bu. Anak ibu sudah bikin saya sakit hati. Keluarga saya dibuat malu. Saya menyesal berhubungan dengan anak ibu.”
Hari ini Pia baru melihat kedok asli pria yang dicintainya selama sepuluh tahun. Rama yang menusuk Pia hingga berdarah, tapi Pia yang disalahkan karena darah Pia mengenai dirinya.
Siapa sangka lelaki berwajah tenang memberi luka sedalam samudera.
“Itu dia nyonya orangnya.” Dewi langsung menunjuk Pia yang dicari-cari oleh Suri. “Kamu! Kemari kamu! Cepat!” Bahkan tanpa menyapa atau berkenalan sama sekali Suri meminta Pia menghampirinya. Suri tidak peduli. Citra Pia di matanya sudah jelek. Yang terpenting bagaimana memisahkan Raja dari Pia. Titik. “Kamu apakan anakku sampai-sampai bisa kamu menikah dengannya?” todong Suri langsung. Sementara Dewi tetap diam, dirinya pun begitu penasaran apa yang terjadi. Tidak mungkin sang tuan muda mau menikah dengan upik abu seperti Pia. Jika tidak dipaksa, pastilah dijebak. “Sa… saya…” Pia bisa melihat ketidakrelaan seorang ibu dari mata Suri. Berbeda sekali dengan ibunya yang malah mendukung pernikahannya dan Raja, padahal Pia tidak mau. Mati-matian menolak, namun selalu disudutkan dengan bencana yang dibuatnya. “Kamu nggak bisu, kan? Cepat jawab!” Suri tidak mau Pia berada di tengah keluarganya yang harmonis. “Nyonya, saya…” Ingin menerangkan jika dirinya pun terpaksa, namun saya
“Istri?”Dewi menganga hingga mulutnya kemasukan lalat.“Fuuhh… fuuh… binatang sialan.” Dewi meludah hingga binatang itu keluar.Meski lalat membuatnya kesal, tetapi ada yang lebih membuatnya jauh lebih murka dari itu. Tidak mungkin Pia istri dari majikannya.Dicampakkan Rama malah mendapat Raja.Dibuang seperti sampah malah dipungut oleh berlian.“Tidak. Ini pasti salah.”Rama yang bekerja sebagai bawahan, namun Pia mendapatkan atasannya.“Itu nggak mungkin, kan?” Dewi melihat Rama yang sama syoknya. Dewi tidak terima dan masih menolak di hatinya, mungkin saja salah mendengar.Ya. Pasti begitu.“Ma? Itu betulan istrinya Raja?” Diva pun penasaran, karena, penampilan Pia tidak mencerminkan kriteria seorang Raja.“Coba mama bicara dulu.”Suri pun menyusul Raja ke kamar. Tetapi baru beberapa langkah, Rama sudah memotong jalannya.“Nyonya, ijin saya mau bicara sebentar.”Di mata Suri, Rama adalah pria baik, sopan dan giat yang mana telah mengabdikan dirinya selama sepuluh tahun bekerja
Prang.Karena terlalu syok, kehadiran Rama itu membuat Pia tak sengaja menjatuhkan gelas. “Ma- maaf. Saya ambil sapu dulu.” Cepat-cepat Pia lari ke belakang dan ingin membersihkan pecahan gelas.Debaran jantung tak terkira. Air di tenggorokan naik turun tiada ujung. Napas tidak teratur seakan melihat hantu. Pia memukul kepalanya mengira mimpi. Namun…“Kamu? Ngapain kamu di sini?” Rama berdiri di hadapan Pia.Ternyata semua itu sungguhan.Perlahan masalah dengan Raja membantunya melupakan Rama, tapi pria itu malah datang lagi. Seketika hati Pia pun merasakan perih.Sedangkan di sisi lain, Rama juga sama terkejutnya seperti Pia. Melihat Pia berada di tempatnya bekerja, pikiran Rama pun jadi kemana-mana.Mungkinkah Pia sampai sejauh itu ingin membalaskan dendam?Pikiran buruk pun menghantui dan segala kemungkinan terburuk yang akan dihadapi Rama.“Jawab! Kamu kenapa bisa di sini?” Rama tidak bisa menahan kekesalannya. Apalagi Pia muncul di hadapan orang-orang di rumah tempatnya mengab
Tiada hari tanpa air mata.Setiap berhadapan dengan Raja, mata Pia tidak pernah tidak tenggelam oleh kesedihan.Makanan yang dibuat Pia pun tidak pernah ada yang benar. Entah itu rasanya yang tidak pas, bentuknya yang aneh ataupun penyajiannya yang kurang tepat. Jangankan melewati tenggorokan, baru mencicipi satu ujung sendok saja sudah dimuntahkan olehnya.Posisi ayam yang tidak terlihat rapi pun sudah membuat Raja tidak berselera.Semua harus sempurna di mata Raja. “Kau bisa membuatku mati kelaparan.” Brak!Raja membanting sendok dengan kasar.Membuat jari-jari Pia saling meremas satu sama lain. Meluapkan kekesalan, kemarahan yang entah sampai kapan bisa dilepaskan.Namun sepertinya tak akan pernah bisa, karena Pia tidak memiliki kekuatan melakukannya.Nyawanya memang masih berada pada tubuhnya, tapi hidupnya kini bukan lagi miliknya. Pia harus menuruti semua keinginan Raja. “Pesan makan di restoran!” Untuk kesekian kalinya. Perut yang sudah berbunyi minta diberi asupan itu pun
Bau menyengat dari minyak angin akhirnya membangunkan Pia dari tidur panjang.Dan saat matanya terbuka, yang dilihat pertama kali olehnya adalah Raja. Menatap dengan sangat tidak bersahabat dan juga dingin.“Aku yang sakit, tapi kau yang pingsan.”Tarikan nafas kasar Raja memaksa Pia untuk cepat-cepat bangun.Rasanya masih tidak percaya jika Pia menikah dengan Raja. Juga masih tidak percaya bila pernikahannya hancur karena Rama memilih menikahi wanita lain.Pia masih kesulitan menerima. Ikhlas pun mungkin tidak akan pernah bisa.Selama apapun hubungan terjalin, ternyata tidak menjamin akan berakhir di pelaminan.Tapi apa mau dikata, nyatanya cinta Rama tidak sebesar cinta Pia. Pun tidak bisa menghindari pernikahan yang tak diinginkan demi kehormatan orang tua.“M-maaf, Tuan.” Pia tertunduk. Juga memegang perutnya yang tiba-tiba berbunyi.Sepertinya Pia pingsan karena lapar. Tidak terasa hari sudah malam, dan Pia belum makan sejak kemarin. Padahal semua itu dilakukannya demi menjaga pe
Hari di mana Pia harusnya menikah, memang benar terjadi.Namun semua di luar bayangan Pia, karena, mempelainya bukanlah laki-laki yang melamarnya dan telah menjalin hubungan sebelumnya dengannya. Melainkan orang tak dikenal. Yang baru saja Pia jumpai hari ini karena tak sengaja mencelakainya.Selama di jalan tak satu pun kata keluar dari Raja. Laki-laki itu sibuk dengan ponselnya dan Pia dengan pikirannya.Saat ini Rama pasti sedang berbulan madu dengan Dewi. Menikmati indahnya pengantin baru.Pia. Kuatlah. Kamu tidak boleh memikirkan laki-laki itu. Kamu juga harus bahagia.Namun bahagia seperti apa jika menikah karena terpaksa?Karena terjerat hutang?Tidak. Tidak ada kebahagiaan dalam pernikahan kalau bukan dilandaskan cinta.Hal itu membuat Pia tertunduk sedih. Raja yang menyadari kemurungan tersebut memilih berkutat dengan benda pipihnya. ‘’Sudah sampai.’’ Sang supir berkata lalu membukakan pintu untuk Raja dan Pia.Raja turun lebih dulu meski susah payah.Pia pun terkesima meli