Hari di mana Pia harusnya menikah, memang benar terjadi.
Namun semua di luar bayangan Pia, karena, mempelainya bukanlah laki-laki yang melamarnya dan telah menjalin hubungan sebelumnya dengannya.
Melainkan orang tak dikenal. Yang baru saja Pia jumpai hari ini karena tak sengaja mencelakainya.
Selama di jalan tak satu pun kata keluar dari Raja. Laki-laki itu sibuk dengan ponselnya dan Pia dengan pikirannya.
Saat ini Rama pasti sedang berbulan madu dengan Dewi. Menikmati indahnya pengantin baru.
Pia. Kuatlah. Kamu tidak boleh memikirkan laki-laki itu. Kamu juga harus bahagia.
Namun bahagia seperti apa jika menikah karena terpaksa?
Karena terjerat hutang?
Tidak. Tidak ada kebahagiaan dalam pernikahan kalau bukan dilandaskan cinta.
Hal itu membuat Pia tertunduk sedih.
Raja yang menyadari kemurungan tersebut memilih berkutat dengan benda pipihnya.
‘’Sudah sampai.’’ Sang supir berkata lalu membukakan pintu untuk Raja dan Pia.
Raja turun lebih dulu meski susah payah.
Pia pun terkesima melihat kediaman Raja yang sangat megah dan besar. Tidak sebanding dengan rumah Pia yang sederhana.
Rumah yang selalu berisi tawa, namun karena kejadian hari ini mungkin semua itu tinggal kenangan.
‘’Tuan, berapa lama saya harus menjadi istri anda?’’
‘’Kau pikir kita menikah kontrak? Pakai batas waktu, begitu?’’
‘’Lalu? Tidak mungkin, kan, selamanya saya menjadi istri tuan.’’ Pia mencoba realistis.
Tidak masalah jika Pia harus menjadi seorang pelayan yang mengurusi Raja hingga kembali pulih. Asalkan hutangnya dianggap lunas jika Raja sudah kembali seperti sedia kala.
‘’Kalaupun selamanya kenapa?’’
‘’Saya tidak mau,’’ jawab Pia terus terang.’’Berapa lama saya harus menjadi istri pura-pura tuan? Anggap saja saya bekerja dan bekerja itu pasti mendapat upah. Untuk bisa melunasi hutang saya, waktu yang dibutuhkan agar upah saya itu cukup membayar biaya rumah sakit dan pengobatan tuan tersebut berapa lama?’’ jelas Pia lagi.
Raja sejenak berpikir.
Saat itu, diam-diam Raja mengagumi cara berpikir Pia yang detail. Jelas sekali jika Pia ingin urusannya dan Raja cepat selesai.
Tapi Raja tidak akan membiarkan Pia lepas dengan mudah.
Sedangkan Pia ingin kebebasannya kembali. Menjadi istri adalah penjara baginya. Rencana hidup Pia bukan seperti ini. Bukan berada jauh dari rumahnya.
Setiap hari menunggu Rama pulang bekerja dan Pia menunggu di teras rumah. Menyiapkan makanan dan minuman sebagaimana istri yang patuh dan penurut. Melayani suami dan menikmati peran sebagai wanita pada umumnya.
Mata coklat Raja menyipit. Pia jujur dan Raja menyukai itu. Namun, keputusannya menikah memang karena satu dan dua hal.
‘’Sampai aku sembuh dan menyuruhmu pergi.’’
Pia mengangguk mengerti. Mematung menghitung hari. Menerka di kepala, kira-kira patah tulang itu memerlukan perawatan berbulan-bulan atau sampai menahun?
Namun tidak masalah.
Selagi menjadi istri ada masa kadaluarsanya, maka Pia tidak perlu khawatir.
‘’Kenapa diam? Cepat papah!’’ Sentakan Raja menyadarkan Pia dari pikirannya yang kalut.
‘’Ya, Tuan?’’
Pia pun melirik pada supir Raja. Jika ada pria yang bisa membantu, mengapa harus dirinya?
Raja yang menyadari itu segera memberi penjelasan meski sedikit kesal. ‘’Untuk apa menyuruh supir? Aku mau dipapah istriku sendiri.’’
‘’Tapi, Tuan. Saya perempuan dan tenaga saya tidak besar. Tuan akan lambat masuk ke rumah jika saya yang membantu berjalan.’’
‘’Aku tidak sedang lomba lari. Jadi tidak buru-buru dan tidak membutuhkan tenaga kuda untuk bisa masuk ke rumah.’’
Namun sudah dijelaskan pun Pia masih enggan melakukan yang diperintahkan. Terlalu canggung dan memapah Raja membuat posisi mereka sangat dekat tanpa jarak.
‘’Baru beberapa jam jadi istri saja sudah durhaka! Bagaimana kalau berbulan-bulan?’’
Dengan rasa kesal menumpuk di dada, Raja pun mencoba berjalan sendiri. Namun kasihan, baru dua langkah ke depan Raja sudah jatuh.
‘’Tuan!’’ Tanpa sadar Pia berteriak dan buru-buru membantu Raja.
Seakan lupa jika beberapa detik sebelumnya ada masalah yang membuatnya enggan menolong.
Rasa kemanusiaannya lebih besar daripada ketidak inginannya.
‘’Telat!’’ seru Raja dengan wajah marah. ‘’Kenapa tidak membantu dari tadi? Kalau sudah begini, kan, yang sakit tambah sakit. Yang tidak sakit jadi sakit!’’
Meski begitu, Raja tidak menolak saat tangannya diarahkan ke pundak Pia untuk merangkul.
‘’Maaf, Tuan.’’ Pia jadi merasa bersalah dan meredupkan kecanggungan itu.
‘’Pelan-pelan!’’ teriak Raja, merasakan nyeri pada kakinya.
‘’Iya, Tuan. Seperti ini?’’ Pia pun berjalan sedikit lambat agar Raja dapat mengimbangi langkahnya.
Ini benar- benar seperti jalannya kura-kura. Tetapi kura-kura jauh lebih baik. Meski lambat namun lajunya stabil.
Tidak sepertinya dan Raja. Yang kadang berhenti dan kadang maju lagi. Entah sampai kapan bisa sampai.
Pia sangat berhati-hati hingga kepalanya terus menunduk memperhatikan jalan. Memastikan kaki Raja yang patah baik-baik saja. Peluh di dahi sudah tak terkira. Napas pun jauh lebih berat sangking lelahnya.
‘’Hati-hati, Tuan. Ada kerikil. Arahkan kaki tuan ke sebelah kiri.’’
‘’Aduh!’’ Raja malah menginjak kerikil itu.
‘’Tuan, saya sudah bilang ke sebelah kiri, kenapa tuan ke sebelah kanan?’’ Pia mendengus sebal. Padahal kata-kata Pia sangat jelas, namun kenapa Raja seperti tidak mendengarnya?
‘’Bukannya tadi bilang kanan?’’
‘’Kiri!’’
‘’Kanan!’’
‘’Kiri, Tuan.’’ Pia tidak mau mengakui dirinya salah karena memang tidak salah.
‘’Kalau bicara itu jangan lihat ke bawah. Lihat ke sini. Ke suamimu.’’ Raja pun tidak mau kalah walau memang Pia benar.
Pia meneguk air liurnya.
Tidak mungkin Pia mau, karena, wajah mereka akan saling berhadapan dan posisinya akan sangat dekat sekali. Seperti ini saja sudah sangat sulit untuk terlihat biasa saja, apalagi sampai bertautan mata?
‘’Nanti… nanti suaranya akan saya besarkan sedikit.’’ Peluh Pia semakin mengucur deras.
‘’Kenapa harus dibesarkan? Apa aku ini sangat jelek sampai-sampai kau tidak mau melihat?’’
Tidak. Raja jauh dari kata jelek. Bahkan lebih tampan dari Rama. Pia membatin sambil terus menunduk.
‘’Apa aku ini buruk rupa? Wajahku seperti iblis? Seperti simpanse?’’
Tidak.
Lagi-lagi tidak.
Raja sangat-sangat tampan.
Tapi, iblis? Mungkin iya. Karena hanya iblis yang tega menjerumuskan manusia untuk mengikuti kemauannya.
Namun, bagaimana bisa Raja menyamakan dirinya dengan hewan yang kecerdasannya setara manusia itu?
‘’Tidak, Tuan.’’
‘’Lalu kenapa tidak mau melihatku? Lihat. Sekarang saja kau masih menunduk saat menjawab. Kau ini memang tidak sopan!’’
‘’M-maaf, Tuan. Saya harus memperhatikan jalan agar tuan tidak mengaduh lagi.’’
Pia memberi jawaban masuk akal. Tetapi tetap tidak menurunkan emosi Raja.
Namun akhirnya Raja pun tidak lagi mencecarnya dengan pertanyaan.
Pia sangat-sangat lega Raja kembali diam.
Padahal yang sebenarnya terjadi adalah Pia sangat gugup dan jantungnya berdebar cepat. Lututnya pun terasa seperti jeli karena merangkul Raja dengan posisi yang sangat dekat seperti sekarang. Bahkan aroma harum tubuh Raja dapat tercium hingga ke hidungnya.
Seketika membuat Pia merasakan mual luar biasa dan tak lama jatuh pingsan.
Selamat siang, readers. Novel ini baru banget menetas nih. Author butuh dukungannya berupa vote dan komentar untuk menaikkan cerita ini. Jangan lupa, ya. Komen sebanyak-banyaknya dan boleh banget untuk share ke teman-teman readers.
“Itu dia nyonya orangnya.” Dewi langsung menunjuk Pia yang dicari-cari oleh Suri. “Kamu! Kemari kamu! Cepat!” Bahkan tanpa menyapa atau berkenalan sama sekali Suri meminta Pia menghampirinya. Suri tidak peduli. Citra Pia di matanya sudah jelek. Yang terpenting bagaimana memisahkan Raja dari Pia. Titik. “Kamu apakan anakku sampai-sampai bisa kamu menikah dengannya?” todong Suri langsung. Sementara Dewi tetap diam, dirinya pun begitu penasaran apa yang terjadi. Tidak mungkin sang tuan muda mau menikah dengan upik abu seperti Pia. Jika tidak dipaksa, pastilah dijebak. “Sa… saya…” Pia bisa melihat ketidakrelaan seorang ibu dari mata Suri. Berbeda sekali dengan ibunya yang malah mendukung pernikahannya dan Raja, padahal Pia tidak mau. Mati-matian menolak, namun selalu disudutkan dengan bencana yang dibuatnya. “Kamu nggak bisu, kan? Cepat jawab!” Suri tidak mau Pia berada di tengah keluarganya yang harmonis. “Nyonya, saya…” Ingin menerangkan jika dirinya pun terpaksa, namun saya
“Istri?”Dewi menganga hingga mulutnya kemasukan lalat.“Fuuhh… fuuh… binatang sialan.” Dewi meludah hingga binatang itu keluar.Meski lalat membuatnya kesal, tetapi ada yang lebih membuatnya jauh lebih murka dari itu. Tidak mungkin Pia istri dari majikannya.Dicampakkan Rama malah mendapat Raja.Dibuang seperti sampah malah dipungut oleh berlian.“Tidak. Ini pasti salah.”Rama yang bekerja sebagai bawahan, namun Pia mendapatkan atasannya.“Itu nggak mungkin, kan?” Dewi melihat Rama yang sama syoknya. Dewi tidak terima dan masih menolak di hatinya, mungkin saja salah mendengar.Ya. Pasti begitu.“Ma? Itu betulan istrinya Raja?” Diva pun penasaran, karena, penampilan Pia tidak mencerminkan kriteria seorang Raja.“Coba mama bicara dulu.”Suri pun menyusul Raja ke kamar. Tetapi baru beberapa langkah, Rama sudah memotong jalannya.“Nyonya, ijin saya mau bicara sebentar.”Di mata Suri, Rama adalah pria baik, sopan dan giat yang mana telah mengabdikan dirinya selama sepuluh tahun bekerja
Prang.Karena terlalu syok, kehadiran Rama itu membuat Pia tak sengaja menjatuhkan gelas. “Ma- maaf. Saya ambil sapu dulu.” Cepat-cepat Pia lari ke belakang dan ingin membersihkan pecahan gelas.Debaran jantung tak terkira. Air di tenggorokan naik turun tiada ujung. Napas tidak teratur seakan melihat hantu. Pia memukul kepalanya mengira mimpi. Namun…“Kamu? Ngapain kamu di sini?” Rama berdiri di hadapan Pia.Ternyata semua itu sungguhan.Perlahan masalah dengan Raja membantunya melupakan Rama, tapi pria itu malah datang lagi. Seketika hati Pia pun merasakan perih.Sedangkan di sisi lain, Rama juga sama terkejutnya seperti Pia. Melihat Pia berada di tempatnya bekerja, pikiran Rama pun jadi kemana-mana.Mungkinkah Pia sampai sejauh itu ingin membalaskan dendam?Pikiran buruk pun menghantui dan segala kemungkinan terburuk yang akan dihadapi Rama.“Jawab! Kamu kenapa bisa di sini?” Rama tidak bisa menahan kekesalannya. Apalagi Pia muncul di hadapan orang-orang di rumah tempatnya mengab
Tiada hari tanpa air mata.Setiap berhadapan dengan Raja, mata Pia tidak pernah tidak tenggelam oleh kesedihan.Makanan yang dibuat Pia pun tidak pernah ada yang benar. Entah itu rasanya yang tidak pas, bentuknya yang aneh ataupun penyajiannya yang kurang tepat. Jangankan melewati tenggorokan, baru mencicipi satu ujung sendok saja sudah dimuntahkan olehnya.Posisi ayam yang tidak terlihat rapi pun sudah membuat Raja tidak berselera.Semua harus sempurna di mata Raja. “Kau bisa membuatku mati kelaparan.” Brak!Raja membanting sendok dengan kasar.Membuat jari-jari Pia saling meremas satu sama lain. Meluapkan kekesalan, kemarahan yang entah sampai kapan bisa dilepaskan.Namun sepertinya tak akan pernah bisa, karena Pia tidak memiliki kekuatan melakukannya.Nyawanya memang masih berada pada tubuhnya, tapi hidupnya kini bukan lagi miliknya. Pia harus menuruti semua keinginan Raja. “Pesan makan di restoran!” Untuk kesekian kalinya. Perut yang sudah berbunyi minta diberi asupan itu pun
Bau menyengat dari minyak angin akhirnya membangunkan Pia dari tidur panjang.Dan saat matanya terbuka, yang dilihat pertama kali olehnya adalah Raja. Menatap dengan sangat tidak bersahabat dan juga dingin.“Aku yang sakit, tapi kau yang pingsan.”Tarikan nafas kasar Raja memaksa Pia untuk cepat-cepat bangun.Rasanya masih tidak percaya jika Pia menikah dengan Raja. Juga masih tidak percaya bila pernikahannya hancur karena Rama memilih menikahi wanita lain.Pia masih kesulitan menerima. Ikhlas pun mungkin tidak akan pernah bisa.Selama apapun hubungan terjalin, ternyata tidak menjamin akan berakhir di pelaminan.Tapi apa mau dikata, nyatanya cinta Rama tidak sebesar cinta Pia. Pun tidak bisa menghindari pernikahan yang tak diinginkan demi kehormatan orang tua.“M-maaf, Tuan.” Pia tertunduk. Juga memegang perutnya yang tiba-tiba berbunyi.Sepertinya Pia pingsan karena lapar. Tidak terasa hari sudah malam, dan Pia belum makan sejak kemarin. Padahal semua itu dilakukannya demi menjaga pe
Hari di mana Pia harusnya menikah, memang benar terjadi.Namun semua di luar bayangan Pia, karena, mempelainya bukanlah laki-laki yang melamarnya dan telah menjalin hubungan sebelumnya dengannya. Melainkan orang tak dikenal. Yang baru saja Pia jumpai hari ini karena tak sengaja mencelakainya.Selama di jalan tak satu pun kata keluar dari Raja. Laki-laki itu sibuk dengan ponselnya dan Pia dengan pikirannya.Saat ini Rama pasti sedang berbulan madu dengan Dewi. Menikmati indahnya pengantin baru.Pia. Kuatlah. Kamu tidak boleh memikirkan laki-laki itu. Kamu juga harus bahagia.Namun bahagia seperti apa jika menikah karena terpaksa?Karena terjerat hutang?Tidak. Tidak ada kebahagiaan dalam pernikahan kalau bukan dilandaskan cinta.Hal itu membuat Pia tertunduk sedih. Raja yang menyadari kemurungan tersebut memilih berkutat dengan benda pipihnya. ‘’Sudah sampai.’’ Sang supir berkata lalu membukakan pintu untuk Raja dan Pia.Raja turun lebih dulu meski susah payah.Pia pun terkesima meli