“A… apa ini, Ram?” Pia berharap pemandangan di depannya adalah mimpi.
Mimpi buruk namun sayangnya nyata. Menyaksikan mempelai pria yang seharusnya menikah dengannya hari ini, baru saja selesai mengucap ijab kabul untuk wanita lain.
Pia begitu kecewa. Namun semua sudah terlambat.
Pernikahan Rama dan Dewi sudah terjadi.
“Pia?” Rama begitu syok dan berdiri, namun Pia lebih dari itu.
Tubuhnya terasa lemas seiring jantung yang terus berdegup lebih cepat. Keringat di dahi membanjiri sehingga make up yang dikenakannya pun sedikit luntur.
Apa ini?
Apakah ini prank?
Dua jam menunggu Rama di meja akad, akan tetapi Rama malah berada di meja akad yang lain. Dewi pun juga berkebaya putih seperti Pia, tetapi dengan perut sedikit membuncit.
Apakah itu artinya?
Tidak.
Itu tidak mungkin.
Dewi adalah tetangga yang sudah dianggap adik oleh Rama.
“Pia, maaf. Dewi sedang mengandung anakku!” Penjelasan itu menjawab segalanya.
Hari yang dinanti-nantikan menjadi hari paling membahagiakan untuk Pia berubah menjadi hari paling menyakitkan.
Pia hancur. Berkecai bagai kepingan kaca.
Selama ini Pia tidak masalah jika Dewi sering main ke rumah Rama ataupun di antar jemput untuk kerja. Tapi ternyata, kepercayaan Pia disalahgunakan.
“Jadi, selama ini kamu selingkuh dengannya?” ucap Pia dengan suara bergetar.
Rama tertunduk. Begitu pula Dewi yang merasa malu. Kebaikan Pia dibalas kejahatan olehnya.
Pia pun menoleh pada orang tua Rama, meminta jawaban namun mulut keduanya seakan terkunci.
“Yang jelas, aku tidak bisa menikahi kamu, Pia. Pernikahan kita batal!”
Begitu mudahnya Rama berbicara, sementara orang tua, penghulu dan kerabat sudah berkumpul semua di rumah Pia. Hanya tinggal menunggu Rama saja.
Pia tidak bisa membayangkan bagaimana jika orang-orang tahu yang sebenarnya.
Terutama Ayah dan ibu yang kini tengah khawatir.
Banyak hati yang akan kecewa juga terluka. Walau hatinya sendiri pun sudah patah.
“Kamu mau buat aku malu?” Pia berseru dengan tatapan kecewa dan mata yang berkaca-kaca.
“Lantas aku harus bagaimana? Aku nggak mungkin nikahin kamu. Apa kamu mau jadi istri kedua?”
Rama sengaja berkata seperti itu, demi membuat Pia tersadar bahwa di antara mereka tidak ada lagi yang bisa dilanjutkan.
“Harusnya kamu bisa bilang jauh-jauh hari kalau kamu nggak mau nikah sama aku!” Pia menjadi emosi. Air matanya berlinang begitu saja.
Tinta jejak kekecewaan terlukis di hati Pia. Jika tahu semua akan seperti ini, maka Pia tidak akan memberikan hati dengan segenap jiwanya.
Selain itu, penyesalan lainnya ialah…
“Sebentar lagi kita nikah. Nggak apa-apa kalau kita melakukannya lebih dulu.” Rama meyakinkan Pia yang terlihat bimbang untuk menyerahkan dirinya.
“Tapi, Ram. Itu tidak boleh dilakukan,” jawab Pia.
“Kecuali kalau aku nggak nikahin kamu. Lagian kita sudah pacaran selama sepuluh tahun. Apa masih kurang percaya sama aku?”
“Tunggu seminggu lagi, Ram. Kita akan resmi menjadi suami istri seminggu lagi. Kamu sabar, ya.” Pia masih tetap pada pendiriannya.
Jika sepuluh tahun Rama bisa menunggu, mengapa tidak dengan hitungan hari, bukan?
“Ck! Kamu nyiksa aku, Pi.”
Namun keteguhan hati Pia itu tak sekokoh karang di lautan. Di mana pertahanannya runtuh hanya karena Rama merajuk karena keinginannya tak dituruti.
Ditambah mereka sudah lamaran dan pernikahan sudah di depan mata.
Akhirnya, kesucian Pia hilang di hari itu. Dan menjadi penyesalan terbesarnya hari ini.
“Tapi, Ram. Kita… sudah…,”
“Sudahlah, Pia. Jangan datang lagi, aku sudah beristri sekarang.” Rama cepat-cepat merangkul istrinya, Dewi, untuk masuk ke dalam kamar. Sebab tahu apa yang akan dikatakan Pia.
“Rama! Bagaimana denganku yang sudah kamu tiduri?!”
Semua orang yang menyaksikan pun terkejut. Seketika terdengar ramainya suara bisik-bisik. Bukannya Pia sengaja, tetapi Pia mengesampingkan harga diri dan rasa malunya demi mendapatkan keadilan.
Sebelum berbalik Rama memejamkan matanya. Tak menyangka jika Pia akan begitu nekat.
Dewi pun sontak memandang Rama, meminta kebenaran akan hal itu.
“Lalu kenapa? Kamu tidak hamil seperti Dewi. Kalau kamu masih ingin aku menikahimu, artinya kamu harus mau dimadu.”
Deg.
Kaki Pia yang lemah sampai membuat Pia mencari pegangan agar tidak jatuh.
Rama paling tahu jika Pia benci diselingkuhi apalagi sampai dimadu. Tentu Pia menolak dengan keras.
Bersama tubuh lemah dan air mata membanjiri pipi, Pia pergi dari rumah Rama. Pia bingung bagaimana menjawab pertanyaan sesampainya di rumah nanti.
Pia pun menaiki motornya dengan pikiran kusut dan pandangan kosong.
Kejadian ini akan menjadi rasa malu berbekas seumur hidup. Dikenang banyak orang, bertahan di mulut ibu-ibu para penggosip sampai kapanpun.
Orang tua Pia sampai harus menjual sawah demi menutupi kekurangan uang pernikahan. Tapi, apa? Semua tidak berjalan seperti seharusnya.
Sebelumnya, ayah Pia telah mengingatkan berkali-kali, apakah Pia yakin dengan Rama? Namun Pia terlalu dimabuk asmara sehingga tanpa ragu menjawab, “Iya, Yah. Menjadi istri Rama adalah cita-cita Pia.”
Sebagai orang tua, tidak mungkin menghalangi anaknya untuk bahagia. Meski sejak awal tidak setuju, namun karena Pia yang terus meyakinkan, akhirnya meluluhkan hati Nizar.
Dan belum sampai di rumah, ternyata Nizar menyusul dan memberhentikan motornya di tengah jalan persawahan. Begitu pula Pia yang melihat sang ayah turun dari motor bututnya.
“Kok kamu sendiri? Gimana, Nak? Mana Rama?” Nizar melihat ke belakang Pia, namun tidak ada rombongan besan ataupun calon menantunya.
Bibir Pia bergetar takut untuk menjawab. Selama ini Nizar selalu menuruti kemauannya. Nizar adalah sosok ayah yang baik dan penyayang. Selalu mengutamakan kebahagiaannya. Di situlah Pia tersadar jika telah berbuat kesalahan fatal. Mungkin akan sulit dimaafkan Nizar.
“Pia?” tanya Nizar lagi.
Pia menggeleng bersama mata yang mengembun. Saling bertatapan dengan sang ayah membuat hatinya semakin sakit. Mengingat wajah Rama membuat air matanya langsung mengalir dan membuat dada terasa sesak. Sehingga Nizar pun bertanya-tanya apa yang terjadi.
“Rama kecelakaan? Pernikahan kalian tidak jadi, Nak?” Nizar jadi menduga-duga karena melihat respon Pia.
Sayangnya, Pia hanya bisa menangis dan tidak bisa menjawab pertanyaan semudah itu.
Melihat kebungkaman sang putri, Nizar pun jadi naik pitam. Masalahnya, tamu di rumah sudah menunggu. Dan pernikahan itu dihadiri hampir satu desa. Bayangkan serunyam apa masalah yang dihadapi Nizar.
“Iya, Yah,” jawab Pia akhirnya. Namun kian membakar emosi Nizar yang penasaran.
“Iya, apa?” sentaknya.
“Pernikahan kami batal.” Pia akhirnya berkata jujur.
Sungguh, Pia tidak pernah menginginkan hal ini. Tetapi laki-laki itu yang membatalkannya sepihak dan mendadak. Sehingga Pia sangat terpukul. Belum lagi kesucian yang hilang namun harus dirasakannya sendirian. Peristiwa memilukan dengan dua pukulan menyakitkan.
Kehilangan Rama sekaligus kehilangan harga dirinya.
“Itu dia nyonya orangnya.” Dewi langsung menunjuk Pia yang dicari-cari oleh Suri. “Kamu! Kemari kamu! Cepat!” Bahkan tanpa menyapa atau berkenalan sama sekali Suri meminta Pia menghampirinya. Suri tidak peduli. Citra Pia di matanya sudah jelek. Yang terpenting bagaimana memisahkan Raja dari Pia. Titik. “Kamu apakan anakku sampai-sampai bisa kamu menikah dengannya?” todong Suri langsung. Sementara Dewi tetap diam, dirinya pun begitu penasaran apa yang terjadi. Tidak mungkin sang tuan muda mau menikah dengan upik abu seperti Pia. Jika tidak dipaksa, pastilah dijebak. “Sa… saya…” Pia bisa melihat ketidakrelaan seorang ibu dari mata Suri. Berbeda sekali dengan ibunya yang malah mendukung pernikahannya dan Raja, padahal Pia tidak mau. Mati-matian menolak, namun selalu disudutkan dengan bencana yang dibuatnya. “Kamu nggak bisu, kan? Cepat jawab!” Suri tidak mau Pia berada di tengah keluarganya yang harmonis. “Nyonya, saya…” Ingin menerangkan jika dirinya pun terpaksa, namun saya
“Istri?”Dewi menganga hingga mulutnya kemasukan lalat.“Fuuhh… fuuh… binatang sialan.” Dewi meludah hingga binatang itu keluar.Meski lalat membuatnya kesal, tetapi ada yang lebih membuatnya jauh lebih murka dari itu. Tidak mungkin Pia istri dari majikannya.Dicampakkan Rama malah mendapat Raja.Dibuang seperti sampah malah dipungut oleh berlian.“Tidak. Ini pasti salah.”Rama yang bekerja sebagai bawahan, namun Pia mendapatkan atasannya.“Itu nggak mungkin, kan?” Dewi melihat Rama yang sama syoknya. Dewi tidak terima dan masih menolak di hatinya, mungkin saja salah mendengar.Ya. Pasti begitu.“Ma? Itu betulan istrinya Raja?” Diva pun penasaran, karena, penampilan Pia tidak mencerminkan kriteria seorang Raja.“Coba mama bicara dulu.”Suri pun menyusul Raja ke kamar. Tetapi baru beberapa langkah, Rama sudah memotong jalannya.“Nyonya, ijin saya mau bicara sebentar.”Di mata Suri, Rama adalah pria baik, sopan dan giat yang mana telah mengabdikan dirinya selama sepuluh tahun bekerja
Prang.Karena terlalu syok, kehadiran Rama itu membuat Pia tak sengaja menjatuhkan gelas. “Ma- maaf. Saya ambil sapu dulu.” Cepat-cepat Pia lari ke belakang dan ingin membersihkan pecahan gelas.Debaran jantung tak terkira. Air di tenggorokan naik turun tiada ujung. Napas tidak teratur seakan melihat hantu. Pia memukul kepalanya mengira mimpi. Namun…“Kamu? Ngapain kamu di sini?” Rama berdiri di hadapan Pia.Ternyata semua itu sungguhan.Perlahan masalah dengan Raja membantunya melupakan Rama, tapi pria itu malah datang lagi. Seketika hati Pia pun merasakan perih.Sedangkan di sisi lain, Rama juga sama terkejutnya seperti Pia. Melihat Pia berada di tempatnya bekerja, pikiran Rama pun jadi kemana-mana.Mungkinkah Pia sampai sejauh itu ingin membalaskan dendam?Pikiran buruk pun menghantui dan segala kemungkinan terburuk yang akan dihadapi Rama.“Jawab! Kamu kenapa bisa di sini?” Rama tidak bisa menahan kekesalannya. Apalagi Pia muncul di hadapan orang-orang di rumah tempatnya mengab
Tiada hari tanpa air mata.Setiap berhadapan dengan Raja, mata Pia tidak pernah tidak tenggelam oleh kesedihan.Makanan yang dibuat Pia pun tidak pernah ada yang benar. Entah itu rasanya yang tidak pas, bentuknya yang aneh ataupun penyajiannya yang kurang tepat. Jangankan melewati tenggorokan, baru mencicipi satu ujung sendok saja sudah dimuntahkan olehnya.Posisi ayam yang tidak terlihat rapi pun sudah membuat Raja tidak berselera.Semua harus sempurna di mata Raja. “Kau bisa membuatku mati kelaparan.” Brak!Raja membanting sendok dengan kasar.Membuat jari-jari Pia saling meremas satu sama lain. Meluapkan kekesalan, kemarahan yang entah sampai kapan bisa dilepaskan.Namun sepertinya tak akan pernah bisa, karena Pia tidak memiliki kekuatan melakukannya.Nyawanya memang masih berada pada tubuhnya, tapi hidupnya kini bukan lagi miliknya. Pia harus menuruti semua keinginan Raja. “Pesan makan di restoran!” Untuk kesekian kalinya. Perut yang sudah berbunyi minta diberi asupan itu pun
Bau menyengat dari minyak angin akhirnya membangunkan Pia dari tidur panjang.Dan saat matanya terbuka, yang dilihat pertama kali olehnya adalah Raja. Menatap dengan sangat tidak bersahabat dan juga dingin.“Aku yang sakit, tapi kau yang pingsan.”Tarikan nafas kasar Raja memaksa Pia untuk cepat-cepat bangun.Rasanya masih tidak percaya jika Pia menikah dengan Raja. Juga masih tidak percaya bila pernikahannya hancur karena Rama memilih menikahi wanita lain.Pia masih kesulitan menerima. Ikhlas pun mungkin tidak akan pernah bisa.Selama apapun hubungan terjalin, ternyata tidak menjamin akan berakhir di pelaminan.Tapi apa mau dikata, nyatanya cinta Rama tidak sebesar cinta Pia. Pun tidak bisa menghindari pernikahan yang tak diinginkan demi kehormatan orang tua.“M-maaf, Tuan.” Pia tertunduk. Juga memegang perutnya yang tiba-tiba berbunyi.Sepertinya Pia pingsan karena lapar. Tidak terasa hari sudah malam, dan Pia belum makan sejak kemarin. Padahal semua itu dilakukannya demi menjaga pe
Hari di mana Pia harusnya menikah, memang benar terjadi.Namun semua di luar bayangan Pia, karena, mempelainya bukanlah laki-laki yang melamarnya dan telah menjalin hubungan sebelumnya dengannya. Melainkan orang tak dikenal. Yang baru saja Pia jumpai hari ini karena tak sengaja mencelakainya.Selama di jalan tak satu pun kata keluar dari Raja. Laki-laki itu sibuk dengan ponselnya dan Pia dengan pikirannya.Saat ini Rama pasti sedang berbulan madu dengan Dewi. Menikmati indahnya pengantin baru.Pia. Kuatlah. Kamu tidak boleh memikirkan laki-laki itu. Kamu juga harus bahagia.Namun bahagia seperti apa jika menikah karena terpaksa?Karena terjerat hutang?Tidak. Tidak ada kebahagiaan dalam pernikahan kalau bukan dilandaskan cinta.Hal itu membuat Pia tertunduk sedih. Raja yang menyadari kemurungan tersebut memilih berkutat dengan benda pipihnya. ‘’Sudah sampai.’’ Sang supir berkata lalu membukakan pintu untuk Raja dan Pia.Raja turun lebih dulu meski susah payah.Pia pun terkesima meli