Bau menyengat dari minyak angin akhirnya membangunkan Pia dari tidur panjang.
Dan saat matanya terbuka, yang dilihat pertama kali olehnya adalah Raja. Menatap dengan sangat tidak bersahabat dan juga dingin.
“Aku yang sakit, tapi kau yang pingsan.”
Tarikan nafas kasar Raja memaksa Pia untuk cepat-cepat bangun.
Rasanya masih tidak percaya jika Pia menikah dengan Raja. Juga masih tidak percaya bila pernikahannya hancur karena Rama memilih menikahi wanita lain.
Pia masih kesulitan menerima. Ikhlas pun mungkin tidak akan pernah bisa.
Selama apapun hubungan terjalin, ternyata tidak menjamin akan berakhir di pelaminan.
Tapi apa mau dikata, nyatanya cinta Rama tidak sebesar cinta Pia. Pun tidak bisa menghindari pernikahan yang tak diinginkan demi kehormatan orang tua.
“M-maaf, Tuan.” Pia tertunduk. Juga memegang perutnya yang tiba-tiba berbunyi.
Sepertinya Pia pingsan karena lapar. Tidak terasa hari sudah malam, dan Pia belum makan sejak kemarin. Padahal semua itu dilakukannya demi menjaga penampilan saat pernikahan. Tetapi sayangnya…
Pia menarik napas dalam-dalam.
Lagi-lagi masih mengingat kegagalan yang menyakitkan.
Siapapun tidak akan baik-baik saja jika pernikahannya batal.
Namun, Pia merasa aneh karena selama hidup tidak pernah Pia pingsan hanya karena tidak makan.
“Cepat makan, mandi dan ganti pakaianmu,” Raja menutup hidungnya karena aroma tubuh Pia. “Kau sengaja pingsan agar tidak mengurusku?’’ Raja memicing curiga.
Beruntung Raja mencecarnya. Bila tidak, mungkin Pia akan larut dalam kesedihan tanpa akhir.
“T-tidak, Tuan. Saya juga tidak mau pingsan. Tapi tadi… tiba-tiba saja…” Mendadak kepala Pia berputar-putar. Pia pun refleks memegang kepalanyaz
“Sudah sana pergi. Aku yang butuh dirawat tapi malah aku yang merawatmu,” ujar Raja geram.
Setelah makan dengan lahap, Pia pun pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan melihat dirinya di cermin. Air mata Pia menetes seiring hati yang teriris.
Pia bertekad untuk pulih walau sedalam apapun luka yang dimiliki.
“Bersabarlah Pia. Kamu pasti bisa melewati ini.” Pia menghapus cucuran air mata.
Karena jika bukan dirinya yang menguatkan, siapa lagi yang akan melakukannya?
“Sekarang lakukan tugasmu,” ujar Raja saat melihat Pia sudah bersih dan berpakaian rapi.
Pia pun mengangguk. Segera dirinya pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan untuk Raja. Rumah itu sangat sepi. Tidak ada manusia lain selain mereka berdua.
Entah kemana perginya orang-orang yang ada di dalam foto keluarga di tengah rumah itu.
Pia pun memilih mencari bahan makanan.
Tidak perlu waktu lama dan keahlian khusus, akhirnya Pia membuat mie rebus dengan sedikit cabai iris dan taburan bawang goreng di atasnya.
Aroma harum pun langsung membuat Raja menoleh. Padahal sakit yang dirasakannya saat ini membuat nafsu makan Raja hilang.
“Tuan makanannya sudah siap.” Pia menyajikannya di atas meja lalu menyingkir ke sudut ruangan, berdiri dan diam di sana.
Raja memandangi mangkuk yang masih mengepul asapnya itu tanpa ekspresi. Seperti ada yang tengah dipikirkannya.
“Tuan tidak suka? Saya akan menggantinya jika tuan tidak mau.”
Pia pun segera mengambil mangkuk itu dan ingin memasak yang lain. Tetapi, Raja menahannya sehingga kuah panas tumpah mengenai Raja.
“Aish!” Raja memejam dengan rahang mengetat menahan sakit. Mengibas dan meniup tangan yang terasa perih. Lalu menatap bengis pada Pia di sampingnya. “Ceroboh! Siapa yang menyuruhmu mengambilnya?”
Tingginya nada suara Raja sampai membuat Pia berjengit.
Mungkinkah nada bicara ini akan menjadi makanan Pia sehari-hari? Sepertinya iya.
Lagi pula, siapa yang tidak marah jika terkena kuah panas. Apalagi diakibatkan ulah seseorang. Beruntung Raja tidak menyiramkan mangkuk itu untuk membalas.
“M-maaf, Tuan. Saya pikir… tuan…”
“Jangan berdiri saja. Cepat layani aku.”
“Ta… pi… ini mie nya sudah di depan tuan.” Pia meremas ujung kemejanya menahan takut.
Entah pelayanan seperti apa yang dimaksud Raja, padahal Pia sudah memasak untuknya.
Apa masih ada yang kurang?
Desah kesal pun kembali terdengar.
Bukan karena suara Raja yang membuat Pia terkejut kali ini, melainkan karena Raja tiba-tiba saja melempar mangkuk itu ke lantai.
Bila Raja terkena kuahnya, maka Pia lengkap dengan serpihan kaca dari mangkuknya.
“Kau buta? Tangan kananku juga terluka karena ulahmu.”
Pia baru tahu ketika Raja menyingkap lengan panjang yang dikenakannya.
Tidak hanya kaki kanan yang dicelakainya, namun ternyata tangan kanan pun juga.
“Otomatis tidak bisa dipakai untuk makan. Kau ingin aku makan pakai tangan kiri? Kau sengaja melakukannya?”
“Tuan… saya…”
Pia benar-benar tidak tahu.
Setiap kali Raja membentaknya, rasanya Pia ingin sekali menyerah. Pergi dari hadapan Raja secepat mungkin namun tersadar ada kewajiban yang menahannya.
Setelah Raja pergi dengan tongkatnya, Pia menangis sambil memunguti mie yang berserakan dan pecahan kaca di lantai.
Perasaan yang sakit itu juga harus merasakan sakit yang lain karena serpihan kaca yang mengenainya.
Pia terisak dalam tangisnya.
Apakah setiap hari akan mengalami ini? Jika iya, untuk sekedar tidur menyambut hari esok pun rasanya Pia tidak siap.
Ditambah kepalanya yang kian pusing dan perut yang mual pun ternyata penyebabnya bukanlah hal remeh.
“Kamu harus jaga kesehatan mulai sekarang. Tidak boleh terlalu letih,” ucap dokter rumah sakit tempat Pia memeriksakan diri.
Di saat hidupnya tengah terjerat dalam penebusan hutang, ternyata Pia malah berbadan dua.
Air di mata pun semakin enggan mengering karena terpaan hujan yang tiada henti-hentinya menguji hidup Pia.
Bau menyengat dari minyak angin akhirnya membangunkan Pia dari tidur panjang.Dan saat matanya terbuka, yang dilihat pertama kali olehnya adalah Raja. Menatap dengan sangat tidak bersahabat dan juga dingin.“Aku yang sakit, tapi kau yang pingsan.”Tarikan nafas kasar Raja memaksa Pia untuk cepat-cepat bangun.Rasanya masih tidak percaya jika Pia menikah dengan Raja. Juga masih tidak percaya bila pernikahannya hancur karena Rama memilih menikahi wanita lain.Pia masih kesulitan menerima. Ikhlas pun mungkin tidak akan pernah bisa.Selama apapun hubungan terjalin, ternyata tidak menjamin akan berakhir di pelaminan.Tapi apa mau dikata, nyatanya cinta Rama tidak sebesar cinta Pia. Pun tidak bisa menghindari pernikahan yang tak diinginkan demi kehormatan orang tua.“M-maaf, Tuan.” Pia tertunduk. Juga memegang perutnya yang tiba-tiba berbunyi.Sepertinya Pia pingsan karena lapar. Tidak terasa hari sudah malam, dan Pia belum makan sejak kemarin. Padahal semua itu dilakukannya demi menjaga pe
Hari di mana Pia harusnya menikah, memang benar terjadi.Namun semua di luar bayangan Pia, karena, mempelainya bukanlah laki-laki yang melamarnya dan telah menjalin hubungan sebelumnya dengannya. Melainkan orang tak dikenal. Yang baru saja Pia jumpai hari ini karena tak sengaja mencelakainya.Selama di jalan tak satu pun kata keluar dari Raja. Laki-laki itu sibuk dengan ponselnya dan Pia dengan pikirannya.Saat ini Rama pasti sedang berbulan madu dengan Dewi. Menikmati indahnya pengantin baru.Pia. Kuatlah. Kamu tidak boleh memikirkan laki-laki itu. Kamu juga harus bahagia.Namun bahagia seperti apa jika menikah karena terpaksa?Karena terjerat hutang?Tidak. Tidak ada kebahagiaan dalam pernikahan kalau bukan dilandaskan cinta.Hal itu membuat Pia tertunduk sedih. Raja yang menyadari kemurungan tersebut memilih berkutat dengan benda pipihnya. ‘’Sudah sampai.’’ Sang supir berkata lalu membukakan pintu untuk Raja dan Pia.Raja turun lebih dulu meski susah payah.Pia pun terkesima meli
Setelah keluar dari ruangannya, Raja melihat penampilan Pia yang akan membuat siapapun bertanya-tanya.Wanita dengan pakaian pengantin, seharusnya berada di acara pernikahan, tetapi Pia malah berada di rumah sakit.Kebaya putih itu tak lagi bersih, melainkan kotor dengan banyak noda tanah. Selain itu, wajah Pia tampak kusut. Seperti merefleksikan isi dalam pikiran Pia.Dia ini mau pergi ke nikahan tapi kecelakaan atau mau nikah diam-diam tapi tidak disetujui orang tuanya?Raja membatin seraya melihat ke arah pintu di mana punggung Pia sudah tak tampak lagi. Banyak kemungkinan buatan dan dugaan-dugaan di pikiran Raja membuatnya melepas infus di tangan.“Tuan, mau kemana?” Rudi, sang supir pun heran melihat Raja kini bersikeras turun dari brankar. “Ambilkan kursi roda. Cepat!” bentak Raja. Meski gerakan egoisnya itu membuatnya sedikit meringis kesakitan.“Tuan, itu tidak mungkin…”“Bedebah! Kau mau aku pecat?” Iras Raja kian berubah dingin.Rudi yang ingin menolong pun akhirnya mencar
Setelah mengumpulkan keberanian segenap jiwa raga, Pia mendatangi tempat Raja dirawat. Kaki Raja tergantung di atas tiang dan tengah terlelap.Sepertinya tidak ada masalah dengan operasi Raja. Pia yang hendak mengetuk pintu pun kembali menarik tangannya lagi. Cukup melihat dari celah kaca di pintu saat ini. Pia akan kembali setelah Raja siuman dan membiarkannya untuk beristirahat.“Kamu yang nabrak Tuan Raja, kan?”Deg.Tiba-tiba pria yang menolongnya muncul. Niat ingin pergi pun batal.“Iya, Tuan. Tuan yang menolong kami tadi, bukan? Terimakasih sudah membantu,” ucap Pia di tengah-tengah kekagetannya. “Anda ditunggu beliau sejak tadi. Silakan masuk.” Pintu dibuka, Pia pun masuk ke dalam. Ternyata pria itu bukan sengaja lewat dan muncul sebagai penyelamat, melainkan memang untuk menjemput Raja.“Kenapa baru datang? Aku menunggumu sejak tadi! Jangan katakan kalau kau berusaha kabur.”Ternyata Raja tidak tidur. Pia sampai terperanjat dua kali dengan tubuhnya yang sedikit terlonjak.
Syifa sangat terguncang mendengar perkataan Rama. Tidak ingin percaya tetapi Pia telah menjawabnya. Syifa menangis pilu, tak mampu menahan rasa malunya yang begitu besar. Bagaimana Syifa harus menjelaskan pada semua orang yang sedang menunggu. Tidak.Syifa tidak sanggup.Bukannya jawaban baik-baik yang didapat Syifa ketika datang ke rumah Rama, melainkan penghinaan.Masalah ini tampaknya tidak ada jalan keluarnya. Sehingga Syifa pun jatuh pingsan dan dilarikan ke rumah sakit.Pia merasa sangat bersalah. Karena kesalahan memilih calon suami, kedua orang tuanya harus terbaring tak berdaya di brankar rumah sakit di ruang yang sama.Pria yang ditabrak Pia telah dipindahkan ke tempat lain. Tetapi Pia tidak sempat menanyakan di mana ruangannya. Pia akan mengurus pria tersebut nanti, karena, orang tuanya jauh lebih membutuhkannya.Saat tengah memandang Nizar dan Syifa, tiba-tiba seorang wanita masuk tanpa mengetuk. “Pia, apa kamu tidak punya harga diri sampai-sampai harus menyuruh ibumu da
Pia pun bersimpuh di kaki Nizar, menangis mengadukan penderitaannya. Berterus terang, berbicara terbuka hingga Nizar sampai terdiam kala mendengar yang dituturkan sang putri. Kepala Nizar langsung terasa pusing dan pandangan pun berputar-putar. Nizar tidak menyangka, kehormatan putrinya yang polos sudah dirusak oleh pria tak bertanggung jawab.“Ayah sudah habis-habisan dan berhutang banyak demi mewujudkan pernikahan impianmu. Tapi kamu malah ditinggal begitu saja. Seharusnya kamu dengar ayah dari awal!”Tangis Pia semakin menjadi-jadi. Rasa sakit ini begitu luar biasa membuatnya sampai sulit bernapas.“Maafkan Pia, Yah. Maaf!” Penyesalan memang selalu datang diakhir. Namun semua sudah terjadi dan tidak bisa dirubah.Di saat yang sama, tubuh Nizar pun ambruk ke tanah. Pia sangat panik dan berteriak meminta tolong.Akan tetapi, tidak ada siapapun yang bisa dimintai tolong. Sehingga Pia membonceng sang ayah dengan mengikatkan selendang di tubuhnya agar tidak terjatuh.Walau kesulitan, P