Aurora menggenggam setir erat-erat, jemarinya memutih. Gedung kaca menjulang di hadapannya, berdiri angkuh seakan menantangnya. Di balik dinding dingin itu, ada pria yang paling ia benci. Pria yang sekaligus menjadi satu-satunya harapan yang tersisa.
Ia sudah bersumpah tidak akan pernah menjejakkan kaki ke dunia Damian Blackwood lagi. Tapi hidup selalu punya cara kejam untuk memaksa. Sekarang, keluarganya berada di ujung kehancuran. Jika ia mundur, mereka semua akan hancur. Aurora menarik napas panjang. Datang ke sini berarti menyerahkan kendali pada pria itu. Pria yang lima tahun lalu merenggut segalanya darinya. Ironis, bukan? Untuk menyelamatkan, ia harus kembali ke neraka yang sama. Tumit sepatunya mengetuk lantai marmer lobi, langkahnya tegak meski dadanya dipenuhi badai. Semua mata memandangnya, menilai, seolah mereka tahu ia sedang berjalan menuju akhir hidupnya. Damian... tunggu saja. Entah aku pulang membawa perjanjian, atau membawa perang. Batinnya. Pintu lift terbuka dengan bunyi lembut. Aurora menatap pantulan dirinya di dinding kaca. Wajah cantik dengan mata penuh api. Ia mengangkat dagu, menelan rasa muak yang mendesak ke tenggorokan. “Maaf, Nona.” Seorang resepsionis berdiri terburu-buru. “Anda tidak punya janji dengan Tuan Blackwood” Namun Aurora tidak perduli, ia terus berjalan melangkah maju menuju ruang Damian Blackwood CEO kejam menurut Aurora. Aurora menoleh, tatapannya tajam menusuk. Saat pintu ruang CEO itu terbuka, aroma maskulin yang dingin langsung menyergap. Damian duduk di balik meja, jas hitamnya rapi, tatapannya menusuk seperti pedang yang siap menebas. “Aurora.” Suaranya dalam, datar, seakan ia sudah menunggu. Aurora mengeraskan rahang. “Kita perlu bicara.” Sudut bibir Damian terangkat tipis, bukan senyum, tapi ancaman. “Aku tidak pernah menolak permainan, sayang. Tapi ingat, di sini aku yang pegang kendali.” Aurora melangkah masuk. Pintu tertutup di belakangnya. Sejenak ia merasa seperti seekor rusa yang baru masuk ke sarang serigala. Tapi kali ini, ia berjanji tidak akan menjadi mangsa. Tidak lagi. Di san, Damian menyandarkan punggung ke kursi, menautkan jari-jarinya di depan wajah. Tatapannya tak lepas dari Aurora, tajam, penuh penilaian. “Sudah lima tahun.” Nada suaranya datar, tapi ada sesuatu di balik itu. “Kupikir kamu sudah mati.” Aurora mengangkat dagu. “Maaf mengecewakanmu. Aku masih hidup.” Sudut bibir Damian terangkat lebih tinggi. “Dan kini kamu berdiri di sini, di kantorku. Menarik.” Ia mencondongkan tubuh, menatap Aurora seperti menatap mangsa. “Apa yang kamu inginkan dariku?” Aurora menahan napas, pikirannya berpacu. Ia harus mengendalikan permainan ini. “Aku datang bukan untuk mengenang masa lalu, Damian. Aku butuh bantuanmu.” Damian tertawa pelan, suara itu dalam dan menusuk. “Bantuan? Setelah kamu menghilang tanpa jejak? Setelah semua yang terjadi?” Ia bangkit dari kursi, berjalan perlahan mendekat. Aurora memaku pandangan ke arahnya, meski jantungnya berdentum keras. Damian selalu punya aura berbahaya. Dan jarak di antara mereka kini nyaris hilang. “Aku penasaran, Aurora.” Suaranya merendah, begitu dekat hingga napasnya terasa di kulitnya. “Berapa harga yang akan kamu bayar kali ini?” Aurora mengepalkan tangan di samping tubuhnya. Aku tidak akan goyah. “Kita akan bicara soal itu nanti. Tapi kamu harus dengarkan tawaranku dulu.” Damian menyeringai, menatapnya seolah menelanjangi jiwanya. “Kamu benar-benar berani datang kemari tanpa persiapan.” Ia melangkah mundur perlahan, lalu menoleh dengan tatapan menusuk. “Kau punya sepuluh menit. Buat aku tertarik, atau keluar dari hidupku untuk selamanya.” Aurora menarik napas dalam. Inilah yang ia takuti, sekaligus ia harapkan. Pertarungan baru saja dimulai. Dan tidak ada jalan untuk mundur. ** Aurora duduk di kursi tamu, menahan tatapan tajam Damian yang tak pernah lepas darinya. Udara di ruangan itu begitu padat, seolah ada listrik yang mengalir di antara mereka. “Katamu ingin bicara soal tawaran.” Damian bersuara pelan, namun setiap katanya seperti cambuk. “Aku mendengarkan. Tapi ingat, tidak ada yang gratis di dunia ini.” Aurora menatapnya dengan sorot mata yang berani. “Aku akan membayar, berapa pun yang kamu minta. Tapi selamatkan keluargaku.” Damian mendekat, kedua tangannya bertumpu di meja. Jarak mereka kini hanya sejengkal. “Berapa pun, hmm?” Ia tersenyum tipis, senyum yang lebih menyeramkan daripada ancaman. “Kamu tahu aku tidak butuh uangmu, Aurora.” Aurora merasakan tenggorokannya mengering. “Lalu... apa yang kamu inginkan?” Damian tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap dalam, begitu dalam seakan menelanjangi seluruh isi hatinya. Napasnya hangat menyentuh kulitnya ketika ia membungkuk sedikit. “Aku akan memikirkannya,” bisiknya, seolah itu rahasia gelap. Lalu ia berbalik, duduk kembali seakan tak terjadi apa-apa. “Datang besok jam yang sama. Aku akan beri jawaban.” Aurora terpaku. Satu hal jelas: Damian sedang merencanakan sesuatu. Dan apapun itu, tidak akan sesederhana yang ia harapkan. Apa yang dia inginkan dariku? Ketika Aurora berdiri untuk pergi, suara Damian kembali terdengar, berat dan dalam, menusuk sampai ke tulang. “Pastikan kau datang, Aurora. Karena sekali kau melangkah ke luar pintu itu dan tak kembali…” Ia berhenti sejenak, lalu menatapnya dengan tatapan dingin mematikan. “…atau aku yang akan menjadi alasan keluargamu hancur sepenuhnya.” Aurora membeku. Kali ini, ancaman itu bukan sekadar kata. Itu janji. Dan entah kenapa, bagian dari diriku tahu… dia akan menepatinya. ***Bab 89 Malam itu, mansion Blackwood akhirnya bisa bernafas lega setelah hari-hari penuh darah. Di ruang tamu, Aurora duduk di sofa panjang, menimang bayi mereka yang perlahan terlelap. Senyumnya lembut, meski kelelahan masih membayang di wajahnya. Damian berdiri di dekat perapian, diam menatap api yang berkelip, seolah mencari jawaban dalam kobaran itu.“Aku masih nggak percaya… kita bisa sampai di titik ini,” ucap Aurora pelan, tatapannya jatuh pada Damaro kecil yang tidur pulas.Damian berbalik, mendekat, lalu duduk di sampingnya. Tangannya menggenggam jemari Aurora. “Damai ini… cuma di permukaan. Aku bisa rasa, badai masih menunggu di luar sana.”Aurora menarik napas panjang, lalu menatap Damian. “Tapi aku tahu kita nggak sendirian. Papa dulu sering cerita soal Gabriel Blackwood katanya dia orang keras, tapi setia sama keluarganya. Sahabat yang bisa diandalkan.” Aurora tersenyum tipis. “Aku nggak pernah sangka akhirnya aku
Damian menghantam wajah Viktor berkali-kali, darah muncrat membasahi lantai gudang. Viktor masih berusaha melawan, tapi setiap gerakannya melambat. Pukulan terakhir Damian mendarat tepat di pelipis, membuat tubuh Viktor terkulai. Damian berdiri terhuyung, napasnya kasar, darahnya bercampur dengan darah Viktor di tangannya. Ia menatap tubuh musuh lamanya itu, lalu menggumam pelan, “Semua ini… untuk keluargaku.” Dengan sisa tenaga, Damian meraih pecahan besi tajam dan menancapkannya ke dada Viktor. Suara pekikan terakhir Viktor bergema di gudang, lalu hening. Di luar, suara langkah tergesa membuat Robert dan Raka menoleh. Lorenzo muncul bersama beberapa anak buahnya, mencoba menyerbu masuk untuk menyelamatkan Viktor. “Tahan mereka!” teriak Marcus, memberi isyarat ke Elias dan Clara. Baku tembak pun pecah. Dentuman peluru memecah keheningan malam. Robert bergerak cepat, senapannya menghantam dua anak buah Lorenz
Damian meraih pecahan besi, lalu menyerbu. Viktor menyambutnya dengan hantaman popor senapan. Suara keras terdengar saat besi dan baja beradu. Tubuh Damian terlempar, namun ia bangkit lagi dengan mata penuh tekad.“Untuk Aurora… untuk anakku… dan untuk Ayahku,” gumam Damian, menggenggam senjata seadanya.Viktor menghantam keras, membuat Damian terdesak ke sudut. Senapan di tangannya terangkat, ujung moncongnya menempel di dahi Damian.“Sudah ku bilang, kau tak akan menang.”Jari Viktor mulai menekan pelatuk. Saat itu, peluru berdesing dari arah lain … srett! melesetkan senapan Viktor beberapa inci saja. Tembakannya melesat ke langit-langit.Damian terkejut. “Apa—?!”Viktor melotot, menoleh ke arah sumber tembakan. Tapi tak ada siapa-siapa, hanya kegelapan.Dari balik bayangan di atas, Gabriel menghela napas panjang, menurunkan pistolnya. “Kali ini… Ayah ikut campur sedikit. Bertahanlah, Damian.”Damian mera
Pertarungan di gudang itu makin liar. Tinju Damian mendarat di rahang Lorenzo, tapi lawannya juga bukan tipe yang gampang tumbang. Lorenzo balas meninju perut Damian hingga ia terhuyung. Nafas keduanya memburu, tubuh penuh keringat bercampur darah.Lorenzo terkekeh meski bibirnya pecah. “Lihat dirimu, Damian... mau mati demi seorang wanita dan bayi yang bahkan belum bisa memanggilmu ‘ayah’? Konyol.”Damian menyeringai, meski sudut bibirnya berdarah. “Justru karena mereka, aku tak akan kalah.”Dengan tenaga sisa, Damian menghantamkan kepala ke wajah Lorenzo. Suara tulang beradu membuat Lorenzo menjerit. Pistol yang tadi terlempar kini berada tak jauh dari jangkauan. Keduanya berebut meraihnya, merangkak di lantai berdebu.Saat Lorenzo hampir menyentuh gagangnya, Damian menendang keras. Senjata itu melayang ke kegelapan. Seketika ruangan kembali jadi arena baku hantam tangan kosong.Setiap pukulan terasa seperti taruhan nyawa. Damian tahu jika ia jatuh sekali saja, keluarganya tak akan
Hari mulai gelap. Angin malam berdesir pelan, membawa hawa dingin yang menambah kecemasan di hati Aurora. Di tempat persembunyian itu, ia duduk di ranjang kecil sambil memangku bayinya. Wajah mungil itu begitu tenang, seolah tak peduli badai yang sedang mengintai di luar sana.Mama Rania dan Velia sibuk membereskan barang-barang di sudut ruangan, mencoba membuat suasana terasa normal. Namun dari gerak-geriknya, Aurora tahu kalau Mama juga tidak kalah gelisah.“Apa menurutmu Damian baik-baik saja, Ma?” suara Aurora lirih, nyaris seperti bisikan.Mama Rania berhenti sejenak, menatap putrinya lalu tersenyum lembut. “Damian itu keras kepala sekaligus tangguh, Nak. Dia tahu apa yang dia lakukan. Jangan biarkan hatimu dibanjiri ketakutan.”Aurora menghela napas dalam, menunduk menatap bayinya. “Aku hanya takut... kalau aku harus membesarkan anak ini tanpa ayahnya.”Hening sejenak. Mama Rania mendekat, duduk di samping A
Di kamar yang tenang, Aurora berbaring di ranjang, menatap wajah damai putranya yang tertidur di sampingnya. Kelelahan pasca melahirkan masih terasa, namun kebahagiaan dan rasa syukur memenuhi hatinya. Ia mengulurkan tangannya, mengelus pipi lembut bayinya dengan penuh kasih sayang. Pintu kamar perlahan terbuka, dan Mama Rania masuk dengan senyum lembut. Di tangannya, tergenggam secangkir teh hangat. "Bagaimana perasaanmu, Nak?" tanya Mama Rania, mendekat dan duduk di tepi ranjang. "Aku baik-baik saja, Ma," jawab Aurora, tersenyum. "Hanya sedikit lelah. Tapi melihatnya, semua rasa sakit hilang begitu saja." Mama Rania tersenyum dan menyerahkan cangkir teh kepada Aurora. "Minumlah ini," ujarnya. "Ini akan membuatmu merasa lebih baik." Aurora menerima cangkir teh itu dan menyesapnya perlahan. Aroma teh yang menenangkan membuatnya merasa lebih rileks. "Dia sangat tampan," kata Mama Rania, menatap bayi itu dengan penuh kasih sa