Aurora menatap pintu hitam di depannya. Jantungnya berdebar tak terkendali, seperti hendak meledak. Sudah semalam penuh ia memikirkan apa yang akan terjadi hari ini.
Ia datang dengan tekad baja, tapi bayangan masa lalu terus menghantuinya. Lima tahun lalu, ia meninggalkan dunia ini dengan luka yang tak pernah sembuh. Dan sekarang, ia kembali untuk memohon kepada pria yang menghancurkan segalanya. Tangan Aurora meraih gagang pintu. Ia menarik napas dalam, lalu melangkah masuk. Damian ada di sana. Duduk dengan tenang, tubuh tegak di balik meja, seperti raja yang menunggu mangsa mendatangi tahtanya. Sorot matanya gelap, nyaris tak terbaca, tapi Aurora tahu tatapan itu sedang menguliti dirinya. “Kau datang lagi.” Nada suaranya rendah, tapi menggema di telinga Aurora seperti petir. “Kupikir kau akan memilih melarikan diri.” Aurora berdiri tegak. “Aku tidak pernah lari dari masalah.” Damian menyinggungkan senyum tipis. “Benarkah? Karena lima tahun lalu…” Ia berhenti, pandangannya menusuk, seakan menyayat luka lama yang belum kering. Aurora mengepalkan tangan. Ia menolak memberi Damian kepuasan melihatnya goyah. “Aku datang untuk bicara. Bukan untuk bernostalgia.” Damian tertawa pelan, suara yang dinginnya menusuk tulang. “Baik. Katakan apa yang kau inginkan dariku. Yakinkan aku kenapa aku harus peduli.” Aurora menatapnya, menahan napas sejenak sebelum bicara. “Keluarga kami… dalam bahaya. Perusahaan ayahku di ambang kehancuran. Aku butuh bantuanmu untuk menghentikan mereka mengambil segalanya.” Damian mengangkat alis, seolah menikmati setiap kata. “Kamu datang padaku setelah semua ini? Kamu pikir aku akan menolongmu begitu saja?” Aurora menatapnya lurus, sorot matanya tajam meski dadanya bergetar. “Aku tahu tidak ada yang gratis darimu. Katakan apa yang kamu mau.” Damian berdiri, melangkah mendekat perlahan, suaranya menurun hingga nyaris jadi bisikan. “Apa yang aku mau?” Ia menatapnya dalam, begitu dekat hingga napasnya terasa di wajah Aurora. “Percayalah, Aurora. Harganya… tidak akan murah.” Aurora menelan ludah. Ada sesuatu di sorot mata Damian yang membuatnya merinding bukan hanya karena ketakutan, tapi karena rasa yang tak mau ia akui. Apa yang dia rencanakan? Damian berbalik, duduk kembali dengan santai, seakan ia punya semua waktu di dunia. “Kau punya pilihan, Aurora. Tetap berdiri di sana dan menunggu aku memutuskan… atau keluar dari pintu itu dan melihat keluargamu hancur.” Aurora mengepalkan tangan lebih erat. Ia tidak punya pilihan selain mendengarkan. Keheningan di ruangan itu terasa menekan. Damian menatap Aurora tanpa berkedip, tatapannya tajam seperti pisau. Ia mengangkat segelas wiski, menyesapnya perlahan seakan menikmati permainan ini. “Kau bilang mau aku selamatkan keluargamu,” ucapnya datar. “Baik. Aku bisa lakukan itu. Dengan satu syarat.” Aurora mengatupkan bibir. Napasnya terasa sesak. “Sebutkan.” Damian mencondongkan tubuh, menatapnya lurus tanpa jeda. “Menikah denganku.” Aurora terpaku. Kata-kata itu menampar kesadarannya lebih keras dari pukulan apa pun. “Apa?” Damian tersenyum tipis. “Aku tidak ulangi tawaran dua kali, Aurora. Kau tahu aku tidak main-main.” Kepalanya berputar. Menikah? Dengan pria yang menghancurkan keluarganya lima tahun lalu? Dengan pria yang pernah membuat hidupnya seperti neraka? Lima tahun lalu. Ingatan itu datang tanpa bisa dicegah. Suara teriakan, pintu yang dibanting, ayahnya yang duduk lunglai di ruang kerja dengan wajah hancur. Ia ingat nama Damian disebut berkali-kali dalam amarah keluarganya. Satu kesalahan, satu kontrak yang disetujui tanpa sadar, dan segalanya lenyap. Damian adalah badai yang memporak-porandakan hidupnya. Dan sekarang, badai itu menawarkan payung… dengan harga yang jauh lebih kejam. Aurora kembali ke masa kini, menatap Damian dengan sorot mata bergetar. “Kau gila.” Damian bangkit dari kursinya, melangkah pelan mendekat. Setiap langkah terdengar jelas, mengiris udara. Ia berdiri di hadapannya, menunduk sedikit agar tatapan mereka sejajar. “Tidak, Aurora,” bisiknya dingin. “Aku hanya memastikan kau tidak pernah pergi dariku lagi.” Aurora mundur selangkah, tubuhnya tegang. “Kenapa? Kenapa aku?” Damian mengusap rahangnya dengan senyum yang tak terbaca. “Karena kau satu-satunya yang berani menentangku… dan aku tidak pernah suka kehilangan.” Aurora merasakan napasnya tercekat. Di balik kata-kata itu, ada obsesi yang berbahaya. Ia tahu sekali ia mengangguk, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Damian kembali ke meja, mengambil pena dan sebuah dokumen. Ia melemparkannya pelan ke arahnya. “Putuskan sekarang. Ya, keluargamu selamat. Tidak, mereka lenyap dari peta.” Tatapannya menusuk seperti racun. “Waktu terus berjalan, Aurora.” Aurora menatap kertas itu. Setiap huruf terasa seperti belenggu. Jantungnya berdegup kencang, dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar terjebak. Menikah dengannya… atau kehilangan segalanya. Aurora duduk di kursi dengan tubuh terasa berat, seakan dunia berputar lebih lambat dari biasanya. Pena di tangannya terasa lebih berat daripada seluruh beban hidupnya. Damian tetap diam, matanya tak lepas dari wajahnya, menunggu reaksinya. Setiap detik terasa seperti abad, dan Aurora tahu keputusan ini bukan hanya tentang pernikahan. Ini tentang kontrol, tentang dominasi. Dan, entah mengapa, ia merasa dalam bahaya yang tak terlihat. "Aku tidak akan menandatangani itu," katanya, suara bergetar meskipun ia berusaha keras untuk terdengar tegas. Damian melangkah ke arahnya, kali ini lebih dekat daripada sebelumnya. “Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau rasakan, Aurora?” Suaranya pelan, namun tajam. “Kau ingin melarikan diri, kan?” Aurora terdiam. Kata-kata itu seperti panah yang menghujam tepat di jantungnya. Ia mengangkat wajahnya, berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahannya. “Aku hanya tidak ingin dipermainkan, Damian.” Damian tertawa pelan, tidak ada kebahagiaan dalam suaranya, hanya ironi. “Dipermainkan? Kau masih percaya aku hanya bermain-main denganmu?” Ia berjongkok di depan Aurora, wajah mereka hanya beberapa inci terpisah. “Kau sangat berarti bagi aku, Aurora. Aku sudah menginginkanmu sejak dulu… dan kali ini, aku tidak akan membiarkanmu pergi.” Aurora merasakan setiap kata yang keluar dari mulutnya menambah berat di hatinya. “Kau... kau tidak bisa memaksaku.” Damian membalas dengan tatapan yang penuh api, matanya begitu gelap, seolah ia menatap langsung ke dalam jiwanya. “Aku tidak perlu memaksamu, sayang. Kau sudah datang sendiri.” Aurora menelan ludah, tubuhnya bergetar. Ada rasa sakit, ada ketakutan, ada keinginan untuk lari, tapi entah kenapa ia merasa terikat terjebak di dalam permainan yang tidak ia pilih. Dia sudah kembali, dan ia tahu, sekali lagi, ia akan terjatuh. “Jika kamu memutuskan untuk pergi, semuanya akan berakhir. Aku tidak akan lagi mengulur waktu,” suara Damian mengalun rendah, penuh ancaman. “Tapi jika kamu menerima perjanjian ini…” Aurora menatapnya, bingung, penuh kebingungan dan ketakutan. “Apa yang akan terjadi padaku?” Damian hanya tersenyum tipis, senyum yang penuh teka-teki. “Kau akan melihatnya. Tapi tidak ada jalan mundur, Aurora. Setelah ini, hidupmu akan berubah selamanya.” Aurora menggenggam pena di tangannya lebih erat, menatap kontrak di hadapannya, pena di genggamannya bergetar. Saat ia mencoba mengatur napas, Damian menarik sebuah map hitam dari laci meja dan meletakkannya di atas dokumen pernikahan. “Aku ingin kau melihat sesuatu dulu,” ucapnya datar, suaranya begitu tenang hingga terdengar mengancam. Aurora mengerutkan dahi, menatap map itu dengan ragu. “Apa ini?” “Buka,” jawab Damian singkat. Dengan tangan gemetar, Aurora membuka map itu. Dan saat matanya jatuh pada isinya, napasnya tercekat. Puluhan foto tersebar rapi. Foto ayahnya yang duduk lemah di kursi roda, perusahaan mereka yang ditutup dengan garis polisi, dan... satu foto dirinya. Foto lama, lima tahun lalu, saat ia berdiri di halaman rumahnya, tatapannya kosong. Aurora merasakan darahnya membeku. “Kau... mengawasi aku?” suaranya nyaris berbisik, tapi mengandung kepanikan. Damian menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatapnya dengan senyum tipis yang penuh misteri. “Aku selalu tahu di mana kau berada, Aurora. Lima tahun, dan aku tidak pernah benar-benar melepasmu.” Aurora menutup map itu dengan kasar, tubuhnya bergetar antara marah dan takut. “Kenapa kau melakukan ini?” Damian bangkit, mendekat, hingga jarak mereka hanya sejengkal. Sorot matanya menelan seluruh ruang. “Karena aku tidak pernah suka kehilangan sesuatu yang menjadi milikku.” Aurora terdiam. Kata-kata itu menghantamnya lebih keras daripada apa pun. Ia ingin berteriak, ingin lari, tapi kakinya seakan tertancap di lantai. Damian menggeser kontrak ke arahnya lagi. “Tanda tangani, Aurora. Sebelum aku memutuskan cara lain untuk mengikatmu.” Aurora menatap pena di tangannya. Jantungnya berdegup kencang, pikirannya kacau. Foto-foto itu seperti racun yang mengalir dalam nadinya, mengingatkannya bahwa Damian bukan hanya pria berbahaya, ia adalah pria yang sanggup menghancurkan apa pun. Hidupku sudah hancur, dan mungkin ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan apa yang tersisa. Dengan tangan yang gemetar, Aurora menandatangani kontrak itu, tanpa tahu apa yang akan menunggunya setelahnya. Damian tersenyum puas. “Bagus.” Ia mengambil dokumen itu, menyimpannya dengan tenang seolah baru mengamankan sebuah kemenangan. “Sekarang, kau benar-benar milikku.” ***Mobil meluncur meninggalkan gedung tua. Aurora menatap keluar jendela, lampu kota berpendar seperti bintang yang jatuh satu per satu. Kepalanya riuh. Banyak pertanyaan berputar tentang foto itu, tentang malam lima tahun lalu, tentang Damian. Tapi setiap kali ia ingin bertanya, lidahnya kelu.Ia meraih ponselnya, jemarinya gemetar. Ingin menghubungi ayahnya, ingin menuntut kebenaran. Tapi bagaimana jika Damian mengawasinya? Bagaimana jika… ayahnya memang bersalah?Damian duduk di sampingnya, diam, hanya ketukan jarinya di sandaran kursi yang terdengar. Ritmenya pelan tapi menusuk, seakan mengingatkan: Aku masih mengendalikan segalanya.Mobil berhenti di depan restoran bintang lima. Cahaya lampu kristal dari dalam memantul di kaca jendela. Damian turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Aurora. Gerakannya sopan, tapi tatapannya berkata lain.“Makan malam,” ucapnya singkat, nadanya seperti perintah.Aurora menegakkan bahu, mencoba tenang meski
Aurora berdiri mematung di ruangan besar itu. Lampu gantung yang menggantung tinggi di langit-langit gedung tua terasa seperti mata yang mengawasi, menghakimi. Di meja kayu, foto itu masih terbuka, senyum masa lalu menertawakan dirinya.Tangannya gemetar, seolah foto itu bukan sekadar kertas—tapi sebuah pintu ke neraka yang selama ini ia tolak untuk dibuka.“Aku…” suaranya parau, nyaris tenggelam. “Aku tidak mengerti, Damian.”Damian berdiri beberapa langkah darinya, jas hitamnya kini sedikit terbuka, dasi longgar, tapi auranya tetap mencengkeram. Ia menatap Aurora lama, dalam, sampai udara di antara mereka terasa berat.“Kau mau tahu kebenaran, Aurora?” suaranya rendah, dingin. “Maka dengarkan… karena setelah ini, kau tidak akan pernah melihat dunia dengan cara yang sama.”Aurora menelan ludah, ngeri, tapi juga… penasaran.Damian berjalan mendekat, langkahnya mantap, sepatu kulitnya menimbulkan gema di lantai marmer tua. Ia berh
Langit siang itu kelabu, seolah menandai sesuatu yang akan berubah. Aurora duduk di kursi belakang mobil hitam yang meluncur di jalan sunyi. Jendela gelap memantulkan bayangannya sendiri—mata yang dipenuhi tanya, bibir yang terkatup rapat menahan gelombang resah.Damian duduk di sampingnya, jas hitam rapi membungkus tubuhnya, wajahnya tak tertebak. Jemarinya mengetuk pelan sandaran tangan, irama yang membuat dada Aurora semakin sesak.“Ke mana kau membawaku?” suaranya terdengar pelan, tapi cukup untuk memecah keheningan yang mencekik.Damian tidak langsung menjawab. Ia memalingkan wajah, menatap Aurora dengan tatapan yang seperti bisa menembus pikirannya. “Tempat di mana semua cerita kita dimulai.”Aurora menelan ludah, rasa dingin merayap di tulang punggungnya. “Cerita… kita?”Senyum tipis melintas di bibir Damian. “Kau masih memandang ini sebagai perang, Aurora. Tapi perang selalu punya alasan. Dan aku akan tunjukkan kenapa.”M
Aurora terbangun oleh cahaya matahari yang menembus tirai tipis. Untuk sesaat, ia lupa di mana berada. Ranjang besar dengan seprai satin, aroma tembakau samar yang masih menggantung di udara… lalu ingatan kembali menghantamnya. Damian. Pernikahan. Neraka yang kini menjadi rumahnya.Ia duduk perlahan, kepala terasa berat oleh kurang tidur. Damian tidak ada di kamar. Keheningan ini justru membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Dengan langkah ragu, Aurora turun dari ranjang, berniat mencari kamar mandi.Tangannya menyentuh gagang pintu. Begitu pintu terbuka, tubuhnya langsung membentur sesuatu atau lebih tepatnya, seseorang.Aurora terhuyung ke depan. Sebelum ia sempat jatuh, sepasang lengan kuat menangkapnya, menahan tubuhnya agar tidak menyentuh lantai. Aroma sabun dan cologne maskulin menyeruak, membuat napasnya tercekat.Damian.Pria itu berdiri hanya mengenakan kemeja putih longgar, beberapa kancing terbuka, memp
Aurora menatap ke luar jendela, lampu kota berkelebat seperti kilatan kilat saat mobil Damian melaju melewati jalan yang sepi. Malam itu seharusnya sudah berakhir, tapi rasa mencekam menempel di kulitnya seperti bayangan yang enggan pergi. Kata-kata Damian masih terngiang: Besok, aku akan tunjukkan segalanya.Mobil berhenti di depan bangunan megah yang menjulang dengan pilar marmer putih dan kaca tinggi memantulkan cahaya lampu taman. Kediaman Damian. Bukan sekadar rumah, ini istana yang dibangun dengan kekuasaan.Aurora menelan ludah saat Damian membuka pintu untuknya. “Turun,” ucapnya, suaranya tenang namun membawa bobot perintah.Langkah Aurora terasa berat, setiap ubin yang ia pijak seolah menjerat pergelangan kakinya. Saat melewati pintu besar yang dibuka oleh Adrian, hawa dingin menyergap, bercampur aroma mahal dari kayu berlapis pernis. Adrian hanya menunduk sopan, tapi sorot matanya mengikuti mereka seperti bayangan.Da
Aurora tidak tahu siapa yang pertama kali membuka pintu, tapi udara di ruangan mendadak terasa lebih dingin. Damian menoleh, rahangnya mengeras. Dan di ambang pintu, berdiri sosok yang pernah hanya jadi bisikan di telinganya, Rafael. Pria itu tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak ramah. "Lama tidak bertemu, Damian," ucapnya dengan nada santai yang menusuk seperti belati. "Dan… ini dia pengantin barumu." Aurora membeku. Rafael. Nama itu pernah ia dengar dalam percakapan ayahnya lima tahun lalu. Nama yang membawa malapetaka. Jantungnya berdetak liar. Apa yang dia lakukan di sini? Damian melangkah pelan, berdiri di depan Aurora, tubuhnya seperti benteng. "Kau tidak diundang," katanya dingin, suaranya tajam seperti baja. Rafael tertawa pelan. "Undangan? Kau tahu aku tidak butuh undangan, Blackwood. Aku datang… karena aku tidak tahan mendengar rumor yang beredar. Katanya sang