Pagi itu, matahari hanya sebatas lukisan samar di balik awan tebal. Mobil Damian melaju tenang di jalan beraspal, tapi ketenangan itu hanya ilusi. Di dalam kabin, udara menegang seperti senar biola yang ditarik terlalu kencang.
Aurora duduk di kursi penumpang, gaun putihnya jatuh anggun, wajahnya rias tipis. Tapi jemarinya menggenggam erat clutch di pangkuan, seolah benda kecil itu bisa menahan badai yang akan datang. “Apa kau yakin ingin ini?” Damian bertanya tanpa menoleh. Aurora mengangguk pelan. “Dia ayahku, Damian. Aku… butuh jawaban.” Damian mengepal setir, rahangnya mengeras. “Jawaban kadang lebih beracun daripada kebohongan.” Aurora menatapnya, matanya lembut tapi tegas. “Aku ingin racun itu.” Damian tidak menjawab. Ia menekan gas sedikit lebih dalam. --- Rumah Valente menjulang seperti istana marmer yang menelan sejarah dalam setiap dindingnya. Pilar-pilar tinggi, hBab 34 - Nyonya BlackwoodSuara letusan pistol menggema di ruang tembak bawah tanah, bercampur dengan aroma mesiu yang menusuk. Aurora berdiri tegak di balik garis kuning, rambutnya dikuncir tinggi, tubuhnya dibalut kaos hitam ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Jemarinya melingkari gagang pistol, kokoh berbeda jauh dari imej wanita rapuh , anggun yang selama ini ditampilkan.DOR!Peluru menembus lingkaran merah di tengah target. Tepat di jantung.Adrian bersiul pelan dari belakang, menyilangkan tangan di dada. “Bagus. Sudah berapa tahun kau tidak pegang senjata, Aurora?”Aurora menghela napas, menurunkan pistol, matanya menatap lurus ke depan. “Lima tahun… sejak malam itu.”Seketika, potongan ingatan menyerbu. Aroma darah yang kental. Suara tembakan di koridor panjang. Ayahnya, Valente, menariknya dari hujan peluru sambil berteriak, “Fokus pada target, Aurora! Mata dan napas harus seirama!”Lalu… suara Damian jatuh. Darah
Sinar matahari menembus tirai tipis, menimpa sprei yang kusut dan lembab oleh jejak yang liar. Aurora menggeliat pelan, tubuhnya perih, tapi rasa itu anehnya membuatnya tersenyum samar. Damian duduk di ujung ranjang, hanya mengenakan celana hitam longgar. Rambutnya sedikit basah, sisa mandi, tapi sorot matanya tetap ganas. Ia mengikat jam tangan dengan tenang, seolah malam dan pagi brutal tadi hanyalah pemanasan perang. Aurora menarik selimut menutupi dada, pipinya memanas saat melihat goresan merah di kulitnya sendiri. Luka cinta. Luka kepemilikan. “Berapa kali kau bilang… cukup?” gumamnya lirih. Damian menoleh, senyum tipis melengkung di bibirnya. “Sampai kau lupa semua nama selain namaku.” Ia berdiri, berjalan mendekat, jemarinya mengusap pipi Aurora lembut kontras dengan apa yang dilakukannya m. “Dan lihat kau sekarang… masih hidup.” Aurora mendengus kecil, tapi sudut bibirnya tak bisa menahan senyum. Ia menar
Damian menatapnya dalam, senyum tipis terbit di bibirnya. “Kita akan bicara.” Jemarinya turun ke rahang Aurora, membelainya dengan lembut tapi mendominasi. “Setelah aku pastikan kau aman… dan aku mengingatkanmu satu hal kau milikku.”Damian mendorong Aurora ke ranjang dengan gerakan cepat, tubuhnya melayang dan jatuh di atas sprei putih. Napas Aurora memburu, dadanya naik-turun liar, sementara Damian berdiri di tepi ranjang, menatapnya seperti predator yang baru saja mengurung mangsa di sudut.“Aku udah bilang…” suaranya rendah, nyaris geraman. Jemarinya menarik dasi dari leher, menariknya dengan kasar sampai terlepas. “Kalau aku kehilangan kendali… kau satu-satunya yang harus nerima semuanya.”Aurora menggigit bibir, tubuhnya panas karena tatapan itu. Damian naik ke ranjang, lututnya menekan kasur di antara kaki Aurora. Bathrobe tipis sudah jatuh entah ke mana, menyisakan kulit pucat yang membuat darahnya mendidih.Damian mencengkeram kedua perge
Peluru masih berdenting di telinga Aurora. Kaca pecah, serpihan melayang seperti hujan pisau. Tubuhnya nyaris tak bisa bergerak ketika Damian meraih pinggangnya dan menariknya brutal ke arahnya.“Jangan lepaskan aku!” Aurora menggenggam jasnya erat. Nafasnya terputus-putus, jantungnya seakan melompat keluar.“Diam.” Suara Damian dingin, tapi tubuhnya membungkus Aurora seperti perisai manusia. Dua peluru lagi menghantam dinding marmer, hanya beberapa inci dari kepala mereka.“Damian…”“Jangan bicara!”Dalam satu gerakan cepat, Damian menghantam pintu belakang dengan bahu, menyeret Aurora ke lorong servis. Nafasnya berat, tapi langkahnya mantap. Tangannya tak pernah lepas dari pinggang Aurora.Lorong remang, bau debu dan oli bercampur darah dari pelipis Damian yang terluka. Aurora melihatnya garis merah yang menetes di pipinya dan hatinya seperti diremas.Mereka melewati pintu darurat. Udara malam menyambut dengan dingin m
Pagi itu, matahari hanya sebatas lukisan samar di balik awan tebal. Mobil Damian melaju tenang di jalan beraspal, tapi ketenangan itu hanya ilusi. Di dalam kabin, udara menegang seperti senar biola yang ditarik terlalu kencang. Aurora duduk di kursi penumpang, gaun putihnya jatuh anggun, wajahnya rias tipis. Tapi jemarinya menggenggam erat clutch di pangkuan, seolah benda kecil itu bisa menahan badai yang akan datang. “Apa kau yakin ingin ini?” Damian bertanya tanpa menoleh. Aurora mengangguk pelan. “Dia ayahku, Damian. Aku… butuh jawaban.” Damian mengepal setir, rahangnya mengeras. “Jawaban kadang lebih beracun daripada kebohongan.” Aurora menatapnya, matanya lembut tapi tegas. “Aku ingin racun itu.” Damian tidak menjawab. Ia menekan gas sedikit lebih dalam. --- Rumah Valente menjulang seperti istana marmer yang menelan sejarah dalam setiap dindingnya. Pilar-pilar tinggi, h
Pagi itu, Mansion Blackwood Sinar matahari menembus tirai tipis, jatuh di atas seprai putih yang masih berantakan. Aurora mengerjap pelan, tubuhnya terasa berat… tapi bukan karena lelah semata. Lebih karena sesuatu yang membekas semalam. Napasnya tertahan sejenak saat memandang sisi ranjang yang kosong. Damian tidak ada. Aurora duduk perlahan, helaian rambutnya jatuh ke pipi. Rasa asing menjalar di dadanya rindu yang terlalu cepat datang. Ia melangkah turun, mengenakan satin robe yang semalam Damian lepaskan dengan begitu… ganas. Langkahnya terhenti di ambang pintu dapur. Damian berdiri di sana, kemeja hitamnya digulung sampai siku, apron menempel di tubuh kekarnya. Pemandangan yang terlalu kontras dengan ingatan Aurora semalam pria yang sama, tapi dengan sisi berbeda. Damian menoleh. Tatapannya langsung mengunci mata Aurora, seperti magnet. Senyum tipis, nyaris tak terlihat, melintas di bibirnya. “