Bab 57 – Api Dalam Dendam
Subuh belum menyapa langit Krosia. Tapi di markas Blackwood, jantung dunia bawah sudah berdetak kencang.Hanggar militer bawah tanah dipenuhi suara mesin. Jet hitam dengan emblem naga 44 disiapkan. Pasukan elit dengan armor senyap bergerak cepat, senjata diperiksa, amunisi dikunci. Tak ada waktu untuk gentar.Damian berdiri di tengah lintasan hanggar. Matanya merah. Bukan karena kurang tidur, tapi karena amarah tak bisa dipadamkan.Velia datang, masih dengan baju tempurnya. “Tim Echo sudah temukan pola pelarian mereka. Ada jalur bawah tanah lama, lorong peninggalan perang dingin, yang tembus ke daerah industri tua.”Damian mengangguk. “Itu rute mereka. Kita kejar lewat udara, mereka kejar dari bawah.”Robert mendekat sambil menempelkan tablet digital ke tangan Damian. “Ini data terakhir satelit. Kita belum temukan lokasi pasti, tapi… satu titik panas muncul tadi malam. Sinyal thermal menyala dua kali, lLangit Krosia pagi itu kelabu, mendung menggantung tanpa janji hujan, seolah langit sendiri ikut menahan napas. Damian berdiri di jendela ruang utama markas bawah tanah, tangan kirinya masih diperban, tapi sorot matanya kembali tajam dingin seperti biasa.Robert masuk dengan langkah cepat tapi tenang. Di belakangnya, Adrian berjalan sedikit pincang, tapi tetap gagah, dengan pelindung dada baru dan sisa luka di pelipis.“Ada perkembangan?” tanya Damian tanpa menoleh.Robert meletakkan tablet digital di meja. “Kami temukan titik sinyal gangguan. Sumbernya dari wilayah yang selama ini ditandai netral. Tapi ternyata... di bawah tanahnya, ada aktivitas lab kecil milik Alex. Bekas uji coba. Termasuk kemungkinan simulasi neuro biologis.”Damian mengangkat alis. “Manipulasi pikiran?”“Lebih gila dari itu,” sela Adrian. “Khaos ngirim semacam gelombang atau hormon sintetis via udara ke beberapa titik target. Efeknya? Halusinasi singkat, mimpi buruk
Udara musim gugur menggigit kulit. Damian berdiri di balik kaca one-way, menatap bocah di dalam ruangan steril. Anak itu belum bicara sepatah kata pun sejak dibawa keluar dari bunker Balkan. Tapi tatapannya… itu tatapan yang bikin tengkuk dingin. Seolah ada sesuatu dalam dirinya yang belum bangun. “Gue masih gak paham, bro,” suara Robert terdengar dari belakang. “Kalau itu clone atau hasil eksperimen, kenapa mukanya bisa mirip banget sama Aurora?” Damian tak langsung jawab. Tatapannya tajam, tapi kosong. “DNA-nya 90% match sama Aurora. 10% lainnya... gak teridentifikasi. Bukan dari gue. Bukan dari siapa pun yang dikenal dalam database.” Robert geleng-geleng. “Jadi siapa yang tanemin itu? Lo pikir proyek ini udah dimulai sejak kapan?” Damian akhirnya bicara, pelan tapi dalam. “Sejak gue dilahirkan.” Robert diam. Suasana berubah dingin.
Langit Krosia mendung. Tak ada ledakan hari ini. Tak ada peluru. Hanya hening… yang seperti menahan napas sebelum badai.Damian berdiri di balkon vila, mengenakan hoodie gelap. Bukan jas tentara. Bukan armor. Hanya pria yang baru saja kehilangan rasa takutnya dan itu hal paling berbahaya.Robert masuk, membawa data mentah dari server yang ditemukan dalam bunker musuh.“Nama-nama ini… kamu harus lihat sendiri.”Damian mengambil tablet itu. Tangannya bergetar, tapi matanya tenang. Dingin.Daftar panjang. Nama kode. Nomor proyek. Dan satu yang membuat napasnya tertahan:Project Khaos: Warisan Genetik Hybrid Target: Blackwood x Savira Bloodline“Jadi ini bukan tentang kekuasaan... ini tentang menciptakan manusia yang gak bisa dibunuh,” gumam Damian pelan.Robert mengangguk. “Dan mereka butuh bayi kalian untuk itu.”Damian mengepalkan tangan. “Gue bakal kubur mereka satu-satu.”Robert ragu-ragu. “Kau yakin ng
Langit Krosia menyala merah dari kejauhan. Asap tebal membumbung, membelah malam seperti luka menganga. Di balik bukit, sebuah ledakan terakhir mengguncang bumi. Markas Khaos… resmi tumbang.Helikopter evakuasi Blackwood mendarat di titik pertemuan. Angin dari baling-balingnya membuat rumput liar menari kacau. Damian turun lebih dulu, Aurora di pelukannya, tubuhnya masih lemah tapi matanya tajam, hidup.Tim medis langsung menyambut. Tapi Aurora menahan mereka dengan satu gerakan tangan.“Aku cuma mau duduk,” gumamnya. Suaranya serak. Luka-luka di wajahnya masih basah.Damian memapahnya ke sisi mobil lapis baja yang diparkir di pinggir bukit. Mereka duduk berdua dalam keheningan. Di tangan Damian, foto USG itu masih ada. Sedikit lecek. Tapi masih utuh.Aurora menatapnya. “Kau bawa itu sepanjang waktu?”Damian mengangguk. “Aku harus ingat kenapa aku bertarung.”Hening.Lalu Aurora bicara, lirih. “Mereka ingin ambi
Angin malam menyapu langit Krosia saat tiga jet siluman Blackwood menembus awan tanpa suara. Di dalam kabin sempit, Damian berdiri di dekat pintu terbuka, menatap ke bawah seperti elang mengincar mangsa. Matanya tak pernah berkedip. Di tangannya, foto USG itu masih tergenggam.Waktu tinggal hitungan menit. Di bawah sana, istrinya ditahan. Anaknya belum lahir, tapi dunia sudah mencoba memisahkan mereka.“Hitungan mundur tiga puluh detik,” suara pilot terdengar lewat komunikasi internal.Damian mengenakan helm taktisnya. Satu anggukan kecil ke arah Robert, lalu ke seluruh tim. Tak ada pidato. Tak ada teriakan perang. Hanya mata yang penuh kematian.Pintu dibuka. Angin menghantam keras. Dan satu per satu, pasukan elite itu melompat turun tubuh mereka menembus langit seperti hujan gelap yang datang membawa petaka.Sementara itu, jauh di bawah tanah, suara gemuruh samar mulai terdengar di markas musuh. Aurora masih hidup. Luka di pelipisnya be
Bab 57 – Api Dalam Dendam Subuh belum menyapa langit Krosia. Tapi di markas Blackwood, jantung dunia bawah sudah berdetak kencang.Hanggar militer bawah tanah dipenuhi suara mesin. Jet hitam dengan emblem naga 44 disiapkan. Pasukan elit dengan armor senyap bergerak cepat, senjata diperiksa, amunisi dikunci. Tak ada waktu untuk gentar.Damian berdiri di tengah lintasan hanggar. Matanya merah. Bukan karena kurang tidur, tapi karena amarah tak bisa dipadamkan.Velia datang, masih dengan baju tempurnya. “Tim Echo sudah temukan pola pelarian mereka. Ada jalur bawah tanah lama, lorong peninggalan perang dingin, yang tembus ke daerah industri tua.”Damian mengangguk. “Itu rute mereka. Kita kejar lewat udara, mereka kejar dari bawah.”Robert mendekat sambil menempelkan tablet digital ke tangan Damian. “Ini data terakhir satelit. Kita belum temukan lokasi pasti, tapi… satu titik panas muncul tadi malam. Sinyal thermal menyala dua kali, l