Jarak ratusan kilometer tak memadamkan api di dada mereka. Saat akhirnya bertemu, Damian hanya berdiri memandangi Aurora yang perutnya membulat indah. Ada rindu yang nyaris membuatnya gila.Tangannya menyentuh wajah Aurora, jemarinya berhenti di bibir yang basah dan sedikit bergetar. Aurora menutup mata, napasnya berat. “Damian…” hanya itu yang keluar, setengah desahan, setengah doa.Damian menunduk, mencium keningnya lama, seolah ingin menyalin setiap rasa rindu lewat sentuhan.Damian menarik napas panjang, jemarinya langsung menemukan surga rahasia Aurora. Hangat. Lembut. Berdenyut.Ia bermain pelan, memutar dan menekan, membuat Aurora melengkungkan punggungnya.“Hhh… Damian…” desahnya pecah, kedua tangannya mencengkeram bahu pria itu.Aroma strawberry samar-samar menguar, bercampur dengan napas panas di antara mereka. Damian menunduk, mencium lehernya, sementara jemarinya tak berhenti bermain, semakin cepat, semakin dalam.Aurora menggigit bibirnya, tubuhnya bergetar tak terkendali
Zurich – Titik Evakuasi SelatanUdara malam di luar facility terasa menggigit. Salju tipis menutupi jalan aspal yang pecah-pecah. Sirene jauh terdengar, bercampur dengan bunyi helikopter yang semakin dekat.Robert mendorong Damian ke kursi belakang mobil taktis. “Kita harus pergi sekarang!”Damian meraih bahunya yang berdarah, matanya setengah tertutup. “Drive-nya… jangan sampai jatuh… ke tangan mereka…” suaranya serak.Kaizen mengamankan drive ke dalam tas anti-peluru. “Kita semua aman kalau kau tetap hidup, Bos. Fokus napas.”Mobil melaju menembus jalan kecil yang licin. Damian mencoba membuka mata, tapi dunia berputar. Dalam setengah sadar, dia mendengar suara yang tak seharusnya ada suara Aurora, hangat, tapi penuh cemas.Aku di sini, Damian… jangan tidur.Ia mengerang pelan. “Aurora…”Robert melirik ke belakang. “Dia halusinasi, kita harus segera cari medis!”Jakarta – Mansion Keluarga ValenteAurora berdiri di depan koper terbuka. Tangannya cepat memasukkan beberapa gaun hangat,
Jakarta – Mansion Keluarga ValenteAurora duduk di sofa ruang pribadinya. Tangannya perlahan mengusap perut yang mulai membulat. Kehamilannya baru masuk bulan kelima, tapi setiap gerakan kecil di dalam sana seperti pengingat kalau Damian selalu bersamanya, meski jasadnya ribuan kilometer jauhnya.Ponsel di pangkuannya bergetar. Pesan singkat dari Damian.Aku lagi lari. Tapi setiap langkah, aku bawa kalian di kepalaku.Aurora menahan senyum. Tangannya mengelus perutnya lagi.Kami nunggu kamu pulang. Si kecil gerak tiap kali aku nyebut nama kamu.Damian, di tengah suara dentuman, sempat membaca pesan itu. Sebuah kehangatan aneh menyusup lewat dada, memotong dinginnya logam dan mesiu.Jaga dia baik-baik, sayang. Aku janji pulang buat peluk kalian berdua.Aurora membalas, matanya sedikit berkaca-kaca.Jangan cuma peluk. Si kecil butuh kenal ayahnya. Dan aku… butuh semua yang kamu janjiin di pesan-pesan kita.Damian tersenyum di tengah medan berbahaya itu. Peluru mungkin berdesing di dekat
Damian berjalan mengikuti Kaizen, matanya fokus pada jalur bercahaya di lantai, tapi pikirannya sudah setengah terbang ke Jakarta. Getaran di saku membuatnya melirik sebentar. Pesan baru dari Aurora.Aku membayangkan kamu di sini. Duduk di seberangku. Tatapanmu nggak lepas dari aku.Damian menahan senyum. Di tengah misi berbahaya, Aurora masih bisa membuatnya lupa dunia. Ia membalas cepat.Kalau aku di sana sekarang… aku nggak akan cuma menatap.Aurora membaca pesan itu sambil bersandar di kursi. Tangannya refleks mengusap permukaan meja, seolah membayangkan itu jemari Damian. Ia menjawab.Terus? Apa yang kamu lakuin?Damian melangkah pelan, jemarinya lincah di layar ponsel.Aku akan nyentuh jemarimu. Menarik kursimu biar kamu lebih dekat. Aku pengen rasain hangat napasmu.Aurora menghela napas pendek. Di luar, suara mobil keluarga Valente terdengar samar, tapi baginya dunia sedang menyusut jadi satu layar ponsel.Jangan berhenti di situ, tulisnya lagi.Damian melirik Robert yang berj
Zurich – Bourne Facility Suara langkah Dr. Kaizen menggema di lorong dingin itu. Damian memegang senjatanya erat, tapi tatapannya terkunci pada sosok pria tua itu. “Kau bilang ini warisan ayahku… maksudnya apa?” suara Damian datar tapi tegang. Kaizen berhenti tepat di bawah lampu redup. “Gabriel Blackwood. Dia bukan hanya mata-mata. Dia salah satu subjek awal Project Helix dan bukan yang gagal.” Robert menatap Damian sekilas, lalu kembali siaga. Adrian dan Raka tetap memegang formasi di belakang, siap menembak kapan saja. Damian menggeleng pelan. “Ayahku tidak pernah cerita.” Kaizen berjalan mendekat, sarung tangan mekaniknya mengeluarkan bunyi klik halus. “Helix dirancang untuk menciptakan inang sempurna. Tidak semua cocok. Gabriel… nyaris sempurna. Tapi ada satu kelemahan: stabilitas genetisnya rapuh. Dan itu diwariskan… padamu.” Adrian mengernyit. “Apa hubungannya ini sama Aurora?” Kaizen tersenyum tipis. “Aurora Valente adalah generasi yang lebih stabil. Bukan eksperimen l
Bab 66 – Eksperimen TerakhirBourne Facility, Zurich – SwissUdara dingin Swiss menembus hingga ke tulang, menusuk lewat celah jaket lapis baja yang Damian kenakan. Lorong bawah tanah Bourne Facility kini diterangi hanya oleh cahaya redup dari lampu UV Adrian yang masih menyala. Aroma besi berkarat bercampur sisa bahan kimia lama memenuhi udara.Damian tidak melepaskan pandangannya dari sosok di hadapannya Dr. Kaizen.Pendiri Helix. Legenda yang seharusnya sudah mati.“Kau tidak akan temukan jawaban di rak-rak berdebu itu,” suara Kaizen serak namun stabil, seakan tiap kata mengiris udara. “Karena jawaban yang kau cari… ada di dalam darahmu.”Robert menegakkan senjata. “Kau satu-satunya yang tersisa di sini?”Kaizen menggeleng pelan. “Tempat ini… bukan milik siapa pun lagi. Tapi sistemnya Helixbmasih hidup. Dan sistem itu… memilih pewarisnya.”Damian melangkah maju, menahan jarak. “Kalau ini tentang Aurora, aku sudah tahu sebagian..”“Tidak,” Kaizen memotong, matanya menyipit. “Kau tah