Cahaya pagi menelusup melalui tirai tebal suite, tapi Aurora sama sekali tidak merasakan hangatnya. Matanya sembab karena tidak tidur semalaman, pikirannya terus memutar kata-kata Damian: Besok, neraka yang sebenarnya dimulai.
Damian berdiri di dekat jendela, ponsel di telinganya, berbicara dengan nada rendah dan dingin. Bahasa asing meluncur dari bibirnya, cepat dan tegas, seakan memberi perintah kepada pasukan. Aurora hanya bisa memandang punggungnya yang tegap, sosok yang seperti bayangan hitam dalam hidupnya. Saat Damian menutup panggilan, ia menoleh sekilas, sorot matanya menusuk. “Siap-siap. Kita pergi sore ini.” Aurora merasakan napasnya tercekat. “Ke mana?” Damian tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis dan menghilang ke ruang ganti, meninggalkan segunung tanya di benak Aurora. Sore tiba, langit memerah, dan Aurora mendapati dirinya duduk di kursi penumpang mobil hitam Damian. Jalanan sepi, udara semakin dingin ketika mereka melaju ke arah yang tidak ia kenali. Aurora menggigit bibir, tangannya mengepal di pangkuan. “Aku tidak mau ikut,” suaranya nyaris berbisik. Damian menoleh sekilas, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kau tidak punya pilihan, Aurora. Kau sudah berjanji menjadi milikku. Sampai akhir.” Mobil berhenti di depan sebuah bangunan tua yang berdiri di tengah hutan pinus. Dari luar, tempat itu seperti villa terbengkalai, tapi cahaya lampu di dalam berkilau samar. Damian turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuknya. “Turun,” perintahnya datar. Aurora menelan ludah, lalu mengikuti langkahnya. Udara dingin menggigit kulitnya, namun genggaman Damian di pergelangan tangannya membuatnya merasa lebih terikat daripada udara yang membeku. Pintu kayu berderit ketika Damian mendorongnya terbuka. Ruangan itu luas dan kosong, kecuali sebuah meja besar di tengah, di atasnya ada botol anggur dan dua gelas kristal. Damian melepas jasnya, menggulung lengan kemeja, memperlihatkan otot lengannya yang tegas. Aurora mundur setapak. “Kenapa kau membawaku ke sini?” Damian menoleh, sorot matanya gelap tapi berkilat. “Karena di sinilah semuanya dimulai. Dan di sinilah kau akan mengerti.” Ia berjalan mendekat, langkahnya tenang namun setiap gerakan membawa badai. Aurora terpaku, napasnya memburu ketika Damian berhenti tepat di hadapannya. Tangannya terangkat, mengusap pipi Aurora perlahan, membuat darahnya berdesir meski kepalanya berteriak untuk menjauh. “Kau selalu tampak cantik saat takut,” bisiknya, suaranya membuat lutut Aurora lemas. “Tapi aku ingin lebih dari itu. Aku ingin kau mengingat siapa yang memegang kendali atas hidupmu.” Damian meraih tangan Aurora dan meletakkan gelas anggur di telapaknya yang gemetar. “Minum.” Aurora menggeleng. “Aku tidak…” “Minum, Aurora.” Suaranya dalam, mendesak. Aurora akhirnya meneguk perlahan, merasakan cairan merah itu membakar tenggorokannya. Damian tersenyum puas. Ia mendekat lagi, jarak mereka nyaris lenyap, hingga Aurora bisa merasakan aroma tubuhnya yang hangat. “Besok, semua akan berubah,” ucapnya rendah. “Karena kau akan tahu siapa sebenarnya yang mengkhianatiku. Dan saat itu terjadi…” Damian menunduk, bibirnya hampir menyentuh telinganya, “aku ingin kau berada di sisiku. Bukan karena aku memaksamu, tapi karena kau memilihnya.” Aurora membeku, tubuhnya panas oleh campuran rasa takut dan sesuatu yang tak mau ia akui. Damian menatap matanya dalam-dalam, lalu berjalan ke arah jendela, meninggalkannya dengan badai yang mengoyak pikirannya. Apa yang akan dia tunjukkan? Dan… apakah aku siap untuk kebenaran itu? Damian menyalakan layar besar di ujung ruangan. Aurora menatap bingung ketika cahaya biru memantul di wajahnya. Layar itu menampilkan rekaman malam yang sudah lama ia kubur dalam ingatan. Gedung mewah. Pesta yang glamor. Aurora berdiri di antara tamu, gaun emas membalut tubuhnya. Musik berdentum pelan. Lalu, suara tembakan pecah. Jeritan memenuhi udara. Kamera bergetar, merekam kekacauan. Api berkobar di sudut ruangan. Aurora membeku. Napasnya tercekat ketika mendengar suara yang begitu ia kenal. Ayahnya. “Selamatkan Aurora! Tinggalkan dia!” Rekaman menunjukkan sosok Damian yang diseret oleh dua pria bersenjata, wajahnya penuh darah. Tatapannya diarahkan ke kamera, tepat sebelum pintu baja menutup di hadapannya. Aurora terhuyung, tubuhnya melemas. “Tidak…” bisiknya, suara tercekat. “Ayah… dia… meninggalkanmu?” Damian mematikan layar, lalu berbalik perlahan. Sorot matanya menusuk, namun ada luka yang tak bisa ia sembunyikan. “Lima tahun. Lima tahun aku bertahan, Aurora. Di ruang gelap, di neraka, hanya dengan satu bayangan… wajahmu.” Aurora menggigit bibir, dadanya sesak. “Damian… aku tidak tahu. Aku… aku tidak pernah ingin ini terjadi.” Damian mendekat, langkahnya berat seperti menghantam setiap detik yang terbuang. Tangannya terangkat, menyentuh pipi Aurora dengan jemari yang kasar namun penuh gentar. “Aku tidak tahu mana yang lebih sakit… saat mereka mengkhianatiku, atau saat aku sadar kau hidup bebas seakan tidak pernah ada aku.” Aurora menahan napas. Ada amarah, luka, dan kerinduan yang membakar dalam tatapan itu. “Kalau kau ingin balas dendam… lakukan padaku. Tapi jangan seret aku ke dalam kebencianmu.” Suaranya nyaris pecah. Damian mendekat lebih dalam, jarak di antara mereka menguap. Bibirnya nyaris menyentuh telinganya ketika ia berbisik, suaranya serak, menggetarkan. “Kau masih tidak mengerti… Ini bukan hanya tentang balas dendam. Ini tentang memiliki kembali apa yang direnggut dariku.” Aurora gemetar ketika Damian meraih pinggangnya, menariknya hingga tubuh mereka bersentuhan. Jantungnya berdetak liar, antara ingin lari dan… sesuatu yang membuatnya tetap diam. “Kau milikku, Aurora,” suaranya berat, penuh obsesi yang tidak disamarkan. “Dan aku akan membuatmu memilihku… bahkan saat dunia runtuh di sekitarmu.” Aurora menatap matanya, dan untuk pertama kali ia melihat bukan hanya iblis, tapi juga manusia yang hancur. Dan itu justru membuatnya semakin berbahaya. Damian menunduk sedikit, bibirnya hanya sejengkal dari bibir Aurora. Napas mereka bertabrakan. Dunia seakan berhenti. Lalu suara pintu terbuka mendadak memecah ketegangan. Seorang pria berdiri di ambang, bayangan gelap menelan cahaya lampu. Senyum miring menghiasi wajah asing itu. “Akhirnya ketemu juga… Damian.” ***Mobil meluncur meninggalkan gedung tua. Aurora menatap keluar jendela, lampu kota berpendar seperti bintang yang jatuh satu per satu. Kepalanya riuh. Banyak pertanyaan berputar tentang foto itu, tentang malam lima tahun lalu, tentang Damian. Tapi setiap kali ia ingin bertanya, lidahnya kelu.Ia meraih ponselnya, jemarinya gemetar. Ingin menghubungi ayahnya, ingin menuntut kebenaran. Tapi bagaimana jika Damian mengawasinya? Bagaimana jika… ayahnya memang bersalah?Damian duduk di sampingnya, diam, hanya ketukan jarinya di sandaran kursi yang terdengar. Ritmenya pelan tapi menusuk, seakan mengingatkan: Aku masih mengendalikan segalanya.Mobil berhenti di depan restoran bintang lima. Cahaya lampu kristal dari dalam memantul di kaca jendela. Damian turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Aurora. Gerakannya sopan, tapi tatapannya berkata lain.“Makan malam,” ucapnya singkat, nadanya seperti perintah.Aurora menegakkan bahu, mencoba tenang meski
Aurora berdiri mematung di ruangan besar itu. Lampu gantung yang menggantung tinggi di langit-langit gedung tua terasa seperti mata yang mengawasi, menghakimi. Di meja kayu, foto itu masih terbuka, senyum masa lalu menertawakan dirinya.Tangannya gemetar, seolah foto itu bukan sekadar kertas—tapi sebuah pintu ke neraka yang selama ini ia tolak untuk dibuka.“Aku…” suaranya parau, nyaris tenggelam. “Aku tidak mengerti, Damian.”Damian berdiri beberapa langkah darinya, jas hitamnya kini sedikit terbuka, dasi longgar, tapi auranya tetap mencengkeram. Ia menatap Aurora lama, dalam, sampai udara di antara mereka terasa berat.“Kau mau tahu kebenaran, Aurora?” suaranya rendah, dingin. “Maka dengarkan… karena setelah ini, kau tidak akan pernah melihat dunia dengan cara yang sama.”Aurora menelan ludah, ngeri, tapi juga… penasaran.Damian berjalan mendekat, langkahnya mantap, sepatu kulitnya menimbulkan gema di lantai marmer tua. Ia berh
Langit siang itu kelabu, seolah menandai sesuatu yang akan berubah. Aurora duduk di kursi belakang mobil hitam yang meluncur di jalan sunyi. Jendela gelap memantulkan bayangannya sendiri—mata yang dipenuhi tanya, bibir yang terkatup rapat menahan gelombang resah.Damian duduk di sampingnya, jas hitam rapi membungkus tubuhnya, wajahnya tak tertebak. Jemarinya mengetuk pelan sandaran tangan, irama yang membuat dada Aurora semakin sesak.“Ke mana kau membawaku?” suaranya terdengar pelan, tapi cukup untuk memecah keheningan yang mencekik.Damian tidak langsung menjawab. Ia memalingkan wajah, menatap Aurora dengan tatapan yang seperti bisa menembus pikirannya. “Tempat di mana semua cerita kita dimulai.”Aurora menelan ludah, rasa dingin merayap di tulang punggungnya. “Cerita… kita?”Senyum tipis melintas di bibir Damian. “Kau masih memandang ini sebagai perang, Aurora. Tapi perang selalu punya alasan. Dan aku akan tunjukkan kenapa.”M
Aurora terbangun oleh cahaya matahari yang menembus tirai tipis. Untuk sesaat, ia lupa di mana berada. Ranjang besar dengan seprai satin, aroma tembakau samar yang masih menggantung di udara… lalu ingatan kembali menghantamnya. Damian. Pernikahan. Neraka yang kini menjadi rumahnya.Ia duduk perlahan, kepala terasa berat oleh kurang tidur. Damian tidak ada di kamar. Keheningan ini justru membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Dengan langkah ragu, Aurora turun dari ranjang, berniat mencari kamar mandi.Tangannya menyentuh gagang pintu. Begitu pintu terbuka, tubuhnya langsung membentur sesuatu atau lebih tepatnya, seseorang.Aurora terhuyung ke depan. Sebelum ia sempat jatuh, sepasang lengan kuat menangkapnya, menahan tubuhnya agar tidak menyentuh lantai. Aroma sabun dan cologne maskulin menyeruak, membuat napasnya tercekat.Damian.Pria itu berdiri hanya mengenakan kemeja putih longgar, beberapa kancing terbuka, memp
Aurora menatap ke luar jendela, lampu kota berkelebat seperti kilatan kilat saat mobil Damian melaju melewati jalan yang sepi. Malam itu seharusnya sudah berakhir, tapi rasa mencekam menempel di kulitnya seperti bayangan yang enggan pergi. Kata-kata Damian masih terngiang: Besok, aku akan tunjukkan segalanya.Mobil berhenti di depan bangunan megah yang menjulang dengan pilar marmer putih dan kaca tinggi memantulkan cahaya lampu taman. Kediaman Damian. Bukan sekadar rumah, ini istana yang dibangun dengan kekuasaan.Aurora menelan ludah saat Damian membuka pintu untuknya. “Turun,” ucapnya, suaranya tenang namun membawa bobot perintah.Langkah Aurora terasa berat, setiap ubin yang ia pijak seolah menjerat pergelangan kakinya. Saat melewati pintu besar yang dibuka oleh Adrian, hawa dingin menyergap, bercampur aroma mahal dari kayu berlapis pernis. Adrian hanya menunduk sopan, tapi sorot matanya mengikuti mereka seperti bayangan.Da
Aurora tidak tahu siapa yang pertama kali membuka pintu, tapi udara di ruangan mendadak terasa lebih dingin. Damian menoleh, rahangnya mengeras. Dan di ambang pintu, berdiri sosok yang pernah hanya jadi bisikan di telinganya, Rafael. Pria itu tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak ramah. "Lama tidak bertemu, Damian," ucapnya dengan nada santai yang menusuk seperti belati. "Dan… ini dia pengantin barumu." Aurora membeku. Rafael. Nama itu pernah ia dengar dalam percakapan ayahnya lima tahun lalu. Nama yang membawa malapetaka. Jantungnya berdetak liar. Apa yang dia lakukan di sini? Damian melangkah pelan, berdiri di depan Aurora, tubuhnya seperti benteng. "Kau tidak diundang," katanya dingin, suaranya tajam seperti baja. Rafael tertawa pelan. "Undangan? Kau tahu aku tidak butuh undangan, Blackwood. Aku datang… karena aku tidak tahan mendengar rumor yang beredar. Katanya sang