Beranda / Romansa / Tawanan Mafia Blackwood / Bab 8 - Rahasia Dibalik Api

Share

Bab 8 - Rahasia Dibalik Api

Penulis: Avelina Anggel
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-25 07:30:00

Cahaya pagi menelusup melalui tirai tebal suite, tapi Aurora sama sekali tidak merasakan hangatnya. Matanya sembab karena tidak tidur semalaman, pikirannya terus memutar kata-kata Damian: Besok, neraka yang sebenarnya dimulai.

Damian berdiri di dekat jendela, ponsel di telinganya, berbicara dengan nada rendah dan dingin. Bahasa asing meluncur dari bibirnya, cepat dan tegas, seakan memberi perintah kepada pasukan. Aurora hanya bisa memandang punggungnya yang tegap, sosok yang seperti bayangan hitam dalam hidupnya.

Saat Damian menutup panggilan, ia menoleh sekilas, sorot matanya menusuk. “Siap-siap. Kita pergi sore ini.”

Aurora merasakan napasnya tercekat. “Ke mana?”

Damian tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis dan menghilang ke ruang ganti, meninggalkan segunung tanya di benak Aurora.

Sore tiba, langit memerah, dan Aurora mendapati dirinya duduk di kursi penumpang mobil hitam Damian. Jalanan sepi, udara semakin dingin ketika mereka melaju ke arah yang tidak ia kenali. Aurora menggigit bibir, tangannya mengepal di pangkuan.

“Aku tidak mau ikut,” suaranya nyaris berbisik.

Damian menoleh sekilas, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kau tidak punya pilihan, Aurora. Kau sudah berjanji menjadi milikku. Sampai akhir.”

Mobil berhenti di depan sebuah bangunan tua yang berdiri di tengah hutan pinus. Dari luar, tempat itu seperti villa terbengkalai, tapi cahaya lampu di dalam berkilau samar. Damian turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuknya.

“Turun,” perintahnya datar. Aurora menelan ludah, lalu mengikuti langkahnya. Udara dingin menggigit kulitnya, namun genggaman Damian di pergelangan tangannya membuatnya merasa lebih terikat daripada udara yang membeku.

Pintu kayu berderit ketika Damian mendorongnya terbuka. Ruangan itu luas dan kosong, kecuali sebuah meja besar di tengah, di atasnya ada botol anggur dan dua gelas kristal. Damian melepas jasnya, menggulung lengan kemeja, memperlihatkan otot lengannya yang tegas.

Aurora mundur setapak. “Kenapa kau membawaku ke sini?”

Damian menoleh, sorot matanya gelap tapi berkilat. “Karena di sinilah semuanya dimulai. Dan di sinilah kau akan mengerti.”

Ia berjalan mendekat, langkahnya tenang namun setiap gerakan membawa badai. Aurora terpaku, napasnya memburu ketika Damian berhenti tepat di hadapannya. Tangannya terangkat, mengusap pipi Aurora perlahan, membuat darahnya berdesir meski kepalanya berteriak untuk menjauh.

“Kau selalu tampak cantik saat takut,” bisiknya, suaranya membuat lutut Aurora lemas. “Tapi aku ingin lebih dari itu. Aku ingin kau mengingat siapa yang memegang kendali atas hidupmu.”

Damian meraih tangan Aurora dan meletakkan gelas anggur di telapaknya yang gemetar.

“Minum.”

Aurora menggeleng. “Aku tidak…”

“Minum, Aurora.” Suaranya dalam, mendesak. Aurora akhirnya meneguk perlahan, merasakan cairan merah itu membakar tenggorokannya. Damian tersenyum puas. Ia mendekat lagi, jarak mereka nyaris lenyap, hingga Aurora bisa merasakan aroma tubuhnya yang hangat.

“Besok, semua akan berubah,” ucapnya rendah. “Karena kau akan tahu siapa sebenarnya yang mengkhianatiku. Dan saat itu terjadi…” Damian menunduk, bibirnya hampir menyentuh telinganya, “aku ingin kau berada di sisiku. Bukan karena aku memaksamu, tapi karena kau memilihnya.”

Aurora membeku, tubuhnya panas oleh campuran rasa takut dan sesuatu yang tak mau ia akui. Damian menatap matanya dalam-dalam, lalu berjalan ke arah jendela, meninggalkannya dengan badai yang mengoyak pikirannya.

Apa yang akan dia tunjukkan? Dan… apakah aku siap untuk kebenaran itu?

Damian menyalakan layar besar di ujung ruangan. Aurora menatap bingung ketika cahaya biru memantul di wajahnya. Layar itu menampilkan rekaman malam yang sudah lama ia kubur dalam ingatan.

Gedung mewah. Pesta yang glamor. Aurora berdiri di antara tamu, gaun emas membalut tubuhnya. Musik berdentum pelan. Lalu, suara tembakan pecah. Jeritan memenuhi udara. Kamera bergetar, merekam kekacauan. Api berkobar di sudut ruangan.

Aurora membeku. Napasnya tercekat ketika mendengar suara yang begitu ia kenal. Ayahnya.

“Selamatkan Aurora! Tinggalkan dia!”

Rekaman menunjukkan sosok Damian yang diseret oleh dua pria bersenjata, wajahnya penuh darah. Tatapannya diarahkan ke kamera, tepat sebelum pintu baja menutup di hadapannya.

Aurora terhuyung, tubuhnya melemas. “Tidak…” bisiknya, suara tercekat. “Ayah… dia… meninggalkanmu?”

Damian mematikan layar, lalu berbalik perlahan. Sorot matanya menusuk, namun ada luka yang tak bisa ia sembunyikan.

“Lima tahun. Lima tahun aku bertahan, Aurora. Di ruang gelap, di neraka, hanya dengan satu bayangan… wajahmu.”

Aurora menggigit bibir, dadanya sesak. “Damian… aku tidak tahu. Aku… aku tidak pernah ingin ini terjadi.”

Damian mendekat, langkahnya berat seperti menghantam setiap detik yang terbuang. Tangannya terangkat, menyentuh pipi Aurora dengan jemari yang kasar namun penuh gentar.

“Aku tidak tahu mana yang lebih sakit… saat mereka mengkhianatiku, atau saat aku sadar kau hidup bebas seakan tidak pernah ada aku.”

Aurora menahan napas. Ada amarah, luka, dan kerinduan yang membakar dalam tatapan itu.

“Kalau kau ingin balas dendam… lakukan padaku. Tapi jangan seret aku ke dalam kebencianmu.” Suaranya nyaris pecah.

Damian mendekat lebih dalam, jarak di antara mereka menguap. Bibirnya nyaris menyentuh telinganya ketika ia berbisik, suaranya serak, menggetarkan.

“Kau masih tidak mengerti… Ini bukan hanya tentang balas dendam. Ini tentang memiliki kembali apa yang direnggut dariku.”

Aurora gemetar ketika Damian meraih pinggangnya, menariknya hingga tubuh mereka bersentuhan. Jantungnya berdetak liar, antara ingin lari dan… sesuatu yang membuatnya tetap diam.

“Kau milikku, Aurora,” suaranya berat, penuh obsesi yang tidak disamarkan. “Dan aku akan membuatmu memilihku… bahkan saat dunia runtuh di sekitarmu.”

Aurora menatap matanya, dan untuk pertama kali ia melihat bukan hanya iblis, tapi juga manusia yang hancur. Dan itu justru membuatnya semakin berbahaya.

Damian menunduk sedikit, bibirnya hanya sejengkal dari bibir Aurora. Napas mereka bertabrakan. Dunia seakan berhenti.

Lalu suara pintu terbuka mendadak memecah ketegangan.

Seorang pria berdiri di ambang, bayangan gelap menelan cahaya lampu. Senyum miring menghiasi wajah asing itu.

“Akhirnya ketemu juga… Damian.”

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tawanan Mafia Blackwood   Bab 89

    Bab 89 Malam itu, mansion Blackwood akhirnya bisa bernafas lega setelah hari-hari penuh darah. Di ruang tamu, Aurora duduk di sofa panjang, menimang bayi mereka yang perlahan terlelap. Senyumnya lembut, meski kelelahan masih membayang di wajahnya. Damian berdiri di dekat perapian, diam menatap api yang berkelip, seolah mencari jawaban dalam kobaran itu.“Aku masih nggak percaya… kita bisa sampai di titik ini,” ucap Aurora pelan, tatapannya jatuh pada Damaro kecil yang tidur pulas.Damian berbalik, mendekat, lalu duduk di sampingnya. Tangannya menggenggam jemari Aurora. “Damai ini… cuma di permukaan. Aku bisa rasa, badai masih menunggu di luar sana.”Aurora menarik napas panjang, lalu menatap Damian. “Tapi aku tahu kita nggak sendirian. Papa dulu sering cerita soal Gabriel Blackwood katanya dia orang keras, tapi setia sama keluarganya. Sahabat yang bisa diandalkan.” Aurora tersenyum tipis. “Aku nggak pernah sangka akhirnya aku

  • Tawanan Mafia Blackwood   Bab 88

    Damian menghantam wajah Viktor berkali-kali, darah muncrat membasahi lantai gudang. Viktor masih berusaha melawan, tapi setiap gerakannya melambat. Pukulan terakhir Damian mendarat tepat di pelipis, membuat tubuh Viktor terkulai. Damian berdiri terhuyung, napasnya kasar, darahnya bercampur dengan darah Viktor di tangannya. Ia menatap tubuh musuh lamanya itu, lalu menggumam pelan, “Semua ini… untuk keluargaku.” Dengan sisa tenaga, Damian meraih pecahan besi tajam dan menancapkannya ke dada Viktor. Suara pekikan terakhir Viktor bergema di gudang, lalu hening. Di luar, suara langkah tergesa membuat Robert dan Raka menoleh. Lorenzo muncul bersama beberapa anak buahnya, mencoba menyerbu masuk untuk menyelamatkan Viktor. “Tahan mereka!” teriak Marcus, memberi isyarat ke Elias dan Clara. Baku tembak pun pecah. Dentuman peluru memecah keheningan malam. Robert bergerak cepat, senapannya menghantam dua anak buah Lorenz

  • Tawanan Mafia Blackwood   Bab 87

    Damian meraih pecahan besi, lalu menyerbu. Viktor menyambutnya dengan hantaman popor senapan. Suara keras terdengar saat besi dan baja beradu. Tubuh Damian terlempar, namun ia bangkit lagi dengan mata penuh tekad.“Untuk Aurora… untuk anakku… dan untuk Ayahku,” gumam Damian, menggenggam senjata seadanya.Viktor menghantam keras, membuat Damian terdesak ke sudut. Senapan di tangannya terangkat, ujung moncongnya menempel di dahi Damian.“Sudah ku bilang, kau tak akan menang.”Jari Viktor mulai menekan pelatuk. Saat itu, peluru berdesing dari arah lain … srett! melesetkan senapan Viktor beberapa inci saja. Tembakannya melesat ke langit-langit.Damian terkejut. “Apa—?!”Viktor melotot, menoleh ke arah sumber tembakan. Tapi tak ada siapa-siapa, hanya kegelapan.Dari balik bayangan di atas, Gabriel menghela napas panjang, menurunkan pistolnya. “Kali ini… Ayah ikut campur sedikit. Bertahanlah, Damian.”Damian mera

  • Tawanan Mafia Blackwood   BAB 86

    Pertarungan di gudang itu makin liar. Tinju Damian mendarat di rahang Lorenzo, tapi lawannya juga bukan tipe yang gampang tumbang. Lorenzo balas meninju perut Damian hingga ia terhuyung. Nafas keduanya memburu, tubuh penuh keringat bercampur darah.Lorenzo terkekeh meski bibirnya pecah. “Lihat dirimu, Damian... mau mati demi seorang wanita dan bayi yang bahkan belum bisa memanggilmu ‘ayah’? Konyol.”Damian menyeringai, meski sudut bibirnya berdarah. “Justru karena mereka, aku tak akan kalah.”Dengan tenaga sisa, Damian menghantamkan kepala ke wajah Lorenzo. Suara tulang beradu membuat Lorenzo menjerit. Pistol yang tadi terlempar kini berada tak jauh dari jangkauan. Keduanya berebut meraihnya, merangkak di lantai berdebu.Saat Lorenzo hampir menyentuh gagangnya, Damian menendang keras. Senjata itu melayang ke kegelapan. Seketika ruangan kembali jadi arena baku hantam tangan kosong.Setiap pukulan terasa seperti taruhan nyawa. Damian tahu jika ia jatuh sekali saja, keluarganya tak akan

  • Tawanan Mafia Blackwood   Bab 85

    Hari mulai gelap. Angin malam berdesir pelan, membawa hawa dingin yang menambah kecemasan di hati Aurora. Di tempat persembunyian itu, ia duduk di ranjang kecil sambil memangku bayinya. Wajah mungil itu begitu tenang, seolah tak peduli badai yang sedang mengintai di luar sana.Mama Rania dan Velia sibuk membereskan barang-barang di sudut ruangan, mencoba membuat suasana terasa normal. Namun dari gerak-geriknya, Aurora tahu kalau Mama juga tidak kalah gelisah.“Apa menurutmu Damian baik-baik saja, Ma?” suara Aurora lirih, nyaris seperti bisikan.Mama Rania berhenti sejenak, menatap putrinya lalu tersenyum lembut. “Damian itu keras kepala sekaligus tangguh, Nak. Dia tahu apa yang dia lakukan. Jangan biarkan hatimu dibanjiri ketakutan.”Aurora menghela napas dalam, menunduk menatap bayinya. “Aku hanya takut... kalau aku harus membesarkan anak ini tanpa ayahnya.”Hening sejenak. Mama Rania mendekat, duduk di samping A

  • Tawanan Mafia Blackwood   84

    Di kamar yang tenang, Aurora berbaring di ranjang, menatap wajah damai putranya yang tertidur di sampingnya. Kelelahan pasca melahirkan masih terasa, namun kebahagiaan dan rasa syukur memenuhi hatinya. Ia mengulurkan tangannya, mengelus pipi lembut bayinya dengan penuh kasih sayang. Pintu kamar perlahan terbuka, dan Mama Rania masuk dengan senyum lembut. Di tangannya, tergenggam secangkir teh hangat. "Bagaimana perasaanmu, Nak?" tanya Mama Rania, mendekat dan duduk di tepi ranjang. "Aku baik-baik saja, Ma," jawab Aurora, tersenyum. "Hanya sedikit lelah. Tapi melihatnya, semua rasa sakit hilang begitu saja." Mama Rania tersenyum dan menyerahkan cangkir teh kepada Aurora. "Minumlah ini," ujarnya. "Ini akan membuatmu merasa lebih baik." Aurora menerima cangkir teh itu dan menyesapnya perlahan. Aroma teh yang menenangkan membuatnya merasa lebih rileks. "Dia sangat tampan," kata Mama Rania, menatap bayi itu dengan penuh kasih sa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status