Aurora tidak tahu siapa yang pertama kali membuka pintu, tapi udara di ruangan mendadak terasa lebih dingin. Damian menoleh, rahangnya mengeras. Dan di ambang pintu, berdiri sosok yang pernah hanya jadi bisikan di telinganya, Rafael.
Pria itu tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak ramah. "Lama tidak bertemu, Damian," ucapnya dengan nada santai yang menusuk seperti belati. "Dan… ini dia pengantin barumu." Aurora membeku. Rafael. Nama itu pernah ia dengar dalam percakapan ayahnya lima tahun lalu. Nama yang membawa malapetaka. Jantungnya berdetak liar. Apa yang dia lakukan di sini? Damian melangkah pelan, berdiri di depan Aurora, tubuhnya seperti benteng. "Kau tidak diundang," katanya dingin, suaranya tajam seperti baja. Rafael tertawa pelan. "Undangan? Kau tahu aku tidak butuh undangan, Blackwood. Aku datang… karena aku tidak tahan mendengar rumor yang beredar. Katanya sangMobil meluncur meninggalkan gedung tua. Aurora menatap keluar jendela, lampu kota berpendar seperti bintang yang jatuh satu per satu. Kepalanya riuh. Banyak pertanyaan berputar tentang foto itu, tentang malam lima tahun lalu, tentang Damian. Tapi setiap kali ia ingin bertanya, lidahnya kelu.Ia meraih ponselnya, jemarinya gemetar. Ingin menghubungi ayahnya, ingin menuntut kebenaran. Tapi bagaimana jika Damian mengawasinya? Bagaimana jika… ayahnya memang bersalah?Damian duduk di sampingnya, diam, hanya ketukan jarinya di sandaran kursi yang terdengar. Ritmenya pelan tapi menusuk, seakan mengingatkan: Aku masih mengendalikan segalanya.Mobil berhenti di depan restoran bintang lima. Cahaya lampu kristal dari dalam memantul di kaca jendela. Damian turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Aurora. Gerakannya sopan, tapi tatapannya berkata lain.“Makan malam,” ucapnya singkat, nadanya seperti perintah.Aurora menegakkan bahu, mencoba tenang meski
Aurora berdiri mematung di ruangan besar itu. Lampu gantung yang menggantung tinggi di langit-langit gedung tua terasa seperti mata yang mengawasi, menghakimi. Di meja kayu, foto itu masih terbuka, senyum masa lalu menertawakan dirinya.Tangannya gemetar, seolah foto itu bukan sekadar kertas—tapi sebuah pintu ke neraka yang selama ini ia tolak untuk dibuka.“Aku…” suaranya parau, nyaris tenggelam. “Aku tidak mengerti, Damian.”Damian berdiri beberapa langkah darinya, jas hitamnya kini sedikit terbuka, dasi longgar, tapi auranya tetap mencengkeram. Ia menatap Aurora lama, dalam, sampai udara di antara mereka terasa berat.“Kau mau tahu kebenaran, Aurora?” suaranya rendah, dingin. “Maka dengarkan… karena setelah ini, kau tidak akan pernah melihat dunia dengan cara yang sama.”Aurora menelan ludah, ngeri, tapi juga… penasaran.Damian berjalan mendekat, langkahnya mantap, sepatu kulitnya menimbulkan gema di lantai marmer tua. Ia berh
Langit siang itu kelabu, seolah menandai sesuatu yang akan berubah. Aurora duduk di kursi belakang mobil hitam yang meluncur di jalan sunyi. Jendela gelap memantulkan bayangannya sendiri—mata yang dipenuhi tanya, bibir yang terkatup rapat menahan gelombang resah.Damian duduk di sampingnya, jas hitam rapi membungkus tubuhnya, wajahnya tak tertebak. Jemarinya mengetuk pelan sandaran tangan, irama yang membuat dada Aurora semakin sesak.“Ke mana kau membawaku?” suaranya terdengar pelan, tapi cukup untuk memecah keheningan yang mencekik.Damian tidak langsung menjawab. Ia memalingkan wajah, menatap Aurora dengan tatapan yang seperti bisa menembus pikirannya. “Tempat di mana semua cerita kita dimulai.”Aurora menelan ludah, rasa dingin merayap di tulang punggungnya. “Cerita… kita?”Senyum tipis melintas di bibir Damian. “Kau masih memandang ini sebagai perang, Aurora. Tapi perang selalu punya alasan. Dan aku akan tunjukkan kenapa.”M
Aurora terbangun oleh cahaya matahari yang menembus tirai tipis. Untuk sesaat, ia lupa di mana berada. Ranjang besar dengan seprai satin, aroma tembakau samar yang masih menggantung di udara… lalu ingatan kembali menghantamnya. Damian. Pernikahan. Neraka yang kini menjadi rumahnya.Ia duduk perlahan, kepala terasa berat oleh kurang tidur. Damian tidak ada di kamar. Keheningan ini justru membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Dengan langkah ragu, Aurora turun dari ranjang, berniat mencari kamar mandi.Tangannya menyentuh gagang pintu. Begitu pintu terbuka, tubuhnya langsung membentur sesuatu atau lebih tepatnya, seseorang.Aurora terhuyung ke depan. Sebelum ia sempat jatuh, sepasang lengan kuat menangkapnya, menahan tubuhnya agar tidak menyentuh lantai. Aroma sabun dan cologne maskulin menyeruak, membuat napasnya tercekat.Damian.Pria itu berdiri hanya mengenakan kemeja putih longgar, beberapa kancing terbuka, memp
Aurora menatap ke luar jendela, lampu kota berkelebat seperti kilatan kilat saat mobil Damian melaju melewati jalan yang sepi. Malam itu seharusnya sudah berakhir, tapi rasa mencekam menempel di kulitnya seperti bayangan yang enggan pergi. Kata-kata Damian masih terngiang: Besok, aku akan tunjukkan segalanya.Mobil berhenti di depan bangunan megah yang menjulang dengan pilar marmer putih dan kaca tinggi memantulkan cahaya lampu taman. Kediaman Damian. Bukan sekadar rumah, ini istana yang dibangun dengan kekuasaan.Aurora menelan ludah saat Damian membuka pintu untuknya. “Turun,” ucapnya, suaranya tenang namun membawa bobot perintah.Langkah Aurora terasa berat, setiap ubin yang ia pijak seolah menjerat pergelangan kakinya. Saat melewati pintu besar yang dibuka oleh Adrian, hawa dingin menyergap, bercampur aroma mahal dari kayu berlapis pernis. Adrian hanya menunduk sopan, tapi sorot matanya mengikuti mereka seperti bayangan.Da
Aurora tidak tahu siapa yang pertama kali membuka pintu, tapi udara di ruangan mendadak terasa lebih dingin. Damian menoleh, rahangnya mengeras. Dan di ambang pintu, berdiri sosok yang pernah hanya jadi bisikan di telinganya, Rafael. Pria itu tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak ramah. "Lama tidak bertemu, Damian," ucapnya dengan nada santai yang menusuk seperti belati. "Dan… ini dia pengantin barumu." Aurora membeku. Rafael. Nama itu pernah ia dengar dalam percakapan ayahnya lima tahun lalu. Nama yang membawa malapetaka. Jantungnya berdetak liar. Apa yang dia lakukan di sini? Damian melangkah pelan, berdiri di depan Aurora, tubuhnya seperti benteng. "Kau tidak diundang," katanya dingin, suaranya tajam seperti baja. Rafael tertawa pelan. "Undangan? Kau tahu aku tidak butuh undangan, Blackwood. Aku datang… karena aku tidak tahan mendengar rumor yang beredar. Katanya sang