“Xavier sudah tidak marah karena kau membantumu?” tanya Tristan sambil menyimpan ponsel ke saku bajunya.Hazel menoleh, lalu meletakkan map tebal di atas meja kerja. “Sepertinya tidak. Akhir-akhir ini dia sangat sibuk… kami hanya sempat bertemu sebentar saat pagi dan malam.”Tristan berjalan santai ke arah lemari pendingin, mengambil dua kaleng soda dan menyerahkan satu ke Hazel. “Kulihat hubungan kalian terlihat baik… jadi, apa ada rencana menikah dalam waktu dekat?”Hazel tersenyum samar. “Belum dibicarakan. Tapi entah kenapa, aku merasa waktunya mungkin akan datang lebih cepat dari yang kupikirkan.”Tristan mengangguk sambil menyilangkan tangan. “Besok adalah hari penting untukku, pameran perdanaku dibuka. Aku ingin kau dan Xavier hadir, sebagai tamu kehormatan.”“Akan kuusahakan,” jawab Hazel sambil melirik jam tangannya. “Sudah malam… aku harus pulang.”“Butuh tumpangan?” tawar Tristan dengan nada bersahabat.Hazel menggeleng sambil tersenyum. “Aku bisa sendiri.”Dalam perjalanan
Ekspresi kaget Xavier masih betah menempel di wajahnya bahkan hingga mereka tiba kembali di apartemen. Hazel nyaris tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa setiap kali matanya menangkap wajah tunangannya itu yang tampak seperti baru melihat alien mendarat."Kenapa? Kau masih belum bisa percaya?" goda Hazel, menyikut lengannya pelan.Xavier yang kini duduk terpaku di sofa, hanya menggeleng pelan. "Aku... jujur saja, selama ini aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri. Aku tidak pernah punya waktu untuk... memperhatikan hubungan sesama jenis yang ternyata... sangat terang-terangan di kota ini."Dan akhirnya, tawa Hazel pun pecah, keras dan lepas. Ia benar-benar tidak bisa menahan geli melihat bagaimana pria sekuat dan segarang Xavier Lautaro bisa tampak begitu lugu dan kaget hanya karena satu pelukan mesra dan ciuman dari Tristan bersama tunangannya."Sumpah, ekspresi kagetmu itu... jauh lebih dramatis dibanding waktu kau tertembak di bahu!" seru Hazel sambil memegangi perutnya yang
Sore itu, langit New York menangis dalam diam. Hujan mengguyur jalanan kota, menciptakan simfoni lembut di atas aspal dan jendela toko. Hazel berlari kecil di trotoar, jaketnya basah oleh rintik hujan, sementara satu tangan menggenggam ponsel yang terus ia tempelkan di telinganya.“Kau di mana sekarang?” tanyanya terburu-buru, nafasnya masih tersengal.“Di kafe yang biasa. Duduk dekat jendela,” jawab suara di seberang.Hazel segera menyeberang dan masuk ke sebuah kafe beraroma kopi dan kayu manis. Begitu pintu terbuka, suara lonceng kecil berdenting lembut. Di dekat jendela, terlihat sosok Tristan yang langsung melambaikan tangan sambil tersenyum hangat. Di hadapannya mengepul segelas kopi hangat yang aromanya langsung menyapa Hazel begitu ia mendekat.Hazel melepas jaket basahnya dan duduk di kursi seberang. Rambutnya sedikit basah, namun tatapan matanya tetap tajam. “Bukankah kau sudah pergi ke luar negeri? Kupikir kau tidak akan kembali secepat ini.”Tristan menyeringai santai. “Aku
Keesokan harinya, Xavier pergi ke laboratorium pembuatan robot miliknya. Semenjak humanoid itu diperkenalkan ke publik, saham perusahaan Jacob terus meningkat. Namun hari ini ia datang bukan untuk memantau perkembangan jumlah robot yang diproduksi oleh perusahaannya, melainkan meminta Diego untuk melakukan sesuatu."Dia datang?" ucap Diego saat seseorang memberitahunya.Diego langsung berlari melewati koridor panjang sampai ia melihat Xavier datang menggunakan dua tongkat penyangga tubuh di kedua tangannya."Apa yang terjadi padamu, Dude?" tanya Diego saat melihat kondisi Xavier.Xavier mengangkat bahunya sedikit. “Seperti yang kau lihat, aku sedang tidak dalam kondisi prima.”Tanpa membuang waktu, Diego menggiring Xavier ke sebuah ruangan khusus. Robot setinggi pinggang manusia menyusul masuk, membawa dua kaleng minuman dalam nampan mengkilap, bergerak nyaris tanpa suara. Mesin itu berhenti tepat di hadapan mereka, menunduk sopan layaknya pelayan istana.Setelah duduk, Diego menatap
Ruangan yang tadinya penuh tekanan kini terasa lebih lapang, seolah atmosfernya berubah sejak George mulai membuka suara tanpa nada mengintimidasi seperti biasanya. Hazel yang selama ini mengira pria tua itu menyimpan kebencian padanya, akhirnya bisa menarik nafas lebih dalam. Ternyata prasangkanya tak sepenuhnya benar.Sikap dingin George selama ini memang cukup membuat Hazel merasa tak diinginkan. Bahkan ia sempat berpikir, jika diberi kesempatan, George mungkin akan dengan senang hati menyingkirkannya dari kehidupan Xavier. Tapi nyatanya, pria itu hanya diam. Tidak pernah sekalipun mengambil langkah untuk benar-benar menjauhkan mereka.“Memangnya kalau aku melarang, kau akan menurut?” ucap George tiba-tiba, menatap cucunya dengan tatapan yang sulit dibaca. “Kau itu keras kepala, Xavier. Kalau sudah menginginkan sesuatu, pasti akan kau kejar sampai dapat. Tak peduli siapapun yang menghalangi, termasuk aku.”Xavier tertawa ringan. “Aku sempat berpikir, Kakek tidak menyukai Hazel.”Geo
Dua hari setelah pesta pernikahan Christina dan Meric dilakukan, dan kini, Xavier serta Hazel kembali menginjakkan kaki di New York. Siang itu, pesawat pribadi mereka mendarat mulus, dan barisan penjaga sudah bersiaga rapi di luar bandara, siap menyambut sang tuan dan nyonya yang kembali.Hazel menoleh pada Xavier sambil menyipitkan mata karena silau matahari. “Apa kita akan tinggal di New York untuk sementara waktu, atau ada tempat lain yang ingin kau kunjungi?” tanyanya ringan.Xavier berjalan menuju mobil sementara para penjaga membawakan barang di belakang. "Sementara kita akan tinggal di New York, karena aku sudah memutuskan untuk sedikit menjauh dari pusat keramaian, begitu urusan bisnisku selesai disini, aku akan mengajakmu ke kediaman asliku.”Hazel mengerutkan dahi, menoleh dengan rasa penasaran. “Kediaman asli?” gumamnya pelan, membayangkan tempat misterius seperti istana dengan pagar tinggi dan ruang rahasia. Tapi ia hanya menahan rasa ingin tahunya untuk nanti.Mobil menuj