Jangan lupa di komen ya :D
Sehari saja. Satu hari penuh tanpa ancaman, tanpa tekanan. Tapi tampaknya permintaan sederhana itu terlalu sulit untuk dipenuhi.Hazel memejamkan mata sejenak, membiarkan hangatnya matahari menyentuh wajahnya. Ia duduk di bangku taman villa, dikelilingi hamparan hijau yang tenang. Namun, pikirannya sama sekali tidak selaras dengan ketenangan itu. Alih-alih damai, dadanya terasa sesak, pikirannya kusut seperti benang yang digulung paksa.Baru saja ia hendak menikmati pagi cerah tanpa darah dan pelarian, bayang-bayang dari masa lalu kembali menghantuinya. Perjanjian dengan Tyler.Perjanjian bodoh yang tak pernah ditulis, tak pernah disahkan, tapi dampaknya menjerat kuat seperti rantai besi di lehernya.Hazel menghela nafas berat untuk yang entah keberapa kali, menyandarkan punggung dan membiarkan angin menggoyang helai-helai rambutnya.“Seharusnya aku bisa lepas… tak ada tanda tangan, tak ada kontrak, tak ada harga yang kubayar untuk kerja sama itu. Harusnya… bisa kuputus kapan saja.”Ta
Kamar itu kacau. Sprei kusut, bantal terlempar ke lantai, dan pakaian berserakan seperti jejak dari pertempuran panas yang terjadi semalam. Xavier terbangun dengan dahi berkerut, tidak karena kekacauan di sekelilingnya, melainkan karena satu hal yang paling ia benci, bangun tanpa seseorang yang semalam menemaninya.Dengan malas, ia mengusap wajahnya, lalu bangkit dari ranjang. Suasana sunyi sempat membuatnya tak tenang… sampai hidungnya menangkap aroma gurih telur yang digoreng dengan mentega. Aroma itu menuntunnya keluar kamar, membuat langkahnya bertambah cepat dan penasaran.Begitu tiba di ambang pintu dapur, pemandangan di depannya membuat Xavier terdiam sejenak.Hazel berdiri membelakanginya, mengenakan kemeja abu-abunya yang jelas terlalu besar untuk tubuh mungilnya. Namun justru karena itulah, pakaian itu hanya menutupi separuh pahanya, menyisakan kaki jenjang yang terekspos begitu menggoda. Lengan baju dilipat asal di atas siku, rambut panjangnya dikuncir asal seperti baru ban
Hazel kembali ke area pesta yang mulai sedikit lebih ramai dibanding sebelumnya. Musik berdentum lembut dari speaker tersembunyi di balik dinding taman, dan lampu-lampu gantung yang menggantung dari pohon-pohon menciptakan cahaya temaram yang menenangkan, atau seharusnya.Di kejauhan, ia melihat Xavier tengah bercengkrama santai bersama beberapa pria dengan jas casual. Tawa mereka terdengar ringan, tapi ketika Hazel mendekat, seketika percakapan itu diselingi bisikan dan tawa dalam bahasa Italia yang jelas bukan basa-basi. Salah satu dari mereka bahkan menyenggol bahu Xavier sambil melirik ke arahnya.Hazel pura-pura tidak mendengar. Ia tersenyum sopan, menjaga sikap."Hai, Babe." Xavier langsung menariknya ke dalam pelukannya dengan luwes, seakan sedang memamerkan sebuah piala berharga pada rekan-rekannya. Lengan pria itu melingkar di pinggang Hazel, dan sentuhan itu terasa hangat... terlalu familiar untuk suasana yang penuh kepalsuan ini.Hazel membalas dengan senyum kaku, lalu membi
Suasana pesta semakin hidup. Tawa para tamu berpadu dengan denting gelas dan irama musik yang dimainkan oleh band profesional di sisi taman. Xavier memandu Hazel di antara kerumunan dengan langkah tenang dan penuh percaya diri, setiap orang yang mengenalnya memberi salam, dan beberapa bahkan terlihat canggung.Hazel memperhatikan semuanya dengan seksama. Ia tahu Xavier bukan sekadar orang kaya biasa. Kehadirannya seperti magnet, memikat, sekaligus menakutkan bagi sebagian orang.“Xavier, senang sekali kau datang,” seorang pria tua berjubah biru laut menghampiri mereka. Wajahnya dihiasi senyum hangat, namun tatapannya tajam.“Count Verano,” balas Xavier sopan. “Kau masih menjadi pusat pesta seperti biasa.”Hazel hanya mengangguk saat diperkenalkan, tapi di balik senyumnya, ia bisa merasakan tekanan sosial yang perlahan menyesakkan. Ini bukan sekadar pesta. Ini adalah tempat pertemuan para penguasa bayangan, para pemain utama dari politik, senjata, dan kekuasaan.Tak lama kemudian, Xavi
Sepanjang malam, kapal terayun lembut namun konsisten oleh gelombang laut yang tak pernah benar-benar tidur. Bunyi suara air yang membentur lambung kapal, serta tiupan angin yang menyelinap lewat celah-celah jendela menjadi latar alami malam mereka.Saat Hazel membuka mata, sinar matahari samar mulai menembus masuk dari jendela, membias di antara percikan air yang menempel di kaca. Ia menggeliat pelan, selimut melorot dari bahunya, memperlihatkan bahu telanjang yang masih hangat oleh sisa pelukan semalam.Di seberang ruangan, Xavier tengah membungkuk mengenakan bajunya yang semalam tergeletak begitu saja di lantai. Bahunya lebar, rambutnya masih sedikit berantakan, namun gerakannya tenang dan teratur seperti biasa."Apa kita sudah sampai?" suara Hazel serak, berat karena baru terbangun, tapi cukup untuk membuat Xavier menoleh.Ia melemparkan pandangan ke jendela bundar di dinding kabin. “Belum. Tapi sebentar lagi. Aku akan memberitahumu saat kita hampir sampai.”Tanpa menunggu jawaban,
Langit telah pekat, nyaris tanpa cahaya. Kapal masih berlayar perlahan, terombang-ambing oleh gelombang laut malam yang tenang namun tak bersahabat. Di sekeliling mereka, hanya hitam, tidak tampak ujung daratan, tak ada cahaya lampu kapal lain, bahkan langit pun pelit menampakkan bulan ataupun bintang. Semua terasa seperti bergerak di tengah kehampaan.Hazel muncul dari balik pintu kabin, rambutnya yang tergerai sedikit berantakan oleh angin laut. Ia menghampiri Xavier dan Kevin yang tengah bersandar santai di dek belakang yacht, masing-masing memegang segelas minuman."Apa masih lama?" tanyanya, suara lembutnya nyaris tertelan oleh desir angin.Kevin melirik arlojinya, lalu menoleh sambil mengangkat gelas. "Sekitar delapan jam lagi, mungkin lebih kalau arus mulai berubah."Hazel mendesah pelan, lalu duduk di dekat mereka dan mengambil botol wine yang diletakkan di meja kecil. Ia menuangkan isinya ke dalam gelas kristal bening, menatap warnanya sejenak sebelum meneguk perlahan. "Delap