Bersambung...
Bukan hanya Hazel yang terkejut saat mendengar suara tawa Xavier barusan, tapi Xavier sendiri bahkan lebih terperanjat dari siapapun. Suara yang selama ini ia kira telah hilang, tiba-tiba saja muncul, menyelinap keluar dari tenggorokannya seperti bisikan asing yang lama tertahan.Refleks, Xavier menyentuh lehernya dengan kedua tangan, seolah ingin memastikan bahwa itu benar-benar datang dari dirinya. Ia mencoba lagi, membuka mulut, memaksa pita suaranya bergerak… tapi tidak ada suara yang keluar. Yang ia rasakan hanya tekanan halus di tenggorokannya, lalu kembali senyap."Kau… kau baru saja bicara, Xavier," ucap Hazel pelan, setengah tak percaya. Wajahnya memancarkan rasa senang dan khawatir bersamaan. "Kau bisa mengucapkan sepatah kata?"Xavier menggeleng pelan, mencoba lagi, namun usahanya kembali berakhir dengan kegagalan. Ia ingin sekali menjawab, membalas pertanyaan Hazel, memberi tahu bahwa ia juga senang akhirnya bisa mendengar suaranya sendiri, meskipun hanya sekejap.Melihat
Hari ke-30 sejak Hazel mulai merawat Xavier terasa seperti titik balik dari segalanya. Waktu berjalan pelan namun pasti, dan setiap detik yang berlalu adalah perjuangan yang tak pernah mudah.Xavier kini sudah tak lagi bergantung pada kursi roda. Hari ini, untuk pertama kalinya, ia berdiri dengan kedua kakinya, meski masih bertumpu pada dua tongkat penyangga yang menggenggam erat di tangannya. Setiap langkah adalah ujian bagi keseimbangannya, dan setiap jatuh adalah pengingat bahwa ia belum sepenuhnya pulih.Hazel berdiri di ambang pintu, memperhatikan dalam diam. Angin pantai menyapu ujung rambutnya, membelai pipinya yang menghangat oleh sinar matahari."Dia benar-benar tidak menyerah," batin Hazel, matanya tak lepas dari sosok Xavier yang kini berjuang menyusuri hamparan pasir putih.Dua hari lalu mereka memutuskan meninggalkan apartemen dan memilih villa kecil di tepi pantai. Tempat itu jauh dari hiruk pikuk kota, hanya suara ombak, desir angin, dan debur hati yang saling menyembuh
Meski tubuhnya masih sakit dan belum sepenuhnya pulih, Xavier tetaplah Xavier, pria dengan tubuh yang jauh lebih besar dari Hazel. Ketika tanpa sengaja ia menindih tubuh Hazel saat jatuh, bobot tubuhnya langsung membuat Hazel kehilangan keseimbangan dan terbaring di lantai."Xavier! Kau... kau berat!" keluh Hazel setengah tertawa, tangannya mencoba mendorong tubuh Xavier, tapi sia-sia.Jarak wajah mereka kini hanya beberapa sentimeter saja. Tapi alih-alih tegang atau kikuk, Hazel malah terkikik, lalu tertawa lepas. Wajah Xavier yang masih dihiasi makeup isengnya terlihat begitu… aneh, lipstik yang mulai melebar ke pipi, alis yang terlalu tinggi, dan blush on mencolok di pipi yang maskulin.Gelak tawanya meledak, membanjiri ruangan dengan suara yang merdu dan bebas. Air mata tawa mengalir di sudut matanya."Astaga Xavier, perutku terasa kram melihat wajahmu saat ini." ujar Hazel, air mata pun jatuh dari ujung matanya karena menertawai Xavier sejak tadi.Namun Xavier justru menikmati mom
Hari demi hari berlalu dan Hazel masih senantiasa menemani Xavier sampai tubuh Xavier perlahan mulai menunjukkan perkembangan yang diinginkan. Dan hampir setiap malam saat Hazel tidur, Xavier juga memaksa tubuhnya untuk terus bergerak, mencoba untuk segera sembuh dari penyakitnya yang tidak bisa berjalan dan tidak bisa berbicara.Sore itu, Hazel datang dari luar sambil membawa sebuah kotak berukuran lumayan besar. Di balik senyumnya yang terlalu lebar untuk disebut polos, Xavier langsung merasa waspada. Ia menatap curiga, terutama mengenai isi di dalam kotak yang Hazel bawa."Xavier, apa kau pernah ingat sumpahku saat kita pertama kali mengenal?" tanya Hazel dengan pandangan mencurigakan.Xavier menoleh dan menggeleng pelan, Hazel meletakkan sebuah boks yang ia bawa ke meja lalu menghampiri Xavier sambil tersenyum mencurigakan. Tapi meski demikian, Xavier tetap tidak bisa kemana-mana karena belum sepenuhnya bisa berdiri dan berjalan normal.Hazel setengah berjongkok di depan Xavier ya
Pagi itu terasa lebih hangat dari biasanya.Saat Hazel membuka mata, hal pertama yang dilihatnya adalah Xavier yang terbaring di sampingnya, masih terdiam, tapi keberadaannya saja sudah cukup untuk membuat jantung Hazel berdetak lebih pelan dan tenang.Senyum tipis mengembang di bibir Hazel. Perlahan, tangannya mengusap lembut pipi Xavier yang masih tertidur, lalu ia mengecup sisi wajah pria itu penuh kelembutan.“Selamat pagi…” bisiknya pelan, meski tak mengharapkan balasan apa-apa.Dengan perlahan, Hazel bangkit dan melangkah keluar kamar untuk menyiapkan sarapan. Suara peralatan dapur menyambut pagi, harum roti panggang dan telur yang digoreng sempurna memenuhi udara. Dari balik selimut, Xavier membuka mata. Ia melihat punggung Hazel menjauh dan untuk sesaat, perasaan kehilangan menyelusup diam-diam.Malam tadi… untuk pertama kalinya, Xavier mencoba menggerakkan kakinya. Ia berusaha keras, berjuang sekuat tenaga, namun tubuhnya masih terlalu lemah. Berdiri saja ia belum mampu. Dan i
Hari demi hari berlalu, yang Hazel kerjakan adalah menjaga Xavier setiap hari. Dunia terasa lebih tenang, tidak ada pertikaian lagi dan itu sangat damai. Matahari hari ini juga terlihat cerah, jika Xavier sudah sehat kembali pasti akan sangat menyenangkan bisa jalan-jalan bersama. Hazel tersenyum tipis, ia menatap wajah Xavier dimana luka di wajahnya mulai jauh lebih baik. "Lihatlah, hari ini cerah sekali, kau tidak mau lihat?" tanya Hazel. Tapi tanpa ia duga, setelah mengatakan kalimat barusan, kelopak mata Xavier yang sudah terpejam selama berhari hari tiba-tiba saja terbuka. Hazel sempat kaget, mengira ia hanya berhalusinasi. "Xavier?!" serunya. Buru-buru Hazel memanggil dokter, tidak butuh waktu lama dokter pun datang untuk memeriksa kondisi Xavier. Tapi pria itu hanya membuka mata, tidak menggerakkan tubuhnya. Setelah dokter mengatakan kondisi Xavier membaik, Hazel benar-benar merasa lega. Ia mendekat, melihat Xavier dengan seksama. Tapi pria itu hanya mengedipkan mata, me