Sebuah pintu lebar terbuka menunjukan sepasang pengantin yang berada di baliknya. Mereka berjalan beriringan melewati karpet merah bertabur kelopak bunga mawar.
Semua atensi teralihkan. Suasana hening yang langsung tercipta membuat aura sakral semakin terasa. Orang-orang yang berada di ruangan itu, sepenuhnya adalah anak buah Max yang berdandan rapi layaknya menghadiri undangan pejabat. Max memang tidak mengundang siapapun karena pernikahan mereka terbilang sederhana. Mungkin lokasi Mansionnya yang berada di tengah hutan juga turut menjadi pertimbangan.
Max semakin mengeratkan tangannya ke pinggang Mentari ketika mereka menaiki altar. Senyum culas kembali terbit saat ternyata calon istrinya itu masih saja menangis padahal ia sudah melarang keras.
Acara pernikahan dimulai. Tak ada seorang pun yang berani membuka suara seakan menikmati suasana itu. Padahal tidak sepenuhnya benar. Kebanyakan dari mereka justru
Mentari harus merasa beruntung karena malam pertama itu belum terjadi. Semalam Max meninggalkannya seorang diri di dalam kamar karena harus menangani urusan penting. Ia dapat bernapas lega. Meskipun di malam-malam selanjutnya pasti tidak akan sama.Pagi-pagi sekali Mentari sudah dibangunkan oleh pelayan. Mereka memintanya untuk segera turun ke bawah atas perintah Max. Mau tak mau Mentari harus menurutinya.Ketika ia sampai di bawah, rasa terkejut menelannya. Orang-orang yang semula dijadikan tawanan oleh Max kini dikumpulkan di satu tempat. Yang menarik perhatian Mentari adalah Raisa. Kini gadis itu berdiri dengan senyum yang tak pernah luntur dari wajah manisnya. Ketika tatapan mereka bertemu, Raisa langsung berlari menghampiri Mentari kemudian memeluknya."Terimakasih, terimakasih banyak. Karena kau, kami semua dibebaskan dan akan segera pulang," ucap Raisa berbinar-binar.Bak mendapat permata berharga, awan mendung di wajah Ment
Mentari masuk ke kamar Max dengan emosi yang naik ke ubun-ubun. Terlihat pria itu duduk di dekat jendela yang ada di pojok ruangan sambil bertumpang kaki dan menghisap rokok. Ada satu botol minuman keras berjenis The Winston Cocktails yang terletak di atas meja di depannya dan hanya tersisa setengah, mungkin setengahnya lagi sudah masuk ke dalam kerongkongannya. Max adalah tipe peminum berat sehingga setengah botol saja tak bereaksi apa-apa pada kesadarannya.Max sadar akan kehadiran Mentari, hanya saja ia mengabaikannya. Justru sibuk memandangi luar jendela dengan asap yang mengepul keluar dari mulut."Apa yang kau lakukan?" Gadis itu berjalan mendekat.Hanya dibalas lirikan sekilas oleh Max. "Duduk, merokok, dan minum. Silahkan duduk jika kau juga ingin mencicipinya."Mentari berjengit kesal, Max terlihat sangat tenang seolah tak melakukan kesalahan apapun.
Mentari duduk di ranjang dengan harap-harap cemas. Secara tak sadar, tangannya mencengkram pinggiran ranjang. Matanya tak henti bergulir pada jam di dinding. Terhitung sudah satu jam Max menguncinya di dalam kamar dan meninggalkannya sendirian. Satu hal yang ia takutkan, pria itu benar-benar menginginkan malam pertama di pernikahan mereka.Ayolah, Max adalah pria yang sangat kejam. Akan bagaimana keadaannya jika dia menyentuh Mentari? Terlebih gadis itu juga masih belum siap menyerahkan kehormatannya meskipun status mereka sudah menikah.Ceklek.Perasaan Mentari semakin tak keruan saat tiba-tiba pintu kamar terbuka. Ia terhenyak karena mendapati Max melangkah masuk dan mengunci pintunya, kemudian berjalan sempoyongan ke arah Mentari. Sepertinya pria itu mabuk lagi.Secara refleks, Mentari berdiri takut. Perasannya benar-benar tak enak meskipun disuguhkan oleh Max yang bertelanjang dada d
Pemuda yang berjalan dengan bantuan tongkat itu hendak masuk ke dalam lift. Sesekali, matanya melirik ke suatu tempat dengan menajamkan indra pendengaran. Baru setelah waktunya tepat, ia masuk ke dalam kotak besi itu dan segera menekan tombol menutup.Ada yang tidak beres. Ia sadar saat telinganya tak sengaja menangkap suara langkah kaki yang mengikuti kemana pun ia pergi. Shaka menjadi lebih waspada. Bagaimanpun, semua anak buah Max sudah disetel untuk menjalankan perintah Boss-nya.Ting! Pintu lift terbuka bersamaan dengan dua orang pria bermasker yang langsung menyerangnya dari luar menggunakan pisau. Shaka yang sejak tadi sudah mengambil kuda-kuda memukulkan tongkatnya hingga mereka tersungkur dan pisaunya terjatuh ke lantai. Pemuda itu bergegas keluar lift.Namun, nasib sial menghampiri ketika salah satu dari mereka justru menarik tongkat yang digunakan Shaka dari bawah. S
Ini semua sulit dicerna. Setiap kata yang Max ucapkan layaknya sembilu yang selalu membuat luka baru di hati Mentari. Ia terkejut hingga secara tak sadar mundur beberapa langkah dari tempatnya. Pegangannya di lengan Max mengendur hingga terlepas begitu saja.Sekali lagi. Harapan yang ia tanam pupus di tengah jalan. Max lah yang telah menghancurkannya untuk kesekian kali.Dia manusia, tetapi tidak memiliki hati. Satu kalimat yang meluncur dari bibirnya terus terngiang di benak Mentari hingga si empunya tak kuasa menahan tangis."Apa ... maksudmu?" tanyanya begitu lirih, tetapi masih bisa didengar oleh Max.Kali ini pria itu berbalik hingga pandangan mereka bertemu. Max berubah menjadi monster lengkap dengan mata elang dan wajah seriusnya."Kau tidak tuli, bukan? Layani pria ini sekarang juga! Dia sudah membayarku dan aku sudah berjanji akan menyerahkanmu padanya," tek
Gadis itu menggeleng pelan, tak percaya dengan apa yang dialaminya. Setelah harga dirinya direnggut paksa, apakah kini takdir juga akan mengambil satu-satunya teman?"Tidak. Itu tidak boleh terjadi!" bantahnya. Ia berusaha membangunkan Shaka dengan menepuk-nepuk pipinya pelan. Kulit pemuda itu terasa dingin hingga wajahnya berubah pucat dan bibirnya membiru. "Kau tidak boleh meninggalkanku apapun yang terjadi, Shaka!"Mentari panik. Ia menekan dada Shaka berulang kali untuk mengeluarkan air yang sudah tertelan juga memacu detak jantungnya. Entah cara ini tepat atau tidak, tetapi Mentari yakin bersama ketulusannya ia akan membuat Shaka bangun.Semua gerak-gerik Mentari tak luput dari perhatian Max. Pria itu berjalan mendekat agar dapat melihat peristiwa menarik di hadapannya. Ia melipat tangan di depan dada kemudian menyeringai."Dia sudah tewas. Itu semua karena kau telat menyelamatkanny
"Bangun! Jangan berpura-pura pingsan di hadapanku!" Max menendang kaki Mentari lumayan kuat. Akan tetapi, gadis itu tak menunjukkan pergerakan. Seolah ia memang sudah larut dalam kehidupan di alam bawah sadar dan tidak akan kembali lagi. "Kau jangan berharap aku akan kasihan denganmu, Mentari! Bangun sebelum aku membuatmu tidak bisa bangun selamanya!"Masih tidak ada pergerakan. Max berjongkok kemudian menarik wajah gadis itu. Ia terlihat pucat, bibirnya yang membiru bergetar dan terlihat menggigil. Sementara matanya masih terus menutup. Sepertinya ia benar-benar tidak sadarkan diri.Max membuang napas kasar lalu meraih tubuh gadis sembilan belas tahun itu dan menggendongnya kembali ke kamar. Ia meringis pelan kala merasakan suhu tubuh Mentari yang tinggi.Max tak langsung meletakkannya ke ranjang. Ia justru menaruhnya di atas sofa karena pakaian Mentari masih basah kuyup.Max merogoh po
Seorang pria dengan wajah datar dan netra elangnya berjalan melalui lorong sempit berbau busuk. Pencahayaan yang temaram tak membuat aura mengerikan dari pria tersebut lenyap. Justru sebaliknya, kegelapan seolah membuatnya semakin terlihat seperti jelmaan iblis yang gemar menyakiti manusia.Max berhenti di depan sebuah bilik penjara yang jauh dari kata layak. Selain ukurannya sempit, tempat tersebut sangat kumuh dan menjadi sarang ternyaman para lalat hijau karena banyak bangkai tikus atau bahkan potongan daging manusia yang tergeletak begitu saja. Ia lalu memandang remeh seorang pria yang meringkuk di dalamnya."Kurasa tempat ini cocok untukmu, Arshaka."Pria malang dengan pakaian yang masih basah kuyup itu terbangun dari tidurnya. Setelah diikat di dasar kolam, anak buah Max selalu menyiramnya dengan seember air setiap satu jam sekali karena tak ingin membiarkan pakaiannya kering.Ia m