Mentari membuka matanya secara perlahan-lahan. Menyesuaikan cahaya sekitar yang terasa menusuk retinanya. Pusing yang teramat sangat tiba-tiba mendera hingga gadis itu kembali memejamkan mata sembari mendesis.
Saat merasa lebih baik, Mentari baru sadar akan suasana sekitar. Pandangannya langsung jatuh pada pria yang duduk dengan jarak lima meter di hadapannya. Terlihat sangat angkuh karena ia menaruh salah satu kaki di atas kaki yang lain. Asap mengepul dari rokok yang tersemat di antara jemarinya. Seolah menunjukkan bahwa dialah yang paling berkuasa di sana.
Mentari berdecih. Pandangannya bergulir hingga sampai pada kondisinya saat ini. Terduduk di sebuah kursi kayu dengan kedua tangan terikat ke belakang. Tidak ada siapapun selain mereka berdua. Padahal ruangan yang saat ini dia tempati adalah aula yang cukup besar. Hatinya bertanya-tanya. Kemana Shaka dibawa pergi?
"Apa kau mencari temanmu itu?" Max buka suara membuat asap keluar dari mulut dan hi
"Arrrgh ...!" Teriakan Shaka bersahutan dengan suara Mentari yang menjerit keras. Bersamaan dengan terputusnya kaki kanan Shaka saat benda tajam itu menghantam lututnya.Darah menyembur keluar seperti kran air yang dinyalakan dengan volume paling tinggi. Mengenai wajah Mentari yang kini pucat pasi dengan tubuh membeku. Namun, itu tak berlangsung lama. Di detik berikutnya kesadarannya hilang hingga kepalanya tertunduk ke bawah. Peristiwa yang baru saja ia lihat, pasti akan menjadi kenangan paling buruk saat ia membuka mata nantinya.Di saat yang sama, Shaka limbung lalu terjatuh ke lantai sambil merintih kesakitan. Tubuhnya bergerak kesana-kemari menahan perih maha dahsyat. Ia tak menyangka hukuman yang diberikan Max akan seperti ini. Bila boleh memilih, ia lebih meminta kematian daripada dibuat cacat.Penderitaan Shaka semakin menyakitkan ketika suara tawa terdengar memekakkan telinga. Max memutari tubuh pem
Arshaka Nusantara, pria itu sudah sadar beberapa menit yang lalu. Akan tetapi, kondisinya tak jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia tetap merintih kesakitan karena kaki yang kini diperban tidak disuntik obat bius oleh dokter yang menangani. Tentu saja, ini adalah perintah Max. Pria itu sengaja membuat Shaka menderita dengan kondisinya.Pemuda itu melirik ke arah pintu ketika langkah kaki seseorang mengalihkan pikirannya. Mimik wajah penuh penderitaan kini berganti dengan ekspresi datar saat netranya menangkap sosok Max yang kini berdiri di depan pintu setelah benda itu terbuka.Max melangkah dengan kedua tangan berada di dalam saku celana. Ia baru bersuara ketika sudah sampai di sisi ranjang Shaka."Bagaimana keadaanmu? Kuharap ... tidak jauh lebih baik." Dilanjutkan dengan kekehan ringan saat pandangannya menyapu kaki kanan Shaka yang kini hanya tinggal setengah dan berbalut perban. Bermaksud untuk mengejeknya. "Kakimu–""Dimana Men
"Leader, aku memiliki kabar buruk." Alvin berujar setelah masuk ke dalam ruang kerja Max. Kini pria itu sedang menundukkan kepalanya dengan kedua tangan berada di depan perut."Katakan!" Max tak mengalihkan perhatiannya dari layar laptop.Terlihat sedikit ragu, akhirnya Alvin memberanikan diri untuk mengatakan apa yang ada di benaknya. "Maaf, Leader, empat pria yang semula sudah bersedia menjadi anak buah kita mengubah keputusannya. Mereka justru memberontak dan lebih memilih untuk menjadi penyumbang organ tubuh gratis daripada harus mengabdi padamu."Gerakan tangan Max yang semula sedang mengetik sesuatu mendadak terhenti. Meskipun wajahnya masih terlihat datar, tetapi rahangnya mengeras dan auranya berubah mencekam. Secara refleks Alvin mundur beberapa langkah ketika menyadari perubahan dalam diri Max."Wujudkan keinginan mereka!" Suara berat yang mengalun penuh kemarahan membuat satu-satunya orang yang berada di dalam ruangan itu meremang.
Dua hari telah berlalu. Sejak kejadian itu, Mentari lebih jarang bertemu dengan Max. Tentu hal itu menjadi keuntungan terbesar baginya. Ketidakhadiran Max tak pelak membuatnya bebas barang sesaat.Ya, dua hari lalu Mentari mengalami keracunan. Susu yang diberikan oleh Alvin diduga menjadi penyebabnya. Akan tetapi, alih-alih merasa sedih, Mentari justru sangat bahagia karena efek dari racun itu membuatnya terbebas dari ancaman kehilangan harga diri. Setidaknya, untuk beberapa saat. Karena ia yakin Max tidak akan menyerah. Setelah ini mungkin ia harus mencari cara lain untuk menghindari serangan Max. Tidak mungkin 'kan ia harus meminum susu beracun lagi untuk membuat Max berhenti?Selama dua hari pula, Mentari tak pernah bertemu dengan Shaka. Hidupnya hanya ia habiskan di kamar Max dan kamar mandinya saja. Selebihnya, pria itu tak pernah mengizinkannya keluar. Jika berniat untuk kabur pun, ia tidak pernah memiliki kesempatan. Selalu saja ada anak buah Max yang meme
Mentari bersembunyi di balik pilar. Lorong-lorong panjang dengan pajangan antik dan tirai merah yang menjuntai menjadikan Mansion Max layaknya sebuah kerajaan di masa lalu. Siapapun pasti tidak akan ada yang mengira bahwa di balik kemewahan itu tersembunyi ratusan orang kejam yang menjadikan nyawa manusia sebagai mainan.Saat pemandangan menyedihkan itu kembali menyapa, jantungnya berdegup kencang hingga keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Mentari berusaha tenang dan kembali melihat ke arah depan.Di sana, ada sekitar lima belas gadis yang tengah dikumpulkan dalam satu tempat. Tangannya diikat sehingga mereka tak mampu melawan ketika para anak buah Max mencambuk tubuh mereka. Entah apa yang dilakukan gadis-gadis itu, yang pasti mereka terlihat kesakitan dan menderita.Sejujurnya, Mentari ingin berlari menghentikan perbuatan anak buah Max. Namun, ia tak memiliki banyak waktu. Ia harus kembali ke dalam kamar sebelum seseorang datang.B
"Arrrgh!"Tubuhnya ambruk ke lantai dengan kepala bersimbah darah setelah timah panas menembus langsung tulang tengkoraknya dari jarak yang sangat dekat. Wanita itu meregang nyawa dengan mata terbuka. Diawali dengan kejang selama beberapa detik hingga akhirnya ajal menjemputnya.Pemandangan mengerikan itu tak luput dari penglihatan Mentari. Perlahan tubuhnya meluruh ke bawah hingga ia terduduk di lantai. Tak ada air mata yang mengalir di pipinya. Hanya saja rasa trauma yang bangkit untuk kesekian kali. Setelah Shaka, kini orang lain yang menjadi korban. Entah akan berapa banyak nyawa lagi yang akan tumbang di hadapan Mentari."Sudah selesai. Aku sudah mengirimnya pada Tuhan," ucap Max tenang sambil meniup mulut pistol yang masih berasap.Mentari tersadar kemudian meliriknya. "Kenapa? Kenapa kau membunuhnya? Dia tidak bersalah!""Dia bersalah. Dia sudah membantumu kel
Mentari mematut dirinya di depan cermin. Balutan gaun pengantin dengan riasan cantik membuatnya menjelma layaknya seorang putri dari negeri dongeng. Sayang, semua keindahan itu tak selaras dengan air mata yang sejak tadi mengalir di permukaan pipinya. Wajahnya sembab, itulah mengapa pelayan kewalahan memperbaiki riasannya. Tak ada yang tahu seberapa hancur dirinya saat ini. Di usia yang masih dikatakan belia, ia dipaksa menikahi iblis untuk menyelematkan nyawa banyak orang. Mengorbankan dirinya sendiri untuk membebaskan para tawanan agar bisa kembali ke negaranya. Jika boleh berharap, ia hanya ingin semuanya tak berakhir sia-sia. Para gadis itu bahagia, dirinya juga. Hening yang tercipta terpecahkan saat langkah sepatu menggema di lantai marmer. Semua pelayan menghentikan aktivitasnya. Mereka langsung membungkuk untuk memberi penghormatan. Max berdiri angkuh dengan kedua tangan terlipat di depan dada, posisinya berada di belakang Men
Sebuah pintu lebar terbuka menunjukan sepasang pengantin yang berada di baliknya. Mereka berjalan beriringan melewati karpet merah bertabur kelopak bunga mawar.Semua atensi teralihkan. Suasana hening yang langsung tercipta membuat aura sakral semakin terasa. Orang-orang yang berada di ruangan itu, sepenuhnya adalah anak buah Max yang berdandan rapi layaknya menghadiri undangan pejabat. Max memang tidak mengundang siapapun karena pernikahan mereka terbilang sederhana. Mungkin lokasi Mansionnya yang berada di tengah hutan juga turut menjadi pertimbangan.Max semakin mengeratkan tangannya ke pinggang Mentari ketika mereka menaiki altar. Senyum culas kembali terbit saat ternyata calon istrinya itu masih saja menangis padahal ia sudah melarang keras.Acara pernikahan dimulai. Tak ada seorang pun yang berani membuka suara seakan menikmati suasana itu. Padahal tidak sepenuhnya benar. Kebanyakan dari mereka justru