Bab 167 Reynard datang ke apartemen Eril atas undangan Iswati. Ia tidak tahu menahu alasan apa yang membuat perempuan setengah baya itu mengundangnya. “Sore Tante,” sapanya ramah. “Ayo masuk, ada Nenek Eril di dalam.” Iswati membukakan pintu untuk Reynard dan mempersilahkan dia duduk. Reynard memilih duduk di sofa. Sejenak ia memandangi apartemen Eril yang nyaman. “Kamu mau minum apa? Panas apa dingin?” tanya Iswati ramah. “Apa aja boleh, Tan,” sahut Reynard. Pemuda itu melihat Nenek Maisaroh keluar dari salah satu kamar. Orang tua itu lebih kurus dari yang pernah ia lihat sebelumnya. Dia menyalami perempuan itu. “Apa kabar Nek?” sapanya. Seketika mata Maisaroh berkaca – kaca. “Apa kamu mendapat telepon dari Eril?” tanyanya langsung. Reynard menggeleng. “Dia juga tidak menelpon Nenek.” Mata Maisaroh terlihat sendu. Beberapa kali dia menghela napas panjang. “Nenek dan mamanya Eril bingung. Nenek sampai pergi ke Jakarta karena tidak tahan dengan hujatan tetangga yang bilang kala
Bab 168“S-siapa k-kamu?” tanya Iswati cemas. Bayang – bayang masalah Dokter Kartika menghantuinya.“Perkenalkan saya Adrien, dan ini Jasmine. Saya teman Eril.” Adrien mengulurkan tangan ke arah Iswati. Akan tetapi Iswati telah pingsan. “Tante…” teriaknya.Melihat Iswati pingsan, Reynard dan Maisaroh kaget. Keduanya berlari mendekati Iswati. Reynard buru – buru memindahkan tubuh Iswati ke kamarnya. Maisaroh mengikutinya dan mengabaikan keberadaan Adrien yang masih berdiri di depan pintu.“Aunty, kenapa wanita itu pingsan?” tanya Jasmine.“Aunty juga tidak tahu. Mungkin dia kaget dengan kedatangan kita.”“Apakah kita mau pulang sekarang?”“Tidak, Aunty mau bertemu dengan keluarga Eril. Apakah Jasmine capek?” Adrien menatap wajah keponakannya yang tampak lelah.“Sedikit. Aunty hanya kangen dengan Om Eril. Kenapa Aunty tidak mengajaknya?” Jasmine memainkan rambutnya yang ikal.“Aunty mau memberikan surprised untuknya.” Adrien melongok ke dalam rumah. “Halo, permisi…” katanya menarik perh
Bab 169 “Tadi malam, saya melihat Jazuli masuk di salah satu kos yang berada di ujung jalan itu.” Bik Susi berusaha menjelaskan. “Apa kamu yakin, Bik. Bisa saja dia orang yang mirip Jazuli kan?” bantah Amina. Ia tidak yakin Jazuli bisa melacak tempatnya saat ini. “Bu, saya yakin 100 persen, lelaki itu adalah Jazuli. Saya hapal dengan wajah dan posturnya.” Amina termenung sebentar. “Baiklah kalau begitu Bik. Hati – hati di jalan.” Amina menyerahkan kunci motor gerobak dan uang pada Bik Susi. Ia kemudian menutup pintu, dan hendak merebahkan badannya lagi ke pembaringan. Namun, bukannya tidur, pikirannya malah mengembara kemana – mana. Bagaimana jika lelaki yang dikatakan Bik Susi benar- benar Jazuli? Mungkinkah lelaki itu sengaja mengintimidasinya? Lenguhan napas panjang perempuan itu mengisyaratkan ia sedang ditimpa keresahan hebat. Ketakutannya muncul dan semakin menggerogoti hati Amina. Waktu bergulir begitu cepat. 7 hari lagi ia harus bisa mengumpulkan uang 595 juta. “Ya All
Bab 170 Serta merta Jazuli menerkam Amina hingga perempuan itu terjatuh ke lantai. Kemudian ia menciumi wanita itu dengan penuh nafsu. “Sudah lama aku menginginkan kamu Amina sayangku!” Kedua tangannya menekan tubuh Amina hingga perempuan itu sulit berkutik. Bau jigong menyeruak dan menusuk hidung Amina. Perut wanita itu bergolak hebat, pingin muntah entah antara rasa jijik dan putus asa. “Lepaskan aku. Aku janji akan membayar hutangmu segera!” Amina meronta berusaha melepaskan cengkeraman Jazuli dan menghindari serangan ciuman Jazuli yang membabi buta. Napas perempuan itu ngos – ngosan. Akan tetapi kekuatannya kalah besar dengan pria gaek itu. Jazuli tertawa terbahak – bahak. Semakin Amina melawan, nafsu binatangnya itu kian menggelora. “Aku tidak butuh uangmu, cantik! Aku hanya butuh kamu!” Ia merasa dirinya menang dan berusaha menindih Amina. Tatapan pria itu kian liar menelusuri wajah cantik Amina. Melihat posisi Amina yang terancam, Fahri mengambil tongkot bisbol. Ia men
Bab 171 Amir, teman Abah Anom mendekati tubuh Jazuli. Ia menaruh tangannya di depan hidung pria itu. “Dia masih bernapas,” katanya. Lelaki itu melihat ke Abah Anom dan Amina. “Selanjutnya, kita apakan dia?” “Amina, Abah menunggu perintahmu. Jika kamu mau dia mati, anak buah Abah bisa menghabisinya dan membuangnya ke tempat yang tak terdeteksi. Kedua orang itu sangat professional.” Dengan tenang Abah Anom mengatakannya. Lelaki itu dulu terkenal sebagai jawara di kampungnya. Ia ditakuti banyak orang. Amina bergidik mendengar penjelasan tuan rumahnya. Sebenci – bencinya dia pada Jazuli, dia takkan mau menorehkan sejarah sebagai otak pembunuh. “Kita bawa dia ke rumah sakit saja. Nanti saya akan hubungi keluarganya.” Amir dan temannya menggeleng – gelengkan kepala dengan kebaikan hati Amina. Padahal nyawa perempuan itu tadi terancam, tetapi dia malah menolong orang yang mengancam hidupnya. Abah Anom tersenyum kecil. Dia menepuk pundak Amina dua kali. “Kamu memang wanita baik. Abah kag
Bab 172 “Hih, najis aku ke rumahmu,” sahut wirda jutek. Seketika dirinya muak melihat Amina yang masih kelihatan cantik meski dengan sandal jepit dan pakaian sederhana. Amina tersenyum tipis. “Terserah!! Aku tidak mau memaksa. Asal kamu tahu, Bapakmu sudah menyiksaku selama 6 tahun, dan itu sudah cukup menimbulkan trauma berat. Meskipun aku melarat, tak sudi aku mau merebut suami orang.” Perempuan itu menghela napas pendek. “Daripada kamu menuduh sembarangan, lebih baik telepon suamimu sekarang dan tanyakan apakah dia punya selingkuhan bernama Wirda?” Ia menduga arwah gentayangan yang menemuinya semalam adalah selingkuhan suami kakaknya Wahyu. Mereka memiliki nama yang sama. Wajah Wirda tegang, urat di mukanya menonjol sehingga membuat wajahnya kian tua. Gigi perempuan itu gemeretuk menahan emosi. “Bangsat! Kamu sekarang malah berani menyuruhku!” katanya kasar. “Mba, tahan emosimu, lebih baik kita tengok Bapak sekarang.” Wahyu menyeret tangan kakaknya menjauhi Amina. “Amina, maa
Bab 173BRAKHesti membuka pintu kantor dengan kasar. “Diana!” Ia memanggil sekretarisnya dengan nada melengking tinggi.Diana yang sedang berada dalam toilet, kaget dan buru – buru menghadap Hesti.“Ada apa, Tante?” jawabnya gugup dengan dengkul gemetaran. Baru kali ini ia melihat Tantenya itu sangat marah dan frustasi.“Kenapa kamu tidak pernah memberitahu saya soal Amina? Apa yang kamu kerjakan selama ini?” Hesti melemparkan tas Hermes miliknya ke kursi.Bola mata Diana berputar kemudian naik ke atas, mengingat – ingat kejadian. “Bukankah Tante yang meminta saya, untuk tidak membicarakan soal Amina?” Ia ingat betul, beberapa waktu lalu, Hesti marah besar kepadanya. Gara – gara dia memberikan titipan Amina dari satpam RTV.Hesti kelihatan menghela napas berat. Dia merasa tertohok dan menjadi orang jahat. Diana, tak bersalah, ia saja yang suka memarahinya. “Mana titipan Amina?” tanyanya parau. Ia ingat pernah meminta sekretarisnya itu untuk membuang titipan Amina.Bergegas Diana menu
Bab 174Eril terhenyak. “M-maksudmu? Amina tidak jadi artis lagi?”Adrien menggeleng. Dia lalu mengajak Eril duduk di living room lalu menceritakan apa yang didengarnya dari Reynard.“Amina bahkan melarang Reynard untuk mengambil mobilmu, meskipun hidupnya sengsara.” Perempuan itu memandang Eril, dengan sendu. “Karena dia sangat mencintaimu Ril.”Mendengar cerita kelabu Amina, Eril menggigit bibirnya. Dadanya dihantam rasa bersalah tidak bisa melindungi perempuan itu.“Aku juga menemui Ibu dan nenekmu, mereka mengharapkan kehadiranmu dan tanggung jawabmu pada Dokter Kartika,” lanjut Adrien. Kedua matanya nanar memandang Eril.Eril memberikan respon. “Tanggung jawab apa? Aku tidak punya hutang apapun kepada Dokter Kartika.”“Apa hubunganmu dengan Dokter Kartika?” tanya Adrien hati – hati. Ia khawatir pertanyaan menyinggung hati Eril.“Teman biasa. Aku mengenalnya karena dia adalah Psikolog Amina. Justru Amina yang dekat dengannya?” Eril menjelaskan.Adrien mengambil napas. “Aku serius