Share

Part 1

Saga mendorong tubuh Sesil menempel di dinding lorong menuju toilet yang sepi. Mengurung tubuh Sesil dengan lengan menempel di tembok. Ada seorang pengawalnya yang mengawasi di ujung lorong. Memastikan siapa pun tak mengarah ke toilet restoran.

“Jadi, Anda nona Sesilia Nada? Tunangan Banyu Dirgantara.”

“Lepaskan tangan kotormu dariku!” hardik Sesil. Tatapannya tampak tegas penuh peringatan akan sikap lancang Saga yang berusaha mengintimidasi dirinya. Ia bisa saja mendorong dada Saga menjauh, tapi ia tahu kekuatan wanitanya tak akan melebihi pria itu. Dengan tubuh menjulang tinggi, berotot, dan kekar. Tubuhnya akan remuk jika pria itu berniat bersikap kasar. Tatapan dan sikapnya menunjukkan bahwa pria itu tipe manusia yang tak akan segan-segan menyakiti seorang wanita.

“Ternyata kau memiliki warna mata yang indah.” Saga mendekatkan matanya. Lalu tatapan tak senonohnya turun ke bibir Sesil. “Juga bibir yang seksi. Aku penasaran, apakah akan terasa sangat lembut? Basah dan hangat.

Sebagai wanita, Sesil tahu itu bukanlah pujian. Tatapan dan kata-kata Saga sengaja ditujukan dengan niat melecehkan. Tangan kanannya terayun menampar pipi Saga. Menjadi keputusan yang salah karena Saga menangkap pergelangan tangannya sebelum menyentuh kulit Saga.

“Pilihan yang salah, Sayang.” Saga mengakhiri peringatannya dengan memaku kedua tangan sesil di tembok, bersamaan kepalanya menunduk dan menempelkan bibirnya di bibir Sesil. Melumatnya dengan sangat puas dan membuat rontaan Sesil tak berarti apa pun.

Saga tersenyum ketika ingatan tentang kenangan pertamanya bertemu dengan Sesil kembali melintas. Kejadian itu sudah berlalu satu bulan yang lalu. Tetapi, bagaimana lembut dan hangatnya bibir Sesil masih terasa begitu jelas di bibirnya. Tanpa sadar, jemarinya mengusap-usap bibir bawahnya. Meresapi setiap sisa-sisa keintiman yang pernah tertinggal di sana.

“Di mana ini?” Pertanyaan Sesil memecah lamunan Saga. Kepalanya berputar memandang keadaan lingkungan di sekitar mobil. Pekarangan yang luas, air mancur di tengah taman, dan rumah tingkat dua yang megah itu jelas bukan kediaman pamannya. Atau rumah sewanya.

“Rumahku,” jawab Saga lugas. Mobil berhenti tepat di halaman depan rumahnya dengan pengawal dan pengurus rumah tangga yang siap menyambut kedatangan mereka.

“Rumahmu? Kenapa kau tidak membawaku pulang ke rumah pamanku?”

“Kau tinggal di sini.”

“Apa?” Sesil terpaku. Dalam sehari, informasi yang diberikan Saga bisa membuatnya terkejut sepuluh kali. Namun, tinggal di rumah Saga sama seperti sepuluh kali lipat kejutan yang diberikan Saga selama tiga hari ini.

“Ya, kita tinggal bersama.”

“Tapi kita belum menikah.”

“Kita akan menikah. Besok.”

“Apa?” Sesil tak akan tersinggung jika orang menyumpahi ekspresi konyol dan bodohnya saat ini.

“Persiapannya sudah sembilan puluh persen selesai. Tapi, dengan keadaanmu saat ini, sepertinya semua harus dibatalkan.”

Dada Sesil terasa sedikit melonggar, meskipun hanya untuk sedetik.

“Jadi, kita hanya akan menikah secara pribadi,” lanjut Saga.

Sesil membuka mulut, mencari suaranya yang mendadak hilang. “Aa ... aapa maksudmu secara pribadi?”

“Hanya kita berdua, Alec, dan pendeta yang datang di pernikahan kita.” Saga lebih dulu keluar dari mobil.

“Saga, sepertinya kita harus bicara.” Sesil berhasil mengejar pria itu di teras yang luas.

“Ya. Apa kau butuh sesuatu? Sepertinya kau butuh perawatan di wajah agar wajahmu tampak lebih cerah dan segar besok di hari pernikahan kita. Ini momen paling penting sekali seumur hidup yang biasanya diabadikan oleh kalian para wanita, bukan?”

Sesil menggeleng keras. “Kita tidak bisa menikah.”

Bibir Saga berkedut. Berusaha menutupi kekesalannya dengan ekspresi datar. “Kenapa?”

Sesil mendesah penuh sesal ketika menyadari kemarahan sempat melintas di wajah Saga. Entah kenapa bulu kuduknya berdiri. “Ka … karena aku belum mendapatkan ingatanku kembali.”

“Kita punya banyak waktu untuk mendapatkannya kembali.”

“Tapi …”

“Maafkan aku, Sayang.” Saga memegang kedua bahu Sesil. Keras tapi berusaha sekuat mungkin untuk tak menyakiti tubuh rapuh wanita itu. “Kau, bisa meminta apa saja padaku. Apa pun. Tapi pernikahan kita, tetap akan berlangsung sesuai rencana kita.”

Sesil sudah membuka mulutnya untuk membantah lagi, tapi ciuman tiba-tiba Saga di bibir, membuat Sesil terkesiap dan jantungnya berdentum keras.

“Naiklah ke kamar lebih dulu dan bersihkan badanmu. Aku harus ke ruanganku sebentar,” bisik Saga tepat di telinga Sesil sambil menyelipkan anak rambut di telinga wanita itu. Sesaat, aroma Sesil membuatnya terhenyak dan godaan untuk menenggelamkan bibir di leher Sesil mengacaukan pikirannya. Tidak sekarang! Ia memperingatkan dirinya sendiri. Seharusnya ia menikahi wanita ini sekarang juga,  jadi ia punya alasan untuk menikmati tubuh Sesil dengan leluasa. Berpura-pura ternyata membutuhkan kekuatan sebesar ini.

Saga memberi instruksi pada dua wanita yang berdiri tak jauh dari mereka untuk mengantar Sesil ke kamar. Sesil mengerjap, masih tercenung dengan ciuman sekilas Saga. Lagi lagi pria itu menyentuhnya, di bibir. Tanpa memedulikan reaksi gila-gilaan yang mendera jantungnya karena kontak fisik tersebut.

“Kau bisa bertanya apa pun tentang tentang rumah ini yang tidak kau ingat pada mereka,” pesan Saga sebelum benar-benar berbalik dan meninggalkan dirinya yang masih terpengaruh oleh perlakuan pria itu. Jujur, ia tak sungguh-sungguh mendengarkan kalimat pria itu.

“Mari, Nona.” Salah satu wanita itu menyadarkan Sesil. Mempersilahkan Sesil melangkah lebih dulu dengan instruksi darinya.

****

Sesil melihat isi lemari dengan panas menjalar di kedua pipi oleh rasa malu. Tangannya bergerak mencari dari satu gantungan ke gantungan yang lain. Bagaimana tidak, sebagian besar pakaian yang tergantung hanyalah secuil kain yang hanya bisa menutupi sebagian kecil kulit tubuhnya. Sejak kapan ia berubah menjadi jalang? Apakah ia mengenakan pakaian ini untuk menggoda Saga?

Kepala Sesil menggeleng dengan keras. Tidak mungkin. Tidak mungkin, bukan? Sesil meragu saat tatapannya beralih pada pakaian pria yang tergantung di lemari lainnya. Sudah jelas itu milik siapa, bukan? Sepatu wanita dan pria yang berjajar rapi di lemari pojok ruangan. Bukan hanya itu, perhiasan dan tas juga saling berbagi di tempat yang sama. Di ruangan yang sama. Dengan cepat, Sesil beranjak keluar dari walk in closet dan melihat meja rias di seberang. Barang-barangnya dan Saga juga berada di meja yang sama. Sesil memutar kepala, melihat ranjang yang masih rapi. Apakah itu berarti dia juga berbagi ranjang yang sama dengan Saga?

Tidak! Tidak mungkin.

Keterkejutan Sesil terpecah ketika pintu kamar terbuka dan Saga muncul. Pria itu masuk sambil melepas kancing kemejanya. Sekilas terkejut menyadari keberadaannya lalu tersenyum penuh arti pada Sesil.

“Kau sudah selesai mandi?”

“Apa … Apa kita tidur di kamar yang sama?”

Saga hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. Berjalan mendekati Sesil dengan pandangan menelanjangi wanita itu.

Sesil menyadari ke mana arah pandangan Saga. Saat itulah ia terkesiap dan mengetatkan belahan jubah mandi di dadanya. Kakinya melangkah mundur dengan langkah Saga yang makin mendekat kepadanya. Niat Saga cukup jelas di mata biru pria itu.

Hanya butuh satu gerakan gesit bagi Saga untuk menarik pinggang Sesil dan menempelkan punggung wanita itu di dadanya. Matanya terpejam ketika hidungnya menghirup dalam-dalam wangi apel yang menguar dari balik jubah mandi Sesil.

Sesil terkesiap dan menahan Saga yang berusaha menyelipkan tangan ke balik jubah mandi untuk menyentuh kulit perutnya. “Apa yang kau lakukan, Saga?”

“Melakukan yang biasa kita lakukan,” bisik Saga di telinga Sesil dengan suara berat.

Sesil berusaha mengurai rengkuhan lengan Saga dan memutar tubuh menghadapi pria itu. Tak bisa menahan ekspresi marahnya.

Seringai tipis tersamar di ekspresi sedih wajah Saga. Ia memang harus terlihat sedih atau apa pun ekspresi yang mampu membuat Sesil tersentuh untuk meyakinkan peran mereka sebagai pasangan yang saling mencintai. “Kita memang terbiasa melakukan sentuhan atau ciuman sebagai pasangan.”

Sesil mengusap wajah dengan kedua tangannya. Mengambil napas sebanyak mungkin dan mengembuskannya secara perlahan. Keintiman ini, ia masih belum siap menerimanya. “Bisakah kita tidak melakukan itu? Atau setidaknya kau harus bertanya sebelum menyentuhku.”

“Kau terlalu cantik dan menggoda. Sebagai pria yang dilengkapi libido, aku tak bisa mengabaikan keberadaanmu.”

Sesil merasa wajahnya terbakar dan matanya berkedip cepat. Merasa tertekan dan tidak nyaman. Lalu memberanikan diri untuk berdalih. “Dalam ingatanku, saat ini kau adalah pria asing, Saga. Bisakah kau memahami keadaanku?”

“Baiklah. Aku tidak akan melakukan apa pun. Aku juga tidak akan menyentuhmu tanpa seijinmu.” Saga berhenti. Matanya mengunci tatapan Sesil dan melanjutkan. “Hanya untuk malam ini.”

“Ha … hanya untuk malam ini?” Sesil mengulang dengan bengong.

“Ya, besok kita menikah. Sebagai pasangan suami istri, kau tak mungkin melewatkan malam pertama kita hanya dengan tidur, bukan?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status