Saga mendorong tubuh Sesil menempel di dinding lorong menuju toilet yang sepi. Mengurung tubuh Sesil dengan lengan menempel di tembok. Ada seorang pengawalnya yang mengawasi di ujung lorong. Memastikan siapa pun tak mengarah ke toilet restoran.
“Jadi, Anda nona Sesilia Nada? Tunangan Banyu Dirgantara.”
“Lepaskan tangan kotormu dariku!” hardik Sesil. Tatapannya tampak tegas penuh peringatan akan sikap lancang Saga yang berusaha mengintimidasi dirinya. Ia bisa saja mendorong dada Saga menjauh, tapi ia tahu kekuatan wanitanya tak akan melebihi pria itu. Dengan tubuh menjulang tinggi, berotot, dan kekar. Tubuhnya akan remuk jika pria itu berniat bersikap kasar. Tatapan dan sikapnya menunjukkan bahwa pria itu tipe manusia yang tak akan segan-segan menyakiti seorang wanita.
“Ternyata kau memiliki warna mata yang indah.” Saga mendekatkan matanya. Lalu tatapan tak senonohnya turun ke bibir Sesil. “Juga bibir yang seksi. Aku penasaran, apakah akan terasa sangat lembut? Basah dan hangat.”
Sebagai wanita, Sesil tahu itu bukanlah pujian. Tatapan dan kata-kata Saga sengaja ditujukan dengan niat melecehkan. Tangan kanannya terayun menampar pipi Saga. Menjadi keputusan yang salah karena Saga menangkap pergelangan tangannya sebelum menyentuh kulit Saga.
“Pilihan yang salah, Sayang.” Saga mengakhiri peringatannya dengan memaku kedua tangan sesil di tembok, bersamaan kepalanya menunduk dan menempelkan bibirnya di bibir Sesil. Melumatnya dengan sangat puas dan membuat rontaan Sesil tak berarti apa pun.
Saga tersenyum ketika ingatan tentang kenangan pertamanya bertemu dengan Sesil kembali melintas. Kejadian itu sudah berlalu satu bulan yang lalu. Tetapi, bagaimana lembut dan hangatnya bibir Sesil masih terasa begitu jelas di bibirnya. Tanpa sadar, jemarinya mengusap-usap bibir bawahnya. Meresapi setiap sisa-sisa keintiman yang pernah tertinggal di sana.
“Di mana ini?” Pertanyaan Sesil memecah lamunan Saga. Kepalanya berputar memandang keadaan lingkungan di sekitar mobil. Pekarangan yang luas, air mancur di tengah taman, dan rumah tingkat dua yang megah itu jelas bukan kediaman pamannya. Atau rumah sewanya.
“Rumahku,” jawab Saga lugas. Mobil berhenti tepat di halaman depan rumahnya dengan pengawal dan pengurus rumah tangga yang siap menyambut kedatangan mereka.
“Rumahmu? Kenapa kau tidak membawaku pulang ke rumah pamanku?”
“Kau tinggal di sini.”
“Apa?” Sesil terpaku. Dalam sehari, informasi yang diberikan Saga bisa membuatnya terkejut sepuluh kali. Namun, tinggal di rumah Saga sama seperti sepuluh kali lipat kejutan yang diberikan Saga selama tiga hari ini.
“Ya, kita tinggal bersama.”
“Tapi kita belum menikah.”
“Kita akan menikah. Besok.”
“Apa?” Sesil tak akan tersinggung jika orang menyumpahi ekspresi konyol dan bodohnya saat ini.
“Persiapannya sudah sembilan puluh persen selesai. Tapi, dengan keadaanmu saat ini, sepertinya semua harus dibatalkan.”
Dada Sesil terasa sedikit melonggar, meskipun hanya untuk sedetik.
“Jadi, kita hanya akan menikah secara pribadi,” lanjut Saga.
Sesil membuka mulut, mencari suaranya yang mendadak hilang. “Aa ... aapa maksudmu secara pribadi?”
“Hanya kita berdua, Alec, dan pendeta yang datang di pernikahan kita.” Saga lebih dulu keluar dari mobil.
“Saga, sepertinya kita harus bicara.” Sesil berhasil mengejar pria itu di teras yang luas.
“Ya. Apa kau butuh sesuatu? Sepertinya kau butuh perawatan di wajah agar wajahmu tampak lebih cerah dan segar besok di hari pernikahan kita. Ini momen paling penting sekali seumur hidup yang biasanya diabadikan oleh kalian para wanita, bukan?”
Sesil menggeleng keras. “Kita tidak bisa menikah.”
Bibir Saga berkedut. Berusaha menutupi kekesalannya dengan ekspresi datar. “Kenapa?”
Sesil mendesah penuh sesal ketika menyadari kemarahan sempat melintas di wajah Saga. Entah kenapa bulu kuduknya berdiri. “Ka … karena aku belum mendapatkan ingatanku kembali.”
“Kita punya banyak waktu untuk mendapatkannya kembali.”
“Tapi …”
“Maafkan aku, Sayang.” Saga memegang kedua bahu Sesil. Keras tapi berusaha sekuat mungkin untuk tak menyakiti tubuh rapuh wanita itu. “Kau, bisa meminta apa saja padaku. Apa pun. Tapi pernikahan kita, tetap akan berlangsung sesuai rencana kita.”
Sesil sudah membuka mulutnya untuk membantah lagi, tapi ciuman tiba-tiba Saga di bibir, membuat Sesil terkesiap dan jantungnya berdentum keras.
“Naiklah ke kamar lebih dulu dan bersihkan badanmu. Aku harus ke ruanganku sebentar,” bisik Saga tepat di telinga Sesil sambil menyelipkan anak rambut di telinga wanita itu. Sesaat, aroma Sesil membuatnya terhenyak dan godaan untuk menenggelamkan bibir di leher Sesil mengacaukan pikirannya. Tidak sekarang! Ia memperingatkan dirinya sendiri. Seharusnya ia menikahi wanita ini sekarang juga, jadi ia punya alasan untuk menikmati tubuh Sesil dengan leluasa. Berpura-pura ternyata membutuhkan kekuatan sebesar ini.
Saga memberi instruksi pada dua wanita yang berdiri tak jauh dari mereka untuk mengantar Sesil ke kamar. Sesil mengerjap, masih tercenung dengan ciuman sekilas Saga. Lagi lagi pria itu menyentuhnya, di bibir. Tanpa memedulikan reaksi gila-gilaan yang mendera jantungnya karena kontak fisik tersebut.
“Kau bisa bertanya apa pun tentang tentang rumah ini yang tidak kau ingat pada mereka,” pesan Saga sebelum benar-benar berbalik dan meninggalkan dirinya yang masih terpengaruh oleh perlakuan pria itu. Jujur, ia tak sungguh-sungguh mendengarkan kalimat pria itu.
“Mari, Nona.” Salah satu wanita itu menyadarkan Sesil. Mempersilahkan Sesil melangkah lebih dulu dengan instruksi darinya.
****
Sesil melihat isi lemari dengan panas menjalar di kedua pipi oleh rasa malu. Tangannya bergerak mencari dari satu gantungan ke gantungan yang lain. Bagaimana tidak, sebagian besar pakaian yang tergantung hanyalah secuil kain yang hanya bisa menutupi sebagian kecil kulit tubuhnya. Sejak kapan ia berubah menjadi jalang? Apakah ia mengenakan pakaian ini untuk menggoda Saga?
Kepala Sesil menggeleng dengan keras. Tidak mungkin. Tidak mungkin, bukan? Sesil meragu saat tatapannya beralih pada pakaian pria yang tergantung di lemari lainnya. Sudah jelas itu milik siapa, bukan? Sepatu wanita dan pria yang berjajar rapi di lemari pojok ruangan. Bukan hanya itu, perhiasan dan tas juga saling berbagi di tempat yang sama. Di ruangan yang sama. Dengan cepat, Sesil beranjak keluar dari walk in closet dan melihat meja rias di seberang. Barang-barangnya dan Saga juga berada di meja yang sama. Sesil memutar kepala, melihat ranjang yang masih rapi. Apakah itu berarti dia juga berbagi ranjang yang sama dengan Saga?
Tidak! Tidak mungkin.
Keterkejutan Sesil terpecah ketika pintu kamar terbuka dan Saga muncul. Pria itu masuk sambil melepas kancing kemejanya. Sekilas terkejut menyadari keberadaannya lalu tersenyum penuh arti pada Sesil.
“Kau sudah selesai mandi?”
“Apa … Apa kita tidur di kamar yang sama?”
Saga hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. Berjalan mendekati Sesil dengan pandangan menelanjangi wanita itu.
Sesil menyadari ke mana arah pandangan Saga. Saat itulah ia terkesiap dan mengetatkan belahan jubah mandi di dadanya. Kakinya melangkah mundur dengan langkah Saga yang makin mendekat kepadanya. Niat Saga cukup jelas di mata biru pria itu.
Hanya butuh satu gerakan gesit bagi Saga untuk menarik pinggang Sesil dan menempelkan punggung wanita itu di dadanya. Matanya terpejam ketika hidungnya menghirup dalam-dalam wangi apel yang menguar dari balik jubah mandi Sesil.
Sesil terkesiap dan menahan Saga yang berusaha menyelipkan tangan ke balik jubah mandi untuk menyentuh kulit perutnya. “Apa yang kau lakukan, Saga?”
“Melakukan yang biasa kita lakukan,” bisik Saga di telinga Sesil dengan suara berat.
Sesil berusaha mengurai rengkuhan lengan Saga dan memutar tubuh menghadapi pria itu. Tak bisa menahan ekspresi marahnya.
Seringai tipis tersamar di ekspresi sedih wajah Saga. Ia memang harus terlihat sedih atau apa pun ekspresi yang mampu membuat Sesil tersentuh untuk meyakinkan peran mereka sebagai pasangan yang saling mencintai. “Kita memang terbiasa melakukan sentuhan atau ciuman sebagai pasangan.”
Sesil mengusap wajah dengan kedua tangannya. Mengambil napas sebanyak mungkin dan mengembuskannya secara perlahan. Keintiman ini, ia masih belum siap menerimanya. “Bisakah kita tidak melakukan itu? Atau setidaknya kau harus bertanya sebelum menyentuhku.”
“Kau terlalu cantik dan menggoda. Sebagai pria yang dilengkapi libido, aku tak bisa mengabaikan keberadaanmu.”
Sesil merasa wajahnya terbakar dan matanya berkedip cepat. Merasa tertekan dan tidak nyaman. Lalu memberanikan diri untuk berdalih. “Dalam ingatanku, saat ini kau adalah pria asing, Saga. Bisakah kau memahami keadaanku?”
“Baiklah. Aku tidak akan melakukan apa pun. Aku juga tidak akan menyentuhmu tanpa seijinmu.” Saga berhenti. Matanya mengunci tatapan Sesil dan melanjutkan. “Hanya untuk malam ini.”
“Ha … hanya untuk malam ini?” Sesil mengulang dengan bengong.
“Ya, besok kita menikah. Sebagai pasangan suami istri, kau tak mungkin melewatkan malam pertama kita hanya dengan tidur, bukan?”
Sesil merasa tak bisa bernapas dengan benar. Gaun pengantin berwarna putih dan detail biru pucat di bagian bawah rok pendek itu memiliki lubang besar di bagian punggung. Bagaimana mungkin ia mengenakan pakaian sejenis itu? Ia pasti terlalu sibuk untuk menutupi dada atau paha daripada gugup memikirkan setiap detail kata sumpah pernikahan.Sesil memegang dadanya. Menutup belahan jubah mandi. Punggungnya sudah merinding membayangkan dirinya mengenakan gaun itu. Lalu, dengan jijik ia melemparkan gaun itu kembali ke pinggiran ranjang. Bertepatan pintu terbuka dan menampakkan seorang pria dengan setelan jas putih. Rapi, tampan, dan sangat memesona. Sedetik Sesil terpukau dengan penampilan pria itu, tapi ia segera tersadar bahwa pria itu adalah Saga. Sang calon pengantin pria.“Apa kau sudah siap?” Saga hanya sekadar basa-basi meskipun tahu jawabannya. Matanya tiba-tiba penuh binar saat sebuah ide muncul di kepala dengan penampilan Sesil yang sama sekali belum men
Seperti dugaan Sesil, gaun –secuil kain- yang ia kenakan terbang tertiup angin dan hampir menelanjanginya. Ia merasa sangat risih sekaligus lega karena pernikahan dilaksanakan secara pribadi. Sehingga tak cukup membuatnya merasa malu harus bertelanjang di depan umum.Rambutnya yang sengaja diurai dengan mahkota bunga sebagai hiasan di kepala, kaki telanjangnya yang menginjak pasir pantai, dan udara asin yang menerpa wajahnya. Sesil akan mengira ini pernikahan paling indah yang ia inginkan. Santai, tapi tanpa mengurangi kesakralan dan keintiman seperti seharusnya sebuah acara pernikahan terlaksana.Lalu, semua bayangan keindahan itu lenyap ketika ia melihat wajah Saga. Satu-satunya hal yang tidak Sesil harapkan keberadaanya meskipun dengan ketampanan tingkat tinggi wajah Saga. Entah kenapa, hatinya mengingkari keberadaan pria itu di dekatnya. Dengan aura yang selalu mampu membuat bulu kuduk siapa pun berdiri. Tatapan gelap dan dingin meski senyum tertoreh di wajah
Matahari pagi menerobos masuk melewati cela gorden dan membangunkan Saga. Butuh beberapa detik sebelum kesadaran kembali sepenuhnya. Aroma bunga mawar yang berasal dari pengharum ruangan, suara napas di dada sebelah kiri, dan beban di lengan yang tampak nyaman. Saga merasa ingin berlama-lama menikmati momen tersebut. Ini pagi pertama mereka sebagai pasangan pengantin baru, bukan? Tak ada salahnya bermalas-malasan sedikit lebih lama.Sesil menggeliat dan mengerjapkan mata dua kali. Menemukan kulit telanjang dengan bulu halus tepat di depan matanya. Di antara kantuk yang masih tersisa, pikirannya dipaksa bekerja. Ia tersentak dan segera menjauh dari dada Saga. Namun, gerakannya tertahan oleh lengan Saga yang melingkari di leher.“Saga?” Sesil menelan kecanggungannya. Sedikit merasa aman bahwa ia masih mengenakan pakaian di balik selimut meskipun Saga tidak. “Kau sudah bangun?”Saga hanya tersenyum tipis. Menatap lekat-lekat wajah Sesil yang
Saga mendekati kerumunan tiga pria yang terkekeh bersamaan, tapi tawa itu lenyap ketika pria bersetelan abu gelap memberi isyarat pada pria di tengah yang langsung memutar tubuh dan bertatapan langsung dengan Saga.“Aku tak mengira pintu rumah ini masih terbuka untukku,” sapa Saga dengan tatapan dingin si pria melihat kedatangannya.Sesil menoleh ke arah Saga. Terheran. Apakah mereka tamu tak diundang?Max menatap sekilas pada Sesil sebelum kembali pada Saga. Selera Saga terhadap wanita memang tak pernah mengecewakan. “Kau benar-benar tak terduga, Saga. Aku tak mengira kau akan datang.”“Ini acara penting sahabatku, aku tak mungkin melewatkannya.”Max terdiam sesaat. Senyum Saga terlalu lebar, jenis senyuman yang mengundang curiga jika kau mengenal pria itu dengan sangat baik. Sebagai Tuan rumah yang baik, ia memaksakan senyum pada pasangan Saga. Hubungan buruknya dengan Saga, bukan dengan siapa pun yang sedang b
“Ke mana kita?” tanya Sesil di antara nyeri di kepala yang berusaha ia tahan sejak ia melewati kerumunan para tamu dan berjalan kembali menuju pintu yang beberapa menit lalu ia lalui.“Pulang.”“Bukankah kita baru saja datang?” Sesil semakin tak mengerti. Menahan langkahnya tapi Saga malah menyeret lebih keras hingga ia terhentak.“Aku sudah menyapa temanku.”“Lalu siapa pria itu?” Sesil hampir berteriak saat menghempaskan tangan Saga dari pinggangnya. Mereka berhenti di halaman utama, suara keramaian pesta tersamar oleh gemericik air mancur di samping mereka. Mendadak sakit di kepalanya mereda dan sudut matanya memanas.“Hadiah pernikahan,” gumam Saga tanpa rasa bersalah sedikit pun dengan seringai tipis yang tersamar. Mata Sesil yang berkaca menunjukkan bahwa cinta menye-menye kedua insan itu benar-benar ada. Ini pertama kalinya ia merasa takjub meskipun dengan kesinisa
“Siapa pria bernama Saga itu?”Dirga tersentak, “Apa yang dia lakukan padamu?”Sesil sudah membuka mulut untuk mengatakan perbuatan kurang ajar Saga, tapi ia tak ingin melukai hati Dirga. Belum dengan rasa jijik di bibirnya yang terasa seperti kotoran, membuatnya merasa sangat berdosa pada Dirga. “Kami bertemu di lorong toilet. Dia menyapa dan hanya memastikan aku tunanganmu.”“Kami pernah berteman dekat.”“Pernah?”“Ya, manusia berubah dan kami memilih jalan masing-masing.”“Sepertinya dia musuhmu?”“Kami selalu bersaing, dan terakhir kami bertengkar hebat.”“Hingga sekarang.”Dirga terdiam. “Jauhi dia!”Sesil tertawa. “Aku senang kau begitu posesif dengan para pria di dekatku, Dirga. Tapi kau tah
Praanggg ... vas bunga yang semula berada di meja hias pelengkap set sofa kini melayang dan berhamburan di lantai. Salah satu pecahan mengenai kaki Saga yang mengenakan sandal santai dan celana pendek berwarna coklat tua.Saga terkejut, seumur hidupnya yang terbiasa bersikap was was. Ini pertama kalinya ia merasa terancam dengan keberadaan seseorang ketika menginjakkan kaki di rumahnya sendiri. Beruntung si pelempar bukanlah pembunuh bayaran dengan bakat mumpuni yang dibayar sangat mahal atas kepalanya.Darah merembes sepanjang goresan pecahan vas yang merobek kulit kaki kanannya. Dua pengawal yang berjaga di depan pintu sudah bergerak sigap mencekal kedua tangan Sesil. Sambutan selamat datang yang mengejutkan ini tentu ada alasannya, bukan?“Berengsek sialan!” desis Sesil dengan rontaannya yang sia-sia. Bibirnya menipis di antara rahangnya yang mengeras. Mata dan wajahnya merah terbakar amarah yang begitu besar. Sungguh, ia ingin menangis tersedu ol
Sesil masih terisak. Meringkuk di kasur yang berantakan dengan air mata membanjiri bantal serta selimut yang ia gunakan untuk meredam tangisan dan luka hatinya.‘Kekasihmu yang lebih dulu mengusikku. Kau tahu hatiku tak semulia itu, Sesil. Apa yang dilakukan Dirga dan penghinaanmu. Setidaknya aku akan merasa puas dengan bayaran ini.’Masih terngiang kata-kata Saga sebelum pria itu meninggalkanya sendirian dalam kepekatan derita yang ditorehkan ke seluruh tubuhnya.Dirga merusak kartel bisnis Saga hingga pria busuk itu merugi beberapa milliar. Alasan yang baru diketahuinya kenapa Saga tertarik mencari tahu dirinya dan membuat pertengkaran hebat antara dirinya dan Dirga untuk terakhir kalinya. Memang tak seberapa bagi pria dengan kerajaan bisnis gelap yang menguasai pasar negeri ini dan beberapa negara tetangga. Perdagangan senjata, klub-klub malam yang menawarkan kemewahan, bisnis prostisusi, dan entah pekerjaan kriminal apa lagi yang digelut