“Hey … Akhirnya kau membuka matamu.”
Sesil mengerjapkan matanya beberapa kali di antara rasa sakit di kepalanya. Butuh beberapa saat baginya untuk menyadari ada seseorang yang berdiri di samping ranjang. Tangannya bergerak menyentuh kepala, saat itulah ia menyadari infus yang tertempel di tangan kiri. Dinding serba putih dan aroma antiseptik yang menyergap hidungnya, ia tahu benar sedang berbaring di manakah ini. Hanya saja, denyutan di kepala Sesil semakin menjadi ketika ia berusaha mengingat apa yang membuatnya berada di tempat steril ini.
“Bagaimana perasaanmu?” Pria itu bersuara lagi. Kali ini Sesil memberikan perhatian sepenuhnya. Pria itu berambut ikal menyentuh leher dan berwarna gelap. Rahangnya terukir keras, hidung mancung, alis tebal, dan mata setajam elang. Tak akan berlebihan jika Sesil memuji ketampanan pria itu. Dan tentu saja, pria itu bukan dokter yang bertugas mengingat kemeja hitam dan bentuk tubuh semacam itu.
“Kau … Siapa kau?” Jantung Sesil berdegup kencang. Tubuh Sesil beringsut menjauh ketika lelaki itu mendekat dan tetap mendekat meskipun ia terkesiap ketakutan.
Pria itu duduk di sisi ranjang dan tersenyum lembut. Kesabaran yang menghiasi wajahnya tak sejalan dengan matanya yang dingin dan gelap. “Aku tunanganmu, Sayang. Apa kau juga melupakan hal sekecil itu?”
Sesil menarik tangannya dari genggaman pria itu. Saat itulah ia menyadari benda mungil yang terselip di antara jari manisnya. Cincin dengan hiasan permata mungil berwarna merah. Panggilan Sayang yang diucapkan dengan intim. Apakah benar ia tunangan pria ini? Kenapa ia tidak bisa mengingatnya?
“Kau mengalami kecelakaan, Sesil. Kau mendapatkan cedera di kepala yang cukup serius.”.
Pria itu bahkan mengenali namanya. Mengetahui apa yang telah terjadi padanya. “Aku tidak mengingat apa pun,” gumamnya lirih di antara bibir pucatnya.
“Ya, Dokter sempat menyinggung tentang itu. Dan mengatakan itu hal yang normal. Dokter membiarkanmu tertidur selama beberapa saat untuk menyembuhkan cedera otakmu. Tapi kau tidak apa-apa.”
“Aku … aku bahkan tidak ingat siapa dirimu?”
“Aku tunanganmu. Saga. A-ku akan membantumu mengingat siapa dirimu.” Secercah senyum tipis muncul dibibir Saga. Mata birunya yang gelap dan indah memudarkan kelicikannya yang hakiki.
Sesil nampak meragu. Berpuluh pertanyaan yang aneh muncul di kepala. Tentang siapakah sebenarnya pria ini? Seberapa jauh hubungan mereka? Karena apa yang dikatakan pria itu, bertentangan dengan reaksi hatinya yang meringkuk ketakutan seperti tikus yang terpojok. Seperti ada seseorang yang mengintai dan mengancamnya dari kegelapan. Menunggu waktu yang tepat untuk … membunuhnya, mungkin. Tapi kenapa?
“Apa kau meragukanku?”
Sesil akan mengangguk. Namun, tak sampai hati jika menyinggung perasaan pria itu. Meskipun pria itu sangat asing di ingatannya, Sesil tahu pria itu mengetahui sesuatu tentang dirinya. Tentang siapa dirinya. Kata sayang dan mesra yang diucapkan pria itu, pasti memiliki sebuah alasan.
Saga mengulurkan tangan. Hendak meraih tangan Sesil, tapi sekali lagi wanita itu menjauhkan tangan dari jangkauannya. Seringai tipis tak bisa ia tahan, meskipun ia harus terlihat sangat sabar. “Aku tak akan melukaimu. Aku hanya ingin menunjukkan bukti agar kau memercayai apa yang kukatakan.”
Sesil membiarkan Saga menjangkau tangannya meskipun aura pria itu masih membuat hatinya mengkerut. Melepas cincin di jari manisnya, lalu menunjukkan sesuatu di bagian dalam cincin tersebut.
Saga and Sesil
Mata Sesil menyipit membaca nama mereka yang diukir. Lalu menatap mata Saga dan kembali pada cincin tersebut. Butuh pemastian lebih.
“Ini cincin pertunangan kita.” Saga juga menunjukkan cincin yang terpasang di jari manisnya. Tanpa hiasan apa pun, tapi terlihat berkilau.
Sesil masih tak bersuara. Berusaha mengais ingatan terakhir yang masih ada di kepala. Tentang kedua orang tuanya yang sudah meninggal. Lalu ia hidup dengan keluarga pamannya di pusat kota dan memutuskan berhenti kuliah. Ia bekerja di supermarket milik teman pamannya. Bertemu dengan … mendadak hati Sesil merasa kehilangan tanpa sebab.
“Apakah kepalamu masih sakit?”
Sesil menyentuh kepalanya yang terluka dan dibebat perban melingkar. Pusat rasa sakitnya bersarang. Pusing, berat, dan menusuk-nusuk.
Saga menekan tombol yang ada di dinding. “Dokter akan datang dan memeriksamu. Pasti ada sesuatu untuk meredakannya.”
***
“Jadi, hari ini kau mempunyai seorang tunangan?”
Saga menoleh, menutup pintu ruang rawat Sesil, dan menemukan tangan kanan sekaligus kepercayaannya itu berdiri bersandar di dinding samping pintu. Dengan kedua tangan bersilang di depan dada dan kaca mata hitam tersampir di kepala. Jaket, kaos, jeans dan sepatu serba hitam, cukup mencolok di dinding rumah sakit yang berwarna putih. “Dan besok aku akan menjadi seorang suami. Tak terduga, tapi cukup menyenangkan, bukan.”
“Dia bahkan sama sekali tidak mendekati kriteria wanita yang akan kau lirik, apalagi untuk ditiduri.”
Saga terkekeh. Sesil memang bukan wanita yang akan menarik perhatiannya dengan penampilan wanita itu yang cenderung tertutup. Apalagi yang akan ia tiduri dalam satu malam. Akan tetapi, merawat Sesil selama tiga hari ini, wanita itu menyembunyikan aset yang sangat mahal di balik kain-kain sialan itu. Wajahnya juga tak bisa dibilang jelek. Sedikit polesan akan mengeluarkan aura kecantikan wanita itu. Wajah tanpa make up yang sering kali merona ketika berdekatan dengannya, tiba-tiba membuat Saga tergugah. Ingin lebih dekat dengan wanita itu. Membuat pipi itu lebih memerah. Oleh sesuatu yang lebih intim. “Kau melakukan pekerjaanmu dengan sangat baik, Alec. Cincinnya sangat pas di jarinya.”
“Dalam hati, aku mengingkari keputusanmu, Saga. Tapi aku tak pernah mampu mempertanyakan keputusanmu.”
“Aku tahu.”
“Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan dari pria itu. Tidak seharusnya kau melakukan ini pada tunangannya.”
Saga menelengkan kepala menatap Alec, senyumnya semakin tinggi. “Itulah masalahmu, Alec. Kau selalu merasa puas hanya dengan keuntungan yang sedikit. Kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali. Mata dibayar mata.”
“Kau terang-terangan menginginkan perang.”
“Ah, aku baru menyadarinya, Alec. Dia ternyata sangat cantik saat kau melihatnya lebih dekat. Aku tak akan mendapatkan istri secantik itu dengan reputasi jelekku.”
Alec tertawa mencemooh. “Apa kauingin aku membuat daftar siapa wanita yang berani mempertaruhkan nyawa demi jatuh di ranjangmu? Menjadi istrimu sudah seperti tujuan hidup mereka.”
“Wanita memang sangat membosankan,” gerutu Saga sambil mengibaskan tangan ke samping. “Apalagi yang terlalu memujaku.”
Alec melirik pintu ruang rawat Sesil dengan tatapan sinis.
“Kecuali dia,” tambah Saga. “Jangan biarkan siapa pun masuk,” perintah Saga pada dua pengawal yang datang. Lalu berjalan melintasi lorong diikuti Alec.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan jika ingatannya kembali?”
Seringai jahat Saga melebar keji. “Saat ingatannya kembali, semuanya sudah terlalu terlambat untuk dikembalikan.”
***
Saga mendorong tubuh Sesil menempel di dinding lorong menuju toilet yang sepi. Mengurung tubuh Sesil dengan lengan menempel di tembok. Ada seorang pengawalnya yang mengawasi di ujung lorong. Memastikan siapa pun tak mengarah ke toilet restoran.“Jadi, Anda nona Sesilia Nada? Tunangan Banyu Dirgantara.”“Lepaskan tangan kotormu dariku!” hardik Sesil. Tatapannya tampak tegas penuh peringatan akan sikap lancang Saga yang berusaha mengintimidasi dirinya. Ia bisa saja mendorong dada Saga menjauh, tapi ia tahu kekuatan wanitanya tak akan melebihi pria itu. Dengan tubuh menjulang tinggi, berotot, dan kekar. Tubuhnya akan remuk jika pria itu berniat bersikap kasar. Tatapan dan sikapnya menunjukkan bahwa pria itu tipe manusia yang tak akan segan-segan menyakiti seorang wanita.“Ternyata kau memiliki warna mata yang indah.” Saga mendekatkan matanya. Lalu tatapan tak senonohnya turun ke bi
Sesil merasa tak bisa bernapas dengan benar. Gaun pengantin berwarna putih dan detail biru pucat di bagian bawah rok pendek itu memiliki lubang besar di bagian punggung. Bagaimana mungkin ia mengenakan pakaian sejenis itu? Ia pasti terlalu sibuk untuk menutupi dada atau paha daripada gugup memikirkan setiap detail kata sumpah pernikahan.Sesil memegang dadanya. Menutup belahan jubah mandi. Punggungnya sudah merinding membayangkan dirinya mengenakan gaun itu. Lalu, dengan jijik ia melemparkan gaun itu kembali ke pinggiran ranjang. Bertepatan pintu terbuka dan menampakkan seorang pria dengan setelan jas putih. Rapi, tampan, dan sangat memesona. Sedetik Sesil terpukau dengan penampilan pria itu, tapi ia segera tersadar bahwa pria itu adalah Saga. Sang calon pengantin pria.“Apa kau sudah siap?” Saga hanya sekadar basa-basi meskipun tahu jawabannya. Matanya tiba-tiba penuh binar saat sebuah ide muncul di kepala dengan penampilan Sesil yang sama sekali belum men
Seperti dugaan Sesil, gaun –secuil kain- yang ia kenakan terbang tertiup angin dan hampir menelanjanginya. Ia merasa sangat risih sekaligus lega karena pernikahan dilaksanakan secara pribadi. Sehingga tak cukup membuatnya merasa malu harus bertelanjang di depan umum.Rambutnya yang sengaja diurai dengan mahkota bunga sebagai hiasan di kepala, kaki telanjangnya yang menginjak pasir pantai, dan udara asin yang menerpa wajahnya. Sesil akan mengira ini pernikahan paling indah yang ia inginkan. Santai, tapi tanpa mengurangi kesakralan dan keintiman seperti seharusnya sebuah acara pernikahan terlaksana.Lalu, semua bayangan keindahan itu lenyap ketika ia melihat wajah Saga. Satu-satunya hal yang tidak Sesil harapkan keberadaanya meskipun dengan ketampanan tingkat tinggi wajah Saga. Entah kenapa, hatinya mengingkari keberadaan pria itu di dekatnya. Dengan aura yang selalu mampu membuat bulu kuduk siapa pun berdiri. Tatapan gelap dan dingin meski senyum tertoreh di wajah
Matahari pagi menerobos masuk melewati cela gorden dan membangunkan Saga. Butuh beberapa detik sebelum kesadaran kembali sepenuhnya. Aroma bunga mawar yang berasal dari pengharum ruangan, suara napas di dada sebelah kiri, dan beban di lengan yang tampak nyaman. Saga merasa ingin berlama-lama menikmati momen tersebut. Ini pagi pertama mereka sebagai pasangan pengantin baru, bukan? Tak ada salahnya bermalas-malasan sedikit lebih lama.Sesil menggeliat dan mengerjapkan mata dua kali. Menemukan kulit telanjang dengan bulu halus tepat di depan matanya. Di antara kantuk yang masih tersisa, pikirannya dipaksa bekerja. Ia tersentak dan segera menjauh dari dada Saga. Namun, gerakannya tertahan oleh lengan Saga yang melingkari di leher.“Saga?” Sesil menelan kecanggungannya. Sedikit merasa aman bahwa ia masih mengenakan pakaian di balik selimut meskipun Saga tidak. “Kau sudah bangun?”Saga hanya tersenyum tipis. Menatap lekat-lekat wajah Sesil yang
Saga mendekati kerumunan tiga pria yang terkekeh bersamaan, tapi tawa itu lenyap ketika pria bersetelan abu gelap memberi isyarat pada pria di tengah yang langsung memutar tubuh dan bertatapan langsung dengan Saga.“Aku tak mengira pintu rumah ini masih terbuka untukku,” sapa Saga dengan tatapan dingin si pria melihat kedatangannya.Sesil menoleh ke arah Saga. Terheran. Apakah mereka tamu tak diundang?Max menatap sekilas pada Sesil sebelum kembali pada Saga. Selera Saga terhadap wanita memang tak pernah mengecewakan. “Kau benar-benar tak terduga, Saga. Aku tak mengira kau akan datang.”“Ini acara penting sahabatku, aku tak mungkin melewatkannya.”Max terdiam sesaat. Senyum Saga terlalu lebar, jenis senyuman yang mengundang curiga jika kau mengenal pria itu dengan sangat baik. Sebagai Tuan rumah yang baik, ia memaksakan senyum pada pasangan Saga. Hubungan buruknya dengan Saga, bukan dengan siapa pun yang sedang b
“Ke mana kita?” tanya Sesil di antara nyeri di kepala yang berusaha ia tahan sejak ia melewati kerumunan para tamu dan berjalan kembali menuju pintu yang beberapa menit lalu ia lalui.“Pulang.”“Bukankah kita baru saja datang?” Sesil semakin tak mengerti. Menahan langkahnya tapi Saga malah menyeret lebih keras hingga ia terhentak.“Aku sudah menyapa temanku.”“Lalu siapa pria itu?” Sesil hampir berteriak saat menghempaskan tangan Saga dari pinggangnya. Mereka berhenti di halaman utama, suara keramaian pesta tersamar oleh gemericik air mancur di samping mereka. Mendadak sakit di kepalanya mereda dan sudut matanya memanas.“Hadiah pernikahan,” gumam Saga tanpa rasa bersalah sedikit pun dengan seringai tipis yang tersamar. Mata Sesil yang berkaca menunjukkan bahwa cinta menye-menye kedua insan itu benar-benar ada. Ini pertama kalinya ia merasa takjub meskipun dengan kesinisa
“Siapa pria bernama Saga itu?”Dirga tersentak, “Apa yang dia lakukan padamu?”Sesil sudah membuka mulut untuk mengatakan perbuatan kurang ajar Saga, tapi ia tak ingin melukai hati Dirga. Belum dengan rasa jijik di bibirnya yang terasa seperti kotoran, membuatnya merasa sangat berdosa pada Dirga. “Kami bertemu di lorong toilet. Dia menyapa dan hanya memastikan aku tunanganmu.”“Kami pernah berteman dekat.”“Pernah?”“Ya, manusia berubah dan kami memilih jalan masing-masing.”“Sepertinya dia musuhmu?”“Kami selalu bersaing, dan terakhir kami bertengkar hebat.”“Hingga sekarang.”Dirga terdiam. “Jauhi dia!”Sesil tertawa. “Aku senang kau begitu posesif dengan para pria di dekatku, Dirga. Tapi kau tah
Praanggg ... vas bunga yang semula berada di meja hias pelengkap set sofa kini melayang dan berhamburan di lantai. Salah satu pecahan mengenai kaki Saga yang mengenakan sandal santai dan celana pendek berwarna coklat tua.Saga terkejut, seumur hidupnya yang terbiasa bersikap was was. Ini pertama kalinya ia merasa terancam dengan keberadaan seseorang ketika menginjakkan kaki di rumahnya sendiri. Beruntung si pelempar bukanlah pembunuh bayaran dengan bakat mumpuni yang dibayar sangat mahal atas kepalanya.Darah merembes sepanjang goresan pecahan vas yang merobek kulit kaki kanannya. Dua pengawal yang berjaga di depan pintu sudah bergerak sigap mencekal kedua tangan Sesil. Sambutan selamat datang yang mengejutkan ini tentu ada alasannya, bukan?“Berengsek sialan!” desis Sesil dengan rontaannya yang sia-sia. Bibirnya menipis di antara rahangnya yang mengeras. Mata dan wajahnya merah terbakar amarah yang begitu besar. Sungguh, ia ingin menangis tersedu ol